Karya Pembaca: Adib Gunawan
Berani melakukan nahi munkar, baik kepada sesama khalayak ramai maupun (apalagi) kepada penguasa, tidak lantas secara otomatis pelakunya memperoleh predikat pemberani dan pejuang lantaran telah melakukan amalan yang dianggap sulit dan berat, berani mengambil resiko tidak disukai dan dimusuhi oleh banyak pihak.
Hal ini dikarenakan, sebagaimana setiap amalan yang lain juga selalu didahului oleh selain iman adalah juga didahului oleh ilmu, maka begitu pula dengan amalan nahi munkar. Ia memiliki ketentuan2, syarat rukun tertentu, serta tatakrama dalam menjalankannya. Inilah yang disebut dengan batas-batas agama dalam melakukan nahi munkar.
Bila dalam melakukan nahi munkar berada di dalam koridor batas-batas agama, barulah perbuatan nahi munkar termasuk bagian diantara amalan paling terpuji.
Sedangkan sebaliknya, bila dalam melakukan perbuatan nahi munkar tersebut berada di luar batas-batas agama, maka sebaliknya justru ia bisa jatuh kepada perbuatan tercela.
Ungkapan dan dalil umum “Barangsiapa diantara kamu melihat kemunkaran, hendaklah ia cegah kemunkaran itu dengan tangannya. Jika tidak mampu, hendaklah ia cegah dengan lisannya. Jika tidak mampu juga, hendaklah mencegahnya dengan hatinya. Itulah selemah-lemah iman”, selain menunjukkan pengertian sebagaimana yang sudah kita ketahui bersama secara redaksionalnya, bahwa nahi munkar itu adalah terkait dengan “kemampuan” bagaimana melaksanakannya, dan yang yang paling utama adalah “mampu” dengan tangan, lalu lisan, dan yang paling lemah adalah dengan hati, dalil umum tersebut di atas juga memiliki beberapa kandungan pengertian lainnya.
Pengertian yang pertama adalah soal, “kewenangan”.
Ada pihak, yang karena kedudukannya dalam berbangsa dan bernegara, memiliki kewenangan dalam melakukan nahi munkar hingga sampai dengan tangan atau paksaan. Diantara mereka adalah pemerintah dalam berbagai tingkatannya dan anggota dewan dalam berbagai tingkatannya, yang keduanya memiliki kewenangan membuat dan mengesahkan undang-undang dan peraturan serta sistem mengikat lainnya sebagai bagian dari norma hukum. Juga, pejabat lain yang memiliki kewenangan memerintahkan aparat untuk melakukan nahi munkar dengan dasar UU tersebut. Termasuk juga aparat penegak hukum itu sendiri meliputi polisi, jaksa dan hakim serta lembaga-lembaga lain serta perangkat institusi lain yang semisal, mereka semua adalah pihak-pihak yang memiliki kewenangan untuk melakukan nahi munkar dengan tangan.
Selanjutnya, ada pihak-pihak yang karena kedudukannya di masyarakat bukan bagian dari pemerintah atau anggota dewan sebagai pembuat UU, juga bukan pejabat berwenang dan aparat penegak hukum, melainkan mereka adalah masyarakat luas khalayak ramai biasa. Mereka ini tidak memiliki kewenangan melakukan nahi munkar kepada pihak lainnya dengan paksaan atau dengan tangan. Mereka bisa melakukan nahi munkar hanya sampai pada batas dengan lisan saja.
Ya. Dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, khalayak ramai dan khususnya para ulama, da’i, kyai, habib, agamawan dan masyarakat luas lainnya tidak diperkenankan melakukan nahi munkar kepada pihak lainnya dengan paksaan.
Imam Ghozali mengatakan, bila setiap orang memiliki kewenangan dengan paksaan, apalagi dengan mengumpulkan teman dan menghunus senjata, maka yang terjadi adalah kekacauan.
Imam Ghozali menjadikan keamanan, ketertiban umum dan keselamatan, sebagai pertimbangan ketika beliau memfatwakan apakah nahi munkar tsb wajib dilakukan, sunnah, mubah, atau justru makruh atau bahkan haram dilakukan.
Dan yang terakhir, karena ada pihak yang alih-alih bisa melakukan nahi munkar dengan tangan, bahkan hanya “sekedar” dengan lisanpun ia dipandang tidak memiliki kewenangan, entah itu oleh karena kurangnya ilmu misalnya, atau ia sendiri tidak dapat melakukan khususnya tentang hal apa yang ingin dinasihatkan kepada orang lain, atau lisannya tidak ada dampak apapun kecuali kerugian atas dirinya dan apalagi kerugian atas diri orang lain, maka kewenangannya dalam nahi munkar hanya bisa sebatas berdoa dan berlepas diri dari kemunkaran tersebut. Karena kewenangan dan kemampuannya yang terbatas inilah maka ia dikatakan lemah. Lemah di sini pun bukan berarti aib atau kehinaan, melainkan adalah karena keterbatasan.
Nahi munkar dengan hati ini, yaitu dengan hanya bisa diam berdoa dan berlepas diri saja, meskipun ia kategori lemah jika dibandingkan dengan bila mampu dan berwenang dengan tangan dan lisan, nahi munkar dengan hati tetaplah pilihan yang lebih tepat dan syar’i dari 3 alternatif syar’i yang disediakan dalam melakukan nahi munkar, (yang ketiganya baik dengan tangan, lisan dan hati adalah dalam koridor syar’i), daripada memaksakan diri dengan lisan apalagi dengan tangan, namun melampaui batas-batas kemampuan, batas kewenangan dan justru menimbulkan mudhorot yang lebih besar serta jatuh pada hukum yang haram bila dilakukan.
Dalam hal ini, Sang Imam Al Hujjatul Islam juga menjadikan pertimbangan tindakan nahi munkar tersebut apakah ada manfaatnya ataukah tindakan konyol semata, merugikan pihak lainnya atau tidak, ia sendiri sudah dikenal luas dapat melakukan apa yang dinasihatkan kepada orang lain atau tidak, hal itu semua sebagai dasar menentukan hukum wajib, sunnah, mubah, makruh atau haramnya seseorang melakukan tindakan nahi munkar.
Itulah pengertian pertama dari ungkapan di atas, yaitu tentang “kewenangan”.
Pengertian yang kedua adalah tentang, “pendayagunaan kewenangan”. Maksudnya adalah, orang yang memiliki kewenangan melakukan nahi munkar dengan tangan, seyogyanya ia memaksimalkan kewenangannya tersebut. Ia tidak sepantasnya menurunkan level mengambil alih peran melakukan nahi munkar dengan lisan yang menjadi wewenang orang lain, sementara hal yang menjadi kewenangannya sendiri, yaitu melakukan nahi munkar dengan tangan, justru terbengkalai. Sebagai contohnya adalah pemerintah dan anggota dewan yang seharusnya punya wewenang membuat UU dan peraturan serta sistem mengikat lainnya sebagai bagian dari norma hukum, justru melalaikan wewenang tersebut dan sibuk hanya “menghimbau” dengan lisan saja.
Atau pejabat berwenang dan aparat penegak hukum yang seharusnya dengan dasar UU dan peraturan yang berlaku bisa memproses secara hukum para pelaku kemunkaran, justru hanya menasihati saja yang seharusnya menjadi tugasnya para ulama, da’i, kyai, habib, agamawan dan khalayak ramai.
Contoh di atas adalah sama-sama perilaku tidak amanah yang tidak mampu mendayagunakan kewenangan yang dimiliki.
Demikianlah diantara pengertian dari ungkapan dalil umum di atas dalam melakukan nahi munkar. Ia bermakna membahas tentang tingkat kemampuan dan keutamaannya, tingkat kewenangan dan pendayagunaan kewenangan dalam melakukan nahi munkar, yang semuanya merupakan bagian dari batasan agama dalam melakukan nahi munkar.
Selanjutnya, rincian dalam melakukan nahi munkar dengan tangan, kiranya sudah jelas, yaitu hal tersebut meliputi membuat dan mengesahkan UU dan aturan mengikat serta upaya menegakkan aturan tersebut oleh aparat.
Sedangkan melakukan nahi munkar dengan lisan, kami perlu menguraikan sedikit rinciannya.
Melakukan nahi munkar dengan lisan, tahap yang pertamanya adalah memberikan pengajaran, memberikan pengetahuan bahwa perbuatan tersebut adalah perbuatan munkar.
Tahap yang kedua adalah menasihati secara halus dan lemah lembut.
Tahap yang ketiga adalah menasihati dengan kata-kata lebih keras.
Tahap yang keempat adalah menakuti-nakuti atau mengancam akan melaporkannya kepada pejabat atau aparat berwenang agar ditindak dengan tangan.
Tahap yang terakhir adalah benar-benar melaporkannya kepada aparat.
Ini adalah tahapan-tahapan melakukan nahi munkar dengan lisan.
Bila setelah dilaporkan, ternyata pejabat berwenang dan aparat tidak menindaklanjuti dengan tangan, atau malahan mereka merupakan bagian dari kegiatan munkar tersebut, maka kepada pejabat dan aparat tersebut berarti adalah ditargetkan juga untuk dilakukan nahi munkar kepada mereka.
Namun perlu digaris bawahi di sini, bahwa menurut kitab Ihya Ulumuddin karya Imam Abu Muhammad Bin Muhammad Al-Ghozali, melakukan nahi munkar kepada pejabat dan aparat, maksimal adalah dengan lisan. Tidak dapat dengan tangan atau paksaan.
Dengan lisan itupun harus dibatasi pada menasihati dengan lembut. Dan bila terpaksa, boleh dengan kata2 kasar yang secukupnya tidak membabi buta.
Karena menurut Sang Imam Mujaddid pada masanya tersebut, melakukan nahi munkar kepada pejabat dan aparat dengan melebihi dari batasan-batasan di atas dapat menimbulkan dampak buruk yang lebih besar. Ia dapat menggerakkan fitnah dan membangkitkan kejahatan.
Akhirnya bila tahap tersebut di atas sudah dilakukan, maka tinggallah jalan nahi munkar yang terakhir yaitu dengan hati, sembari tetap mengajari manusia lain yang memerlukan pengajaran dan nasihat-nasihat.
Keterangan di atas itupun hanyalah batasan agama dan tata krama melakukan nahi munkar terhadap perbuatan yang jelas-jelas dan terang benderang sebagai perbuatan munkar. Sedangkan untuk hal-hal yang masih dalam perdebatan dan memerlukan ijtihad (yang justru paling banyak berada di tengah-tengah kita) masih perlu kajian lagi. Dan orang awwam tidak diizinkan ikut terlibat di dalamnya.
Demikianlah. Melakukan nahi munkar adalah persoalan yang luas dan pelik, tidak terbatas hanya persoalan berani saja. Imam Ghozali menulis secara khusus dalam satu buku hampir setebal empat ratus halaman, belum termasuk di kitab yang lain. Bediuzzaman Said Nursi juga membahasnya terangkum bersama dengan kajian iman dan ilmu dalam kitab Risalah Nur setebal lima ribu halaman. M. Fethullah Gulen Hoja Efendi juga menulis tentang amar makruf nahi munkar dalam satu buku setebal hampir tiga ratus halaman.
Jadi kiranya uraian kami di atas amatlah singkat, masih jauh dari membahas semuanya, karena hanya untuk keperluan praktis sebagai panduan melakukan nahi munkar dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara serta beragama, supaya kita tidak mudah terseret dalam perbuatan nahi munkar yang melebihi batas.
Namun yang jelas, dalam melakukan nahi munkar, bila melampaui batas-batas agama, seperti melampaui batas kemampuan, melampaui batas kewenangan dan tidak memikirkan aspek keamanan, keselamatan dan ketertiban umum, serta merugikan orang lain, apalagi dilakukan dengan maksud tertentu tidak tulus karena Allah SWT, sehingga dilakukan dengan amarah dan perasaan bangga di hadapan manusia, serta memburu kemegahan dan nama, menasihati penguasa (pemerintah, anggota dewan, pejabat dan aparat) dengan kata-kata kasar, apalagi dengan mengumpulkan teman-teman (terlebih dengan menghunus senjata), berarti telah keluar dari batas-batas agama dan tata krama dalam melakukan nahi munkar.
Imam Ghozali mengatakan, bila dalam melakukan nahi munkar berada dalam koridor batas-batas agama dan tata kramanya, maka melakukan nahi munkar termasuk sebagai pendekatan diri kepada Allah, dan tertolaklah segala kemunkaran.
Sebaliknya, bila keluar dari batas-batas agama dan tata kramanya, Imam Ghozali mengatakan niscaya kemunkaran tidak akan tertolak. Malahan, terkadang melakukan nahi munkar menjadi perbuatan munkar karena melampaui batas agama. Wallahu alam.(*)