Uslub dalam Mengkritik[1]
Tanya: Dewasa ini, ketika membahas persoalan pemerintahan, politik, serta kebijakan birokrasi, pendekatan kritik dan kecaman seakan telah menjadi kriteria tunggal. Apakah pendekatan seperti ini tepat?
Jawab: Kata َلتَّخْريِبُ اَسْهَل telah menjadi idiom di kalangan orang Arab. Terjemahan sederhananya adalah “merusak itu lebih mudah”. Ya, merusak, mengkritik, serta menghancurkan sangatlah mudah. Akan tetapi, “membangun” itu kebalikannya, ia amatlah sulit. Untuk itu, mereka yang ingin melontarkan kritik hendaknya meneliti langkah-langkah “membangun”, memastikannya, baru kemudian diperkenankan melontarkan kritik. Jika tidak, kekosongan yang ditinggalkan oleh kritik tidak akan bisa diisi.
Ya, terdapat beberapa masalah yang tidak memiliki daya tahan kokoh andai solusi alternatifnya belum disiapkan. Saya rasa para nabi, khususnya Baginda Nabi SAW, salah satu tugas utamanya adalah untuk mewujudkan keseimbangan ini. Ya, beliau secara jelas dan terang, dengan cara-cara persuasif seakan berteriak “ini salah!”, tetapi di waktu yang sama beliau menerapkan langkah-langkah alternatif yang benar. Dengan demikian, beliau tidak memberi kesempatan keadaan kacau balau serta kekosongan muncul. Beliau menyeimbangkan keadaan, menimbang segala efek positif serta negatifnya, serta tidak membiarkan kekosongan pikiran dan emosi muncul. Sebenarnya dari pendekatan beliau tersebut terdapat banyak hal yang dijelaskan kepada kita: sekali saja rencana dan proyek “membangun” tidak diletakkan pada pondasi yang kokoh, maka usaha-usaha kritik dan kecaman tak lain dan tak bukan adalah pembunuhan.
Oleh karena pemikiran tersebut tidak dipraktikkan dalam kehidupan nyata, bergantung pada besarnya kesalahan yang dilakukan, ia telah menyeret entah itu individu, keluarga, bahkan terkadang negara ke dalam kekacaubalauan serta pada kekosongan. Jika kita mengambil contoh di mana negara yang mengalami keadaan tersebut, maka negara Usmani-lah yang akan muncul pertama kali dalam benak kita. Saat itu sultan berusaha untuk digulingkan, disampaikan agar ditunjuk sosok yang lebih baik untuk menjadi pemimpin; tetapi ketika sosok yang lebih baik tidak berhasil ditemukan kemudian masuklah negara ke dalam keadaan yang lebih buruk lagi. Kondisi tersebut akhirnya memaksa kita untuk mencari kejayaan masa lalu dengan penuh kerinduan.
Misalnya kritikan tokoh-tokoh seperti Talat, Cemal, dan Enver Pasa; Riza Tevfik, Tevfik Fikret, dan – dalam beberapa kriteria – Mehmet Akif, serta banyak tokoh yang mengkritik Sultan Abdul Hamid II dengan panggilan semisal “Sultan Yang Karatan”, di kemudian hari mereka menyampaikan beragam pujian kepadanya. Akan tetapi, saat itu terjadi semuanya telah terlambat. Tokoh-tokoh seperti Cemal, Talat, serta Enver Pasa merintih sendu:”Aduh! Apa yang sudah kami lakukan Sultanku!”. Riza Tevfik ketika orang-orang Yunani menyerang Izmir menangis tersedu-sedu di pelataran masjid. Beliau pun menulis syair yang menggambarkan permohonan bantuan dari alam maknawi sang Sultan. Ya, mereka mungkin kemudian tersadar, tetapi ba’de harabi’l-Basra, nasi sudah menjadi bubur. Usmani telah runtuh, Mosul, Kerkuk, Suleymaniyah, dan Balkan telah melepaskan diri; ketenteraman yang terjaga selama enam abad perlahan mulai sirna; baru kemudian kesadaran itu tiba. Dunia kini sedang membayar konsekuensinya dengan harga yang sangat mahal. Padahal Usmani adalah unsur penyeimbang antara Timur Tengah, Kaukasia, dan Balkan. Sedihnya, kita baru menyadari hal tersebut setelah Usmani runtuh.
Betapa pedihnya, ternyata kesalahan-kesalahan bersejarah tersebut juga dapat terjadi pada hari ini. Negara serta pemerintahan dikecam dan dikritik sebelum rencana dan proyek alternatif terbaik selesai dirancang. Yang ada hanya slogan-slogan oposan seperti “saya tidak setuju dengan kebijakan tersebut” atau “politik dalam dan luar negeri tidak bisa dijalankan seperti itu…”. Saat mereka diminta untuk menjelaskan, menuliskan, serta menggambarkan bagaimana seharusnya bertindak, maka mereka berdalih dengan mengatakan bahwasanya hal tersebut membutuhkan pikiran dan pengalaman yang luas di mana mereka mengaku tidak memilikinya. Mohon izin, pemerintah dan birokrat bisa saja membuat kesalahan. Akan tetapi, bukan berarti kita bisa mengkritik dan mengecam mereka begitu saja tanpa memikirkan apa yang harus dilakukan sebagai solusi alternatifnya. Pemikiran yang demikian dapat melemahkan negara serta mengurangi wibawa bangsa di hadapan pandangan dunia internasional. Bahkan bisa membuka jalan dimana pengaruh negara pun akan sirna. Misalnya, dari segi geografis, negara kita yang memiliki letak strategis, di tengah-tengah pergolakan politik yang sedang terjadi di lingkungan sekitar kita, andaikata negara kita sedikit lebih kuat lagi, tentunya dapat menyatukan negeri-negeri di Asia Tengah untuk mendukung kita menjadi pusat dan dengan satu langkah dapat menyatukan mereka sebagai partner kita. Bahkan negara kita pun dapat mengumpulkan negara-negara Islam dalam satu kesatuan.
Bukankah kejayaan masa lalu telah membuktikan bahwa ia pernah terwujud? Alpaslan, Fatih, Yavuz, bukankah mereka muncul dengan reputasi kuat serta menjadi harapan bagi setiap anak bangsa? Bukankah mereka sebagian besar berhasil menjawab harapan tersebut dengan hasil yang positif?
Ya, kita tidak memiliki hubungan dengan mereka yang memburu perhitungan-perhitungan keliru. Kita sedari awal hingga saat ini, kadang dengan tangisan kadang dengan senyuman, tetapi dari bibir kita senantiasa terangkai senyuman yang berasal dari harapan; kita senantiasa berusaha keras dengan semangat dari kejayaan masa lalu yang mengitari takdir bangsa kita. Agar guncangan baru tidak lagi muncul dan menimpa bangsa serta negara, kita telah menunjukkan kehati-hatian ekstra dalam menjaga kalbu kita. Dalam menghadapi bahaya yang mengancam, kita senantiasa meneliti langkah apa saja yang harus kita ambil. Dan kepada mereka yang bertahun-tahun dari kampung ke kampung, dari desa ke desa, senantiasa membuntuti serta berbuat keburukan kepada kita, yang bisa kita katakan adalah:
قُلْ كُلٌّ يَعْمَلُ عَلَىٰ شَاكِلَتِهِ فَرَبُّكُمْ أَعْلَمُ بِمَنْ هُوَ أَهْدَىٰ سَبِيلًا
Katakanlah: “Tiap-tiap orang berbuat menurut keadaannya masing-masing”. Maka Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang lebih benar jalannya. (QS Al Isra 84)
Terhadap mereka yang menggunakan kuasa negara untuk mengganggu, kami tidak pernah kecewa ataupun marah kepada negara dan bangsa kami.
Ya, terkait pembahasan ini, keseimbangan adalah hal yang sangat penting. Sedangkan pada hari ini, menurut saya terdapat banyak kesalahan dilakukan di lahan ini. Padahal sebagaimana telah kami berikan contohnya di awal pembahasan, betapa besarnya laku tersebut dalam memberikan efek kerusakan dan komplikasi yang tak dapat kita perkirakan dampaknya di mana kekuatan kita rasanya tak akan cukup untuk memperbaiki walau hanya satu bagiannya saja.
Pendekatan ini bisa jadi meresahkan sebagian dari mereka yang memiliki penampakan radikal. Akan tetapi, menurut saya pembahasan ini cukup lembut. Sebenarnya saya tidak pernah menginginkan sebagian kaum muslimin tersinggung. Namun, di hadapan kita terdapat banyak pemahaman Islam. Mereka berkata “saya Muslim”, tetapi di tangannya terdapat bom, sementara di pinggangnya terdapat senjata untuk melukai orang lain di tengah jalan. Betapa sulitnya memahami dan mempertemukan pemandangan tersebut dengan agama Islam. Tentu saja tidak mungkin bagi kita untuk dapat menyenangkan semua pihak. Dari sudut tersebut, saya secara pribadi khawatir pembahasan ini disalahgunakan ataupun ditafsirkan secara keliru. Walaupun demikian, menjelaskan kebenaran dan hakikat adalah tugas kita.
Kesimpulannya, segala sesuatu harus ditunaikan di dalam peraturan yang melingkupinya. Ketika kita mengatakan “mari membangun: maka kita harus senantiasa menunjukkan perhatian pada uslub untuk tidak mendahulukan kritik dan kecaman. Dengan mengambil pelajaran dari masa lalu, kita tidak boleh jatuh ke dalam kekosongan logika; Bangsa dan negara tak boleh dikorbankan demi kepentingan rasa untuk berpetualang.
[1] Diterjemahkan dari artikel berjudul “Eleştiride Üslûb” di buku Prizma 1, bisa dilihat di laman https://fgulen.com/tr/fethullah-gulenin-butun-eserleri/132-Prizma/11570-fethullah-gulen-elestiride-uslub