Tanya: Dalam berhizmet kepada agama, apakah rahasia untuk bisa selalu menjadi manusia aksi dan penuh semangat yang cocok dengan kebutuhan dan kondisi dewasa ini? Apa saja solusi untuk bisa senantiasa menghidupkannya?
Pentingnya Menyandarkan Segala Daya Kepada Pemiliknya, yaitu Allah SWT
Aksi adalah kata yang diserap dari bahasa Perancis. Berikutnya, kita bisa menggunakan istilah gerakan untuk menggantikannya. Di dalam hizmet-hizmet yang dibuat demi agama kita, ketika kita menyebut aksi ataupun gerakan, kita dapat memikirkan makna-makna seperti: tidak melihat cukup apa yang sudah ada; menggenggam usaha di posisi tertinggi; tidak pernah berhenti, jenuh, dan bosan dalam usaha mengubah dunia menjadi koridor surga, ataupun mengantarkan pekerjaan ini hingga tercapai tujuan akhirnya. Sedangkan akhir dari pekerjaan ini adalah – sesuatu sehingga jawaban rahasia dari pertanyaan di atas adalah – untuk menangkap titik ufuk yang dijelaskan oleh ayat:
وَٱعۡبُدۡ رَبَّكَ حَتَّىٰ يَأۡتِيَكَ ٱلۡيَقِينُ
“Dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu yang diyakini (ajal).”[1]
Jadi, maksudnya adalah mengantarkan penghambaan dengan semua ketulusan dan keaktifan sehingga ia menjadi kokoh sampai ajal datang nanti. Ya, mengantarkan penghambaan hingga ajal datang adalah gerakan dan aksi yang sebenarnya. Baik secara individu maupun secara kelompok masyarakat, jika seorang hamba memikirkan tugas dan kewajiban yang diharapkan dari dirinya dengan sepenuh jiwa dan hatinya serta berjuang untuk menunaikannya, maka sebagaimana kita sebutkan sebelumnya, ia telah memahami dan hidup dengan gerakan dan aksi yang sejati. Sebaliknya, jika permasalahannya hanya diambil dari satu dimensi tunggal belaka dan dengan pengabdian-pengabdian materi yang mereka kerjakan sejak awal, walaupun nantinya mereka berhasil membawa Turki menjadi negara paling makmur di dunia serta, sebagaimana disampaikan dalam beberapa karya tulis, andai pedang-pedang digantung di atas menara Masjid Blue Mosque, pekerjaan itu akan tergelincir. Sedangkan sisanya akan mundur dengan teratur. Bahkan andai dalam satu gerakan mereka menyelamatkan dunia lalu mereka yakin dan percaya pada kapasitas perbuatannya, dapat dengan mudah saya sampaikan bahwa segala yang mereka kerjakan tersebut tidak akan dianggap sedikitpun di sisi Sang Haq.
Di bagian kedua pertanyaan dikatakan “Apa saja solusi untuk bisa senantiasa menghidupkannya?” Pertama-tama, untuk bisa melanjutkan semangat dan ruh tersebut berhubungan dengan faktor-faktor berikut ini:
1. Amaliyatul Fikriyah :
Ya, tampaknya kekurangan terbesar kita adalah jauhnya dan lalainya kita dari tafakur dan tadqiq[2]. Selebihnya disebabkan oleh jauhnya kita dari muraqabah (autokontrol) kehidupan hati dan kubur.
2. Rabitatul Maut :
Yaitu senantiasa memikirkan kematian, bersatu dengannya; mempersiapkan diri untuk memenuhi janji pertemuan dengan Malaikat Izrail. Untuk itu, rumah sakit harus dijenguk…, berempati dan menyatu dengan para pasien pengidap berbagai penyakit. Harus mengingat kembali bahwasanya dunia ini fana dan senantiasa mengalami dekadensi dengan menziarahi kuburan serta memikirkan kondisi di liang lahat di mana di sana kita tinggal tulang belulang mengering belaka. Di sisi lain, mengingat pepatah “gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, manusia mati meninggalkan nama,” kita harus berjuang meninggalkan karya dan jasa, dengannya kita berusaha memenuhi umur kehidupan kita. Perhatikanlah kehidupan Sang Kebanggaan Alam Semesta! Di akhri kehidupannya, di waktu perjumpaan dengan Sang Rafiq al Ala semakin dekat pun beliau menyiapkan pasukan untuk melawan Bizantium.[3] Beliau juga mengangkat putra dari syuhada Mu’tah[4], yang dicintainya seperti cintanya kepada cucu-cucu kandungnya, yaitu Sayyidina Usamah bin Zaid[5] r.a. sebagai komandan pasukan. Di waktu-waktu akhir saat sakitnya semakin parah, beliau pingsan, sadar, pingsan lagi, dan setiap sadar beliau selalu bertanya apakah pasukan sudah berangkat atau belum. Saya mohon izin, apakah hal tersebut lazim dipikirkan dan dikalutkan oleh orang-orang yang sedang menghadapi sakaratul maut? Tetapi tidak bagi para pegiat dakwah. Dibutuhkan pekerja magang yang layak untuk disandingkan dengan Sultan seperti Beliau! Dan dari negeri ini muncul satu jenius yang amat cemerlang: Murad Hudavendigar[6]. Beliau membatasi hidupnya dengan jalan meletakkan ganjal di perut sebagaimana yang dilakukan Baginda Nabi. Sebelum menyerahkan ruhnya kepada Tuhannya di medan perang, orang-orang terdekatnya, yaitu Gazi Mihal[7] dan Gazi Evranos[8] bertanya: “Sultan, apa ada permintaan terakhir Anda?” Jawaban Sang Sultan adalah jawaban yang nanti ditulis oleh tinta emas dalam lembaran sejarah manusia:”Attan inmeye inmeyesüz, kılıcınızı kınına koymayasuz! ~ Kita tidak boleh turun dari punggung kuda, kita tidak boleh sarungkan pedang!”. Beliau tidak berwasiat untuk memakamkan jasadnya di Bursa ataupun supaya penerusnya membalaskan dendamnya. Sebaliknya, dengan apa yang disampaikannya tersebut beliau sedang menghembuskan semangat aksi di jalan dakwah dimana beliau jatuh syahid. Salah satu jalan untuk bisa meraih titik ufuk tersebut adalah dengan menghadapi kematian dengan senyuman serta menerima kematian sebagai hari raya dan pesta resepsi purna tugas kita di muka bumi.
3. Tidak tertinggal dari profit yang didapat dari hasil kerja kolektif.
Barangkali sebagian dari kita telah runtuh kehidupan kalbuya. Kita harus memperbaikinya dengan jalan hadir di dalam atmosfer yang penuh berkah, yaitu tempat di mana orang-orang baik berkumpul. Terkadang di dalam atmosfer negatif dimana kita terdapat di dalamnya, mata kita, telinga kita, tangan hingga kaki kita sendiri tidak cukup bagi kita. Di waktu itulah genggaman tangan, tatapan mata, serta perhatian dari telinga para sahabat dapat mewujudkan apa yang kita butuhkan serta membantu kita meraih keadaan di atas kekuatan dan kemampuan kita.
4. Untuk bisa selalu berada dalam skema hizmet kepada bangsa yang hidup dan aktif, secara mutlak kita harus ambil bagian dalam tugas dengan penuh semangat tanggungjawab
Ya, sejumlah orang yang berniat untuk melakukan hizmet kepada bangsanya berkumpul dalam frekuensi sering; mereka sibuk menelaah dan membahas hasil kerja serta program lanjutannya, seminggu penuh mereka bangun dan tidur dengan kesibukan tersebut; tanpa membiarkan waktu berlalu percuma mereka hembuskan nafas-nafas hizmet. Ketika mereka berlaku demikian, maka Allah SWT pun memberkahi gairah dan semangatnya, atau dengan kata lain memberkati gerakan dan aksinya. Barangkali ini adalah ungkapan hakikat dari hadis qudsi:”…Jika ia datang kepadaKu sehasta, Aku mendekat kepadanya sedepa. Jika ia datang kepadaKu dengan berjalan, maka Aku mendatanginya dengan berlari...”[9]
Kesimpulan; ketika penindasan disungkurkan ke tanah; para ksatria yang menyumbangkan bahunya untuk memikul pekerjaan yang amat indah ini pertama-tama melalui tafakur akan menyadari betapa berharganya nilai-nilai yang mereka miliki… dengan rabitatul maut, mereka akan melampaui fana dan dekadensi dunia… bahkan mereka akan menunjukkan jalan untuk menjadi eksis di tengah-tengah kefanaan dan dekadensi dunia kepada orang-orang di sekitarnya. Mereka akan menunjukkan kepada orang lain jalan untuk menjadi eksis di dalam kumpulan rekan-rekan yang membersamainya bahu-membahu di jalan hizmet kepada bangsa. Bersama mereka melewati setiap kesulitan, cobaan, ujian, juga kebahagiaan di setiap tempat dan waktu. Dengan jalan ini angka satu akan mencapai seribu. Para pahlawan futuwah yang menjadi representasi dari loyalitas akan berlari menuju hizmet-hizmet berikutnya dengan penuhsemangat dan gairah seolah berangkat menuju pertemuan dengan tokoh-tokoh besar nan jadi panutan di dunia pembimbing dan penunjuk jalan keselamatan. Betapa banyak pahlawan yang akan menampilkan gerakan di atas gerakan untuk mewujudkan kabar gembira yang telah dikirimkan ke alam dunia berabad-abad yang lalu.
Ya Allah, angkatlah generasi kami dengan anugerah, kemurahan, serta inayatMu! Berkat Kemahakuatan serta KeperkasaanMu, dukunglah kami di jalan dan perjuangan besar yang mana ia tak mampu kami lalui dengan kekuatan dan kemampuan kami! Jadikanlah kami dan generasi kami sebagai bagian yang melanjutkan tugas besar ini! Ya Allah, selama agama ini eksis di muka bumi, bahagiakanlah mereka baik yang ada di atas maupun di dalam permukaan bumi!
Diterjemahkan dari artikel yang berjudul “Temel Dinamikleri Ile Aksiyon”, yang terdapat di buku Prizma 1, hlm. 24
[1]Surat al Hijr 15:99
[2] Pemeriksaan secara seksama dan detil
[3] Bukhârî, mağâzî 87; Müslim, fazailü’s-sahâba 63.
[4] Bukhârî, mağâzî 44; Müslim, janâiz 30
[5] Bukhârî, adab 22, Ahmad Ibn Hanbal, al-Musnad 5/205.
[6] Murat Hudavendigar adalah Sultan Murad I. Hudavendigar berasar dari bahasa Persia yang bermakna “Yang Taat Kepada Tuhannya”. Tetapi dalam konteks ini bermakna Khalifahnya Allah. Adalah sultan ke-3 Usmani setelah Osman Gazi dan Orhan Gazi. Beliau syahid setelah berhasil menakhlukkan Kosovo
[7] Abdullah Mihal Gazi adalah sahabat seperjuangan Sultan Murad. Beliau adalah komandan bizantium pertama yang memilih Islam dan bergabung dengan pasukan Usmani. Bernama asli Mikhael Kosses, setelah bersyahadat beliau menerima nama yang diusulkan oleh Sultan Muran, yaitu Abdullah. Beliau kemudian dikenal dengan nama Abdullah Mihal Gazi
[8] Komandan Perang di masa Sultan Murad I, Bayezid I, Suleyman Celebi, dan Mehmed I
[9] عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ – رضى الله عنه – قَالَ قَالَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – « يَقُولُ اللَّهُ تَعَالَى أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِى بِى ، وَأَنَا مَعَهُ إِذَا ذَكَرَنِى ، فَإِنْ ذَكَرَنِى فِى نَفْسِهِ ذَكَرْتُهُ فِى نَفْسِى ، وَإِنْ ذَكَرَنِى فِى مَلأٍ ذَكَرْتُهُ فِى مَلأٍ خَيْرٍ مِنْهُمْ ، وَإِنْ تَقَرَّبَ إِلَىَّ بِشِبْرٍ تَقَرَّبْتُ إِلَيْهِ ذِرَاعًا ، وَإِنْ تَقَرَّبَ إِلَىَّ ذِرَاعًا تَقَرَّبْتُ إِلَيْهِ بَاعًا ، وَإِنْ أَتَانِى يَمْشِى أَتَيْتُهُ هَرْوَلَةً »
Dari Abu Hurairah –radhiyallahu ‘anhu-, ia berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah Ta’ala berfirman: Aku sesuai persangkaan hamba-Ku. Aku bersamanya ketika ia mengingat-Ku. Jika ia mengingat-Ku saat bersendirian, Aku akan mengingatnya dalam diri-Ku. Jika ia mengingat-Ku di suatu kumpulan, Aku akan mengingatnya di kumpulan yang lebih baik daripada pada itu (kumpulan malaikat). Jika ia mendekat kepada-Ku sejengkal, Aku mendekat kepadanya sehasta. Jika ia mendekat kepada-Ku sehasta, Aku mendekat kepadanya sedepa. Jika ia datang kepada-Ku dengan berjalan (biasa), maka Aku mendatanginya dengan berjalan cepat.”(HR Bukhari no 6970 dan Muslim no. 2675)
Inspiratif