Artikel ini diambil dari presentasi video oleh Dr. Carl Sharif El-Tobgui pada channel Blogging Theology bersama Paul Williams (17 Juli 2022) dan telah ada sedikit perbaikan dan penyesuaian agar layak dibaca. Link presentasi aslinya dicantumkan di bagian bawah.
Pengantar
Pada peringatan Hari Internasional Melawan Homofobia, Transfobia, dan Bifobia di Kanada, tanggal 17 Mei lalu, secarik poster dipromosikan di bawah naungan sebuah universitas di Kanada, yang menggambarkan dua perempuan Muslim berjilbab hampir berciuman.2 Sejumlah universitas dan sekolah menengah di Kanada mengizinkan poster tersebut beredar sebagai cara mereka untuk mempromosikan “keberagaman cinta.” Poster tersebut juga menampilkan pasangan homoseksual yang berbeda ras, pasangan heteroseksual kulit hitam, dan pasangan yang terdiri dari orang biasa dan penyandang disabilitas, di samping itu juga terdapat poster dua perempuan Muslim, dengan masing-masing pasangannya yang sedang terlibat dalam aksi romantis. Banyak Muslim Kanada yang marah setelah poster ini dirilis, dan memang seharusnya begitu, mengingat penggunaan simbol Muslim yang paten (yaitu jilbab) untuk tujuan yang secara eksplisit dilarang dalam Islam. Komunitas Muslim bergerak secara kolektif dan mengajukan petisi yang ditandatangani oleh ribuan orang, mulai dari siswa sekolah menengah hingga pemimpin organisasi Muslim, menuntut agar universitas menurunkan poster tersebut. Seorang mahasiswa Muslim menulis surat kepada pihak universitas, “Memalukan![…] Anda telah menghina agama saya.”
Tidak lama setelah itu, LGBTQ Nation menerbitkan sebuah artikel berjudul “Universitas Mencabut Gambar Wanita Berhijab yang Berciuman Setelah Protes dari Komunitas Muslim.”3 Pihak universitas pada awalnya menolak petisi tersebut, mengaku bahwa topik tersebut “kompleks dan lintas sektoral” dan bersikeras bahwa poster tersebut akan tetap dipertahankan. Artikel LGBTQ Nation diakhiri dengan pernyataan berikut: “Budaya Muslim pada dasarnya tidak anti-gay: Al-Qur’an tidak mengatakan apa-apa tentang homoseksualitas (tidak seperti Alkitab); sejarah Islam dipenuhi dengan teks-teks yang secara terbuka menggambarkan homoseksualitas sebagai sesuatu yang indah dan nyata; dan lebih banyak Muslim Amerika yang mendukung pernikahan sesama jenis dibandingkan dengan Kristen Evangelis, Protestan, dan Mormon, berdasarkan sebuah Studi Penelitian Pew. “4 Pembingkaian artikel tersebut secara keseluruhan, mulai dari judul hingga paragraf terakhirnya, menggambarkan umat Islam yang menolak poster tersebut sebagai “homofobia” yang tidak perlu: mereka memprotes sesuatu yang indah yang seharusnya tidak dikutuk oleh kitab suci agama mereka sendiri dan menurut sejarahnya telah dirayakan oleh umat Islam selama berabad-abad.
Namun, pada akhirnya, pihak universitas menuruti tuntutan komunitas Muslim dan menurunkan poster tersebut. Ada pelajaran yang menggembirakan di sini. Komunitas Muslim, dimulai dari para mahasiswa muda yang memiliki kecerdasan dan kesadaran untuk menguraikan subversi ajaran Islam dan keberanian untuk bersuara menentangnya serta organisasi-organisasi Muslim yang membantu mereka, harus diberi ucapan selamat. Bahkan dalam melawan agenda agresif para elit budaya, politik, dan kapitalis, komunitas Muslim mencetak kemenangan kecil namun signifikan untuk sesuatu yang mereka yakini, mendukung kebenaran dan akal sehat.
Sebagaimana diuraikan di bawah ini, larangan Islam terhadap tindakan homoseksual bersifat kategoris, dan ajaran-ajarannya tentang hubungan gender dan norma-norma seksual bersifat usuli dan tidak dapat dipisahkan dari kepercayaan kepada Allah dan wahyu-Nya. Tidak ada ruang dalam Islam menuju arah baru di mana budaya liberal tampaknya telah menyeret Barat dan melalui komplotan ideologisnya memaksa dunia secara keseluruhan untuk ikut. Ini adalah budaya yang menyangkal norma-norma alamiah dan yang ditetapkan secara ilahi tentang korelasi antara pria dan wanita, menghapus perbedaan seksual demi androgini yang utopis, ideologis, anti-agama, dan anti-ilmiah. Seseorang harus menolak panduan Islam dari akar dan cabangnya untuk memasukkan egalitarianisme gender yang radikal ini. Agenda ini membutuhkan dan telah memobilisasi rekayasa sosial yang selektif di dalam negeri, serta perang neokolonial dan propaganda anti-agama di dunia Muslim pada khususnya, dan di belahan Dunia Selatan pada umumnya. Oleh karena itu, umat Islam harus membangun dan menyokong paradigma Islam tentang gender dan seksualitas untuk melawan penyimpangan modern dan postmodern, sementara juga membantu umat Islam yang mengakui ajaran Islam, namun sedang berjuang dengan ketertarikan terhadap sesama jenis dan/atau disforia gender, dalam perjuangan mereka untuk menjalani hidup yang berbudi luhur yang sesuai dengan kehendak Allah dan ajaran Islam.
Kita tidak dapat mengeksplorasi paradigma Islam tentang moralitas seksual tanpa terlebih dahulu memahami dari mana moralitas itu sendiri berasal. Pandangan dunia yang teosentris, seperti pandangan Islam, menjadikan Allah sebagai sumber utama moralitas. Tujuan utama dari keberadaan kita adalah untuk menegakkan perintah Tuhan dengan sebaik-baiknya: “Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan untuk menyembah-Ku. “5 Kami berpendapat bahwa Allah dan Rasul-Nya adalah penentu mana yang benar dan mana yang salah, mana yang diperbolehkan dan mana yang dilarang. Allah menyatakan dalam Al-Qur’an, “Tidaklah patut bagi seorang mukmin, laki-laki atau perempuan, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sungguhlah ia telah sesat, sesat yang nyata. “6 Moralitas Islam tidaklah sewenang-wenang; meskipun perintah ilahi merupakan inti dari tradisi kita yang kaya, umat Islam telah lama terlibat dalam refleksi rasional atas kebijaksanaan ciptaan ilahi dan firman ilahi selama berabad-abad, yang kemudian menghasilkan sebuah wacana yang komprehensif mengenai konsekuensi dari perbuatan bagi individu dan masyarakat, dan memasukkannya ke dalam tradisi fikih.
Poster “keragaman cinta”, yang dibahas di atas, mengingatkan kita bahwa selama beberapa dekade terakhir, perspektif dan klaim gerakan LGBT tidak hanya ditoleransi, tetapi juga diperjuangkan. Mereka kini telah menyebar luas, ada di mana-mana, dan tak terbendung. Dalam satu generasi, ide dan perilaku LGBT telah berubah dari yang tadinya tabu menjadi arus utama. Pertanyaan-pertanyaan yang perlu kita ajukan adalah:
- Bagaimana kita bisa sampai di sini dan mengapa kita harus peduli?
- Bagaimana kita dapat membangun kerangka konseptual tentang gender, seks, dan moralitas berdasarkan sumber-sumber Islam?
Mengingat perubahan arah angin budaya yang luar biasa, tidak cukup lagi bagi umat Islam-dan umat lain yang tidak menyetujui hubungan sesama jenis hanya dengan mengatakan bahwa mereka tidak menyetujui perilaku homoseksual dengan cara yang sama seperti mereka tidak menyetujui minum-minuman keras atau hubungan seks pranikah antara laki-laki dan perempuan. Wacana tentang homoseksualitas telah bergeser begitu cepat dan radikal sehingga pertahanan dan sikap Muslim yang lama (“Itu bukan masalah kami,” “Apa bedanya perzinahan dengan minum-minuman keras?”, atau “Biarkan saja ia berlalu”) menjadi tidak efektif dan kami dihadapkan pada tantangan yang berat. Kebanyakan Muslim yang bermaksud baik dan tulus berada dalam kondisi merasa puas diri atau tidak berdaya, atau bahkan keduanya. Mereka gagal untuk menyadari bahwa tidak seperti tindakan haram dalam meminum alkohol dan hubungan seks (heteroseksual) yang tidak sah, penegasan hubungan sesama jenis dan transgender disajikan sebagai tujuan moral yang positif, yang didukung oleh asumsi-asumsi metafisik yang diperdebatkan, antara lain, tentang diri manusia, tempat seks dan seksualitas dalam identitas manusia, dan keseimbangan yang tepat antara individu dan masyarakat. Ini adalah wacana yang menarik bagi gagasan universal tentang martabat manusia, keadilan, rasa hormat, dan otonomi. Hanya dengan terlibat dalam isu-isu ini secara komprehensif, kita dapat memahami dan menjawab tantangan ini dengan baik.
Sepanjang abad yang lalu, begitu banyak hal yang telah berubah jauh di dalam alam sadar kita sehingga kita harus berusaha keras untuk memahami bahwa kita, sebagai Muslim di Barat kontemporer, berhadapan dengan dua paradigma konseptual yang sangat berbeda. Pertimbangkan kejadian yang sering terjadi di mana seorang pemuda Muslim Barat berkata kepada seorang pemuka agama Islam, “Saya rasa saya seorang gay. Apa yang Islam katakan tentang hal itu?” Syekh mungkin akan menjawab, “Itu haram (dilarang)!” Akan tetapi, anak muda dalam skenario ini bertanya tentang identitas individu dan politik yang berada dalam sebuah “paradigma tanpa kebenaran” atau metafisika – sebuah paradigma yang memandang perasaan seksual sebagai sesuatu yang mendekati kebenaran yang tidak dapat dibantah. Bagi kaum muda Muslim Amerika yang masih kuliah, yang umumnya memperjuangkan pandangan liberal atas nama keadilan dan cinta, mengatakan bahwa “menjadi gay” itu haram, sama saja dengan mengatakan bahwa menjadi orang Arab atau Asia Selatan itu haram. Ada miskomunikasi di antara keduanya karena masing-masing beroperasi dari paradigma yang berbeda. Di satu sisi, kita memiliki pandangan dunia Islam yang berkaitan dengan moralitas – khususnya gender dan seksualitas – dan, di sisi lain, kita memiliki pandangan dunia sekuler modern/postmodern. Keduanya berangkat dari asumsi yang sangat berlawanan.
Artikel ini bertujuan untuk membedakan kedua pandangan dunia tersebut sebelum mengeksplorasi secara lebih spesifik paradigma Islam tentang gender, seks, dan moralitas seksual. Kemudian membahas homoseksualitas dan transgender dari dua sudut pandang: dari pertimbangan moral dan hukum Islam (syar’i), diikuti dengan diskusi tentang bagaimana membantu umat Islam yang berjuang dengan ketertarikan sesama jenis. Dengan demikian, kami berharap dapat mengilustrasikan dengan lebih baik urgensi untuk menantang wacana kontemporer seputar seks, gender, dan seksualitas serta membekali diri kita dengan kerangka kerja konseptual yang tepat untuk membantu umat Islam yang berjuang dengan masalah ini. Kami juga memberikan kesimpulan dengan sumber-sumber tambahan tentang masalah ini yang mungkin dapat membantu dalam memberikan arahan lebih lanjut.
Berkembangnya Gerakan LGBT
Selama satu dekade terakhir, telah terjadi pertumbuhan yang signifikan dalam literatur LGBT yang ditujukan kepada kaum muda pada khususnya. The Lumberjanes, misalnya, adalah seri buku komik populer yang terdiri dari tujuh puluh lima edisi. Tokoh utamanya adalah seorang wanita trans Navajo (yaitu pria biologis yang telah bertransisi menjadi wanita) dengan dua orang ayah yang juga gay.
Pada tahun 2010, ada sekitar sepuluh buku yang diterbitkan oleh penerbit arus utama untuk orang dewasa muda dengan karakter LGBT.7 Pada tahun 2016, hanya dalam waktu enam tahun, jumlah tersebut telah meningkat menjadi delapan puluh buku. Kami juga melihat adanya penerbitan “Daftar Buku Pelangi” tahunan yang memberikan informasi terbaru mengenai buku-buku bertema LGBT untuk anak-anak dari segala usia-dari bayi hingga anak berusia 18 tahun. Perpustakaan umum dan sekolah dasar di seluruh Amerika Serikat bahkan menyelenggarakan “jam cerita drag queen,” di mana para pria yang mengenakan wig dan riasan flamboyan membacakan cerita untuk anak-anak dan, dalam prosesnya, menanamkan karikatur yang sangat berbau seksual di benak anak-anak.
Pergeseran representasi yang sama juga terjadi dalam film. Gay and Lesbian Alliance Against Defamation (GLAAD) menemukan bahwa dari 118 film studio besar yang dirilis pada tahun 2019, dua puluh dua (18,6%) di antaranya berisi karakter yang diidentifikasi sebagai LGBT. Selain itu, lebih dari 250 karakter LGBT dihitung terdapat dalam kartun anak-anak sejak tahun 1983. Melihat data dari tahun 2010 hingga 2020 — terutama dalam lima tahun terakhir periode ini — representasi karakter yang sangat aneh meroket.8 Peningkatan ini berkorelasi dengan keputusan Mahkamah Agung Amerika Serikat (AS) dalam kasus Obergefell vs. Hodges pada tahun 2015 yang melegalkan pernikahan gay. Pada tahun-tahun setelah legalisasi pernikahan gay, Sesame Street, SpongeBob, dan kartun-kartun lainnya juga menampilkan karakter-karakter yang secara terbuka mengidentifikasikan diri sebagai LGBT.
Narasi LGBT juga telah merasuk ke tingkat institusional dengan beberapa negara bagian, termasuk California, Colorado, Illinois, New Jersey, Oregon, Rhode Island, dan Washington, yang mewajibkan pendidikan LGBT di berbagai sekolah umum, beberapa di antaranya sejak sekolah dasar. Negara-negara bagian lain telah meluncurkan standar kurikulum “inklusif” namun belum menandatangani undang-undang di tingkat negara bagian. Di Kanada, program-program seperti Sexual Orientation Gender Identity (SOGI 1 2 3),9 yang menggunakan anak-anak Muslim sebagai simbol dalam materi promosinya,10 dikhususkan untuk memajukan pendidikan yang berhubungan dengan LGBT di sekolah-sekolah.
Salah satu cara yang populer untuk mengajarkan keluwesan gender dan identitas seksual kepada para siswa adalah dengan menggunakan “Genderbread Person.”11 Diagram ini menggunakan figur seperti manusia roti jahe dengan otak berwarna-warni sebagai alat bantu untuk menjelaskan gender dan orientasi. Diagram ini menegaskan bahwa identitas gender tidak bersifat biner seperti yang diyakini secara tradisional, melainkan bersifat cair dan berdasarkan persepsi diri seseorang. Hati merah di dada orang yang memiliki gender ganda melambangkan ketertarikan, mengkomunikasikan keyakinan bahwa ketertarikan seksual dapat berupa apa pun yang dirasakan oleh hati seseorang, terlepas dari jenis kelamin biologisnya. Diagram tersebut menyatakan:
Gender adalah salah satu hal yang semua orang pikir mereka pahami, tetapi kebanyakan orang tidak. Seperti kelahiran. Gender tidak bersifat biner. Bukan pula salah satu dari keduanya. Dalam banyak kasus, gender adalah keduanya. Sedikit dari sini, sedikit dari situ. Panduan kecil yang menarik ini dimaksudkan untuk pemahaman gender. Tidak apa-apa jika Anda ingin tahu lebih banyak. Bahkan, itulah idenya.12
Diagram ini juga mendefinisikan istilah “identitas gender,” “ekspresi gender,” dan “jenis kelamin biologis” sebagai berikut:13
– Identitas gender: bagaimana Anda, di dalam kepala Anda, mendefinisikan gender Anda, berdasarkan seberapa banyak Anda menyelaraskan atau tidak menyelaraskan diri dengan apa yang Anda pahami sebagai pilihan-pilihan gender.
– Ekspresi gender: cara Anda mempresentasikan gender melalui tindakan, pakaian, dan sikap Anda, dan bagaimana presentasi tersebut ditafsirkan berdasarkan norma-norma gender.
– Jenis kelamin biologis: karakteristik jenis kelamin fisik yang Anda miliki sejak lahir dan berkembang, termasuk alat kelamin, bentuk tubuh, nada suara, bulu tubuh, hormon, kromosom, dll.
Yang menjadi masalah dari “genderbread person” adalah bahwa hal ini menghadirkan dua jenis kelamin alami sebagai sebuah spektrum-identitas yang berubah-ubah dan fleksibel yang dipilih seseorang berdasarkan emosi dan keinginannya, yang secara efektif menghilangkan penanda jenis kelamin biologis dari hubungan yang diperlukan atau relevansi normatif terhadap pertanyaan-pertanyaan tentang orientasi seksual, identitas gender, dan ekspresi gender.
Begitu dalam dan cepatnya perang budaya ini merasuk ke dalam pikiran kaum muda Muslim Amerika, sehingga banyak dari mereka yang semakin bersimpati pada pernyataan-pernyataan seperti “Saya merasakan hal ini di dalam diri saya; oleh karena itu, saya adalah orang yang tidak otentik kecuali saya diizinkan untuk menjalani hidup saya sesuai dengan perasaan ini. Dan jika komunitas Muslim tidak menerima orientasi seksual saya, maka mereka menolak saya dan merendahkan martabat saya sebagai manusia.” Ketika umat Islam menanggapi individu-individu seperti itu dan konsep-konsep seperti keaslian, identitas, pilihan, dan martabat, kita harus memperhatikan perubahan budaya kolosal yang diperkenalkan hampir dalam semalam ke dalam masyarakat Amerika dan akarnya yang lebih dalam di Barat modern. Pergeseran ini juga disertai dengan beberapa perlawanan politik dan budaya di Amerika Serikat. Beberapa negara bagian dan individu telah menentang pelembagaan kurikulum LGBT. Baru-baru ini, misalnya, gubernur Florida bergerak untuk melarang semua pengajaran yang berhubungan dengan LGBT yang dipimpin oleh guru di kelas-kelas negara bagian, mulai dari taman kanak-kanak hingga kelas 3.14 Akan tetapi, undang-undang ini segera mendapat tentangan. Dihadapkan pada tekanan yang meningkat dari kelompok-kelompok tertentu, perusahaan Disney yang bernilai miliaran dolar keluar dengan kekuatan penuh untuk menolak usulan ini dengan alasan bahwa hal tersebut salah dan bersifat homofobia.15 Ini merupakan contoh utama bagaimana sebuah perusahaan yang seharusnya berorientasi pada hiburan, yang dikenal memproduksi kartun dan film, dapat dipolitisasi dan diserap oleh pertanyaan-pertanyaan yang sedang hangat pada saat itu.
Dalam langkah serupa di awal tahun ini, sebuah iklan Burger King di Austria dengan bangga menampilkan “Pride Whopper,” sebuah burger dengan roti bagian atas dan bawah yang serasi – sebuah referensi yang tidak terlalu apik untuk hubungan seksual homoseksual di mana satu pasangan memainkan peran atas dan yang lainnya memainkan peran bawah.16 Perusahaan tersebut dengan cepat meminta maaf setelah menghadapi reaksi keras atas kampanye pemasaran yang “tuli nada.” Ironisnya, kritik tersebut tidak ditujukan pada representasi seksual yang vulgar dalam perusahaan makanan cepat saji yang telah berusia puluhan tahun ini, tetapi pada kegagalan perusahaan tersebut untuk memahami “bagaimana seks gay bekerja” dan tuduhan “pencucian pelangi” selama Bulan Pride. Sebagai tanggapan, Burger King Austria mengeluarkan permintaan maaf dan berjanji untuk berkomunikasi dengan baik dengan para ahli dari komunitas LBGTQ untuk kampanye-kampanye di masa depan, karena “cinta yang setara dan hak yang setara” tetap menjadi prioritas mereka.
Di luar keberadaan narasi LGBT di Barat, negara-negara Muslim berada di bawah tekanan yang semakin besar untuk juga menjadi “mengukuhkan LGBT.” Sebagai contoh, awal tahun ini, pada bulan Juni, kedutaan besar AS di Kuwait men-tweet untuk mendukung Bulan Pride:
Semua manusia harus diperlakukan dengan hormat dan bermartabat dan harus dapat hidup tanpa rasa takut, tidak peduli siapa mereka atau siapa yang mereka cintai. @POTUS [presiden Amerika Serikat] adalah pejuang hak asasi manusia bagi orang-orang #LGBTQI. #Kebanggaan2022 #AndaTermasuk.
Kedutaan besar AS di negara-negara Muslim lainnya juga melakukan hal yang sama. Oleh karena itu, penting untuk diingat bahwa gerakan LGBT tidak hanya berusaha membentuk kembali masyarakat secara radikal di tingkat domestik, tetapi juga berada di garda depan proyek neo-kolonial dalam skala internasional.
Tentu saja, sebagai Muslim, kita setuju bahwa semua manusia harus diperlakukan dengan hormat dan bermartabat. Kita belajar dari sunnah Nabi Muhammad ﷺ yang kita cintai bahwa kita harus, “memberikan segala sesuatu sesuai dengan haknya.”17 Oleh karena itu, sebagai Muslim, kita percaya untuk memberikan hak-hak yang semestinya kepada semua orang. Keadilan adalah inti dari Islam. Namun demikian, kami tidak setuju dengan apa yang dimaksud dengan rasa hormat dan martabat dalam kasus-kasus tertentu. Dalam konteks ini, istilah-istilah ini digunakan dengan definisi yang sangat spesifik untuk menyiratkan bahwa jika seseorang tidak sepenuhnya mendukung perilaku, hubungan, dan struktur keluarga homoseksual, maka ia tidak menghargai martabat orang lain-sebuah tuduhan moral yang serius. Terminologi yang sarat muatan ini kemudian digunakan sebagai alat untuk demonisasi sosial dan politik.
Di sinilah letak tantangan utamanya: wacana LGBT saat ini, seperti yang telah disebutkan di atas, disajikan sebagai wacana moral. Kita diberi keyakinan bahwa pertanyaan seputar hasrat dan perilaku seksual, struktur keluarga, dan sebagainya pada dasarnya adalah pertanyaan seputar kesetaraan, martabat, dan hak asasi manusia, dan bahwa setiap penentangan terhadap tujuan gerakan LGBT yang terorganisir merupakan penentangan terhadap ketiga nilai tersebut. Namun, wacana LGBT kontemporer telah mendefinisikan kesetaraan, keadilan, hak asasi manusia, dan kasih sayang dengan cara-cara yang secara radikal mengubah maknanya. Untuk memahami bagaimana pergeseran pemahaman ini terjadi, kita harus melihat kembali ke beberapa dekade terakhir dalam sejarah budaya Barat.
Menelusuri akarnya: Revolusi seksual
Revolusi seksual di Barat, yang dimulai pada akhir tahun 1960-an, dapat dianggap sebagai penyebab utama dari keberadaan kita saat ini. Revolusi seksual merupakan penolakan mendasar terhadap norma-norma agama dan moral Kristen seputar gender, seks, dan seksualitas. Sebelum tahun 60-an, seks pranikah dan tindakan homoseksual merupakan hal yang tabu, dan jarang sekali ditemukan pasangan yang belum menikah tinggal bersama.18 Orang-orang pada umumnya enggan membahas seks baik di tempat umum maupun pribadi. Sebagai contoh, sinetron mengganti kata “hamil” dengan eufemisme seperti “dia sedang mengandung” atau “mengandung” karena kata “hamil” dianggap terlalu vulgar. Jika sebuah film memiliki adegan dengan wanita bertelanjang dada selama beberapa detik saja, film tersebut akan diberi rating R. Pemasaran dan penjualan pornografi dan novel erotis yang cabul juga dilarang oleh hukum di seluruh dunia Barat pada masa itu.
Norma-norma seksual ini lahir dari pemahaman budaya bahwa seks adalah tindakan reproduksi yang hanya boleh dilakukan dalam konteks pernikahan. Ini bukan berarti bahwa seks tidak juga untuk mendapatkan kesenangan atau untuk memupuk keintiman dan cinta di antara pasangan. Namun secara tradisional, sebelum munculnya pil KB pertama yang disetujui FDA pada tahun 1960, tidak ada bentuk kontrasepsi yang seefektif sekarang ini. Jika pasangan melakukan hubungan seksual, mereka selalu menghadapi risiko yang cukup besar untuk mengalami konsekuensi alami dari tindakan itu: kehamilan. Dalam iklim seperti itu, tidak bijaksana bagi masyarakat mana pun untuk mengizinkan hubungan seks di luar nikah yang tidak diatur. Anak-anak akan dilahirkan tanpa mengetahui identitas ayah mereka, tanpa garis keturunan yang dapat dilacak, dan tanpa mengetahui kepada siapa mereka harus mencari perlindungan. Para ibu akan dibiarkan merawat anak-anak ini sendirian tanpa ada yang menafkahi mereka.
Hubungan seks di luar nikah, sebagai fenomena budaya yang merajalela, secara langsung merusak struktur masyarakat dan stabilitas unit keluarga. Keluarga telah menjadi institusi inti dalam semua masyarakat, secara historis dan antropologis, bahkan di Barat modern. Karena seks dan reproduksi terikat erat satu sama lain, kewajiban moral mengharuskan hubungan seks antara dua orang dibatasi pada mereka yang sah satu sama lain. Hal ini memastikan bahwa seorang anak yang memasuki dunia memiliki seorang ayah yang menafkahinya dan seorang ibu yang merawatnya, bahwa ia diterima dalam keadaan yang stabil dan kondusif bagi pertumbuhannya, bahwa ia memiliki garis keturunan dan hubungan keluarga yang dikenal, bersama dengan semua hak, kewajiban, dan perlindungan yang mengalir dari hubungan manusia yang mendasar. Mengandung seorang anak bukanlah hal yang mudah. Oleh karena itu, secara alamiah dianggap tidak bermoral dan merugikan untuk mengganggu hak seorang anak untuk memasuki dunia dengan adanya langkah-langkah keamanan ini.20 Seks terlarang (yaitu percabulan, atau hubungan seks di luar nikah) diakui sebagai ancaman langsung terhadap tatanan sosial karena hal itu dipahami dapat merusak unit keluarga dan, terutama, membahayakan kesejahteraan ibu dan anak.
Demikian pula, hingga tahun 1930-an, semua denominasi Kristen utama-Katolik, Ortodoks, dan Protestan-menentang kontrasepsi buatan karena mereka menganggap tidak wajar untuk memisahkan tindakan seks dari konsekuensi alamiahnya (yaitu, kemungkinan inseminasi, kehamilan, dan reproduksi).21 Oleh karena itu, merupakan hal yang biasa untuk menemukan kontrasepsi ilegal di Amerika Serikat dan banyak negara Eropa. Hingga tahun 1965, misalnya, alat kontrasepsi ilegal di negara bagian Connecticut. Patut dicatat di sini bahwa hukum Islam memiliki sikap yang lebih terukur terhadap isu-isu ini dan menawarkan keleluasaan yang lebih besar dalam penggunaan kontrasepsi dibandingkan dengan agama Kristen.22
Pil KB
Pertama kali dipasarkan beberapa tahun sebelum terjadinya revolusi seksual, pil KB menjadi katalisatornya.23 Sebagai bentuk kontrasepsi yang lebih efektif, pil KB memungkinkan orang untuk menceraikan hubungan seks dari reproduksi. Norma moral yang tadinya mengikat kedua variabel ini menjadi semakin tidak relevan. Namun, kemunculan pil KB dan pemisahan antara seks, reproduksi, dan keluarga hanyalah dua dari sekian banyak faktor yang mendorong perubahan sosial yang sangat besar ini.
Dalam sebuah masyarakat yang ber-Tuhan dan menghargai pengabdian pada kebenaran yang lebih tinggi, prevalensi kontrasepsi dan faktor-faktor lain mungkin tidak akan sedahsyat yang terjadi di negara-negara Barat pada abad pertengahan. Apa yang terbukti menentukan pada saat ini adalah bahwa masyarakat Barat telah lama memilih jalan sekuler, yang berpusat pada maksimalisasi kebahagiaan individu yang dirasakan. Sebaliknya, masyarakat mayoritas Muslim tetap teosentris dan telah menolak dekadensi seksual bahkan setelah diperkenalkannya Pil KB, meskipun imperialisme Barat yang agresif dan kelemahan internal telah membuat mereka semakin terancam dan rentan terhadap tren yang sama.24 Sebuah pandangan dunia religius yang secara rasional masuk akal dan menarik, Islam mengarahkan manusia kepada Tuhan. Dengan berpaling dari agama dan Tuhan, masyarakat Barat tidak menemukan alasan untuk terus menyatukan seks, reproduksi, pernikahan, dan moralitas. Pada tahun 1960-an, keempat hal tersebut pada dasarnya telah dipisahkan, dan masing-masing dilihat sebagai variabel yang mengambang bebas, untuk didefinisikan dan dipraktekkan sesuai dengan keinginan individu. Dengan demikian, revolusi seksual membawa penolakan besar-besaran terhadap norma-norma moral Kristen yang berkaitan dengan seksualitas. Pria dan wanita mulai hidup bersama sebelum menikah, sebuah pengaturan yang pernah disebut sebagai “kumpul kebo”. Kemudian, cinta dan komitmen antara dua individu menjadi satu-satunya prasyarat untuk seks yang dapat diterima secara moral dan sosial. Pada tahun 1980-an, hanya persetujuan saja yang penting. Dua orang tidak lagi harus menikah, jatuh cinta, atau bahkan berkomitmen satu sama lain agar hubungan seksual mereka dianggap sah secara moral; mereka hanya harus setuju sebelum melakukan tindakan tersebut.25 Hal ini menyebabkan runtuhnya keluarga inti, dengan dislokasi sosial yang besar (misalnya, perceraian, yatim piatu, kenakalan remaja, menjadi orang tua tunggal, kemiskinan ibu dan anak, dan sebagainya). Perempuan bersaing dengan laki-laki di dunia kerja-sebuah perkembangan baru bagi keluarga kelas menengah ke atas-dengan “anak titipan” yang kembali ke rumah kosong sepulang sekolah karena kedua orang tua mereka bekerja. Tanpa adanya landasan dalam reproduksi, pernikahan, keluarga, dan moralitas, seks hanya dipandang sebagai masalah kesenangan dan pemenuhan individu.
Namun ini hanyalah permulaan. Revolusi seksual juga melahirkan gerakan yang memerdekakan gay. Hubungan antara dua pria atau dua wanita tidak lagi dipandang sebagai sesuatu yang tidak pantas, karena seperti halnya hubungan heteroseksual, hubungan ini juga memenuhi prasyarat baru untuk seks yang dapat diterima secara moral: ketertarikan dan persetujuan bersama. Gerakan hak-hak sipil, yang dulunya secara khusus ditujukan untuk melindungi dan mempromosikan hak-hak sipil orang kulit hitam, meluas melampaui ras dan juga mencakup gender dan orientasi seksual. Dengan melakukan hal tersebut, untuk alasan yang berada di luar jangkauan kita, kelompok-kelompok berkuasa dalam budaya Barat yang menginginkan pembebasan seksual menarik kesetaraan palsu antara mereka sendiri dan para korban kekerasan rasial yang telah berlangsung lama, memposisikan diri mereka sebagai pihak yang sama-sama tertindas oleh arus utama.
Setelah revolusi seksual, banyak denominasi Kristen Protestan arus utama, serta Reformasi dan Yudaisme Konservatif, telah mengambil asumsi dasar revolusi seksual (seperti sifat pilihan seks yang dilegitimasi melalui persetujuan saja). Mereka yang masih mencoba untuk berpegang pada nilai-nilai moral agama, mendapati diri mereka terisolasi dan terasing.
Sikap seksual dalam Kristen dan Islam
Revolusi seksual di Barat mungkin sebagian merupakan reaksi ekstrem terhadap sikap “seks-negatif” yang telah mendominasi ajaran Kristen selama berabad-abad. Hidup membujang selalu dianggap sebagai panggilan yang luhur dalam agama Kristen. Maria masih perawan pada saat mengandung Yesus, meskipun ia menikah setelahnya (oleh karena itu ia disebut “Perawan Maria”). Yesus juga hidup membujang, seperti halnya semua pemimpin gereja Katolik. Santo Agustinus, yang merupakan seorang yang tidak bermoral sebelum memeluk agama Kristen pada abad keempat, sangat jijik dengan kehidupan sebelumnya yang penuh dengan kenistaan sehingga ia akhirnya memiliki pandangan yang negatif terhadap seks. Dia menyebarkan gagasan bahwa spiritualitas murni berarti menyangkal diri dari semua kesenangan duniawi. Meskipun sikap ini lebih sesuai dengan tren filsafat Yunani dan Helenistik daripada dengan kitab suci Alkitab, namun tetap saja menyebar ke seluruh wilayah Kristen. Al-Qur’an menyinggung kecenderungan ini di kalangan umat Kristen dalam ayat berikut:
Kemudian dengan mengikuti jejak (nabi-nabi) itu, Kami mengutus rasul-rasul Kami, dan (setelah mereka) Kami mengutus Isa putra Maryam, dan Kami berikan kepadanya Injil, dan Kami tanamkan dalam hati para pengikutnya rasa kasih sayang dan rahmat. Adapun mengenai monoteisme, mereka mengada-adakannya – Kami tidak pernah mensyariatkannya untuk mereka – hanya untuk mencari keridhaan Allah, tapi mereka tidak melaksanakannya dengan sungguh-sungguh. Maka Kami memberi pahala kepada orang-orang yang beriman di antara mereka. Tetapi kebanyakan dari mereka adalah orang-orang yang durhaka.26
Islam, di sisi lain, adalah jalan tengah – jalan moderasi, keseimbangan, dan akal sehat yang selaras dengan alam yang diberikan Tuhan. Allah menggambarkan Surga dalam Al-Qur’an sebagai pemenuhan yang sempurna dan abadi sambil mengatur semua jenis perilaku dalam kehidupan ini, menolak dualisme antara kesenangan fisik dan spiritual.
Dengan demikian, kenikmatan seksual pada dasarnya tidak jahat, dan juga tidak semata-mata untuk perkembangbiakan umat manusia. Sebaliknya, ketika dinikmati dengan cara-cara yang sah, hal itu adalah berkah, bahkan merupakan tanda kemurahan Tuhan atas ciptaan-Nya. Nabi Muhammad ﷺ pernah mengatakan kepada para sahabatnya bahwa mereka akan diberi pahala karena telah memenuhi hasrat mereka secara halal dengan istri-istri mereka. Bingung, mereka bertanya mengapa mereka akan diberi pahala hanya karena memuaskan hasrat mereka. Nabi ﷺ menjawab, “Tidakkah kalian melihat bahwa jika seseorang melakukannya dengan cara yang haram, dia akan menanggung beban dosa? Maka jika ia melakukannya dengan cara yang halal, ia akan mendapatkan pahala. “27 Sikap Islam yang pada dasarnya positif terhadap seks berarti para cendekiawan Muslim tidak segan-segan untuk menulis tentang etika seksual. Beberapa ulama bahkan menggambarkan momen klimaks sebagai rasa awal dari Surga karena merupakan kenikmatan fisik terbesar yang dapat dialami manusia.28 Islam mengamanatkan agar hubungan seks dilakukan dalam konteks yang tepat, dan selama kondisi tersebut terpenuhi, maka hal tersebut akan menjadi sebuah kesempatan untuk mendapatkan berkah dari Allah dan pahala di akhirat.
Pendahulu revolusi seksual
Untuk lebih memahami dan mendekonstruksi dasar-dasar dari gerakan seksual bebas di Barat saat ini, kita harus menjelajahi latar belakang revolusi seksual. Dimulai sekitar abad ketujuh belas, beberapa bagian dari masyarakat Barat mulai bergeser dari pandangan dunia yang teosentris ke pandangan dunia yang materialistis dan mekanis. Orang-orang tidak lagi melihat tangan Tuhan dalam ciptaan-Nya, dan kebutaan ini memisahkan setiap objek di alam semesta, termasuk manusia, dari tujuan dan sifat aslinya. Para ilmuwan dan data empiris saja-dengan mengesampingkan para nabi dan wahyu-menjadi pembawa kebenaran dan pengetahuan. Makna, tujuan, dan tatanan alam mulai dikesampingkan. Para pemikir Pencerahan pada abad ke-18 mendorong lebih jauh, menjadikan akal manusia sebagai standar untuk semua pengetahuan, termasuk moralitas. Pikiran manusia menjadi penengah moral utama menggantikan Tuhan. Wahyu dalam dunia Kristen sebagian besar didiskreditkan melalui kritik geologi dan sejarah terhadap Alkitab, yang otoritas budayanya semakin dirusak oleh teori evolusi Darwin pada pertengahan abad kesembilan belas. Pada dekade-dekade terakhir abad tersebut, Nietzsche mampu menyatakan bahwa (setidaknya bagi manusia Barat) “Tuhan telah mati.”
Pada abad-abad setelah ledakan epistemik ini, semakin banyak orang yang dibiarkan bergulat dengan ketidakbermaknaan yang berasal dari tujuan yang dibuat sendiri dan terputus dari Sang Pencipta. Sama seperti keberadaan kita yang ditanggalkan dari tujuan yang lebih tinggi, demikian juga tubuh kita. Tubuh laki-laki dan perempuan tidak lagi diberkahi dengan saling melengkapi secara alamiah yang jika dilanggar akan dianggap sebagai pelanggaran moral; tubuh menjadi “barang” material, tidak terikat pada hukum alam dan supranatural yang dapat dilanggar tanpa konsekuensi.
Pendahulu revolusi seksual lainnya adalah kebangkitan liberalisme pada abad ke-18 dan ke-19, yang pada akhirnya menempatkan kebebasan individu dan otonomi pribadi di atas hal-hal seperti komunitas dan keluarga. Kebebasan sebagai sebuah nilai dihargai secara luas: kebebasan politik dari tirani, kebebasan dari penindasan, dan sebagainya. Namun, liberalisme modern telah masuk ke dalam pemujaan dan dengan hal tersebut, menempatkannya di atas semua nilai lain, dan bahkan lebih mulia, dan dalam prosesnya memperbudak manusia dengan cara yang lebih buruk daripada sekadar batasan fisik dan konvensional. Manusia modern terlahir ke dunia ini dengan tuntutan kebebasan penuh dari semua batasan eksternal, baik itu batasan moral, agama, budaya, keluarga, atau batasan-batasan lainnya. Setiap batasan dianggap sebagai penghalang baru yang harus dipatahkan, batas lain yang harus dilanggar dalam perjalanan menuju aktualisasi diri. Memahami mentalitas ini sangatlah penting karena hal ini mendasari sebagian besar wacana seputar gender dan seksualitas di Barat.
Akar dari segala kejahatan terletak pada berpaling dari Allah.29 Dengan Allah tidak lagi menjadi pusat pengabdian manusia, diri sendiri menjadi satu-satunya hal yang paling berharga. Dengan kata lain, manusia sendiri menjadi dituhankan. Sebuah panduan yang sangat membantu dalam menelusuri transformasi-transformasi ini di Barat adalah sebuah buku yang ditulis oleh teolog Kristen Carl R. Trueman yang berjudul Kebangkitan dan Kemenangan Diri Modern: Amnesia Budaya, Individualisme Ekspresif, dan Jalan Menuju Revolusi Seksual. Di dalamnya, Trueman menelusuri akar dari gagasan modern tentang diri yang melambung tinggi ini ke filsuf Swiss abad ke-18 yang terkenal, Jean-Jacques Rousseau (1712-1778), yang menempatkan identitas inti manusia dalam kehidupan psikologis dalam diri individu, yang menyatakan bahwa perasaan adalah pusat dari siapa kita dan bahwa keaslian seseorang terkait dengan ekspresi luar dari perasaan batinnya. Tulisan Rousseau tentang jati diri adalah apa yang disebut Trueman sebagai awal dari “psikologisasi ” 30 manusia: Siapa saya bukan lagi peran yang saya mainkan dalam masyarakat (ayah, istri, anggota serikat pekerja, dll.); melainkan perasaan batin saya. Dan menjadi otentik berarti mengekspresikan secara bebas dan terbuka kedalaman dan keluasan perasaan batin saya. Perbedaan apapun antara perasaan batin saya dan ekspresi lahiriah saya, adalah kurangnya realisasi diri. Hal ini menggambarkan dengan baik karakter wacana LGBT kontemporer, seperti yang akan dijelaskan nanti.
Tokoh-tokoh kunci lainnya dalam penolakan terhadap adat istiadat seksual saat ini adalah Karl Marx (1818-1883), Friedrich Nietzsche (1844-1900), dan Sigmund Freud (1856-1939). Marx mendasarkan pencariannya yang penuh semangat akan keadilan dalam sejarah materialis daripada Tuhan. Nietzsche mencerca semua moralitas konvensional, mengekspos pretensi Pencerahan tentang akal sehat namun menggantinya dengan pencarian manusia akan kekuasaan dan pernyataan diri sebagai kebaikan tertinggi.31 Freud juga menolak agama dan berpendapat bahwa memuaskan dorongan seksual merupakan dasar dari kepribadian dan kebahagiaan manusia, tetapi kemungkinan peradaban tetap membutuhkan penahanan dorongan ini. Menurut Freud, bahkan bayi pun adalah makhluk seksual. Meskipun sebagian besar pemikiran Freud telah dibantah selama beberapa dekade, ide-idenya masih menginformasikan jiwa budaya kita. Murid-murid dari tokoh-tokoh ini mendorong batas-batasnya lebih jauh. Wilhelm Reich (1897-1957) dan Herbert Marcuse (1898-1979) menyerukan pembebasan seksual yang radikal pada tahun 1930-an dan seterusnya. Pada saat itu, banyak orang yang percaya bahwa gagasan moral pada dasarnya adalah masalah selera. Dengan kata lain, kepekaan individu dan respons emosional seseorang adalah penentu utama dari apa yang benar dan salah.32
Ketika menelusuri epistemologi paradigma sekuler Barat tentang moralitas seksual, kita harus ingat bahwa tokoh-tokoh penentu ideologi Barat saat ini hampir semuanya adalah seorang ateis yang gigih. Ateisme mereka memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap ide-ide mereka tentang moralitas seksual dan nilai-nilai sekuler secara lebih luas, dan membantu menjelaskan perlawanan masa kini terhadap Tuhan, agama, dan alam. Tanpa Tuhan yang memberikan stabilitas obyektif pada kosmos, sifat manusia menjadi tidak terikat dengan sumber teleologi dan definisinya.
Sebagai Muslim, kami ingin menegaskan adanya hal yang gaib dan wahyu, yang mana hal tersebut menginformasikan bahwa musuh terbesar kita, setan dan sejenisnya, sedang berusaha untuk menyelewengkan gagasan kita tentang kebaikan dan kejahatan sehingga kita lebih memilih penilaian diri kita daripada penilaian Tuhan. Kami menolak psikologisasi sekuler Eropa tentang diri dan gagasan otonomi radikal yang menyertainya, karena gagasan-gagasan ini pada dasarnya tidak Islami. Allah menyatakan dalam surah Al-Hasyr: “Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri.”33 Sejarah Barat modern penuh dengan orang-orang yang telah melupakan Allah dan kemudian melupakan diri mereka sendiri. Setelah kehilangan Tuhan, mereka tidak memiliki apa-apa selain keinginan mereka untuk beribadah: “Pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya?”34 Menggantikan tuntunan yang diwahyukan dengan kepekaan pribadi dan penilaian emosional sebagai penentu moralitas mengubah diri manusia yang lebih rendah (nafs) menjadi mainan Setan. Hal ini mengubah keburukan menjadi kebajikan dan kejahatan menjadi kebaikan, seperti “orang-orang yang perbuatan jahatnya dibuat memikat mereka sehingga mereka mengira bahwa perbuatan itu baik. “35
Homoseksualitas setelah revolusi seksual
Inti dari wacana LGBT adalah pembentukan identitas seputar hasrat seksual. Jika kita memahami landasan historis dan budaya yang telah disebutkan di atas, kita dapat melihat betapa gerakan ini secara fundamental bermasalah bagi umat Islam.
Langkah penting lainnya dalam kenakalan seksual modern adalah menolak jiwa yang diilhami ilahi sebagai esensi manusia, seperti yang terjadi pada umat Islam dan juga umat Kristen, Yahudi, dan yang lainnya, dan menggantinya dengan identitas seksual. Seperti yang diamati oleh Carl Trueman, “Sulit untuk melebih-lebihkan pentingnya langkah untuk menjadikan hasrat seksual sebagai pusat dari identitas manusia. Dalam masyarakat modern, segala sesuatu mulai dari penggunaan istilah-istilah seperti ‘straight’ dan ‘gay’ dalam percakapan sehari-hari hingga asumsi-asumsi yang mendasari hukum hak asasi manusia internasional mengandaikan hal tersebut. Dan gagasan bahwa perkembangan manusia secara virtual identik dengan pemenuhan seksual adalah hal yang lumrah – bahkan hampir menjadi intuisi – dalam budaya Barat modern.”36
Seperti semua agama, kepercayaan agama libertarianisme seksual ini menuntut ekspresi politik. Oleh karena itu, Trueman mengatakan: “Jika kita pada dasarnya didefinisikan sebagian besar oleh hasrat seksual kita-jika hasrat seksual (atau ‘orientasi’, seperti yang sekarang kita katakan) adalah siapa kita-maka seks haruslah politis karena peraturan yang mengatur perilaku seksual adalah peraturan yang mengatur apa yang dianggap sah oleh masyarakat sebagai identitas.”37 Hal ini memiliki konsekuensi lebih lanjut: “Pepatah lama ‘cintai yang berdosa, benci yang berdosa’ sama sekali tidak berlaku,” tulis Trueman, “di dunia di mana dosa adalah identitas si pendosa dan keduanya tidak dapat dipisahkan bahkan pada tingkat konseptual.”38
Menjadi “otentik” bukanlah sesuatu yang secara inheren tidak dapat diterima, tetapi diri kita yang sejati adalah yang menginginkan kebenaran tertinggi dari Tuhan, bukan yang diberikan kepada pelanggaran, nafsu, prasangka, dan bisikan setan. Sebagai Muslim, kami menegaskan bahwa manusia harus dilihat secara holistik dalam pikiran, tubuh, dan jiwa. Setiap diri itu unik dan berharga, tetapi memelihara diri adalah pilihan moral, dan tugas kita adalah memelihara potensi kita, melatih tubuh kita, dan membentuk keinginan kita sesuai dengan tuntunan Tuhan yang diwahyukan, yang merupakan cerminan dari sifat alamiah manusia yang paling dalam. Ekspresi tertinggi dari ketundukan dalam Islam adalah sujud: merendahkan diri ke tanah sambil mengucapkan subḥāna rabbī al-a’ālā, “Maha Suci Tuhanku Yang Maha Tinggi.” Ketika berada dalam posisi ini, kita menyadari teleologi kita dan mewujudkan diri kita yang paling hakiki, yaitu sebagai ciptaan Allah yang merendahkan diri di hadapan Pencipta kita. Hal ini seperti yang Allah nyatakan dalam Al-Qur’an,”Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia kecuali untuk menyembah-Ku.” Maka, menyembah Allah adalah kebaikan manusia yang paling hakiki.39
After the Ball: Rencana untuk mengubah moralitas seksual Amerika
Sayangnya, Muslim Barat yang mengulang-ulang poin-poin pembicaraan LGBT tidak menyadari bahwa sebagian besar kepekaan moral mereka telah dibentuk oleh orang-orang yang memiliki agenda yang disengaja untuk menghancurkan adat istiadat agama. Pada tahun 1989, ahli neuropsikologi Marshall Kirk dan eksekutif pemasaran dan periklanan sosial Hunter Madsen bersama-sama menulis buku After the Ball: How America Will Conquer Its Fear and Hatred of Gays in the 90s. Kedua penulis lulusan Harvard ini mengaku sebagai gay, dan buku mereka menjadi manifesto untuk menormalkan homoseksualitas di masyarakat Barat. Sejak diterbitkan, rencana buku tersebut telah dilaksanakan dengan baik oleh anggota gerakan LGBT. Para penulisnya dengan berani menyatakan di awal buku ini: “Kampanye yang kami uraikan dalam buku ini, meskipun rumit, bergantung secara terpusat pada program propaganda yang tidak malu-malu, yang berpijak pada prinsip-prinsip psikologi dan periklanan yang sudah lama ada.”40 Kirk dan Madsen dalam kampanye mereka menggunakan prinsip-prinsip yang membuat orang lain tidak sadar akan propaganda tersebut. Mereka berusaha membangun naluri primitif masyarakat, di mana “banjir iklan terkait gay, yang disajikan dengan cara yang paling tidak menyinggung,” akan menyelesaikan pekerjaan. “Jika kaum heteroseksual tidak bisa menghentikan aliran deras,” sindir para penulis, “setidaknya mereka akan terkena basahnya.” Mengenai gagasan mereka tentang “pertobatan”, para penulis menulis, “Yang kami maksudkan adalah pertobatan emosi, pikiran, dan kehendak rata-rata orang Amerika melalui serangan psikologis terencana dalam bentuk propaganda yang disebarkan ke seluruh negeri melalui media.”41 Sebagai Muslim, sangat penting bagi kita untuk menyadari dan berdiri teguh melawan upaya-upaya yang telah diperhitungkan untuk membuat kita tidak peka lagi terhadap batas-batas yang telah ditentukan oleh Allah.
Wacana moral kontemporer
Tak perlu dikatakan lagi bahwa sangat berbeda dengan Islam, di Barat perintah ilahi praktis tidak memiliki relevansi apapun dengan wacana moral kontemporer. Menundukkan kemahatahuan Ilahi kepada keinginan temporal dan temperamental masyarakat modern pasti akan membawa kehancuran, dan dampaknya baru saja mulai terlihat. Allah berfirman dalam Al Qur’an bahwa “Boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui” (2:216). Ketika agama menjadi tidak relevan dengan perilaku seksual dan kehidupan pada umumnya, orang merasa terdorong untuk membentuk kerangka moral mereka sendiri yang sangat pribadi dan subyektif mengenai seksualitas. Emosi, selera pribadi, kepekaan, atau bahkan hasrat yang menyimpang memandu gagasan mereka tentang perilaku seksual yang dapat diterima. Lebih jauh lagi, wacana moral dan etika kontemporer menggantikan konsep-konsep utama agama dengan gagasan ersatz (yaitu, pengganti) seperti:
– Kebebasan: Dalam budaya populer, hal ini dipahami sebagai penghapusan hambatan eksternal secara radikal untuk mencapai kebahagiaan maksimal. Dalam Islam, kebebasan didasarkan pada penghambaan kepada Allah, yang membebaskan kita dari melayani keinginan, materi, dan kepalsuan.
– Otonomi individu: Yang terakhir ini adalah kata yang dibentuk dari akhiran auto, yang berarti “diri sendiri”, dan nomos, yang berarti “hukum”. Gagasan Barat tentang otonomi secara harfiah berarti “memberikan hukum kepada diri sendiri” di mana setiap orang menentukan apa yang benar dan salah tanpa bantuan dari kekuatan yang lebih tinggi. Sebaliknya, dalam Islam, hanya Allah dan rasul-Nya yang memiliki hak untuk membuat hukum.
– Keaslian: Barat modern mendefinisikan hal ini sebagai ekspresi diri yang lengkap dan tidak terbatas dari diri (pikiran, perasaan, keinginan), sedangkan dalam Islam, kita adalah diri kita yang otentik sebagai manusia hanya jika kita telah menemukan dan tunduk pada Pencipta kita (sesuai dengan fitrah kita, yaitu, kecenderungan alami atau bawaan).
– Persetujuan: Dunia modern telah mengagungkan pilihan dan persetujuan, yang merupakan turunan dari gagasan-gagasan yang tercantum di atas. Setiap tindakan yang dilakukan seseorang dilegitimasi oleh pilihan dan persetujuannya untuk melakukannya selama tidak membahayakan orang lain, dan ini terutama terjadi pada aktivitas seksual. Dalam budaya kontemporer, gagasan tentang “karakter moral”, dan khususnya pertimbangan “kebajikan”, dianggap kuno dan tidak diperlukan untuk pengembangan jati diri yang otentik. Dalam hal ini, bagaimana seseorang berperilaku secara seksual tidak berpengaruh terhadap karakter moralnya selama tindakan tersebut dilakukan atas dasar suka sama suka. Mengingat premis postmodern bahwa semua gagasan dibangun secara sosial, penekanan pada persetujuan sebagai titik tumpu validitas moral sama sekali tidak koheren. Dalam Islam, pilihan dan kesepakatan diseimbangkan melalui wahyu dan akal dengan hal-hal lain yang penting bagi perkembangan manusia, seperti pemeliharaan keluarga, penanaman kesalehan, dan pengulangan perintah ilahi untuk “menyuruh berbuat baik dan melarang kejahatan”.
Norma-norma Islam
Berbeda dengan sikap masyarakat yang berubah dengan cepat terhadap seks, gender, dan seksualitas dalam masyarakat sekuler, kita menemukan dalam Islam sebuah kerangka kerja yang abadi untuk mendekati topik-topik ini, yang berakar pada Al-Qur’an dan juga Sunnah Nabi.
Tentang penciptaan laki-laki dan perempuan
Prinsip yang tetap dalam hukum dan teologi Islam adalah penciptaan hanya dua jenis kelamin, laki-laki dan perempuan: “Dan Dia menciptakan dua jenis kelamin, laki-laki dan perempuan. “42 Syariah tidak membedakan antara jenis kelamin biologis dan apa yang orang Barat saat ini (sebagian besar dari tahun 1970-an dan seterusnya) sebut sebagai “jenis kelamin psikologis.” Jika seseorang terlahir dengan tubuh laki-laki, maka normanya ia akan mengidentifikasi dan mengekspresikan dirinya sebagai laki-laki (dan sebaliknya untuk perempuan). Jika ia mengidentifikasi sebaliknya, maka hal tersebut merupakan pengecualian, yang dapat dibandingkan dengan pengertian modern tentang gangguan identitas gender atau disforia gender.
Paradigma Islam tentang gender dan seksualitas tercermin dalam sejumlah ayat:
– Dan (demi) penciptaan-Nya atas laki-laki dan perempuan.43
– Dan bahwa Dia menciptakan dua pasangan: laki-laki dan perempuan.44
– Dan laki-laki itu tidak sama dengan perempuan.45
– Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu pasangan-pasangan dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya. Dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.46
– Wahai manusia! Bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari jiwa yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan pasangannya, dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak.47
Ayat-ayat ini mengakui adanya dua jenis kelamin yang berbeda namun saling melengkapi, yang diciptakan dengan desain yang disengaja untuk menjadi teman satu sama lain. Dalam ayat lain, Allah SWT menekankan keunikan laki-laki dan perempuan serta kesetaraan spiritual mereka:
Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, untuk mereka semua Allah menyediakan ampunan dan pahala yang besar.48
Berikut ini, Allah menyatakan bahwa laki-laki dan perempuan adalah sekutu:
Orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan yang beriman, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah. Sungguh, Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.49
Melalui uraian ini, Allah mengajarkan kita untuk tidak berlomba-lomba untuk mendapatkan peran dan tanggung jawab yang sama, melainkan bekerja sama satu sama lain dalam amar ma’ruf nahi munkar dan membentuk masyarakat yang meninggikan Perintah Allah:
Dan janganlah kamu menginginkan agar sebagian kamu dilebihkan dari sebagian yang lain. Bagi laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan. Dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.50
Terlepas dari kesetaraan spiritual mereka, pria dan wanita berbeda pada tingkat praktis: mereka memiliki peran, hak, dan tanggung jawab yang berbeda yang memandu bagaimana mereka berinteraksi di lingkungan rumah tangga dan masyarakat luas. Singkatnya, mereka tidak diperlakukan sama karena mereka tidak diciptakan sama.
Allah menyatakan kesetaraan laki-laki dan perempuan dalam Al-Qur’an dalam tugas mereka untuk beribadah kepada-Nya, serta dalam kemampuan mereka untuk mengembangkan diri mereka secara moral dan spiritual dalam memenuhi tugas tersebut. Namun, dalam berbagai cara biologis, psikologis, watak, dan fisiologis, laki-laki dan perempuan berbeda dengan desain yang disengaja oleh Tuhan. Perbedaan-perbedaan ini, yang sekarang ditolak atau dilawan oleh ideologi ekstrem kiri, sebenarnya telah didokumentasikan dalam literatur ilmiah untuk waktu yang sangat lama.51 Sebagai contoh, Allah menyatakan bahwa “laki-laki adalah pelindung dan pemelihara perempuan” (al-rijālu qawwāmūna ʿalā al-nisaʾ). Laki-laki juga mengambil peran kepemimpinan tertentu, seperti kepala rumah tangga dan, secara paradigmatik, kepemimpinan agama (misalnya, sebagai imam di tempat-tempat ibadah). Di sisi lain, perempuan memiliki hak untuk mendapatkan dukungan finansial sepanjang hidupnya.
Kami berpendapat bahwa tubuh laki-laki dan perempuan masing-masing memiliki teleologi yang melekat, tujuan yang diberikan Tuhan – oleh karena itu, mereka saling melengkapi secara biologis. Reproduksi adalah tujuan utama dari saling melengkapi ini, tetapi tidak seperti dalam agama Kristen tradisional, tidak semua tindakan seksual dalam Islam harus memungkinkan terjadinya pembuahan, karena Syariah mengizinkan pasangan untuk menikmati satu sama lain juga untuk tujuan kesenangan.
Namun, saling melengkapi antara pria dan wanita lebih dari sekedar biologis. Dalam watak (khilqah) kita, kita menemukan dualitas sifat maskulin dan feminin. Ayah dan ibu tidak dapat dipertukarkan. Hukum Allah, Syariah, memperhitungkan perbedaan-perbedaan ini. Meskipun pada dasarnya laki-laki dan perempuan mengikuti hukum agama yang sama, dalam beberapa aspek tertentu, hukum yang berkaitan dengan kedua jenis kelamin berbeda (misalnya, dalam aspek shalat, warisan, atau cara berpakaian).52
Pada akhirnya, sebagai Pencipta tubuh kita, Tuhan memiliki hak prerogatif kategoris untuk memberinya makna dan menempatkan batasan-batasan tentang bagaimana kita menggunakannya. Bukanlah hak kita untuk menentukan tujuan atau menetapkan makna atas kehendak kita sendiri, atau membuang tubuh kita (yang pada akhirnya adalah milik Tuhan) sesuai keinginan kita. Oleh karena itu, slogan “Tubuhku, pilihanku” bertentangan dengan Islam. Slogan ini menantang otoritas moral Tuhan dengan menyangkal hak-Nya dan menempatkannya di tangan individu.
Pikirkan perbedaannya
Menumbuhkan perilaku yang sesuai dengan jenis kelamin biologis seseorang adalah kewajiban Islam, dan meniru lawan jenis secara sengaja dalam berpakaian dan berperilaku adalah dilarang. Nabi ﷺ mengutuk laki-laki yang dengan sengaja meniru perempuan dan perempuan yang dengan sengaja meniru laki-laki.53
Perlu dicatat bahwa hadis ini bukan mengenai laki-laki yang secara alamiah menunjukkan sifat-sifat banci (misalnya, suara yang lembut atau perilaku atau gaya berjalan yang banci) atau perempuan yang secara alamiah menunjukkan sifat-sifat maskulin. Sebaliknya, hadis tersebut berkaitan dengan individu yang dengan sengaja meniru lawan jenisnya dalam berbicara, tingkah laku, pakaian, dan sebagainya. Drag queen mungkin merupakan contoh yang paling mencolok dan berlebihan dari perilaku yang dikutuk oleh Nabi Muhammad, yang diutus sebagai rahmat bagi seluruh alam dan yang tidak akan mengutuk sesuatu kecuali jika hal tersebut menjadi penyebab kerusakan dan kejahatan.
Moralitas seksual Islam: “Jangan mendekati zina”
Tenggelam dalam paradigma sekuler ini, banyak umat Islam yang tidak sepenuhnya sadar akan norma-norma seksual dan gender dalam Islam. Islam memiliki sistem moral yang kaya dan komprehensif yang berkaitan dengan perilaku seksual manusia karena sistem ini terkait erat dengan salah satu institusi manusia yang paling sentral dan vital, yaitu keluarga. Pentingnya keluarga berasal dari fakta bahwa keluarga merupakan dasar dari masyarakat, dan bukan hanya masyarakat Muslim. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, seks bersifat reproduktif; seks bebas melahirkan anak-anak yang tergantung. Anak-anak dan orang tua membutuhkan stabilitas. Selain konsekuensi keluarga dan masyarakat, zina sangat membahayakan kebajikan pribadi, karakter moral, dan kedudukan seseorang di hadapan Allah.
Teks-teks kitab suci mengenai norma-norma gender dan perilaku seksual yang baik sangat banyak, jelas, dan mendasar sehingga para ahli hukum mengkategorikannya di bawah salah satu dari lima tujuan Syariah. Tujuan dari legislasi Islam mengenai seksualitas adalah untuk melestarikan keluarga dan jaringan hubungan yang luas serta komunitas di sekitar anak, yang sangat penting bagi perkembangan manusia. Melakukan hubungan seks yang tidak sah (zina) sangat dilarang dan merupakan dosa besar (kabirah). Faktanya, perilaku seksual yang tidak sah bukan hanya dosa pribadi, tetapi juga merupakan kejahatan, yang berpotensi untuk diadili di pengadilan Islam.
Jadi, bagaimana Islam membuat larangan zina menjadi norma moral yang dapat direalisasikan bagi pria dan wanita pada umumnya? Dimulai dengan membatasi atau mengatur tindakan apa pun yang membuka pintu bagi godaan dan hasrat. Laki-laki dan perempuan diperintahkan untuk menundukkan pandangan mereka dan tidak saling memandang dengan nafsu seksual, untuk menutupi tubuh mereka, dan untuk menjaga kesopanan dalam berpakaian, berbicara, dan berperilaku.54 Umat Islam juga diharapkan untuk menghindari kontak fisik dan isolasi (khalwat) dengan individu yang bukan muhrim dari jenis kelamin yang berbeda.
Dalam hal perilaku seksual, semua tindakan dilarang secara bawaan, kecuali yang secara khusus diizinkan oleh wahyu ilahi (al-aṣl fī al-abḍāʿ al-taḥrīm). Allah menyatakan dalam surah al-Mu’minūn, “[Sesungguhnya beruntunglah] orang-orang yang menjaga kehormatannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak-budak yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela.”55 Segala sesuatu yang berada di luar ikatan pernikahan yang telah disetujui secara eksplisit antara seorang laki-laki dan seorang perempuan adalah terlarang. Hal ini termasuk hubungan seksual melalui dubur,56 tindakan seksual selain hubungan seksual (seperti stimulasi manual atau seks oral), memperlihatkan aurat kepada orang lain selain pasangan yang sah (atau untuk kebutuhan medis). Larangan ini diperluas ke perilaku apa pun yang secara sistematis mengancam untuk mengarah pada hubungan terlarang atau menciptakan keinginan tersebut, seperti menyentuh, menatap, mengasingkan diri (khalwat), berbicara tidak sopan, berpakaian, berperilaku, dan sebagainya. Allah memerintahkan kita dalam Al-Qur’an untuk menghindari segala perbuatan yang berpotensi menimbulkan zina: “Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan keji dan suatu jalan yang buruk.”57
Perlindungan terhadap keluarga dan garis keturunan dalam Syariah
Mematuhi batas-batas aktivitas seksual yang diizinkan dalam hukum Islam itu berarti memenuhi tujuan utama Syariah: perlindungan keluarga dan keturunan (nasl dan nasab). Hubungan seks di luar nikah memiliki risiko mengaburkan (atau “mencampuradukkan”) garis keturunan, yang dikenal dengan istilah khalṭ al-ansāb. Hal ini sangat penting karena beberapa alasan. Pertama, sebagian kecil dari warisan seseorang diberikan kepada kerabat dekat menurut bagian yang telah ditentukan. Hak-hak waris tidak dapat dipenuhi oleh individu yang tidak dapat mengidentifikasi kerabat sedarah mereka. Sebagai contoh, seorang pria perlu mengetahui identitas anak-anaknya untuk menafkahi mereka seperti halnya dia perlu mengetahui identitas orang tuanya untuk menerima warisan dari mereka.
Selain itu, hubungan darah sebagai dasar garis keturunan harus ditetapkan melalui reproduksi alami, bukan dengan cara buatan. Syariah melarang ibu pengganti, donor sel telur, dan donor sperma, dan menganggap praktik-praktik reproduksi semacam itu sama saja dengan zinā. Satu-satunya pengecualian terhadap larangan inseminasi buatan, menurut sebagian besar ulama Islam, adalah dalam kasus pria dan wanita yang sudah menikah: jika, misalnya, suami memiliki sperma yang sehat dan istri memiliki sel telur yang sehat (tetapi, katakanlah, saluran tuba falopi-nya tersumbat sehingga ia tidak dapat hamil dengan cara alamiah) dan ia mengandung bayi tersebut, maka dalam kasus seperti itu, pasangan tersebut boleh melakukan inseminasi buatan. Anak dalam situasi ini akan dilahirkan oleh ibu kandungnya dan dengan sel telur yang telah dibuahi dan sperma dari orang tua kandungnya, sehingga menghormati tatanan reproduksi yang dimaksudkan Tuhan untuk ciptaan manusia. Teknik reproduksi yang mengandalkan donor sperma, donor sel telur, atau rahim pengganti dilarang karena pada akhirnya akan meniru praktik zinā, seperti khalṭ al-ansāb, yaitu mencampuradukkan nasab dan mengaburkan garis keturunan alami.58
Perlindungan terhadap garis keturunan dan keluarga adalah salah satu dari banyak tujuan bijak dari hukum Ilahi yang menentang perilaku seksual terlarang. Mungkin ada alasan yang lebih penting lagi, seperti perlindungan terhadap anak-anak dari bahaya yang timbul akibat dilahirkan di luar keluarga yang normal dan lengkap dan perlindungan terhadap pikiran dan hati dari nafsu seksual yang tidak terkendali, yang merupakan salah satu hambatan terbesar untuk beribadah yang terfokus dan kehidupan yang berpusat pada Tuhan – ibadah adalah tujuan uta ma dari penciptaan kita.
Ketidaksesuaian gender
Liberalisme kontemporer memisahkan jenis kelamin biologis yang alamiah dari identitas dan ekspresi gender, di satu sisi, dan orientasi seksual, di sisi lain. Kurang dari satu dekade yang lalu, seseorang yang mengalami ketidaksesuaian antara jenis kelamin biologis dan identitas gendernya akan didiagnosis secara klinis dengan kondisi yang disebut Gangguan Identitas Gender. Istilah ini mengisyaratkan pemahaman bahwa jenis kelamin/gender seseorang didasarkan pada biologi dan bahwa ketidakcocokan antara jenis kelamin eksternal dan identifikasi gender internal seseorang merupakan gangguan psikologis yang obyektif. Namun, seiring berjalannya waktu, Disforia Gender menggantikan Gangguan Identitas Gender sebagai kondisi yang membutuhkan pengobatan. Apa yang sekarang dianggap dapat diterima untuk diobati adalah perasaan cemas dan depresi yang dialami oleh mereka yang berjuang untuk mengidentifikasi jenis kelamin biologis mereka.59
Saat ini, tidak dapat diterima untuk melakukan apa pun selain memvalidasi perasaan seseorang bahwa “Saya berada di tubuh yang salah.” Fisiologi dan biologi objektif seseorang telah kehilangan makna dalam budaya Barat, karena penghormatan terhadap fakta-fakta biologis dipandang oleh kaum postmodernis dan post-truth sebagai sesuatu yang ofensif dan tidak adil, yang harus dilawan dan diatasi. Meskipun para pendukung liberalisme dan modernisme yang asli mungkin terkejut dengan konsekuensi-konsekuensi ini, dengan menolak bimbingan ilahi, para pejuang akal ini membuka jalan bagi pertunjukan-pertunjukan yang tidak masuk akal yang paling sembrono ini.
Menurut tuntunan Islam, Allah SWT telah dengan sengaja merancang tubuh manusia sedemikian rupa sehingga ketiga hal ini secara normatif selaras. Ketika mereka tidak selaras, orang-orang dengan Gangguan Identitas Gender (GID) dan ketertarikan sesama jenis harus melakukan upaya yang masuk akal untuk menyesuaikan diri dengan desain biologis mereka yang obyektif dan ditakdirkan oleh Tuhan. Pengecualian terhadap aturan di mana seseorang secara subjektif dapat jatuh di luar biner gender alami atau ketertarikan lawan jenis yang normatif tidak merusak aturan itu sendiri atau normativitas hubungan antara jenis kelamin biologis, identifikasi gender psikologis, dan ketertarikan seksual.
Mengingat prinsip utama dalam Islam bahwa seseorang hanya bertanggung jawab atas apa yang dapat ia kendalikan, orang tidak bertanggung jawab secara moral atas disforia gender atau ketertarikan sesama jenis sejauh mereka tidak memilih untuk merasakan apa yang mereka rasakan. Namun, kita semua bertanggung jawab atas tindakan kita. Oleh karena itu, terlibat dalam perilaku seksual yang dilarang atau dengan sengaja meniru lawan jenis adalah dosa. Hal ini termasuk cross-dressing dan transisi secara sosial, kimiawi, atau pembedahan untuk menjadi lawan jenis, serta terlibat dalam segala bentuk perilaku seksual atau keintiman dengan sesama jenis.
Dalam membedakan maskulinitas dan feminitas, para ahli mempertimbangkan konvensi sosial (ʿurfʿ yang berlaku di masyarakat. ‘Urf’ dapat dirujuk untuk menentukan pakaian, minat, dan tingkah laku tertentu yang dianggap sebagai maskulin atau feminin pada waktu dan tempat tertentu. Intinya adalah bahwa, terlepas dari perbedaan lintas budaya dan lintas sejarah, setiap masyarakat membedakan antara anggota pria dan wanita, bahkan jika perbedaan spesifik tersebut, sampai batas tertentu, tergantung secara sosial. Sebagai contoh, jika kita melakukan perjalanan ke masa lalu dan mengunjungi Amerika pada abad ke-18, kita akan menemukan para pria mengenakan rambut palsu besar berwarna putih dan keriting, blus berenda, dan stoking ketat. Ciri-ciri sartorial seperti itu jelas terlihat feminin mengingat norma-norma masa kini, sampai-sampai berpakaian seperti itu pada masa kini mungkin akan diidentikkan dengan hal yang menjijikkan. Contoh ini menunjukkan bahwa konvensi pakaian maskulin dan feminin seringkali unik untuk waktu dan tempat tertentu. Selama ʿurf tidak melanggar hak dan tanggung jawab pria dan wanita sebagaimana digariskan oleh Islam, seorang Muslim biasanya diharuskan untuk menghormati konvensi (ʿurf) yang dikenal dari jenis kelaminnya. Namun, seperti yang akan kami jelaskan di bawah ini, ada batasan-batasan terhadap harapan ini, karena Islam memandu dan mengoreksi kebiasaan-kebiasaan yang melampaui batas, yang melanggar kodrat dan kepentingan manusia.60
Para ulama mengakui bahwa seseorang dapat memiliki perilaku, gaya berjalan, suara, dan sebagainya yang tidak sesuai dengan jenis kelaminnya, yang muncul secara alamiah (khilqī) atau karena pengaruh yang disengaja (ghayr khilqī). Istilah mukhannath merujuk pada laki-laki dengan perilaku banci, sedangkan istilah mudhakkarah merujuk pada perempuan dengan perilaku maskulin. Mempengaruhi perilaku yang tidak lazim berdasarkan jenis kelamin dengan sengaja dilarang oleh teks-teks yang diwahyukan dan konsensus para ulama Muslim. Adapun mereka yang memiliki perilaku tidak lazim gender adalah khilqī, para ulama berbeda pendapat: sebagian berpendapat bahwa mukhannath dan mudhakkarah harus melakukan upaya yang masuk akal untuk mengkondisikan kembali perilaku mereka agar lebih sesuai dengan jenis kelamin mereka, sementara ulama lain berpendapat bahwa mereka tidak berkewajiban untuk melakukan rekondisi semacam itu.
Islam, pada umumnya, tidak terlalu menjelaskan secara detail mengenai apa yang dianggap sebagai maskulin dan feminin, dan kita harus waspada terhadap “syariat” palsu – yang telah direkayasa secara sosial untuk mendapatkan keuntungan yang berlebihan atau tujuan-tujuan tidak bermoral lainnya. Anak perempuan bebas untuk menekuni olahraga dan bela diri, seperti halnya anak laki-laki bebas menekuni seni dan memasak. Sīrah Nabi kita dan sīrah para sahabatnya memberi kita banyak contoh tentang laki-laki dan perempuan yang berperilaku dengan cara-cara yang melanggar norma-norma gender Arab pra-Islam, seperti laki-laki yang menangis tersedu-sedu, perempuan yang berperang, atau Nabi Muhammad SAW yang ikut serta dalam tugas-tugas rumah tangga. Demikian pula, gagasan-gagasan tertentu dari zaman Victoria tentang kewanitaan, yang menggambarkan wanita ideal sebagai gadis yang mungil, lembut, dan selalu pingsan dalam kesusahan, tidak bisa disalah artikan sebagai norma-norma Islam.
Demikian pula, apa yang dimaksud dengan interaksi sesama jenis yang pantas dalam Islam juga, sampai batas tertentu, bersifat konvensional dan didasarkan pada adat istiadat masyarakat. Sebagai contoh, banyak pria Muslim, terutama di dunia Arab, agak “sensitif” dibandingkan dengan rekan-rekan mereka di Barat. Pria-pria tersebut dapat terlihat saling mencium pipi satu sama lain saat bertemu, bergandengan tangan atau bergandengan tangan di depan umum, atau memanggil satu sama lain dengan nama panggilan sayang (misalnya, ḥabībī, yang secara harfiah berarti “cintaku”). Bagi pria Barat, tindakan platonis ini akan ditafsirkan sebagai homoseksual secara terang-terangan.
Norma-norma persahabatan antara pria Arab sedang berubah, karena Barat terus menyebarkan paradigma gender dan seksualnya secara global melalui media massa. Umat Islam tidak kebal terhadap propaganda ini, yang mendorong norma-norma Barat sebagai sesuatu yang diperlukan secara moral. Kita harus waspada terhadap dampak norma-norma tersebut terhadap jiwa kita dan menjaga komitmen kita terhadap pedoman Islam tentang gender dan seksualitas.
Mempertanyakan istilah-istilah: Homoseksualitas dan LGBT
Untuk memahami homoseksualitas-serta tren dan identitas yang lebih luas yang tercakup dalam label LGBT-dari dalam kerangka Islam, kita harus mulai dengan mempertanyakan istilah-istilah dalam wacana tersebut dan asumsi-asumsi yang mendasarinya. Sebagaimana salah satu prinsip dalam Syariah menyatakan, “menghakimi sesuatu tergantung pada konseptualisasi (yang tepat)” (al-ḥukm ʿalā al-syaiʿ farʿ ʿan taṣawwurihi). Tidak ada kata dalam bahasa Arab klasik – atau bahasa Islam lainnya, dalam hal ini – yang setara dengan “homoseksualitas”, sama seperti tidak ada konsep identitas gay atau LGBT (dengan kosakata yang sesuai) bahkan di Barat sebelum akhir abad kesembilan belas. Istilah “homoseksual,” yang pertama kali diciptakan di Jerman pada tahun 1860-an sebagai istilah medis untuk mempelajari (dan, jika memungkinkan, untuk mengobati) individu yang melakukan hubungan seksual dengan sesama jenis kelamin, telah diangkat menjadi identitas seksual. “Seksualitas” sendiri merupakan istilah yang cukup baru di Barat. Secara tradisional, baik di Timur maupun Barat, perilaku seksual adalah sesuatu yang dilakukan oleh individu, bukan berlandaskan pada seperti apa orang itu.
Dengan sendirinya, kata “homoseksualitas”-dibentuk dari kata Yunani “homos,” yang berarti “sama,” ditambahkan dengan kata “seksualitas” yang berasal dari bahasa Latin-memiliki konotasi ilmiah dan deskriptif murni, yang berarti “sesama jenis” dalam bahasa Inggris. Dalam bahasa kontemporer, homoseksualitas dapat merujuk pada perasaan romantis dan atau ketertarikan seksual terhadap sesama jenis, serta perilaku yang didasarkan pada perasaan tersebut. Namun, yang lebih pedih, biasanya juga merujuk pada identitas pribadi dan sosial yang lengkap berdasarkan perasaan dan perilaku tersebut. Secara kolektif, ketiga makna ini mencerminkan pemahaman Barat kontemporer tentang diri dan penggabungan antara hasrat, perilaku, dan identitas.
Hanya dalam liberalisme Barat kontemporer, hasrat, perilaku, dan identitas menyatu menjadi satu. Dari paradigma inilah identitas “gay”, “lesbian”, “queer”, dan seterusnya lahir. Ini semua sangat baru dan spesifik untuk Barat kontemporer, dan, sebagai Muslim, kita harus menolak untuk menggunakan terminologi yang penuh dengan keyakinan dan ide-ide yang tidak Islami, seperti penggabungan yang tak terpisahkan antara hasrat, perilaku, dan identitas. Secara moral adalah masalah untuk menghindari perbedaan yang berarti antara keinginan dan tindakan, karena keberadaan keinginan tidak akan pernah bisa menjadi pembenaran moral untuk bertindak berdasarkan keinginan tersebut. Sebaliknya, kita harus mengacu pada kriteria moral yang independen untuk mengevaluasi keinginan dan status moral dari tindakan yang dilakukan. Bagi Barat pasca revolusi seksual, kriteria tersebut adalah persetujuan: selama dua orang dewasa setuju, tindakan yang dilakukan bersama di antara mereka dipandang sebagai tindakan yang dapat dibenarkan dan tidak dapat dibantah. Bandingkan dengan ayat dalam surah al-Aḥzāb:
Tidaklah patut bagi seorang mukmin, laki-laki atau perempuan, apabila telah diputuskan suatu perkara oleh Allah dan Rasul-Nya, untuk mempunyai pilihan lain tentang keputusan itu, barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah sesat sejauh-jauhnya.61
Merenungkan ayat ini menyoroti dilema yang dihadapi umat Islam saat ini. Di satu sisi, kita harus melihat kepada wahyu untuk mengetahui apa yang diperbolehkan dan dilarang dari berbagai keinginan yang kita alami. Di sisi lain, wacana hegemonik Barat yang liberal bersikeras untuk memperlakukan homoseksualitas dan perilaku terlarang lainnya sebagai identitas yang harus dipertahankan, dibela, bahkan dihormati, dalam arena sosial, politik, dan moral. Dihujani dengan serangan terhadap dasar-dasar agama mereka, kaum muda Muslim saat ini mulai dengan kartu yang sudah ditumpuk melawan mereka. Setiap ketidaksetujuan terhadap perilaku homoseksual atau transgender segera dianggap sebagai serangan terhadap identitas pribadi, disertai dengan tuduhan “merendahkan martabat orang lain”, mempraktikkan “pengucilan”, atau dimotivasi oleh kebencian, kefanatikan, atau prasangka.
Untuk mendapatkan kembali bahasa dan kerangka kerja konseptual kita, mari kita lihat bagaimana tindakan homoseksual dicirikan oleh Pencipta dan Tuhan Yang Maha Kuasa.
Ayat-ayat tentang kaum Luth as.
Sebuah diskusi tentang etika seksual Islam, dan homoseksualitas pada khususnya, tidak akan lengkap tanpa menyebutkan ayat-ayat Al-Qur’an tentang kaum Luth. Dalam beberapa tahun terakhir, penafsiran yang jelas dan secara tradisional tidak diperdebatkan tentang ayat-ayat ini telah dipertanyakan oleh para akademisi Barat yang berpendidikan sekuler, termasuk mereka yang mengaku sebagai Muslim. Mari kita lihat ayat-ayat ini.
Kaum Luth disebutkan setidaknya di sembilan tempat yang berbeda di dalam Al Qur’an, dengan total lebih dari tujuh puluh lima ayat. Dosa besar kaum Luth, menurut Al Qur’an, adalah keterlibatan mereka dalam perilaku seksual dengan laki-laki lain. Beberapa ayat (misalnya, Surah al-ʿAnkabūt, 29:29) secara insidental menyebutkan kesalahan-kesalahan lain yang dilakukan oleh kaum Luth, namun pelanggaran utama mereka yang disebutkan dalam semua kasus adalah “mendekati laki-laki dengan hasrat (syahwat) dan bukannya dengan perempuan.” Kaum revisionis, yang sering kali terbuka tentang keinginan mereka untuk membaca makna apa pun yang mereka butuhkan ke dalam Al Qur’an, telah berusaha menafsirkan kembali dosa mereka sebagai salah satu pemerkosaan atau ketidakramahan terhadap tamu-tamu Luth. Hal ini bertentangan dengan pembacaan yang jelas, ketat secara akademis, dan secara historis tidak dapat dibantah. Salah satu ayat menyatakan:
Dan (ingatlah) kisah Luth, ketika dia berkata kepada kaumnya: “Apakah kamu mendekati perbuatan keji yang belum pernah dilakukan oleh seorangpun dari umat-umat sebelum kamu? Sesungguhnya kamu datang dengan syahwat kepada laki-laki dan bukan kepada wanita. Sesungguhnya kamu adalah kaum yang melampaui batas.” Namun jawaban kaumnya hanyalah, “Usirlah mereka dari kotamu. Sesungguhnya mereka adalah kaum yang menyucikan diri.”62
Dalam sebuah latihan eisegesis (membaca makna ke dalam sebuah teks, berlawanan dengan tafsir, yang melibatkan pembacaan makna yang tertanam di dalam teks seperti yang dimaksudkan oleh penulisnya), banyak dari para revisionis ini mengambil dari penafsiran ulang Kristen dan / atau Yahudi kontemporer tentang kisah alkitabiah tentang Luth di Kitab Kejadian dan membacanya – tidak peduli seberapa tidak masuk akalnya – ke dalam Al Qur’an sebagai sebuah kisah pemerkosaan.63 Ayat-ayat lain yang memberikan kejelasan pada kisah tersebut antara lain:
Kaum Luth mendustakan para rasul. Sesungguhnya saudara mereka, Luth, berkata kepada mereka: “Apakah kamu tidak memperhatikan (peringatan) Allah? Sungguh, aku adalah seorang rasul yang setia kepadamu, maka bertakwalah kepada Tuhanmu dan taatlah kepadaku. Aku tidak meminta upah kepadamu untuk itu, upahku hanya pada Tuhan semesta alam. Apakah kamu mendekati laki-laki dari jenis yang lain dan meninggalkan apa yang telah diciptakan Tuhanmu untukmu sebagai pasangan hidupmu? Tidak, tetapi kamu adalah kaum yang melampaui batas.” Mereka berkata, “Hai Luth, jika kamu tidak berhenti dari perbuatan ini, niscaya kamu akan diusir.” Dia berkata, “Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang membenci perbuatanmu. Ya Tuhanku, selamatkanlah aku dan keluargaku dari apa yang mereka perbuat.”64
Dan (ingatlah) kisah Luth, ketika dia berkata kepada kaumnya: “Apakah kamu mengerjakan perbuatan keji (fāḥishah) dengan mata terbuka? Apakah kamu memang datang dengan keinginan kepada laki-laki dan bukan kepada wanita? Tidak, tapi kamu adalah kaum yang bertindak bodoh.”65
Dan (ingatlah) kisah Luth, ketika dia berkata kepada kaumnya: “Kamu melakukan perbuatan keji yang belum pernah dilakukan oleh seorangpun dari umat-umat sebelum kamu. Apakah kamu benar-benar datang kepada manusia, lalu kamu memotong jalan dan melakukan perbuatan keji dalam majelis-majelismu?” Jawaban kaumnya hanyalah mengatakan, “Datangkanlah kepada kami azab Allah, jika kamu termasuk orang-orang yang benar.”66
Dan tatkala utusan-utusan Kami (para malaikat) datang kepada Luth, dia merasa sedih karena mereka dan merasa berat untuk menolong mereka. Dan dia berkata, “Ini adalah hari yang berat!” Dan kaumnya datang dengan tergesa-gesa kepadanya, padahal sebelumnya mereka telah mengerjakan perbuatan-perbuatan yang keji. Dia berkata: “Wahai kaumku, ini adalah anak-anak perempuanku, mereka lebih suci bagimu. Karena itu takutlah kepada Allah dan janganlah kamu menghinakan aku terhadap tamu-tamuku. Tidak adakah di antara kalian seorang yang berpikiran lurus?” Mereka menjawab, “Engkau tahu benar bahwa kami tidak memiliki hak atas anak-anak perempuanmu, dan sesungguhnya engkau mengetahui apa yang kami kehendaki.”67
Kaum revisionis telah menyajikan ayat terakhir ini sebagai bukti bahwa kaum Luth dihukum karena pemerkosaan, kejahatan tertinggi adalah percobaan pemerkosaan terhadap para utusan Tuhan (malaikat) yang mengunjungi kota mereka dalam bentuk manusia. Tetapi jika kejahatan mereka adalah pemerkosaan, lalu mengapa Luth menawarkan anak-anak perempuannya (yang dipahami oleh beberapa orang sebagai referensi untuk para wanita di kota itu) kepada kaumnya? Selain itu, Luth menyimpulkan dengan menegaskan kembali standar Tuhan untuk moralitas seksual: “Hai kaumku, inilah anak-anakku perempuan, mereka lebih suci bagimu.” Hal ini memperkuat fakta bahwa kejahatan yang mereka lakukan adalah sodomi, bukan pemerkosaan, karena seseorang tidak mengutuk pemerkosaan karena “tidak murni”, dan mengusulkan non-pemerkosaan sebagai alternatif yang “lebih murni”. Tentu saja, akan sangat kasar untuk menafsirkan ayat ini sebagai sesuatu yang lain selain mengutuk hubungan seks anal (laki-laki-laki-laki) – yang sangat lazim dikecam sebagai “tidak murni” – dan memuji alternatif hubungan seks laki-laki-perempuan yang “lebih murni” (aṭhar) sebagaimana yang dirancang dan dimaksudkan oleh Pencipta. Satu-satunya jalan yang murni secara moral untuk memenuhi hasrat seksual seseorang adalah dengan cara yang telah ditetapkan Allah, dan Dia telah dengan jelas melarang hubungan seksual dengan sesama jenis. Lebih jauh lagi, kejahatan tertinggi dari kaum Luth tidak mungkin pemerkosaan yang dilakukan oleh para malaikat, karena para malaikat diutus untuk menghukum mereka atas kejahatan “mendekati laki-laki dengan nafsu birahi, bukan perempuan” yang telah lama mereka lakukan.
Menafsirkan ulang narasi ini sebagai pemerkosaan adalah contoh klasik dari anakronisme yang memproyeksikan gagasan-gagasan kontemporer-seperti fiksasi pasca revolusi seksual terhadap “persetujuan” sebagai satu-satunya kriteria yang relevan untuk hubungan seksual-ke dalam teks-teks yang diwahyukan dan penafsirannya. Hanya dalam tiga dekade terakhir, “persetujuan” telah menjadi satu-satunya tolok ukur moralitas seksual di Barat. Memproyeksikan pandangan moral yang aneh ini ribuan tahun ke masa lalu, dan membacanya ke dalam sebuah teks di mana narasi alternatifnya eksplisit, tidak dapat diterima. Beberapa ahli Alkitab terkemuka di dunia, seperti John Barton dan yang lainnya (yang juga bukan pengikut Alkitab secara harfiah), dengan tegas menyatakan bahwa kasus revisionis tentang kisah Sodom dan Gomora telah gagal.68 Satu-satunya pembacaan yang dapat diterima atas kisah ini adalah bahwa dosa utama dari kaum Luth adalah tindakan homoseksual, bukan pemerkosaan. Beberapa orang telah mencoba untuk menghistoriskan implikasi moral dari kisah Luth dengan berargumen bahwa Tuhan telah menetapkan standar etika seperti itu untuk masyarakat kuno dalam konteks Timur Dekat dan bahwa standar-Nya tidak lagi berlaku untuk kita saat ini. Kami merujuk para pembaca di sini kepada salah satu karya tulis terbaik yang menyanggah argumen ini yang terdapat dalam “Dapatkah Islam Mengakomodasi Tindakan Homoseksual? Qur’anic Revisionism and the Case of Scott Kugle,” oleh Mobeen Vaid.69
Membangun kerangka kerja Islam
Untuk mulai membangun kerangka kerja Islam, kami mencatat bahwa Islam tidak mengkategorikan manusia atas dasar hasrat belaka, terutama jika hasrat tersebut untuk tindakan yang dinyatakan tidak hanya haram tetapi juga tidak wajar dan layak dihukum. Menuduh seseorang sebagai seorang lūṭī, misalnya, menurut sebagian besar mazhab, dapat dikenai hukuman ḥadd atas pencemaran nama baik atau fitnah (qadhf).70
Menerima kerangka kerja identitas seksual Barat akan mengubah diskusi, menghindari masalah moral, dan membingkai masalah ini sebagai masalah keadilan sosial (yang didefinisikan secara subyektif) yang berlawanan dengan perintah Allah, yang mewujudkan keadilan yang sempurna. Kita tidak dapat mengklaim diri kita lebih adil dan penuh kasih daripada Allah, karena Dia adalah al-Raḥmān al-Raḥīm.
Selanjutnya, kita mencatat bahwa Syariah mengkategorikan tindakan seksual – bukan identitas seksual – sebagai halal dan haram. Hubungan seksual yang halal adalah hubungan antara pria dan wanita dalam pernikahan yang diikat oleh kontrak yang sah secara Islam; yang lainnya tidak sah. Perbuatan haram dibagi lagi menjadi perbuatan zina (kabāʾir), yang meliputi zinā antara laki-laki dan perempuan dan sodomi (liwāṭ), dan perbuatan seksual yang tidak penetrasi seperti siḥāq (meraba alat kelamin perempuan), stimulasi manual dan interkostal, seks oral, dan semua perbuatan semacam itu di antara dua orang (dari jenis kelamin apa pun). Semua ini diklasifikasikan sebagai muḥarram li-dhātihi (dilarang secara intrinsik). Selain itu, Syariah mengakui dan melarang pendahuluan dari tindakan seksual ini, seperti menyentuh, menatap, khalwat, dan pakaian, ucapan, dan perilaku yang tidak sopan. Hal-hal tersebut dianggap sebagai muḥarram li-ghayrihi (dilarang karena hal lain, yaitu, karena mengarah pada hal yang dilarang secara intrinsik).
Para pejuang yang setia
Adalah sebuah fakta bahwa ada umat Islam-termasuk yang sangat setia dan taat-yang mengalami ketertarikan terhadap sesama jenis dan/atau disforia gender. Bagaimana kita menanggapi ketika mereka mengatakan bahwa perasaan dan keinginan batin mereka membuat mereka merasa seperti seorang Muslim yang “kurang baik” atau bertanya, “Apakah Allah membenci saya? Apakah saya melakukan dosa? Apakah saya akan masuk neraka karena keinginan-keinginan ini?”
Tanggapan kita terhadap orang-orang seperti ini harus dimulai dengan prinsip yang telah kita sebutkan sebelumnya, yaitu bahwa Islam tidak mendefinisikan atau mengkategorikan orang berdasarkan perasaan batinnya, baik secara seksual maupun lainnya. Sebaliknya, Islam menegaskan identitas inti kita sebagai hamba Allah, yang didefinisikan secara esensial dan terutama dalam hal keyakinan kita kepada Allah, cinta dan ketundukan kita kepada-Nya, dan pengabdian kita kepada Rasulullah ﷺ serta ketaatan kita pada jalan yang beliau diutus untuk membangun kesejahteraan dan kesuksesan umat manusia hingga Hari Kiamat. Selain itu, Syariah membedakan antara perasaan dan tindakan, dan lebih jauh lagi, antara perbuatan dosa (pribadi) dan pembelaan (publik) atas nama dosa-dosa tersebut. Dengan pertimbangan-pertimbangan ini, penting bagi kita untuk mendekonstruksi paradigma liberal kontemporer dan, dengan demikian, mencatatnya sebagai sejarah dan merincikannya dengan benar. Dengan menawarkan kepada umat Islam yang menghadapi ketertarikan sesama jenis dan/atau disforia gender sebuah paradigma dan bahasa Islam untuk memahami dan mengekspresikan pengalaman mereka, kita meyakinkan mereka bahwa perjuangan mereka yang setia menghadapi tantangan semacam itu bahkan dapat menjadi sarana bagi mereka untuk mencapai peringkat mujahid sejati di jalan Allah. Seperti yang dikatakan oleh Nabi Muhammad SAW:
Seorang pejuang (mujāhid) adalah orang yang berjuang dalam ketaatan kepada Allah, dan seorang yang berhijrah adalah yang berhijrah dari dosa dan kesalahan.71
Lebih jauh lagi, kita harus menekankan bahwa jatuh ke dalam dosa tidak membuat seseorang menjadi tidak layak untuk mendapatkan kasih, pengampunan, dan belas kasihan Tuhan. Pelanggaran seksual, meskipun serius, tidak sama dengan kekufuran, dan banyak orang di zaman sekarang yang bergumul dengan pornografi, zina, dan pelanggaran-pelanggaran yang terkait. Kita harus mengingatkan mereka yang ingin hidup di jalan Allah – terlepas dari sifat khusus tantangan mereka – bahwa pintu taubat selalu terbuka dan, memang, seperti yang telah diyakinkan dengan tegas oleh Nabi ﷺ, “Allah lebih bergembira dengan pertobatan hamba-Nya daripada salah satu dari kalian yang bergembira ketika menemukan kembali tunggangannya yang hilang di padang pasir yang tak berair.” Penting bagi umat Islam yang berurusan dengan ketertarikan sesama jenis dan/atau disforia gender untuk dapat menemukan dukungan di antara individu-individu yang dipercaya dalam komunitas Muslim, baik itu imam, konselor, keluarga, teman, atau orang lain. Bersamaan dengan itu, Muslim yang tidak mengalami ketertarikan sesama jenis atau GID harus memahami bahwa perasaan seperti itu tidak dapat dengan mudah dihidupkan dan dimatikan seperti saklar, bahwa perasaan tersebut seringkali terkait dengan luka dan pengalaman emosional yang menyakitkan, dan bahwa perasaan tersebut dapat menjadi tantangan yang besar dalam berbagai tingkatan bagi mereka yang harus menghadapinya. Mengingat faktor-faktor ini, akan sangat tidak membantu jika ada orang yang mungkin bermaksud baik namun tidak terbiasa dengan wilayah ini, sehingga dapat dikatakan, memberikan saran yang mudah yang menyarankan bahwa seseorang “hanya perlu melakukan x atau y” agar semua masalahnya dapat diselesaikan.
Selain memberikan dukungan emosional dan spiritual secara umum, keluarga, teman, dan pemimpin komunitas harus mengarahkan mereka yang berjuang dengan ketertarikan sesama jenis dan/atau masalah identitas gender ke berbagai sumber daya khusus yang sekarang ada di komunitas Muslim. Yang paling penting adalah podcast A Way Beyond the Rainbow yang terdiri dari 88 episode,72 yang diproduksi oleh Sdr. Waheed Jensen, seorang dokter, peneliti medis, dan seorang Muslim yang memahami perjuangan dengan ketertarikan sesama jenis dari dalam diri sendiri dan telah menghasilkan sumber daya yang komprehensif yang membahas masalah ini dari semua sudut pandang yang dapat dipahami – psikologis, spiritual, medis, emosional, sosial politik, pribadi, keluarga, dan komunal. (Banyak episode, pada kenyataannya, mengeksplorasi topik-topik dengan cara yang berguna bahkan untuk Muslim yang tidak secara khusus berurusan dengan ketertarikan sesama jenis atau masalah identitas gender). Selain itu, saat ini ada dua jaringan dukungan untuk Muslim yang mengalami ketertarikan sesama jenis dan/atau GID, yaitu kelompok Straight Struggle Discord73 dan yayasan Strong Support yang berbasis di Inggris.74 Terakhir, Sdr. Yousef Salam, moderator lama dari Straight Struggle, telah menerbitkan sebuah artikel yang berwawasan luas dan ditulis dengan sangat baik yang berfungsi sebagai pengantar yang sangat baik untuk, dan pernyataan prinsip tentang, homoseksualitas dalam Islam dan komunitas Muslim. Artikel ini sangat layak untuk dibaca oleh setiap Muslim yang peduli dengan masalah ini.75
Untuk mengulangi poin yang telah dikemukakan di atas, dalam menanggapi mereka yang berurusan dengan isu-isu seperti itu dalam komunitas kita, kita harus menekankan bahwa salah satu jebakan yang paling berbahaya bagi Muslim di Barat adalah paradigma identitas gay yang ada di mana-mana, yang bersikeras bahwa seseorang harus, sebagai sebuah pertanyaan tentang identitas inti, memahami dan menampilkan dirinya sebagai “gay” atau “lesbian” jika ia tertarik pada sesama jenis. Ini adalah bahasa dan kerangka kerja konseptual yang telah ditetapkan oleh budaya sekuler dominan di Barat untuk menafsirkan dan memproses perasaan-perasaan seperti itu. Meskipun tampaknya ada di mana-mana, paradigma yang ada saat ini sebenarnya mewakili cara yang sangat khusus dan istimewa dalam menafsirkan pengalaman seperti itu, yang tidak bersifat transhistoris maupun universal secara lintas budaya. Menerima paradigma ini, terlebih lagi, berarti menjungkirbalikkan wacana moral Syariah secara keseluruhan dengan memberatkannya dengan mengesampingkan identitas inti manusia dan merendahkan martabat kemanusiaan mereka. Sebagai Muslim, kita tidak mendasarkan identitas kita pada dorongan seksual kita, melainkan pada komitmen dan ketundukan kita kepada Tuhan dan tujuan-Nya bagi kita.
Kesimpulan: Dari menggugat kerangka kerja hingga memulihkan moralitas
Pembahasan di atas telah menunjukkan bagaimana liberalisme Barat kontemporer mengurai tiga dimensi pengalaman manusia yang pernah diakui sebagai sesuatu yang terikat oleh alam dan hukum agama: seks, reproduksi, dan pernikahan/moralitas. Pada saat yang sama, hal ini mencampuradukkan tiga hal yang seharusnya dibedakan: hasrat, tindakan, dan identitas. Jika keinginan kita melanggar hukum ilahi, maka keinginan tersebut tidak boleh ditindaklanjuti; dan bahkan jika keinginan tersebut ditindaklanjuti, maka keinginan tersebut tidak boleh menjadi identitas kita. Hingga masa lalu, moralitas agama telah memberikan makna sosial, norma, dan struktur serta mendisiplinkan hasrat dengan menentukan mana yang harus diaktualisasikan dan mana yang tidak. Dalam ekstremisme liberal saat ini-yang telah mengambil alih, menghilangkan, atau menodai hampir semua tradisi-satu-satunya tuhan yang sakral adalah keinginan subyektif nafs.
Dalam dogma ekstremis liberal ini, selama dua pihak setuju, tindakan apa pun yang mereka putuskan untuk dilakukan secara moral tidak dapat ditolak dengan asumsi tidak ada kerugian yang ditimbulkan (atau setidaknya tidak terlihat seperti itu). Pada kenyataannya, keinginan yang disetujui oleh pihak-pihak tersebut diproduksi secara masal, dan definisi “bahaya” yang mereka patuhi ditentukan secara hati-hati oleh elit yang mementingkan diri sendiri. Apa yang dulunya secara moral tidak dapat ditolak hanya oleh para elit ekstremis tersebut telah diarusutamakan dan kemudian dipaksakan ke dalam tenggorokan masyarakat yang tidak mampu menolaknya. Hal yang sangat penting dalam agenda ini adalah transformasi keinginan non-normatif dari segelintir orang menjadi hak suci yang harus disetujui dan kemudian dirayakan oleh semua orang. Proses ini mengharuskan adanya transmutasi keinginan menjadi identitas, sehingga menolak keinginan seseorang atau tindakan yang menyertainya menjadi identik dengan menolak keberadaan mereka, dan karenanya dapat disamakan dengan pelanggaran hak asasi dan martabat fundamental.
Berikut ini adalah rangkuman dari sejumlah rekomendasi yang dihasilkan dari paparan di atas.
1. Merebut kembali bahasa kita
Kita harus mulai dengan merebut kembali bahasa kita. Istilah-istilah kunci dalam wacana tentang hasrat seksual, perilaku, dan identitas telah diresapi dengan muatan politik dan sosial yang sangat besar sebagai bagian dari kampanye yang disengaja. Untuk alasan ini, sebaiknya kita menghindari penggunaan istilah-istilah seperti LGBT – baik akronim itu sendiri maupun label-label penyusunnya – sebagai deskripsi realitas, dan membatasinya pada wacana analitis yang kritis. Sebaliknya, ketika mendiskusikan masalah ini dalam konteks kecenderungan yang tidak dipilih yang dialami oleh umat Islam dan orang lain, kita harus memilih istilah deskriptif tanpa beban identitas seperti “ketertarikan sesama jenis”, “kecenderungan homoseksual”, “disforia gender”, dan sejenisnya. Ketika berbicara tentang perilaku seksual yang dilarang-apakah zinā antara laki-laki dan perempuan, sodomi antara laki-laki dan laki-laki (liwāṭ), seks lesbian (siḥāq), atau yang lainnya-kita harus berterus terang, dalam konteks yang tepat, dalam menggunakan bahasa yang menyampaikan penentangan moral yang melekat pada tindakan tersebut oleh Syariah (seperti fāḥishah, dll, atau padanannya dalam bahasa Inggris).
2. Menetapkan dengan jelas paradigma gender dan seksualitas Islam
Sebagai sebuah komunitas, bagaimana kita dapat menangani masalah ini secara efektif dengan cara yang adil dan penuh kasih sayang? Pertama, kita perlu dengan kuat dan percaya diri menetapkan paradigma gender dan seksualitas Islam kita sebagai paradigma yang independen dan berbeda dengan paradigma yang dianut oleh Barat kontemporer. Meskipun menyatakan hal ini tabu, kita menganggap gender sebagai sesuatu yang esensial dan tidak hanya bersifat insidental atau dikonstruksi secara sosial. Kami menegaskan bahwa perbedaan gender adalah sesuatu yang nyata dan merupakan pemberian Tuhan. Mendekonstruksi kerangka kerja hasrat-perilaku-identitas seksual yang bercampur aduk di Barat memungkinkan kita, dan mengajarkan kepada orang lain, untuk menghargai kebijaksanaan dan hukum Pencipta kita.
Kita juga harus terus aktif mengkritik dan mendekonstruksi paradigma Barat pasca revolusi seksual sambil secara bersamaan menegaskan paradigma kita sendiri. Mengutuk norma-norma pasca revolusi seksual tidak membuat Muslim menjadi “pemalu”. Aktivitas seksual yang sah tidak hanya diperbolehkan dalam Islam, tetapi juga dirayakan dan dihargai. Ekspresi seksual yang terlarang-entah itu heteroseksual atau homoseksual-mengakibatkan kehancuran dan kekacauan secara individu dan komunal.
3. Menunjukkan sifat neokolonial dari proyek LGBT untuk dunia Muslim
Kita juga harus menekankan bahwa penyebaran paradigma LGBT di seluruh dunia saat ini dimulai dengan imperialisme budaya dan pencucian otak, namun, seperti feminisme dalam Perang Teluk Kedua, dapat dengan mudah digunakan sebagai bagian dari upaya untuk membenarkan paksaan dan sanksi neokolonial.76 Dengan kata lain, proyek normalisasi LGBT yang berasal dari Barat dipaksakan kepada masyarakat lain sebagai sebuah “kebenaran” yang tak dapat ditawar. Masyarakat lain diharapkan untuk menyelaraskan diri mereka dengan kepentingan, ide, dan ideologi Barat sebagai suatu hal yang prinsipil karena “Barat tahu yang terbaik; selalu dan akan selalu begitu.” Para pendukung kaum kiri progresif di Barat berbicara tentang “mendekonstruksi” dan menantang neokolonialisme, tetapi mereka tidak melakukan lebih dari sekadar menukar satu jenis neokolonialisme dengan yang lain. Kita tidak bisa mengkritik moralitas Victoria yang dipaksakan kepada dunia Muslim oleh penjajah Inggris pada abad ke-19, namun menutup mata terhadap paradigma pasca revolusi seksual yang dipaksakan kepada dunia Muslim saat ini.
4. Menolak paradigma identitas seksual
Individu dalam Islam tidak diidentifikasi berdasarkan seksualitasnya, dan sumber-sumber normatif Islam serta tradisi tidak memiliki istilah yang dapat digunakan untuk menandai seseorang berdasarkan “identitas seksual”. Kita memuliakan manusia dengan menghargai mereka sebagai makhluk ciptaan Allah, bukan dari jenis hasrat yang mereka alami. Paradigma identitas seksual pada dasarnya tidak sesuai dengan Islam. Kita harus menggunakan istilah deskriptif dan kata sifat, seperti “dia mengalami ketertarikan sesama jenis” atau “dia mengalami disforia gender,” daripada menggunakan bahasa yang bersifat identitas, seperti mengatakan bahwa “dia gay” atau “dia trans.” Dengan demikian, kita dapat menghindari mereduksi individu-individu ini menjadi satu sisi dari eksistensi mereka, yaitu hasrat seksual mereka. Hal ini juga membantu umat Islam yang mengalami tantangan seperti itu untuk menghindari melihat diri mereka sendiri dalam istilah identitas seksual yang esensial dan reduktif yang kemungkinan besar akan mengarah pada benturan yang tidak dapat diselesaikan dengan ajaran Islam.
5. Tidak ada eksklusivisme gay
Apa yang dimaksud dengan “eksepsionalisme gay” (baik positif maupun negatif) adalah: mendorong penerimaan hubungan sesama jenis atau “pembengkokan gender” dalam lingkungan Islam sama tidak bisa diterimanya dengan mendorong alkohol, zinā, dan sebagainya. Tidak ada izin khusus untuk melakukan, atau mendorong untuk melakukan, apa yang telah dilarang oleh Allah hanya karena hal tersebut dapat diterima di masyarakat Barat kontemporer atau karena seseorang telah menganut paradigma identitas seksual Barat saat ini. Sebagai Muslim, kita tidak mengaitkan tindakan homoseksual dengan identitas. Oleh karena itu, melarang atau mengutuk tindakan tersebut di lingkungan Muslim bukanlah pelanggaran hak asasi manusia atau penolakan terhadap martabat mereka. Dengan cara yang sama, kita tidak boleh menstigmatisasi atau mengucilkan Muslim lain hanya karena mereka memiliki dan dengan setia bergumul dengan identitas gender dan/atau ketertarikan sesama jenis. Jika seorang Muslim lain curhat kepada Anda tentang masalah ini, rangkullah mereka dan dukunglah mereka dalam upaya mereka untuk mewujudkan tujuan mereka sebagai seorang Muslim dan menjalani hidup mereka dengan tunduk kepada Tuhan dan agama-Nya. Setiap orang berjuang dengan hal-hal yang tidak mereka bawa sendiri. Dalam Islam, ujian ketundukan adalah mereformasi nafs agar selaras dengan perintah Tuhan. Apakah perjuangan itu menyangkut narkoba, alkohol, ketertarikan sesama jenis atau identitas gender, iri hati, atau menggunjing – “Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan diri [dari apa yang dilarang Allah].”77
6. Menyeimbangkan perasaan subjektif dengan kebenaran objektif
Komponen lain yang penting dalam mewujudkan prinsip-prinsip kita adalah menyeimbangkan kebutuhan individu dan komunal, serta perasaan subjektif dan kebenaran objektif mengenai apa yang benar dan salah. Untuk mencapai keseimbangan ini, kita harus menawarkan dukungan dan konsultasi pribadi kepada Muslim yang sedang berjuang dan bukan “akomodasi” atau “inklusi” publik. Tipe aktivis yang suka menentang tidak boleh dibiarkan mengganggu ruang-ruang Islam atau memaksakan kehendak mereka kepada masyarakat. Hal ini mirip dengan bagaimana kita memperlakukan seorang Muslim yang minum alkohol: kita akan melarang mereka menjual alkohol pada karnaval Idul Fitri, namun juga memberikan dukungan pribadi kepada mereka jika mereka bergumul dengan kebiasaan minum alkohol.
7. Membantu orang yang berjuang dengan tulus
Kita harus menunjukkan empati dan pengertian kepada orang Muslim yang berurusan dengan ketertarikan sesama jenis atau masalah identitas gender yang sering kali merupakan masalah yang sangat sulit dan membebani secara emosional. Seperti yang telah disebutkan di atas, kita harus membantu orang tersebut dalam hal kerohanian secara umum dan dengan cara-cara lain: mencarikan mereka mentor, menasehati mereka, meminjamkan telinga untuk mendengarkan dan bahu untuk menangis. Namun, kita juga harus mengetahui batasan-batasannya: masalah yang terlibat seringkali kompleks dan tertanam dalam-dalam. Jangan berpura-pura mengetahui segalanya tentang bagaimana orang tersebut harus menghadapi berbagai hal. Sebaliknya, hadirlah untuk memberikan dukungan secara umum, tetapi arahkan mereka ke arah yang benar untuk menemukan sumber daya yang mereka butuhkan. Untuk sumber daya tambahan tentang topik ini dan informasi latar belakang umum lainnya, lihat referensi yang dikutip di bawah ini.78
8. Menegakkan Jalan yang Lurus
Ketika terlibat dengan masalah ini pada tingkat individu dan/atau komunal, kita harus mengingat “tiga C” untuk mempertahankan Jalan Lurus: kejernihan, welas asih, dan keyakinan. Berbelas kasih kepada seseorang yang bergumul dengan identitas gender atau ketertarikan sesama jenis tidak berarti membengkokkan perintah Tuhan atau salah mengartikan paradigma Islam mengenai gender, seksualitas, moralitas, dan identitas. Tidak ada yang lebih penyayang dan pengasih daripada Tuhan; kasih sayang yang sejati berarti membimbing orang lain kepada kebenaran dan apa yang menyenangkan Sang Pencipta.
Wacana LGBT kontemporer sering kali membuat Muslim Barat merasa malu dengan ajaran Islam tentang etika seksual. Namun, etika seksual Islam bukanlah masalahnya. Sebaliknya, etika seksual Islam adalah satu-satunya solusi untuk masalah kita-solusi yang sangat dibutuhkan oleh Barat dan seluruh dunia. Merupakan keharusan dalam Al Qur’an untuk menegakkan standar etika kita dengan penuh keyakinan, seperti yang dinyatakan oleh Allah: “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik, sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.”79 Inilah perintah yang telah diberikan kepada kita, dan inilah perintah yang harus kita penuhi.
Ya Allah, tunjukkanlah kepada kami kebenaran sebagai kebenaran dan karuniakanlah kepada kami untuk mengikutinya, dan tunjukkanlah kepada kami kebatilan sebagai kebatilan dan karuniakanlah kepada kami untuk menghindarinya. Amin!
………………………………………………………………………………………………………………..
Notes
2 Adan Butt, “Western University: Remove the Depiction of Hijab from Your LGBTQ Post,” Change.org, https://www.change.org/p/western-university-remove-the-depiction-of-hijab-from-your-lgbtq-post.
3 Daniel Villarreal, “University Pulls Image of Women in Hijabs Kissing after Muslim Community Protests,” LGBTQ Nation, May 19, 2022, https://www.lgbtqnation.com/2022/05/university-pulls-image-women-hijabs-kissing-muslim-community-protests/.
4 Villarreal, “University Pulls Image.”
5 Qur’an 51:56.
6 Qur’an 33:36.
7 Malinda Lo, “LGBTQ YA by the Numbers: 2015–16,” Malinda Lo (blog), October 12, 2017, https://www.malindalo.com/blog/2017/10/12/lgbtq-ya-by-the-numbers-2015-16.
8 Victoria Whitley-Berry, “After Decades in the Background, Queer Characters Step to the Front in Kids’ Media,” NPR, June 30, 2021, https://www.npr.org/2021/06/30/1011310695/after-decades-in-the-background-queer-characters-step-to-the-front-in-kids-media.
9 SOGI 1 2 3, 2019, www.sogieducation.org/, accessed September 13, 2022.
10 “Results,” SOGI 1 2 3, https://www.sogieducation.org/results.
11 Sam Killermann, “The Genderbread Person V4.0,” The Genderbread Person, 2017, www.genderbread.org/resource/genderbread-person-v4-0, accessed September 13, 2022.
12 Sam Killermann, “Breaking through the Binary: Gender Explained Using Continuums,” March 27, 2015, https://www.genderbread.org/wp-content/uploads/2017/02/Breaking-through-the-Binary-by-Sam-Killermann.pdf.
13 Killerman, “Breaking through the Binary.”
14 Wikipedia, s.v. “Florida Parental Rights in Education Act,” last modified October 6, 2022, 07:11, https://en.wikipedia.org/wiki/Florida_Parental_Rights_in_Education_Act.
15 Wikipedia, s.v. “Florida Parental Rights in Education Act,” sec. The Walt Disney Company.
16 Anna Cooban, “Burger King Has a ‘Pride Whopper’ with ‘Two Equal Buns,’” CNN, June 7, 2022, https://www.cnn.com/2022/06/07/business-food/burger-king-pride-whopper.
17 Ṣaḥīḥ al-Bukhārī, no. 1968.
18 See Meg Jay, “The Downside of Cohabiting Before Marriage,” New York Times, April 15, 2012, http://www.nytimes.com/2012/04/15/opinion/sunday/the-downside-of-cohabiting-before-marriage.html.
“Hidup bersama di Amerika Serikat telah meningkat lebih dari 1.500 persen dalam setengah abad terakhir. Pada tahun 1960, sekitar 450.000 pasangan yang belum menikah tinggal bersama. Sekarang jumlahnya lebih dari 7,5 juta. Mayoritas orang dewasa muda berusia 20-an akan tinggal bersama pasangan romantis setidaknya sekali, dan lebih dari setengah dari semua pernikahan akan didahului dengan kumpul kebo. Pergeseran ini disebabkan oleh revolusi seksual dan ketersediaan alat kontrasepsi, dan dalam ekonomi kita saat ini, berbagi tagihan membuat hidup bersama menjadi menarik.”
19 See Mary Eberstadt, Adam and Eve After the Pill: Paradoxes of the Sexual Revolution (San Francisco: Ignatius Press, 2012).
20 See Katy Faust, Them Before Us (New York: Post Hill Press, 2021).
21 See Sherif Girgis, “The Historic Christian Teaching Against Contraception: A Defense,” Public Discourse, August 10, 2016, https://www.thepublicdiscourse.com/2016/08/17559/.
22 Omar Suleiman, “Islam and the Abortion Debate,” Yaqeen, March 20, 2017, updated September 20, 2022, https://yaqeeninstitute.org/read/paper/islam-and-the-abortion-debate.
23 The Pill was hailed as a success as a contraceptive in the closing years of the 1950s. See Nicholas Bakalar, “Birth Control Pills, 1957,” New York Times, October 25, 2010, https://www.nytimes.com/2010/10/26/health/26first.html.
24 Nicholas Eberstadt and Apoorva Shah, “Fertility Decline in the Muslim World: A Demographic Sea Change Goes Largely Unnoticed,” Hoover Institution, June 1, 2012, https://www.hoover.org/research/fertility-decline-muslim-world.
25 For a short but useful treatment on the problematic notion of “consent” as employed in contemporary liberal discourses surrounding sex and sexuality, see Timothy Hsiao, “The Limits of Consent,” Public Discourse, September 23, 2015.
26 Qur’an 57:27.
27 Ṣaḥīḥ Muslim, no. 1674.
28 For one such instance where spiritual ecstasy is likened to sexual climax, see Ibn al-Qayyim, Madārij al-sālikīn, translated by Ovamir Anjum as Ranks of Divine Seekers (Leiden: Brill, 2020), 2:224–25.
29 Qur’an 8:20–23.
30 The concept of psychologization is discussed in Carl R. Trueman, Strange New World: How Thinkers and Activists Redefined Identity and Sparked the Sexual Revolution (Wheaton, IL: Crossway, 2022), Ch. 4.
31 For a relevant discussion of the thinkers named here, see the aforementioned work by Carl R. Trueman, The Rise and Triumph of the Modern Self: Cultural Amnesia, Expressive Individualism, and the Road to Sexual Revolution (Wheaton, IL: Crossway, 2020), chap. 5 and 6.
32 This idea, called emotivism, was studied and critiqued at length by Catholic philosopher Alasdair MacIntyre in After Virtue (1980).
33 Qur’an 59:19.
34 Qur’an 25:43.
35 Qur’an 35:8.
36 Trueman, Strange New World, 74.
37 Trueman, Strange New World, 79.
38 Trueman, Strange New World, 157.
39 For more on this, see Dr. Shabbir Akhtar’s essay, which discusses the Qur’anic notion of fiṭra and its corruption: Shabbir Akhtar, “A Path Straightened Out: Perspectives on Human Nature in the Qur’an,” Yaqeen, October 22, 2020, updated November 5, 2020, https://yaqeeninstitute.org/read/paper/a-path-straightened-out-perspectives-on-human-nature-in-the-quran.
40 Marshall Kirk and Hunter Madsen, After the Ball: How America Will Conquer Its Fear and Hatred of Gays in the 90s (N.p.: Plume, 1989), xxviii.
41 Kirk and Madsen, After the Ball, 149.
42 Qur’an 53:45.
43 Qur’an 92:3.
44 Qur’an 53:45.
45 Qur’an 3:36.
46 Qur’an 30:21.
47 Qur’an 4:1.
48 Qur’an 33:35.
49 Qur’an 9:71.
50 Qur’an 4:32.
51 See, for instance, Leonard Sax, Why Gender Matters: What Parents and Teachers Need to Know About the Emerging Science of Sex Differences, 2nd ed. (New York: Harmony Books, 2017). See also Steven E. Rhoads, Taking Sex Differences Seriously (New York: Encounter Books, 2005); Peter J. O’Connor and Cressida M. Brown, “Sex-Linked Personality Traits and Stress: Emotional Skills Protect Feminine Women from Stress but Not Feminine Men,” Science Direct 99 (September 2016), 28–32; Ron Su et al., “Men and Things, Women and People: A Meta-analysis of Sex Differences in Interests,” Psychological Bulletin 135, no. 6, National Library of Medicine (Nov. 2009), 859–884; “Sex Differences in Brain Anatomy,” National Institutes of Health (July 28, 2020).
52 Sebagai contoh, dalam semua mazhab utama fikih Islam, pria dapat menjadi imam dan memimpin jemaah dalam salat, sedangkan wanita tidak; pria sangat dianjurkan untuk salat berjemaah di masjid, sedangkan wanita diberi pilihan bebas, dan lebih disukai untuk salat di rumah (beberapa mazhab sangat menyarankan agar wanita tidak salat di masjid); shaf ideal untuk pria adalah shaf paling depan, sedangkan untuk wanita adalah shaf paling belakang. Salah satu hadis menyatakan: “Shaf terbaik bagi laki-laki adalah shaf depan dan yang terburuk adalah shaf belakang. Shaf terbaik bagi wanita adalah shaf belakang dan yang terburuk adalah shaf depan.” Ṣaḥīḥ Muslim, no. 440.
53 Ṣaḥīḥ al-Bukhārī, no. 5885.
54 Mohammad Elshinawy, “Ḥayāʾ: More Than Just Modesty,” Yaqeen, August 5, 2021, updated October 8, 2021, https://yaqeeninstitute.org/read/paper/haya-more-than-just-modesty.
55 Qur’an 23:5–6.
56 Hubungan seks melalui dubur secara kategoris dilarang, termasuk antara pria dan wanita yang sudah sah satu sama lain (seperti dalam pernikahan), karena rongga dubur bukanlah wadah yang tepat atau sesuai untuk organ pria dan cairannya. Tindakan seperti itu dianggap sebagai penyalahgunaan tubuh yang sangat buruk, serta pelanggaran terhadap teleologi yang diberikan Tuhan atas organ seksual dan organ-organ lainnya.
57 Qur’an 17:32.
58 For a summary of the rulings and numerous relevant references to contemporary juristic deliberations and conclusions on the question, see Ayman Shabana, “Islamic Law, Assisted Reproductive Technologies, and Surrogacy,” Islamic Law Blog, June 30, 2021, https://islamiclaw.blog/2021/06/30/islamic-law-assisted-reproductive-technologies-and-surrogacy/, accessed September 16, 2022.
59 With the publication of DSM–5 in 2013, “gender identity disorder” was eliminated and replaced with “gender dysphoria.” See the American Psyhiatric Association article “Gender Dysphoria Diagnosis,” https://www.psychiatry.org/psychiatrists/cultural-competency/education/transgender-and-gender-nonconforming-patients/gender-dysphoria-diagnosis, accessed September 15, 2022.
60 For the notion of ʿurf in Islamic law, see Ayman Shabana, Custom in Islamic Law and Legal Theory: The Development of the Concepts of ʿURF and ʿĀDAH in the Islamic Legal Tradition (New York: Palgrave McMillan, 2010), especially chap. 2. For a thorough discussion on the role of culture in determining gender norms, how these norms change over time, and how Muslims should relate to them at various stages of their transformation, consult the interview with Shaykh Mustafa Umar and Waheed Jensen on the A Way Beyond the Rainbow podcast, episode 77 “On Shar‘i Perspectives: Gender Roles and Gender Nonconformity,” February 14, 2022, https://awaybeyondtherainbow.buzzsprout.com/746186/9323916-77-on-shar-i-perspectives-gender-roles-and-gender-nonconformity.
61 Qur’an 33:36.
62 Qur’an 7:80–81.
63 For a detailed examination and thorough deconstruction of such revisionist attempts, see Mobeen Vaid, “Can Islam Accommodate Homosexual Acts? Quranic Revisionism and the Case of Scott Kugle,” MuslimMatters, July 11, 2016, https://muslimmatters.org/2016/07/11/can-islam-accommodate-homosexual-acts-quranic-revisionism-and-the-case-of-scott-kugle/.
64 Qur’an 26:160–70.
65 Qur’an 27:54–55.
66 Qur’an 29:28–29.
67 Qur’an 11:77–79.
68 A strong case for this is made in the highly regarded work on biblical scholarship by Robert A. J. Gagnon, The Bible and Homosexual Practice: Texts and Hermeneutics (Nashville, TN: Abingdon Press, 2002).
69 Vaid, “Can Islam Accommodate Homosexual Acts?”
70 See, for instance, Ibn Qudāma, al-Mughnī, 10 vols. (Cairo: Maktabat al-Qāhira, 1388/1968), 9:87.
71 Musnad Aḥmad, no. 23958, declared sound by al-Albānī.
72 Waheed Jensen, A Way Beyond the Rainbow, https://awaybeyondtherainbow.buzzsprout.com.
73 Straight Struggle, Discord server, https://discordservers.com/server/686461916939288584.
74 Strong Support, https://www.strongsupport.co.uk/.
75 Br. Yousef, “From a Same-Sex Attracted Muslim: Between Denial of Reality and Distortion of Religion,” MuslimMatters, August 22, 2016, https://muslimmatters.org/2016/08/22/from-a-same-sex-attracted-muslim-between-denial-of-reality-and-distortion-of-religion/.
76 For the role of liberalism and feminism in justifying the Second Gulf War, see Lila Abu-Lughod, Do Muslim Women Need Saving? (Cambridge, MA: Harvard University Press, 2015), 29–34.
77 Qur’an 91:9.
78 Waheed Jensen, “Straight Struggle | The Human Component | LGBTQ+ Conference,” EPIC MASJID, YouTube video, March 3, 2020, https://www.youtube.com/watch?v=ipxCFABfYjA; Yousef, “From a Same-Sex Attracted Muslim”; Omar Suleiman, Mustafa Umar, Sarah Sultan, and Ubaydallah Evans, “Islam and LGBTQ,” Yaqeen Institute, YouTube video, June 16, 2022, https://www.youtube.com/watch?v=wb_aqp3yAho; El-Tobgui, “Islam and ‘LGBTQ’”;
Mobeen Vaid, “Where The Rainbow Ends: American Muslims And LGBT Activism,” MuslimMatters, January 7, 2022, https://muslimmatters.org/2022/01/07/where-the-rainbow-ends-american-muslims-lgbt-activism/; Mobeen Vaid, “And the Male Is Not like the Female: Sunni Islam and Gender Nonconformity,” MuslimMatters, July 24, 2017, https://muslimmatters.org/2017/07/24/and-the-male-is-not-like-the-female-sunni-islam-and-gender-nonconformity/;
Mobeen Vaid and Waheed Jensen, “‘And the Male Is Not like the Female’: Sunni Islam and Gender Nonconformity (Part 2),” MuslimMatters, December 30, 2020, https://muslimmatters.org/2020/12/30/and-the-male-is-not-like-the-female-sunni-islam-and-gender-nonconformity-part-2/; Abdul-Hakim Murad, “Boys Will Be Boys . . . Reflections on Gender Identity and Relations,” About Islam, September 2018, https://aboutislam.net/shariah/contemporary-issues/boys-will-boys/; Abdul-Hakim Murad, “Islam, Irigaray, and the Retrieval of Gender,” April 1999, http://www.masud.co.uk/ISLAM/ahm/gender.htm; Abdul-Hakim Murad. “Fall of the Family,” The Silva Initiative, July 12, 2021, https://thesilainitiative.org/articles/fall-of-the-family/20210712/by-abdal-hakim/; “Islam and LGBT Issues: Reading Material,” Muhammadan Discourse, May 20, 2021, https://muhammadandiscourse.blogspot.com/2021/05/islam-and-homosexuality-reading-material.html.
79 Qur’an 16:125.