mengembangkan diri cahaya-abadi-muhammad-1-768x1178

Menepati Janji – Cahaya Abadi Muhammad SAW

-salawat-

Al Quran memuji orang-orang yang memiliki sifat Sidiq

Quran surat al-ahzab ayat 23 yang artinya di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah maka diantara mereka ada yang gugur dan di antara mereka ada pula yang menunggu-nunggu dan mereka sedikitpun tidak mengubah janjinya

Anas bin Malik r.a. menjadi pelayan Rasulullah SAW melalui sebuah peristiwa unik, yaitu ketika ibunya menggendongnya saat ia berusia 10 tahun ke kediaman Rasulullah SAW untuk diserahkan sebagai pelayan kalau itu sang Ibu berseru wahai Rasulullah ini pelayanmu Anas lalu wanita itu meninggalkan Anas begitu saja dan beranjak pulang. Anas bin Malik r.a. berkata ayat ini turun disebabkan Pamanku Anas bin Nadhar dan orang-orang yang seperti dia. Sejak Anas bin Nadhar r.a melihat Rasulullah SAW pada peristiwa Baitul Aqabah, paman Anas bin Malik itu sudah amat mencintai Beliau hanya sayangnya disebabkan adanya beberapa hal, Anas bin Nadhar tidak dapat ikut Perang Badar. Padahal Perang Badar memiliki posisi khusus yang sangat istimewa di kalangan umat Islam. Semua sahabat yang mengikuti perang ini mendapatkan predikat khusus diantara para sahabat yang lain bahkan menurut Jibril Alaihissalam yang menjadi panglima golongan malaikat dalam Perang Badar para malaikat yang ikut dalam Perang Badar juga mendapatkan kedudukan istimewa diantara para malaikat yang lain 

Tentang pamannya Anas bin Malik r.a. menuturkan, pamanku yang namaku berasal dari namanya tidak ikut berperan di Badar bersama Rasulullah SAW sungguh hal itu telah membuatnya gelisah Pamanku berkata pada peperangan pertama yang harus dihadapi rasulullah aku tidak ikut serta. Seandainya saja Allah berkenan menyampaikan aku pada perang yang terjadi nanti bersama Rasulullah pastilah Allah akan melihat Apa yang kulakukan. 

Rupanya Pamanku berkata begitu karena dia tidak sanggup mengatakan yang lebih dari itu, maka kemudian dia ikut berperang bersama Rasulullah dalam Perang Uhud. 

Saat itu dia bertemu, Saad bin Muadz, yang bertanya padanya, “Wahai Abu Amr hendak kemanakah Engkau?”

Ia menjawab, “Semerbak aroma surga, sudah kucium di kaki gunung uhud!”

Maka dia pun maju bertempur sampai akhirnya syahid.

Ketika mengenang kembali Perang Uhud kita pasti tak akan bisa menahan sesak yang mendadak terasa di dada. Sebab, itulah perang, yang dalamnya 70 sahabat Rasulullah gugur sebagai syahid. 

Tampaknya itulah penyebab yang membuat Rasulullah SAW, setiap hari melintas di dekat Uhud selalu berkata, “Uhud adalah gunung yang mencintai kita dan kita pun mencintainya.” 

Maksud ucapan Rasulullah SAW ini adalah agar umat Islam tidak membenci Uhud. Uhud memang sebuah gunung yang sulit didaki, tapi Perang Uhud jauh lebih sulit dihadapi. Pada saat itu sebagian sahabat meninggalkan pos yang telah ditetapkan oleh Rasulullah SAW selama beberapa saat sebagai bentuk perubahan strategi, itulah sebabnya kita tidak dapat menyebut Perang Uhud sebagai sebuah kekalahan. Penghormatan kita terhadap para sahabat dan sudut pandang kita sebagai Muslim lah yang mengharuskan hal itu. 

Dalam pertempuran Uhud, Rasulullah terluka dan giginya patah, bahkan ada dua buah mata rantai topi besi Rasulullah yang menancap di wajah Beliau hingga berdarah. Tapi karena Rasulullah telah diutus sebagai rahmat bagi semesta alam, Beliau pun segera melepas baju besinya, seraya berseru kepada Allah, “Wahai Ya Allah ampunilah kaumku karena mereka tidak mengetahuinya 

Dalam Perang Uhud inilah Anas bin Nadhar bergerak tangkas ke sana kemari untuk memenuhi janji yang pernah diucapkannya kepada Rasulullah beberapa tahun sebelumnya. Dalam tempo singkat sekujur tubuh Paman Anas bin Malik ini telah penuh dengan hujanan tombak dan sabetan pedang sampai akhirnya ia pun gugur sebagai Syahid. Demikianlah sejak awal pertempuran Anas bin Nadhar rupanya telah menyadari bahwa hidupnya akan segera berakhir. 

Tapi ketika Saad bin Muadz bertanya kepadanya tentang pertempuran dengan enteng Anas menjawab sembari tersenyum semerbak aroma surga di kaki gunung uhud 

Dalam peperangan uhud, banyak Syuhada yang sulit dikenali wajahnya, Hamzah r.a. Mushab Bin Umair r.a. Abdullah bin Jahs r.a. Anas bin Nadhar.a. Bahkan Anas bin Nadhar hanya dapat dikenali oleh saudara perempuannya lewat jari tangannya sebab tampaknya hanya bagian itulah yang tidak rusak oleh senjata musuh. Mari kita lanjutkan penuturan dari Anas bin Malik, “Dia ada seminar bertempur sampai gugur pada saat itu di sekujur tubuhnya terdapat lebih dari 80 luka sabetan pedang dan tikaman tombak serta anak panah, Bibiku yang bernama Rumbai binti Nadhar berkata, “Aku tidak dapat mengenali saudaraku kecuali hanya lewat jari tangannya!”” 

Pada saat itulah turun ayat yang berbunyi, “Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah maka diantara mereka ada yang gugur dan di antara mereka ada pula yang menunggu-nunggu dan mereka sedikitpun tidak mengubah janjinya.” alahzab ayat 23 

Para sahabat menyakini bahwa ayat ini turun berkenaan dengan Anas bin Nadhar dan para syuhada uhud lainnya, benar, ayat ini memang menjelaskan kepahlawanan orang-orang seperti Anas bin Nadhar. ada orang yang menepati janji yang telah diikrarkan pada dirinya, bahwa, ia akan bertempur sampai titik darah penghabisan. Akhirnya ia memang terbunuh, sebab rupanya bahkan maut pun tak mampu menghalanginya untuk menepati janji, ya, dia telah menepati janjinya kepada Allah, ketika sebuah ayat memuji para syuhada seperti mereka. Maka maksud sebenarnya dari ayat itu adalah untuk menunjukkan bahwa para syuhada itu adalah teladan bagi setiap orang yang bersaksi, bahwa tiada Tuhan selain Allah, lailahailallah. 

Agar mereka tidak mudah menyia-nyiakan agama, menyurutkan keimanan, atau merendahkan syariat Allah. Sungguh Anas bin Nadhar telah menepati janjinya sebagaimana beberapa sahabat lainnya juga telah menepati janjinya dan semua itu mereka lakukan karena mereka telah dididik 

 Jadi sebagaimana halnya sosok yang mereka cintai adalah seorang sadiq yang terpercaya maka para sahabat dan murid-murid beliau pun menjadi orang-orang yang sodiq dan terpercaya inspirasi cahaya abadi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam kebanggaan umat manusia 

mengembangkandiri.com_fresh-white-tulips-on-pink-background-symbol-of-p-2022-03-18-00-27-24-utc

Sarana Meraih Keikhlasan dan Keistikamahan

Sarana Meraih Keikhlasan dan Keistikamahan di Masa Kemunafikan dan Keegoisan[1]

Al-Qur’an menyebutkan bahwa tempat kaum munafik adalah di lapisan neraka paling bawah, bahkan lebih rendah daripada orang-orang kafir sekalipun. Ini karena mereka bermuka dua: mengaku muslim, tetapi perbuatannya justru menguntungkan orang kafir. Mereka bahkan menggunakan nilai-nilai suci agama sebagai argumen demi meraih keuntungan pribadi. Karenanya, kemunafikan lebih berbahaya dari kekafiran. Tugas kita di masa ini adalah menjauhi kemunafikan dan waspada kepada orang-orang munafik. Mereka bisa muncul kapan dan di mana saja.

Saya rasa, orang munafik lebih berkembang di tempat di mana pemikiran islami menjadi mayoritas. Hal ini karena ketika yang sedang jaya dan berkuasa adalah orang-orang yang kufur dan ingkar, mereka—orang-orang munafik—dapat melakukan kekufuran secara terang-terangan. Misalnya, Abu Jahal, Utbah, Syaibah, Uqbah bin Abi Mu’aith, dan Walid tidak merasa perlu melakukan kemunafikan. Karena berkuasa dan kuat, maka mereka mampu melakukan segala yang diinginkannya. Misalnya, mereka berkuasa untuk merantai orang yang menentangnya. Namun, di Madinah, saat kaum muslimin berkuasa, kemunafikan mulai berkembang. Sebelum Madinah diubah Sang Nabi menjadi pusat peradaban, mereka punya harapan untuk berkuasa. Harapan mereka hanyalah bagaimana bisa berkuasa dan mengekalkannya. Saat mahkota menemukan pemilik sejatinya, yaitu Rasulullah, mereka sama sekali tak rela dengan kenyataan itu. Kriteria ini berlaku di setiap waktu. Sebagian menanti pamrih agar seisi dunia memuja mereka, baik pujian dari dunia Islam maupun dari dunia non-Islam. Namun, sebagaimana dikatakan Ustaz Badiuzzaman: “Masa ini adalah Masa Keegoisan”. Sebagai konsekuensinya, masa ini pun masa kemunafikan. Orang-orang munafik akan menunaikan misinya, di tempat di mana pemikiran dan praktik Islam sedang menjadi mayoritas dan sedang bergelora dilakukan. Maksudnya, saat praktik islami menjadi tren, di saat manusia mudah mengikuti arusnya, di sanalah benih kemunafikan tumbuh dan berkembang pesat. Itu karena kondisinya mendukung. Orang munafik ini memanfaatkan argumen agama sehingga kaum muslimin pun sering tertipu. Untuk itu, Ustaz berkata: “Kita adalah seorang muslim, mungkin saja tertipu. Namun, kita tidak sekali-kali menipu”.

Menurutku, walau kita puluhan kali ditipu, kita tetap harus berhusnuzan sambil terus waspada. Kita tetap harus berhusnuzan kepada mereka yang sudah menipu kita. Namun, kita tetap harus waspada agar tak ditusuk dari belakang. Nasihat dari Badiuzzaman: “Berhusnuzan dan tetaplah waspada…”

Di satu sisi: “Kita ini muslim yang mungkin saja tertipu, tetapi kita tidak sekali-kali menipu”. Mengapa? Karena kita membuat kesimpulan dari apa yang terlihat secara lahiriah saja. Kita hanya bisa menilai dari apa yang dikatakan oleh lisannya saja, kita tak mampu membelah dada dan membaca isi hatinya. Rasulullah lah yang mengatakannya. Kepada siapa? Putra Zaid, Usamah, anak yang amat dicintainya[2]. Sosok yang sangat agung, Sayyidina Usamah saat itu berhasil memojokkan musuh. Saat terdesak, si musuh pun bersyahadat. Beliau radhiyallahu anhu berijtihad: “Kita berada di dalam perang. Ia adalah musuh. Ia bersyahadat karena terdesak belaka”. Beliau radhiyallahu anhu pun membunuhnya. Saat kabar ini didengar Nabi, Beliau bertanya: “Mengapa kamu membunuhnya?” Usamah: “Dia bersyahadat karena terdesak” Nabi bersabda: “Apa kamu telah membelah dan membaca dadanya?!”

Perhatikanlah! Kriteria ini selalu berlaku bagi kita. Jika dari lisannya masih keluar kata: “Allah, Rasulullah, Islam”. Anda tak bisa berkata: “Saya tidak percaya”. Karena mereka, yaitu Nabi dan penduduk langit berkata: “Apa kamu sudah membelah dan membaca isi dadanya”. “Bagaimana jika ia bersyahadat dengan tulus?” Inilah husnuzan. Namun, jika terdapat keraguan atas pernyataannya, setelah berhusnuzan, lakukanlah adam-i itimad (waspada). Janganlah Anda lalai memberikan suatu amanah penting kepada seseorang yang belum teruji. Punggung Anda dapat tertusuk belati. Jangan sekali-kali Anda lalai, karena punggung Anda dapat tertusuk belati.

Dikatakan juga: “Di hatimu harus selalu tersedia kursi di mana semua tipe orang dapat duduk di sana”. Mengenal, menganalisa, dan mengelola orang-orang munafik amatlah sulit. Jika Anda tak bisa tepat menganalisanya, Anda tak boleh membuat kesimpulan instan. Pertama, analisis harus dilakukan sebelum amanah nantinya diberikan. Anda pasti menemui kesulitan dalam prosesnya. Kadang Anda melihatnya menyungkurkan wajah dengan mata sembab di Multazam, atau melihatnya mengusap wajah ke Hajar Aswad dan berkata: “Biar aku jadi tebusanmu!”. Namun hatinya lebih kotor dari hati Abu Jahal, Utbah, dan Syaibah. Tak peduli di depan Ka’bah, mereka menanti suitan dan tepuk tangan pujian kepada mereka. Pujian seperti: “Jayalah! Engkau tak memiliki tandingan! Biar aku jadi tebusanmu!” Ketika orang-orang memujinya, ia pun membesar seperti kalkun.

Kembali ke pembahasan, zaman ini zaman kemunafikan dan keegoisan. Manusia ibarat setetes air, tetapi ia melihat dirinya seakan samudra. Mereka mulai suka terlihat seperti matahari, padahal kita hanyalah zarah, sehingga pamrihnya pun amat besar. Misal mereka berkata: “Kalau kita lewat, kita harus disambut tepuk tangan”. “Dalam posisi berdiri takzim, seperti posisi saat salat di hadapan Allah”. Nauzubillah! Sebentar lagi mungkin mereka mengaku sebagai Tuhan! Firaun mengaku sebagai tuhan secara terang-terangan karena dia lebih jentelmen dibanding mereka. Karena Firaun menunjukkan kebiadabannya terang-terangan, demikian juga dengan Qarun dan Haman, maka Nabi Musa dan Harun pun mengetahuinya. Sedangkan mereka, orang-orang di masa ini berkata, “minal kalalisy“. Ini adalah istilah translasi campuran dari bahasa Turki ke bahasa Arab. Anda bisa menanyakan makna “kalalisy[3] pada mereka yang tahu bahasa Arab. Karena itu mereka selalu menipu dan menempatkan orang lain di posisi hulubalang. Ia memandang semua masyarakat berada di kasta paria. “Kamu dibanding aku hanyalah makhluk yang levelnya 10 tingkat di bawahku.” Lalu jika ada orang yang berkata kepadanya: “Menyentuhmu adalah bagian dari ibadah”. Maka ia menjawab: “Terima kasih, Kamu sangat tahu cara mengapresiasi saya!”

Jika dikatakan: “Ia memiliki semua sifat Allah”. Ia menjawab lagi: “Kamu sangat tahu cara mengapresiasiku!” Tidak ada yang berani mengatakan, “sungguh itu merupakan ucapan yang bisa mengantarkan pada kekafiran mereka yang mengatakannya”. Namun, mereka dengan mudah mengafirkan dan menyesatkan para sukarelawan Hizmet yang menyebar ke seluruh dunia demi rida Allah, demi berkibarnya bendera agama dan bangsa, serta demi dikenalnya nama agung Baginda Nabi Muhammad Saw.

Ketika mengafirkan, isyarat mereka tidak mengarah kepada perseorangan seperti Ustaz Osman Simsek, Ustaz Ergun Capan, Ustaz Rasyid Haylamaz. Namun, yang dikatakan adalah: “Saya meragukan keimanan mereka!”. Mereka meragukan iman para sukarelawan yang mengibarkan bendera Sang Nabi di seluruh dunia. Namun, mereka tak meragukan iman orang yang mengatai Al-Qur’an, tak meragukan iman orang yang bilang “menyentuhnya adalah ibadah”. Saya rasa dengan contoh ini Anda dapat memahami ciri orang munafik. Anda akan memahaminya. Walau nanti akan tertipu lagi, suatu saat Anda akan selamat dari tipuannya.

Apapun yang terjadi, ingatlah ayat Al Quran surat An-Nisa 4:45:

وَكَفَىٰ بِاللَّهِ وَلِيًّا وَكَفَىٰ بِاللَّهِ نَصِيرًا

“Dan cukuplah Allah menjadi Pelindung (bagimu).

Dan cukuplah Allah menjadi Penolong (bagimu)”

Abu Hasan as Syazili menjadikannya bagian dari wiridnya dengan mengulangnya 10 kali. Aku tak tahu apa hikmahnya. Setelah membaca: يَا غَارَةَ اللهِ، حُثِّي السَّيْرَ مُسْرِعَةً “Ya Allah, kumohon segera turunkan pertolongan-Mu!”. Lalu beliau membaca: وَكَفَىٰ بِاللَّهِ وَلِيًّا وَكَفَىٰ بِاللَّهِ نَصِيرًا

Beliau mengulangnya sebanyak 10 kali. Cukuplah Allah sebagai Wakil dan Penolong kalian…! Serahkan pada Allah, rangkul pertolongan Allah, dan taatilah hikmah-Nya. “Jika ada jalan keluar, pastilah ini, aku tak tahu jalan keluar lainnya.” Inilah nasihat dari Mehmet Akif, penyair abad ini yang memiliki jiwa dan cara pandang yang luas.

[1] Sebagian terjemahan dari:

http://fgulen.com/tr/ses-ve-video-tr/bamteli/nifak-ve-enaniyet-caginda-ihlas-ve-istikamet-vesileleri dan teks ceramah dari video https://www.youtube.com/watch?v=-oUqFf_gwQU&t=112s

[2] Demikian cintanya Rasulullah kepada Usamah dan ayahnya sangat menginspirasi Sayyidina Umar. Pada Masa kekhalifahannya, Sayyidina Umar memberikan gaji kepada Sayyidina Usamah lebih tinggi dibanding siapapun, termasuk kepada anaknya. Hingga akhirnya, anaknya yaitu Abdullah bin Umar bertanya kepada Amirul Mukminin karena penasaran. Abdullah berkata kepada ayahnya: “Wahai ayahku, Engkau memberikan gaji kepada Usamah 4000 sedangkan engkau memberikan aku hanya 3000. Padahal ayahnya tidak lebih utama dari dirimu, dan ia juga tidak lebih mulia daripadaku.”

Umar Al Faruq berkata: “Engkau keliru… Ayahnya lebih dicintai oleh Rasul daripada ayahmu. Dan ia lebih dicintai Rasul daripada dirimu!”

Maka Abdullah bin Umar rela menerima pemberian gaji yang diberikan untuknya. Dan Umar bin Khattab setiap kali ia berjumpa dengan Usamah bin Zaid akan berkata: “Selamat datang, Amirku!” Jika ada orang yang merasa aneh dengan tingkah Umar ini, ia akan berkata kepada orang itu: “Rasul ﷺ telah menjadikan dia sebagai amirku!”

Ya, Rasulullah telah menjadikan Sayyidina Usamah bin Zaid sebagai amir pasukan yang di dalamnya terdapat sahabat-sahabat senior seperti Sayyidina Abu Bakar, Umar, Sa’d bin Abi Waqash, Abu Ubaidah bin Al Jarrah dan sahabat besar lainnya.

[3] Ia merupakan bentuk jamak dari istilah yang artinya pengkhianat

mengembangkandiri.com_a-single-tree-on-the-horizon-in-autumn-2022-03-04-02-27-39-utc

CAKRAWALA HIDUP KITA

Karya Pembaca: Haerul Al Aziz

Sudah tidak diragukan lagi bahwa kemuliaan sosok sahabat Nabi adalah hasil representasi dari nilai luhur yang dicontohkan Nabi Muhammad sallallahu ‘alaihi wasallam sebagai Potret Kebanggaan Manusia yang menjadi panutan bagi seluruh umatnya. Antara jarak dan jangka waktu yang memisahkan kehidupan kita dengan cakrawala agung yang mereka miliki, seolah menjadi hal yang mustahil bagi kita, bahkan untuk sekadar berimajinasi memanifestasikan apa yang telah mereka wujudkan. Menjadi sosok insan kamil merupakan tujuan diciptakannya manusia dengan pencapaian ibadah, ubudiyah dan ubudahnya sebagai seorang hamba. Dengan keselarasan tujuan ini, mampukah kita sebagai generasi milenial menggapai cakrawala yang telah mereka persembahkan sebagai perwujudan dari keteguhan iman, kesadaran islam, dan kedalaman ihsan yang mereka miliki?

Perlu kita akui bahwa sosok sahabat merupakan potret agung yang memiliki karakteristik istimewa. Sehingga generasi setelahnya tidak akan mampu mendapatkan intensitas yang sama dengan pencapaian iman dan aktualisasinya dalam menjalankan sebab akibat untuk memenuhi haknya sebagai seorang mumin dan tanggung jawabnya dalam menjalankan pundi-pundi agama Islam. Seperti yang telah diungkapkan oleh Mursyid Hakiki sallallahu ‘alaihi wasallam bahwa,  “Sebaik-baik umatku adalah pada masaku. Kemudian orang-orang yang setelah mereka, lalu orang-orang yang setelah mereka.”[1] Para sahabat menyerahkan diri mereka dan beriman secara utuh kepada lantunan ayat Al-Quran sebagai sumber utama bagi keberlangsungan hidupnya meski kala itu segala penindasan bertubi-tubi menghujam konsistensi iman yang mereka miliki. Bersama dengan sisi ummiyah[2] yang membuat mereka jauh dan tertutup dari dunia luar, penyerahan dan penerimaan dalam waktu yang singkat ini, di sisi lain sebenarnya merupakan perwujudan dari mukjizat Nabi Muhammad sallallahu ‘alaihi wasallam dan Al-Quran itu sendiri.

Di samping itu, kebersamaan dengan Nabi Muhammad sallallahu ‘alaihi wasallam ketika mereka secara langsung melihat, mendengar dan merasakan manifestasi aliran wahyu yang juga ikut terpercik dalam anatomi spiritual tubuh mereka, ditambah dengan bahasa sikap dan perilaku yang Beliau persembahkan sebagai pedoman kehidupan, menjadikan mereka layak untuk memiliki gelar “Wilayatul Kubra” yang merupakan kedudukan tertinggi dalam dimensi kewalian. Meski mereka yang mengaku telah bertemu berpuluh-puluh kali dengan Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam melalui sebuah mimpi, nilai mereka tak akan sebanding dengan keluhuran yang dimiliki para sahabat, karena percikan langsung yang mereka raih dari sumber yang hakiki kala itu.[3]

Periode era kebahagiaan telah berlalu, generasi selanjutnya melahirkan generasi lain sesuai dengan kedalaman yang mereka miliki. Disadari maupun tidak, sebuah proses penerimaan dan pemberian tongkat estafet yang mereka amanahkan berlangsung hingga generasi kita saat ini. Kemuliaan-kemuliaan yang dimiliki oleh para sahabat di atas yang menjadikan mereka memiliki gelar sebagai sosok “sahabat yang sesungguhnya” mungkin tidak akan mampu kita capai. Namun dengan keluhuran dan karakteristik tunggal yang mereka miliki tersebut, bukan berarti tidak ada karakteristik lain yang mampu kita jadikan sebagai pedoman supaya kita pun bisa berdiri di belakang barisan mereka. Bahwa layaknya Mursyid Agung, mereka pun tidak melepas tanggung jawabnya sebagai sosok sahabat untuk mencotohkan apa yang seharusnya diimplementasikan bagi generasi setelahnya. Disini kita akan memaparkan prinsip-prinsip mulia yang merupakan karakteristik lain para sahabat sebagai seorang hamba dan manusia ideal, yang mana jika kita mampu merealisasikannya, menggapai kebangkitan layaknya era kebahagiaan bukanlah sekadar imajinasi belaka.

Karamah yang Sesungguhnya

Bashirah agung Umar bin Khatab dalam ekspedisi Sariyah bin Zanim al-Khalji, doa Sa’ad bin Abi Waqqas yang segera terkabulkan, dan sumpah Bara bin Malik yang tak pernah ditolak Allah ta’ala  merupakan contoh dari banyaknya karamah yang dimiliki oleh para sahabat. Meski demikian keistimewaan ini bukanlah tujuan yang ingin mereka capai. Yang ingin mereka tunjukkan sebagai karamah asli ialah menjalankan apa yang seharusnya mereka lakukan sesuai dengan kausalitas yang ada dan mengarahkannya kepada ridha Allah ta’ala seraya menjauhi segala hal yang beraroma takjub di luar itu. Dibandingkan hal yang menakjubkan, mereka lebih memilih untuk hidup sesuai dengan ruh agama yang semestinya; memiliki akhlak mulia; mengisi dirinya dengan kesadaran ma’rifat, mahhabah, ikhlas, dan ihsan; senantiasa memelihara hak Allah dan juga hak orang lain; dan sebisa mungkin memperdalam hubungannya dengan Sang Pencipta. Ini semua merupakan sebuah pantulan dari keteguhan nilai iman yang mereka miliki yang layak bagi kita untuk dijadikan pedoman.

Dua Kosa Kata Luhur “Kesetiaan dan Loyalitas”

Ketika mendengar kosa kata “kesetiaan dan loyalitas” siapa yang tak mengenal Abu Bakar bin Uthman Abu Quhafa, sosok sahabat yang telah sampai kedalam tingkatan siddiq. Kesetiannya untuk menjaga dan melindungi Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam tak ada satu orang pun yang akan meragukannya. Namun kesetiaan dan loyalitasi yang dimilik para sahabat lain pun perlu kita paparkan sebagai landasan bagi kehidupan generasi kita saat ini. Karena dua nilai luhur ini layaknya sudah menjadi darah daging dalam tubuh mereka dalam rangka menjunjung tinggi nama Allah ta’ala dan mengobati hati yang penuh luka akibat kekufuran. Amr bin Al Ash yang meletakkan rambut Nabi Muhammad sallallahu ‘alaihi wasallam di bawah lidahnya ketika ia meninggal dunia sebagai bentuk loyalitas dan wasilah untuk memudahkannya menjawab pertanyaan di akhirat kelak; Sang Panglima perang Khalid bin Walid yang tetap menjaga kesetiaannya meski ia harus wafat di atas kasurnya; dan Ukba bin Nafi yang pergi ke ujung samudera untuk menyampaikan amanahnya dalam rangka memanifestasikan dua kosa kata luhur ini. Sebuah implementasi akan kesadaran Islam yang ingin mereka persembahkan bagi kita semua.

Ramuan Ihsan antara Kesabaran dan Rasa Syukur

Penindasan yang mereka alami di awal tak membuat mereka gentar dan tetap bersabar untuk menjalankan segala kewajiban dan tanggung jawabnya sebagai umat Islam. Di sisi lain kegembiraan setelah mereka berhasil menaklukan kota Mekkah tak membuat mereka bangga diri, bahkan bersyukur dengan segala karunia yang telah Allah ta’ala limpahkan. Mereka berhasil memadukan kesabaran dan rasa syukur tersebut sebagai ramuan ihsan yang layak bagi mereka untuk kita jadikan sebagai contoh dalam menyikapi setiap peristiwa yang ada. Sebagai perwujudannya tak ada satu pun dari mereka yang ingin membalas dendam dengan apa yang telah kaum musyrik lakukan meski kala itu mereka telah berada di puncak kemenangan. Dengan itu semua mereka lebih memilih untuk bersikap istikamah di jalan ini.

Musyawarah dan Atmosfer Spiritual

Melalui tuntunan Nabi Muhammad sallallahu ‘alaihi wasallam pentingnya musyawarah juga mereka hadirkan ke dalam pundi-pundi kehidupan mereka sebagai indikator terpenting yang menunjukkan kualitas keimanan pada suatu masyarakat serta menjadi karakter utama yang melekat pada semua komunitas yang mempersembahkan hidup mereka demi kejayaan agama Islam. Di sisi lain, mereka pun selalu menggunakan setiap waktu dan kesempatan yang mereka miliki untuk berbincang dan merundingkan tentang keagungan Allah ta’ala dan hakikat Islam. Tak ada satu pun manfaat dunia yang ingin mereka raih atau mereka gambarkan dalam imajinasinya.

Nilai khas yang dimiliki para sahabat sudah menjadi karakter tunggal yang tidak dimiliki oleh generasi lain. Tetapi bukan berarti kehidupan mereka sebagai seorang hamba yang luhur tidak bisa kita manifestasikan ke dalam kehidupan generasi milenial saat ini. Tidak bisa dipungkiri bahwa jarak dan waktu telah memisahkan kita dengan mereka, namun jika kita masih sanggup menjaga keteguhan iman, kesadaran Islam, dan kedalaman ihsan yang seharusnya, bukankah kita juga akan memiliki nilai istimewa lain sebagai sosok “saudara” yang dikenang Nabi Muhammad sallallahu ‘alaihi wasallam dalam sabdanya? Walaupun secara langsung kita tidak sanggup melihat dan merasakan kehidupan mulia yang telah mereka jalankan bersama Sang Nabi kala itu. Kendati seperti itu, jika kita melihat ke seluruh penjuru dunia saat ini, sebuah imajinasi yang kita gambarkan dari awal, telah dimanifestasikan oleh sekumpulan individu yang mengabdikan diri mereka untuk menjungjung tinggi perdamaian dunia atas nama kemanusiaan yang telah sejak lama ditunggu kehadirannya. Yang menjadi pertanyaan ialah, kapankah tiba saatnya bagi kita untuk juga mengimplementasikan prinsip-prinsip mulia tersebut sebagai cakrawala hidup kita yang sesungguhnya?

[1] Sahih Muslim, “Fada’il al-Sahaba” 210, 211, 212, 214, 215; Abu Dawwud, Sunnah 9.

[2] Ungkapan ummiyah disini lebih mengarahkan kedalam  makna bahwa kehidupan mereka hingga saat itu jauh dan terasing dari dunia luar, tidak ada hubungan yang signifikan antara kehidupan mereka dengan kultur atau agama lain. Sehingga hati mereka masih bersih dan jernih. Mereka tidak memerlukan sumber lain dalam pemahaman dan penafsirannya terhadap Al-Quran. (http://www.herkul.org/kirik-testi/kur-an-kulturu-ve-sahabe/)   

[3] Bediüzzaman Said Nursi, “Sözler”, Şahadamar Yayınları (2007), s. 532; Fethullah Gülen, “Ölümsüzlük İksiri”, Nil Yayınları (2011), s. 96.

mengembangkandiri.com_great-wall-2021-08-26-13-40-08-utc

Perbaikan Benteng Kemanusiaan

Badiuzzaman mengatakan bahwasanya hizmet tak sekedar melakukan perbaikan kecil dan parsial. Sebaliknya, hizmet melakukan perbaikan pada benteng yang melingkupi Islam dimana benteng ini mengalami pengeroposan. Pada prinsipnya, ia disebut memperbaiki kemanusiaan.

Apa benteng ini bisa disebut benteng kemanusiaan?

Ya, pada prinsipnya ia adalah benteng kemanusiaan.

Kini, sistem yang dirindukan umat manusia sedang tidur lelap ketika penindasan terjadi di muka bumi. Sistem ramah manusia yang dilukis para utopis, dimana dunia berdasar pada hukum dan melindungi hak manusia. Pada sistem ini, kemanusiaan memiliki posisi mulia. Demikian juga para wanita.

Dunia di mana orang-orang akan bergumam: “Di sinilah saya akan meraih ketenteraman…”

Itulah dunia yang diimpikan.

Maka masalah kemanusiaan pada hari ini adalah tidak adanya dunia yang seperti itu. Bumi kini alpa akan kehadirannya. Karena ia alpa, manusia pun saling menyembelih sesamanya.

Mereka menyusun rencana untuk menghabisi sesamanya: “Ditebas dibagian mana bagusnya?

Apa kita babat tenggorokannya, atau lengannya, atau kakinya, atau kita cungkil matanya…?

Atau kita hujani telinganya dengan peluru..” dan rencana setan lain semacamnya.

Atau pemikiran seperti:”Bagaimana kalau kita gantung?

50.000 orang itu kita hukum gantung?”

Bukankah dulu saat 15.000 orang digantung, masyarakat berhasil diselimuti rasa takut? Jika kini 50 ribu orang digantung, masyarakat akan tunduk pada Firaun, Amenophis, dan Ramses abad ini! Apabila demikian, rencana-rencana setan itu akan selalu bergaung di masa ini.

Kini sebagian sisinya menatap wajah dunia Islam -disini saya menyebut dunia Islam secara umum-. Teleskopnya sedang diarahkan ke wajah dunia Islam. Mereka menyaksikannya, membaca, dan memahaminya.

Saat mereka beropini, pasti mereka berkata: “Mengapa dunia Islam akan memikirkannya?”

Dari sini, pada prinsipnya masalah dunia Islam adalah masalah seputar iman. Karena itu Sang Juru Bicara abad ini, Badiuzzaman Said Nursi mengerahkan semua dayanya untuk meletakkan hakikat iman dalam diri manusia. Beliau senantiasa melakukan fortifikasi pada isu ini. Beliau mengulang penjelasan isu yang sama dengan puluhan cara berbeda. Teknik ini disebut al Quran sebagai tasrif yaitu menjelaskan hal yang sama dengan versi berbeda. Ia menjelaskan iman kepada Allah dengan uslub tertentu. Di tempat lain, dijelaskan dengan jalan lain. Sebab manusia memiliki latar belakang bakat, kemampuan, pendidikan, profesi, watak & kecondongan yang berbeda-beda. Manusia memahami sesuatu dengan jalan berbeda-beda. Ada yang memahami Hijaz, ada yang memahami Usyak. Sisanya paham Saba, Huzzam, atau Segah (nama-nama tadi adalah nama ragam nada pada azan). Itulah pentingnya tasrif: menjelaskan sebuah persoalan dengan berbagai versi. Sebagaimana Azan dikumandangkan dengan nada berbeda, sesuai waktunya.

Dengan demikian semua orang bisa memahami lalu mengucap kalimat iman. “Aku beriman kepada Allah, malaikat, para nabi, kitab-kitabNya, akhirat, serta beriman bahwasanya takdir baik dan takdir buruk itu asalnya dari Allah. Aku mengimani kebangkitan setelah kematian adalah benar, Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah. Dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan RasulNya…”

Inilah rukun iman.

Namun, Ustaz fokus pada empat pilar iman dimana semua agama samawi sepakat: tauhid, kenabian, kebangkitan, dan keadilan.

Imam Ghazali menyebut ada 3 pilar iman, dengan menggabungkan dua pilarnya jadi satu. Beliau juga menyusun banyak penjelasan untuk menerangkan urgensinya. Kehilangan terbesar bagi kemanusiaan adalah hilangnya iman: Manusia tidak mengimani Allah Subhanahu Wa Ta’ala sebagaimana mestinya; Manusia tidak mengimani para Nabi sebagaimana mestinya; Manusia tak memiliki mahabbatullah dengan kadar melebihi cintanya pada hal yang dicintainya.

Seperti Sayyidina Umar radhiyallahu anhu yang merevisi ungkapan cintanya pada Nabi: “Aku mencintaimu Ya Rasulullah, lebih dari cintaku pada diriku sendiri”.

PR utamanya adalah bagaimana kita bisa mengungkapkan perasaan ini dengan lebih tulus lagi! Disinilah Bediuzaman memfokuskan usahanya, yaitu fokus pada masalah iman. Jika benteng iman diperbaiki, maka benteng kemanusiaan akan pulih kembali. Apa yang diperintahkan oleh Islam…?

Ketika ditanya apa itu Akhlak Agung Islamiyah?

Mari mengecek referensi kitab-kitab akhlak Islam. Maka Anda akan menyaksikan bagaimana manusia ini hidup layaknya malaikat.

Orang akan pangling melihat imam masjid dan berujar: “Apakah dia ini Jibril, Mikail, atau Israfil?” Masyarakatnya akan terenovasi ke level tersebut saat kata “bohong” terucap, mereka akan bingung memahaminya. Sebab kata itu terhapus dalam perbendaharaan kata dii kamusnya. Kebohongan akan ditelan oleh air terjun kebohongan, ia tak akan pernah kembali. Kata “fitnah”, pun akan terhapus. Sehingga mereka akan bingung memahaminya saat ia terucap. Demikian juga dengan istilah “pembunuhan karakter”, semua akhlak tercela ini, yang Imam Ghazali sebut sebagai “Muhlikat”, akan terhapus dari memori umat manusia.

Orang-orang untuk mengingat makna dari istilah itu akan saling bertanya. Apa itu “marah”, apa itu “benci”, apa itu “dendam”, apa itu “dengki”, apa itu “terlaknat”. Khususnya rasa dengki yang mewabah di zaman ini: “Kamu berhasil sukses, sedangkan aku gagal. Karena itu saya harus menghabisimu”. Akhlak terlaknat itu sayangnya sedang mewabah di masa ini.

Menghadapi dunia seperti ini, Anda membangun dinding blokade dengan pondasi iman. Jika keseimbangannya Anda susun sesuai standar Islam, jika Anda bangun ia dengan kokoh dan tak mudah roboh. Sebagaimana Badiuzzaman mengerahkan semua usahanya untuk fokus pada masalah itu. Ya, Anda akan menyelesaikan pembangunan dunia yang tak mampu dibangun oleh kaum utopis. Singkatnya, Orang-orang cerdik cendekia akan terkejut melihat keberhasilan Anda. Anda membangun “Negara Matahari” yang diimpikan Campanella, negara yang hanya ada dalam khayalan. Anda akan membangun masa jaya Usmani. Mungkin bukan di masa jaya, tapi tepatnya di masa saat matahari Usmani akan tenggelam. Masa ketika matahari tergelincir akan terbenam, udara mulai sejuk, yaitu setelah waktu ashar. Masa itu dapat kita sangsikan, karena kemantapannya perlahan mulai pudar, mulai luntur. Pada masa senjanya Usmani saja sang cendekia berujar: “Sia-sia saya menulis Negara Matahari. Ternyata ia ada dan nyata di sini!” Bayangkanlah! Anda seakan merangkum Kitab Şecere-i Numâniye tulisan Muhyiddin Ibn Arabi yang membahas Usmani.

Saat Anda membangun pondasi dunia yang didambakan tersebut, Anda akan jadi sumber harapan bagi umat manusia. Anda akan jadi representasi dari nilai kemanusiaan, umat manusia akan banyak belajar dari Anda. Misalnya, bagaimana menghargai orang lain serta bagaimana menegakkan hukum dan keadilan. Dengannya, mereka akan membangun dunia yang sanggup menghembuskan angin ketenteraman. Dari sini, Anda tidak hanya membangun kebaikan yang eksklusif untuk dunia Anda sendiri. Di waktu yang sama, ia akan bermanfaat bagi seluruh penjuru dunia. Demikian strategisnya prasasti yang Anda bangun, ia akan terlihat dari segala penjuru.

Dilihat dari manapun, Prasasti tersebut akan jadi dambaan semua orang:”Menakjubkan sekali!” Sebenarnya umat manusia di masa ini kehilangan pondasi itu. Umat manusia membutuhkan pembentukan (taassus) pondasi itu. Saya gunakan kata taassus karena ia berasal dari istilah takalluf (pelaksanaan kewajiban), dimana dibutuhkan banyak usaha keras dan melewati berbagai kesulitan untuk bisa meraihnya.

mengembangkandiri.com_four-gingerbread-cookies-on-green-childrens-hand-2022-02-24-06-34-41-utc

Kasih Sayang dan Kekerasan

Karya Pembaca: Mahir Martin

Dunia memang selalu berubah, bergerak dengan dinamis untuk mencari keseimbangan baru. Beragam peristiwa silih berganti, datang dan pergi membuat kita terkadang harus berada pada kondisi terjepit antara hitam dan putih, gelap dan terang, peperangan dan perdamaian, permusuhan dan persahabatan.

Di tengah kondisi yang terkadang begitu memilukan, hanya ada satu obat penawar bagi segala kemuraman, cahaya bagi kegelapan, kesepakatan bagi peperangan, dan persaudaraan bagi permusuhan. Obat penawar itu adalah rasa kasih sayang. Rasa kasih sayang yang akan menggerus kekerasan yang terjadi di masyarakat.

Pancaran Kasih Sayang

Kasih sayang adalah pancaran dari cahaya akhlak Ilahi yang direpresentasikan dengan hati. Layaknya seorang ibu yang mencurahkan kasih sayang kepada anak-anaknya, seorang guru kepada murid-muridnya, seorang atasan kepada bawahannya.

Seseorang yang sanubarinya diliputi oleh rasa kasih sayang, tidak akan pernah meminta balasan apapun darinya. Kasih sayang akan menjadi kekuatan bagi yang lemah, penghangat bagi yang kedinginan, teman bagi yang kesepian, dan kehadiran bagi seseorang yang tak memiliki siapapun dalam kehidupannya.

Bukankah Nabi berkata bahwa barangsiapa yang tidak menghormati yang lebih tua dan tidak menyayangi yang lebih muda, maka bukanlah bagian dari kita? Ya, begitu pentingnya nilai kasih sayang, sampai-sampai Nabi pun memberikan peringatan ini.

Dengan kekuatan kasih sayang, hati yang keras pun akan menjadi lembut, kepedulian sosial akan muncul, dan saling tolong-menolong akan tumbuh dan berkembang di masyarakat. Dengan kekuatan kasih sayang juga, negara akan menjadi tempat dimana ketuhanan, kemanusiaan, persatuan dan kesatuan, hikmat dan kebijaksanaan, dan keadilan sosial akan dielu-elukan oleh rakyatnya.

Ya, kasih sayang adalah pancaran suci dari langit kepada kita semua. Jika kita ada pada hari ini dan mampu bertahan dalam kehidupan ini, itu karena kasih sayang-Nya; Jika kita saling menyayangi dan disayangi oleh orang-orang yang ada di sekitar kita, itu juga karena rahmat-Nya.

Nabi kita juga mengajarkan dan mencontohkan kepada kita bagaimana seharusnya kita hidup dan bermuamalah dengan penuh kasih sayang, kecintaan, dan kelembutan dalam beragama. Dalam beragama tidak boleh ada paksaan, penekanan, menyusahkan dan menyulitkan.

Kekerasan dalam Beragama

Ajaran dan teladan Nabi dalam beragama tersebut memang seharusnya bisa kita terapkan dalam kehidupan. Namun sayangnya, ada sebagian dari kita yang gagal memahami ajaran agama, gagal merepresentasikannya. Sehingga karena rasa takut yang dirasakan dari paksaan dan kekerasan yang dilakukan, banyak orang-orang yang akhirnya salah mengenali kita. Bukankah pepatah mengatakan bahwa manusia akan memusuhi sesuatu yang tidak dikenalinya?

Ya, hal ini terjadi karena kita tidak mampu untuk keluar dari daerah kita, kita cenderung menutup diri, dan gagal mengedepankan komunikasi dan dialog yang sehat dengan orang-orang yang berbeda pandangan dengan kita. Akhirnya akan selalu muncul percikan api pertikaian antara orang-orang yang beriman dengan yang tidak memiliki keimanan yang sama.

Orang-orang yang beragama terkadang memaksakan kehendaknya dengan kekerasan. Kekerasan sangat bertolak belakang dengan fitrah manusia yang memiliki iradah dan kebebasan berpikir.

Cara seperti itulah yang sangat bertentangan dengan akal dan logika manusia. Cara itu bukanlah cara yang berdasarkan dengan hasil pemikiran yang benar. Cara itu bisa saja menjadi bumerang yang justru dampak buruknya akan kembali kepada siapa yang melakukannya.

Hal ini yang akhirnya menyebabkan profil seseorang yang beragama menjadi sesuatu yang menakutkan dan mengkhawatirkan. Jika ini terjadi, maka kedepannya untuk merubah keadaan ini akan semakin sulit dilakukan, dan mungkin kekuatan kita tidak akan mampu menghadapinya.

Sebuah Refleksi

 Bagi orang yang beriman, menggunakan kekerasan untuk memaksakan kehendaknya, sebenarnya menunjukkan betapa lemah keimanannya. Artinya, ia tidak benar-benar yakin dengan keimanannya sehingga ia harus membuktikannya dengan memaksakannya kepada orang lain.

Seorang mukmin sejati akan begitu percaya dengan nilai-nilai yang ia miliki dan yakini. Ia akan mengubahnya menjadi pandangan hidup sehingga ia tidak akan takut untuk hidup bersama dengan orang-orang yang memiliki pandangan keimanan yang berbeda.

Ia berani untuk berdialog dengan mereka, meskipun terkadang berada di bawah naungan mereka. Karena seseorang yang tidak ragu dengan nilai-nilai keimanan dalam dirinya, ia tidak akan merasa tertekan dengan melihat kehidupan dan keimanan orang lain.

Apakah ini berarti bahwa nilai-nilai keimanan tidak bisa kita jelaskan kepada orang lain yang belum mendapatkan petunjuk keimanan?

Sudah menjadi tabiat manusia ingin menjelaskan atau mengajak orang lain kepada sesuatu yang ia yakini kebenarannya. Jika hal ini dilakukan dengan cara-cara yang benar, dengan adab dan cara yang benar, dengan tetap menghormati iradah dan kebebasan berpikir yang dimiliki masyarakat, maka masyarakat akan sangat salut, menghargai, dan mengambil contoh dari nilai-nilai keimanan tersebut. Bahkan, mungkin saja mereka akan mengakui nilai-nilai keimanan tersebut dengan menggunakan iradah dan kebebasan yang ada dalam diri mereka masing-masing.

Alhasil, setiap orang berhak memiliki nilai-nilai yang ia yakini, hidupi, dan mungkin ia ingin bagikan kepada orang lain. Yang menjadi permasalahan adalah ketika cara-cara yang penuh kasih sayang dan kelembutan telah digantikan dengan kekerasan dan paksaan dalam menyikapinya.

Oleh karenanya, yang perlu kita kedepankan adalah iradah dan kebebasan berpikir manusia dalam memandang sesuatu. Seseorang yang memiliki pandangan yang berbeda terhadap nilai-nilai yang kita anggap benar adalah suatu kewajaran dan menjadi kekayaan keberagaman yang ada di kehidupan bermasyarakat.