Mutiara Hati
Ambil Tongkat itu, Kami Pantas Dihukum!

Ambil Tongkat itu, Kami Pantas Dihukum!

Di lingkungan sekolah, nilai moral dan budaya seharusnya diajarkan dengan porsi yang sama dengan pelajaran umum lainnya, sehingga generasi dengan karakter dan semangat yang kuat dapat membentuk bangsanya menjadi bangsa yang makmur dan sejahtera. Mengajar dan mendidik adalah sesuatu yang berbeda. Banyak orang bisa menjadi seorang guru, namun tidak semua orang bisa mendidik. Menjadi seorang guru-pendidik bergantung kepada perasaan bertanggung jawab dan menjadi penuh perhatian dan menanggung beban amanah di waktu yang bersamaan. Memberi pengaruh ke hati para siswanya hanya bisa dicapai melalui tingkat perasaan jiwa seperti itu.

Kejadian berikut bisa menjadi contohnya:

Pak Ari datang menemui Pak Dimas dalam keadaan panik, “Mereka kabur lagi! Sudah berapa kali kita nasehati, tapi tetap saja mereka melakukannya lagi! Mereka tidak mendengar nasehat kita. Ini sudah ketiga kalinya mereka kabur!”

Pak Dimas bertanya, “ Kali ini, mengapa mereka kabur?”

“Saya kurang tahu; mereka ingin hidup seperti anak nakal,” balasnya

“Bagaimana Anda bisa menangkap mereka terakhir kali, Pak?”

“Pertama, kami temukan mereka di terminal bus dan kedua kalinya mereka kabur, kami menemukan mereka tidur di bangku yang ada di taman. Saat itu, kondisinya sedang PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) jadi polisi menemukan mereka dan menginformasikan kepada kita. Kami datang dan membawa mereka kembali. Kami sudah menasehati kepada mereka tentang perilaku mereka itu sangat beresiko, namun mereka tidak paham-paham.”

Sementara itu, ketiga pelajar yang sedang kabur memutuskan untuk membeli tiket kereta api. Kondektur yang sudah berpengalaman di stasiun kereta api menyadari bahwa anak-anak tersebut sedang kabur.

Dia berkata kepada mereka, “ Dengar nak, di sini bukan tempat yang aman, berikan tiket dan uang kalian dan saya akan menyimpannya. Saat kereta datang, saya akan mengembalikannya.” Anak-anak itu menyadari bahwa itu alasan yang masuk akal dan memberikan tiket mereka ke pak kondektur.

Pak kondektur pun menginformasikan ke polisi di stasiun kereta api dan meminta mereka untuk menginvestigasi anak-anak tersebut. Pak polisi bersikap baik terhadap mereka dan bertanya tentang kondisi anak-anak itu. Pak polisi menemukan nama asrama tempat mereka kabur. Segera Beliau menelpon pihak sekolah dan Pak Dimas yang mendapat informasi tersebut langsung tancap gas menuju ke stasiun. Beliau menjemput ketiga anak kabur itu dan membawanya kembali ke sekolah. Saat itu beliau ingin menghukum mereka secara berat, karena mereka sudah sering kabur sebelumnya. Saat tiba di sekolah, Beliau melihat Pak kepala sekolah dan berubah pikiran untuk menghukum siswa-siswanya. Beliau menceritakan kejadiannya ke Pak kepala sekolah.

Pak kepala sekolah berkata, “ Carikan saya 3 tongkat besi dan pastikan tongkat itu cukup tebal, saya tidak ingin tongkat itu mudah bengkok saat saya memberi pelajaran ke tiga siswa ini. Saya ada kelas sekarang, bawa 3 tongkat itu setelah saya selesai kelas.”

Pak Dimas keluar sambil berpikir, “Bukankah satu tongkat besi saja cukup? Tongkat besi tidak semestinya mudah patah seperti batang kayu biasa.” Kemudian beliau berpendapat, “ Saya harus menghormati beliau, pasti ada pelajaran penting dari ini.”

Setelah beberapa menit, dia kembali dengan menggenggam 3 batang tongkat besi di tangannya. Pak kepala sekolah pun sudah selesai dari kelasnya dan ketiga siswa tadi menunggu didepan pintu seperti pasien yang sedang menunggu untuk dioperasi, dengan rasa takut terlihat di mata mereka. Pak kepala sekolah memanggil mereka “Masuk anak-anak.” Kemudian Beliau menghadap ke Pak Dimas dan berkata kepadanya, “ Sini Pak Dimas, silakan lepas kemeja Anda, saya juga akan melakukan hal yang sama.” Kemudian Beliau melihat siswa-siswanya dan berkata, “ Ini ambil tongkat besinya masing-masing! Kami pantas untuk dihukum. Jika kami adalah contoh dan teladan yang baik, jika kami berhasil menyentuh hati kalian, kalian tidak akan berbuat hal bodoh seperti itu. Kami lah yang pantas untuk hukuman ini. Punggung kami terbuka, pukul sebanyak yang kalian mau.”

Ketiga siswa yang tadinya masuk dalam keadaan wajah pucat dan ketakutan setengah mati sekarang terkaget-kaget. Tongkat-tongkat besi tadi terjatuh dari tangan mereka dan mereka pun bersimpuh di lantai, menangis. Mereka mengaku bersalah kepada Pak kepala sekolah, “Tolong Pak, hukum saja kami apapun kehendak Bapak, patahkan kaki kami namun maafkan kami Pak.” Pak kepala sekolah cukup serius tentang keputusannya untuk menghukum dirinya sendiri. Namun, ketulusan permohonan dari siswa-siswanya menggugah hatinya. Akhirnya, Beliau berubah pikiran dan memutuskan untuk tidak bersikeras lagi. Tidak ada lagi siswa yang kabur dari asrama sekolah tersebut setelahnya.

Terinspirasi dari:

Refik, Ibrahim, Hayatin Renkleri, Istanbul: Albatros, 2001, p. 154

Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *