Ditulis Oleh : Fajar Sidiq
Baiklah, satu hal yang pasti. Tidak ada yang bilang kehidupan yang kita jalani itu mudah. Semua orang selalu memiliki rintangan dan masalah yang dihadapinya masing-masing. Namun, seiring dengan hal tersebut, manusia sebagai makhluk yang ‘rajin mengeluh’ biasanya memperburuk keadaan dengan keluhan-keluhannya. Dengan berbagai perasaan dan pikiran negatifnya. Pusing dengan masalah, ditambah pula dengan keluhan. Paket komplit.
Badiuzzaman Said Nursi memberi isyarat tersebut kepada kita bahwasanya ketika kita mengeluh terhadap ujian yang diberikan oleh Allah SWT., maka sejatinya ujian kita menjadi dua. Satu adalah ujian yang datang dari Allah SWT., satu lagi adalah keluhan-keluhan yang membuat pikiran kita semakin rumit.
Memang, manusia itu sejatinya sangatlah lemah. Rajin mengeluh, sedikit bersyukur. Allah SWT. sendirilah sebagai sang khalik yang tentu paling tahu mengenai manusia.
“Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. (19) Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah, (20) dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir.” (Q.S. Al-Ma’arij: 19-21).
Begitulah tabiat manusia, sedikit-sedikit panik, sedikit-sedikit juga mengeluh. Ketika mereka ditimpa keburukan seperti sakit, miskin, musibah, ya mereka mengeluh, protes, komplain dengan yang Allah berikan. Sementara itu, ketika mereka diberi kebaikan seperti diberi harta, umur yang panjang, mereka malah menjadi pelitnya minta ampun, mendadak lupa apa definisi sedekah. Bahkan, sebagian mereka ada yang berperilaku seperti Qarun yang berkata “sungguh ini semua adalah hasil jerih payahku”. Capek deh.
Dalam hal perkeluhan ini, ada baiknya juga kita dengarkan wejangan dari Ghandi. Dia berpendapat bahwa keep your toughts positive. Because your thoughts become your words. Jagalah pikiranmu tetap positif, karena pikiran positif akan menjadi kata-katamu. Keluhan itu adalah suatu hal yang negatif, kontrakproduktif dengan masalah yang sedang dihadapi. Sederhananya, hanya dengan mengeluh masalah yang kita hadapi tidak pernah akan selesai begitu saja. Keluhan malah memperburuk keadaan. Maka dari itu, agar kita tidak mengeluh, langkah pertama yang harus kita lakukan ialah berpikir positif. Dengan berpikir positif, maka kata-kata yang akan kita keluarkan akan sama positifnya. Alih-alih mengeluh, kita akan ber-husnuzan kepada Allah yang memberikan ujian tersebut bahwa pasti ada hikmah di balik ujian yang kita emban. Bukankah Allah SWT. sesuai dengan prasangka hamba-Nya? Maka dari itu, tetaplah ber-husnuzan untuk setiap hal yang datang kepada kita.
Ghandi melanjutkan bahwasanya, keep your words positive, because your words become your behaviors. Jagalah kata-katamu, karena kata-katamu itu akan menjadi kebiasaan yang kamu lakukan. Saya adalah seorang mahasiswa yang berkuliah di Bandung. Konon katanya, ada beberapa orang Bandung yang juga mahasiswa sama seperti saya, setiap dia berbicara selalu menyisipkan kata-kata kasar. Entah itu blog, anying, dan ragam bahasa kasar lainnya. Dan ternyata, itu benar!! Kata-kata kasar sudah mendarah daging dalam dirinya. Mungkin, saat pelajaran bahasa Indonesia dulu, dia salah mengartikan fungsi koma dan malah diganti dengan kata-kata kasar. Dan bahkan, orang kata-kata kasar juga berpengaruh kepada bagaimana seseorang berperilaku. Lihatlah bagaimana para pelaku mabuk-mabukan, pelaku zina, dan pelaku maksiat lainnya saat berinteraksi, bukankah kata-kata kotor juga senantiasa menemani mereka? Aneh sekali rasanya jika ada orang mabuk-mabukkan sambil bilang alhamdulillah dalam rangka bersyukur bisa mabuk.
Hal ini sebetulnya tidak terbatas hanya pada kata-kata kasar saja. Setiap hal yang sering kita lakukan, atau bahasa yang kita ucapkan sehari-hari, berpengaruh juga kepada kebiasaan yang kita jalankan. Misalnya orang Sunda yang terbiasa berbicara bahasa Sunda. Sering sekali ketika ia berbicara bahasa Indonesia selalu menyisipkan kata-kata bahasa Sunda seperti atuh, euy, dan malah terkadang biasanya dicampur antara bahasa Sunda dengan bahasa Indonesia. Karena itu, Ghandi menegaskan bahwa keep your behaviors positive, because your behaviors become your habits. Jagalah kelakuan-kelakuan kita tetap positif, karena perilaku yang senantiasa kita lakukan akan berubah menjadi kebiasaan. Kita dibiasakan shalat sejak kecil, maka insyaallah ketika kita dewasa, shalat sudah menjadi makanan keseharian kita. Sebaliknya, jika kita tidak dibiasakan shalat, mungkin untuk menjalankan satu shalat saja tantangannya luar biasa beratnya bagi kita.
Ghandi melanjutkan, keep your habits positive, because your habits become your values. Jagalah kebiasaan kita tetap positif, karena kebiasaan kita akan berubah menjadi bagaimana nilai di dalam diri kita. Menurutmu, bagaimana cara orang-orang menilai seseorang? Si A memiliki julukan sebagai seorang ustaz tentu karena kebiasaan ibadah yang dia lakukan. Si B diberi julukan tukang ngibul karena ia rajin berbohong. Kira-kira, begitulah sepintas bagaimana orang lain menilai kualitas nilai yang ada di dalam diri manusia.
Namun, tentu komentar orang lain bisa dijadikan sebagai bahan evaluasi bagi diri kita sendiri. Di sisi lain, penilaian tersebut bukanlah penilaian yang sejati. Si A dianggap ustadz karena rajin beribadah, tetapi ternyata dia hanya ingin riya saja. Maka dari itu, yang paling tahu tentang nilai diri kita adalah diri kita sendiri. Dan kebiasaan-kebiasaan baik, adalah bagaimana cara agar kita terbiasa dengan hal-hal yang baik, dengannya semoga kita bener-bener jadi orang yang baik pula.
Terakhir, Ghandi meneruskan bahwasanya keep your values positive, because your values become your destiny. Jagalah nilai diri kita positif, karena nilai diri tersebut akan berubah menjadi takdir kita. Memang betul, bahwa takdir manusia telah ada bahkan 50.000 tahun sebelum alam semesta diciptakan. Namun, karena hal tersebut sebagian orang keliru dalam menafsirkannya. Sebagian orang berpikir karena takdir telah ditetapkan, maka untuk apa kita berusaha? Untuk apa kita berbuat? Orang toh baik-buruknya semua sudah ditentukan, kita pasrah saja tanpa usaha dan biarkan semesta bekerja. Biasanya, kalimat Jabariyah seperti ini dilontarkan untuk dijadikan sebagai pembenaran saja.
Sementara itu, terkadang kita melupakan definisi dari tawakal itu sendiri. Tawakal itu tentunya berserah diri kepada Allah SWT. Namun, penyerahan diri tersebut setelah diiringi oleh ikhtiar yang kita lakukan. Kenapa saat manusia melakukan dosa itu memiliki konsekuensi untuk dihukum? Karena dosa yang dilakukan manusia memiliki campur tangan dari kehendak manusia itu sendiri. Maka dari itu, ikhtiar dan tawakal itu benar-benar penting untuk kita jalankan.
Terdapat ungkapan bahwasanya “jika kita ingin melihat seperti apa diri kita 5 tahun mendatanga, maka kita cukup melihat apa yang kita kerjakan di hari ini.” Mungkinkah ketika kita ingin menjadi seorang penulis misalnya, kita hanya bermalas-malasan saja? Mungkinkah kita menginginkan barang yang kita inginkan, kita hanya berdiam diri saja sementara itu kita tidak pergi ke toko di mana barang tersebut dijual? Maka dari itu, jawaban sederhananya, takdir kita di masa depan, bisa jadi tergantung apa yang sedang kita kerjakan hari ini. Jika kita mencita-citakan jadi orang baik, saleh, rajin shalat misalnya. Tak mungkin kita tak mengusahakannya dari sekarang dengan memperbaiki diri kita beserta amal-amal kebaikan yang menyertainya.
Seseorang yang ditakdirkan mendapatkan peran tertentu selalu beriringan dengan nilai diri yang mereka miliki. Seorang presiden misalnya, tentu sebelum-sebelumnya ia sudah belajar banyak hal. Dimulai dari kemampuan berpolitik, bersosial, public speaking, negosiasi, ekonomi, dan hal lainnya. Suatu peran selalu beriringan dengan kemampuan seseorang tersebut.
Sementara itu, jika kita melihat terdapat mereka yang menempati suatu peran, tetapi dirinya tidak memiliki kapabilitas dalam menjalankan peran tersebut, maka kata rasulullah saw. “Apabila suatu urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka tunggulah terjadinya kiamat.” (HR. Al-Bukhari).
Itulah mengapa nilai diri itu bisa jadi mengantarkan kita kepada ‘takdir kita’. Maka dari itu, untuk mengejar takdir yang baik, mulailah dari berpikiran yang baik-baik, ber-husnuzan. Agar dengan prasangka baik itu, semoga kita ditakdirkan menjadi baik. Menjadi golongan kanan. Ashabul yamin. Amiinn…
Referensi:
- Menghilang, menemukan diri sejati – Fahrudin Faiz
- Al-Qur’an Retrieved from tanzil.net
- Tafsir Al-Qur’an Retrieved from tafsirweb.com
- Hadits retrieved from https://nu.or.id/ilmu-hadits/maksud-hadits-jika-perkara-diserahkan-pada-bukan-ahlinya-tunggulah-kiamat-Nw6cz