Pertolongan-Nya dalam Mengabdi di Jalan-Nya

Allah Azza wa Jalla dalam Al Quran berfirman,

“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya dan janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan Muslim.” (QS.Ali Imran : 102)

Ayat ini memiliki makna yang begitu dalam.

Semua orang beriman harus memiliki pijakan yang kuat; berusaha menjaga kesucian hati; selalu mengingat makna penciptaan;  sekuat tenaga memenuhi janji pada-Nya.

Senada dengan ayat dalam surat Al-baqarah, “…penuhilah janjimu kepada-Ku, niscaya Aku penuhi janji-Ku kepadamu, dan takutlah kepada-Ku saja.” (Al-baqarah : 40)

Kita sudah berjanji untuk mengenal-Nya, mengenalkan-Nya pada insan lainnya, dan menyembah-Nya dengan sebaik-baik penyembahan. Jika janji kita ini terpenuhi, niscaya Dia akan mengampuni hamba-hamba-Nya dan menganugerahkan indahnya surga.

Memiliki pijakan yang kuat memiliki makna tersendiri. Makna tersebut termaktub dalam ayat, “Wahai orang-orang yang beriman! Jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.” (QS. Muhammad : 7)

Tidak ada seorang hamba pun yang mampu menolong Allah dan Allah tidak membutuhkan pertolongan dari siapapun. Ayat ini bermakna bahwa kita harus menolong agama Allah dan berjuang untuk mensyiarkan keagungan nama-Nya. Barangsiapa yang menolong agama-Nya pasti akan mendapat ampunan Allah kelak di akhirat. Mereka akan meninggalkan dunia fana ini dengan iman di kalbunya. Allah akan meneguhkan kedudukannya sepanjang hayatnya.

Hal ini berlaku bagi kedua belah pihak, pihak yang membimbing dan pihak yang dibimbing.

Di akhirat, begitu banyak balasan yang tidak terduga menunggu hamba-hamba yang seperti ini.

Ada satu kisah yang sangat menarik.

Seorang pemuda bernama Safa yang sedang menempuh studinya di Asia Tengah bercerita,

“Saya memiliki seorang teman yang mendapat beasiswa pemerintah. Kita berada di jurusan dan kelas yang sama. Ia lulusan dari sekolah menengah teknik sebelumnya.

Ia tinggal di asrama yang disediakan oleh pihak perguruan tinggi.

Selama liburan musim panas, ia pulang kampung halaman dan ayahnya merasa anaknya itu telah berubah.

Sang ayah berkata, “Nak, saya pikir, sepertinya disana, semua sudah menjadi terlalu bebas bagimu. Ayah tidak akan mengirimmu kembali lagi ke sana.”

Ia bersikeras agar ayahnya mengizinkannya kembali berkuliah, dengan dalih bahwa pendidikan merupakan sesuatu yang begitu berarti baginya.

Ayahnya menimpali, “Saya akan mengizinkanmu dengan satu syarat. Kamu harus selalu berbuat baik dan berteman dengan orang-orang saleh, kemudian saya akan mempertimbangkannya.”

Ia pun menerima syarat itu.

Awal semester telah tiba. Ia mendatangiku dan menceritakan segalanya.

Ia meminta agar dapat tinggal bersama di kontrakan saya waktu itu.

“Begitulah syarat ayahku.  Untuk melanjutkan studiku, Aku harus tinggal bersama kalian.” ucapnya.

Saya pun menjawab, “Itu bisa diatur. Namun sebelumnya Aku harus berbicara kepada penghuni yang lainnya.”

Langsung, setelah itu saya menemui teman-teman dan menjelaskan kondisinya. Mereka berpendapat bahwa ia memiliki reputasi yang buruk, sehingga dikhawatirkan akan berpengaruh pada kami. Sekuat apapun saya membujuk teman kontrakan, mereka tetap bersiteguh dengan keputusan tidak menerimanya.

Setiap hari ia terus mengajak saya berbicara, hanya berdua dan bertanya, “Apa yang terjadi? Apakah kamu sudah berbicara dengan mereka?”

Saya terus membuat alasan dengan mengatakan, “Aku akan segera berbicara dengan mereka.”

Saya pikir perlahan-lahan ia akan menyerah. Namun, hal itu tidak terjadi.

Saya pun sedikit lebih memaksa penghuni kontrakan.

Salah seorang menjawab, “Jika memang benar kamu begitu ingin membantunya, mengapa kamu tidak pergi saja dan tinggal bersamanya.”

Saya pun setuju. Saya pergi bersama beberapa teman yang sepemahaman dan menyewa sebuah rumah. Dengan begitu, saya dapat mengajaknya untuk tinggal bersama kami.

Tidak lama kemudian, sikap dan perilaku teman saya tadi mulai menunjukkan tanda-tanda perubahan. Ia meninggalkan beberapa kebiasaan buruknya dan mulai memperbaiki diri. Tidak hanya itu, kini ia menjadi sosok baru, yang raut wajah dan rohaninya seperti memancarkan cahaya. Semua tetangga dan teman kami menyukainya.

Suatu hari ia menderita sakit parah. Kami pun membawanya ke rumah sakit terdekat. Setibanya di sana, dokter berkata, “Kalian sudah terlambat, usus buntunya sudah pecah.”

Entah mengapa ia tidak menyadari penyakit ini. Kebocoran ususnya sudah menyebabkan luka yang serius di organ lainnya. Tidak ada harapan baginya. Dokter pun menyarankan agar kami memberi tahu keluarganya untuk mendampinginya untuk yang terakhir kali. Sang ayah tiba dan melihatnya menghembuskan napas terakhir.

Beberapa bulan kemudian, saya bermimpi bertemu dengannya.

Ia sedang duduk beralaskan tanah menikmati teh sementara kami saling berbincang-bincang. Ia duduk di sebelah saya. Di sebelah saya juga terdapat teman yang lain.

Saya bertanya, “Bagaimana mereka memperlakukanmu disana?”

“Aku diperlakukan seperti saat bersama diantara kalian. Mereka tidak menjerumuskan orang-orang sepertimu ke dalam jurang neraka. Itulah mengapa aku juga dianugerahi Surga.”

Saya pun terbangun, dan menangis tanpa henti.

Sang Bediuzzaman menyampaikan kabar gembira kepada kita semua. Dalam kondisi zaman dan era seperti ini, siapa saja yang mengabdi kepada iman dan Al Quran niscaya ia akan ditolong oleh-Nya.

Beliau menjuluki mereka yang berkhidmah sebagai “Orang-orang beriman dan penyelamat”

Allah berkuasa untuk membalas sekecil apapun usaha dari hamba yang berjuang di jalan-Nya dengan imbalan yang lebih besar. Dialah Yang Maha Kuasa. Pintu ampunan selalu terbuka lebar kepada siapa pun yang mengetuknya dengan penuh keikhlasan. Selama mereka tidak menyimpang dari jalan cahaya, rombongan keabadian, keadilan dan kebenaran.

Apa yang Harus Diperhatikan Saat Melayani Bangsa dan Agama?

Apa yang Harus Diperhatikan Saat Melayani Bangsa dan Agama?

Apa yang harus dimiliki oleh seorang mukmin yang bertanggung jawab, yang jantungnya berdebar-debar dengan niat mulia untuk melayani agama dan bangsa miliknya? Mari kita coba temukan jawaban untuk pertanyaan ini.

Pertama-tama, kita perlu mempelajari agama kita dengan benar. Untuk melakukan ini, kita perlu mempelajari esensi agama dengan belajar dari sumber-sumber yang otentik. Pengetahuan yang dipelajari harus tercermin dalam kehidupan kita. Utamanya, seseorang yang bertanggung jawab harus mempelajari agamanya dalam kerangka keyakinan orang-orang Sunni (Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah) dan mengamalkan apa yang sudah didapatnya.

Penting juga untuk memelihara kesabaran. Seperti halnya dengan, panutan kita dalam menyampaikan kebenaran ke orang lain, Nabi Muhammad, SAW., ketika kita membaca kehidupannya yang bercahaya, kita melihat bahwa beliau memiliki kesabaran yang sangat tinggi.

Sebagaimana yang kita pahami, masalah dan kesulitan besar datang kepada para nabi yang merupakan hamba Allah yang paling terkasih, namun, mereka menunjukkan kesabaran yang luar biasa. Tidak diragukan lagi, pasti akan ada berbagai macam rintangan di jalan orang-orang beriman yang ingin mengabdi pada agama dan bangsanya. Mereka perlu mengatasi rintangan ini dengan kesabaran yang besar, seperti kesabaran yang kita amati dalam kehidupan Nabi yang mulia.

Utusan Allah mengalami segala jenis penghinaan, saat duri-duri dipasang di jalan yang akan dilaluinya dan cairan menjijikan dituangkan di atas kepalanya ketika beliau khusyuk memanjatkan doa. Namun, terlepas dari semua itu, beliau menunjukkan dedikasinya yang luar biasa, tetap mengetuk, berkunjung ke setiap rumah dan tenda di setiap jalanan di Mekah demi membimbing orang ke jalan yang benar.

Salah satu landasan terpenting dalam dakwah Nabi kita adalah toleransi dan kelembutan. Al-Qur’an menggambarkan pendekatan lembut Nabi kami kepada orang-orang dengan ayat berikut:

Maka berkat rahmat Allah engkau (Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekitarmu. Karena itu maafkanlah mereka dan mohonkanlah ampunan untuk mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian, apabila engkau telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sungguh, Allah mencintai orang yang bertawakal. (Q.S. Ali Imran 3:159)

Kebajikan adalah kunci terang yang digunakan oleh Nabi kita untuk membuka hati yang ternoda. Dengan kunci ini beliau telah membuka banyak hati. Oleh karena itu, kita juga harus membekali diri dengan prinsip-prinsip berikut ini: “Bersikaplah toleran sehingga hatimu menjadi luas seperti samudra. Terinspirasi oleh iman dan cinta untuk orang lain. Tawarkan bantuan kepada mereka yang kesusahan, dan berikan perhatian ke semua orang. Puji yang baik untuk kebaikan mereka, hargai mereka yang memiliki hati yang teguh, dan bersikap baik kepada orang beriman. Dekati orang-orang kafir dengan sangat lembut terhadap rasa iri dan benci mereka. Membalas kejahatan dengan kebaikan, dan mengabaikan perlakuan tidak sopan. Karakter seseorang tercermin dalam perilakunya. Pilih sikap toleransi, dan murah hati kepada yang tidak sopan. Ciri paling khas dari jiwa yang imannya kuat adalah mencintai semua jenis cinta yang diungkapkan dalam perbuatan, dan memusuhi semua jenis permusuhan di mana kebencian diumbar. Membenci segala sesuatu adalah tanda kegilaan atau tergila-gila pada Setan. “*

Hal lain yang paling penting: Kita mengamati bahwa dalam menjelaskan Islam, Nabi yang mulia lebih memilih menggunakan metode selangkah demi selangkah. Jika Kita menempatkan beban seberat lima puluh kilogram pada seseorang yang kemampuannya dibatasi hingga dua puluh kilogram, Kita kemungkinan besar akan menyebabkan orang tersebut cedera. Rasulullah memperlakukan orang sesuai dengan tingkat dan kemampuan mereka, menjelaskan realitas agama tidak sekaligus tetapi dalam dosis yang disesuaikan dengan cinta dan perhatian, maka inilah cara beliau memungkinkan iman dan kebaikan masuk ke dalam hati mereka.

Kita juga harus menggarisbawahi hal berikut: Seorang mukmin harus berusaha sebisa mungkin, menyerahkan hasil pekerjaannya kepada Allah. Dalam merasakan keberhasilan, seseorang seharusnya tidak pernah merasa bangga dan sombong. Sebaliknya, seseorang harus selalu memiliki pemikiran bahwa Allahlah yang memberikan segalanya dan tidak ada yang dapat dicapai tanpa pertolongan-Nya.

Pada akhirnya, seseorang harus selalu menjaga semangat pelayanannya; di samping Sholat Harian, harus ada Tahajud, Nafilah, Awwabin, Tasbihat dan juga Jawshan. Hal-hal tersebut tidak boleh diabaikan. Kehidupan sehari-hari mukmin harus dibangun di atas ketaqwaan dan zuhud.

*Gulen, M. Fatullah, Pearls of Wisdom, New Jersey: Tughra Books, 2012, hal. 103-104.

Tentang Kesetiaan dan Ketaatan

Tentang Kesetiaan dan Ketaatan

Apa itu kesetiaan dan ketaatan?

Sebagai seorang Muslim yang ideal, kesetiaan sangat berkaitan dengan menaati janji-janji, memberikan segala kemampuan kita dengan baik dan benar, serta menunjukkan rasa hormat kita pada agama guna memperoleh rahmatNya. Sedangkan ketaatan berkaitan dengan bagaimana menjadi pribadi yang benar dalam segala aspek, termasuk jujur dan bisa dipercaya.

Menjaga kesetiaan dan ketaatan termasuk salah satu cara bagi kita sebagai umat Muslim untuk mendapatkan nilai luhur di mata Allah SWT. Menjadi seorang yang setia dan taat merupakan sebuah tugas mulia bagi Muslim yang ideal. Setiap individu Muslim masing-masing mempunyai level dan kemampuan untuk setia dan taat. Dengan itu, generasi mendatang membutuhkan bimbingan dari Muslim dengan level kesetiaan dan ketaatan yang tinggi.

Siapa saja yang disebut teman sejati?

Setiap manusia mempunyai tiga teman yang penting bagi dirinya. Dari ketiga teman tersebut, salah satunya merupakan teman sejati, sedangkan dua di antaranya merupakan teman yang fana. Ketiga teman manusia itu ialah harta, keluarga, dan amal baiknya.

Setelah kematian datang, salah satu teman manusia yang bernama harta tidak akan ikut mengantarkannya ke liang lahat. Semua akan ditinggalkan tanpa peduli lagi dengan apa yang akan terjadi pada pemiliknya. Sedangkan salah satu temannya lagi yang bernama keluarga, akan menemaninya hanya sampai ke liang lahat, lalu meninggalkannya. Mungkin saja mereka sedih, ataupun menangis, tetapi kesetiaan itu tidak dapat ditunjukkan hanya dengan itu. Teman yang benar-benar setia ialah amal baik manusia itu. Amal baik akan menemani manusia itu selama ia dalam kubur. Bahkan, ketika amal buruk menyiksanya di dalam kubur, amal baiklah yang akan membantunya menghadapi siksaan tersebut.

Untuk apa, siapa, dan bagaimana kita setia dan taat?

Berikut ialah rangkuman untuk apa dan siapa kita harus setia dan taat, serta bagaimana melakukannya.

  1. Setia dan taat kepada Allah SWT.
    Menjadi setia dan taat kepada Allah hanya dapat ditempuh dengan cara menjadi hamba yang sesempurna-sempurnanya. Yaitu hamba yang berpegang teguh pada Alquran sebagai firman Allah serta hadist Nabi SAW.
  1. Setia dan taat kepada Nabi dan Rasul Allah.
    Menjadi setia dan taat pada Nabi dan Rasul dapat ditempuh melalui perbuatan taat dengan apa saja yang mereka sampaikan berupa wahyu Allah.
  1. Setia dan taat kepada Alquran.
    Membaca, mengamalkan, serta meyakini bahwa kitab suci inilah yang menjadi penuntun hidup kita merupakan cara yang tepat untuk menunjukkan sifat taat kita. Ketiga aspek itu harus dijalankan secara berbarengan, guna terserapnya segala bentuk wahyu yang ada di dalamnya.
  1. Setia dan taat kepada agama.
    Karena Islam merupakan rahmat atau hadiah terbesar dari Allah untuk umat manusia, maka dengan taat kepada Islam akan menuntun kita kepada rahmat-rahmatNya yang lain.
  1. Setia dan taat kepada ulama.
    Kesetiaan dan ketaatan kita kepada para ulama dapat kita tunjukkan melalui penghormatan pada nama-namanya, serta mengambil pelbagai pelajaran yang disebarkan.
  1. Setia dan taat kepada orang tua.
    Orang tua yang menuntun kita kepada iman juga merupakan salah satu yang perlu kita taati. Dengan usaha mereka, kita dapat mengenal bahkan mempraktekkan tuntunan Islam dalam kehidupan sehari-hari.
Tanggung Jawab ini Besar dan Bebannya ini Berat

Tanggung Jawab ini Besar dan Bebannya ini Berat

Sekelompok pemburu telah melukai seekor burung, dan makhluk malang tersebut berusaha untuk kabur. Dengan penuh susah payah, burung tersebut terus mencoba untuk bisa terbang menjauh, namun para pemburu terus mengejarnya. Tidak ada tempat bersembunyi untuknya. Dimana saja si Burung bersembunyi, pemburu menemukannya, dan dimana saja si Burung mendarat, para pemburu melacaknya.

Jantung burung kecil itu terus berdetak kencang, penuh ketakutan. Dimanapun si Burung berhenti untuk menghela nafas, tembakan senapan dari Pemburu mengarah ke arah si Burung malang. Pemburu-pemburu tersebut menikmati tantangan memburu si Burung; pengejaran tersebut menambah keseruan dalam perjalanan berburu mereka. Rasa belas kasihan sudah hilang dari hati mereka. Mereka sudah tidak peduli dengan kondisi tidak berdaya, lemah, dan rapuh dari si Burung kecil. Mereka tidak menunjukan sedikitpun rasa ampun, dan itu akan terus berlanjut sampai mereka membunuh makhluk malang tersebut. Tercium bau kematian saat peluru senapan ditembakan satu demi satu, bau bubuk senapan menyebar luas ke sekitar.

Sekarang, Si Burung hanya memiliki satu kesempatan terakhir untuk kabur, karena energinya sudah habis terkuras. Tiba-tiba, dia melihat sekelompok manusia duduk di kejauhan. Ada seorang Sheikh duduk di tengah-tengah kelompok tersebut, sedang berzikir dan bersholawat. Si Burung menggunakan energi terakhirnya untuk terbang menuju sekelompok orang tersebut. Dengan instingnya, Si Burung terbang ke dalam sorban dari Sang Sheikh, mencoba untuk bersembunyi. Si Burung sudah menemukan tempat untuk berlindung.

Sang Sheikh merasakan sesuatu bergerak-gerak di atas kepalanya dan dengan panik, meraih benda tersebut. Saat Sang Sheikh menangkapnya dengan tangan -karena Si Burung dalam kondisi yang sangat rapuh- makhluk malang tersebut terbunuh.

Singkat cerita, pada Hari Penghakiman, si Burung kecil mengajukan keluhan terhadap Sang Sheikh yang membunuhnya dulu. Sang Sheikh tidak membunuh Si Burung dengan sengaja, karena saat itu, dia tidak tahu apa yang dia akan raih dari atas kepalanya. Setelah menyadarinya pun, Sang Sheikh merasa sangat menyesal karena dia telah membunuh si Burung kecil. Karena alasan ini, Beliau tidak bersalah. Akhirnya Si Burung menerima, namun dia mengajukan permintaan terakhir yaitu:

“Aku punya permintaan. Saya mencari perlindungan di dalam sorban tanpa ragu karena percaya bahwa saya akan mendapat perlindungan karenanya. Mulai sekarang, orang yang tidak menjaga dan menghormati amanah ini tidak diijinkan memakai sorban agar makhluk lain tidak jatuh ke situasi yang sama seperti saya!”

Nilai moral dari kisah ini adalah bahwa generasi kita sedang mencari suatu tempat perlindungan sehingga mereka terlindungi dari kejamnya jebakan para pemburu. Kemanusiaan sudah jatuh kedalam rawa penuh dosa. Kemanusiaan sedang berjuang dan menangis karena tenggelam semakin dalam ke dalam pasir hisap. Kemanusiaan lah yang bertanggung jawab untuk setiap pemuda yang menjadi pecandu narkoba, karena tidak ada orang yang merangkul mereka, dan kemanusiaan lah yang juga bersalah atas setiap pemuda yang kehilangan kesuciannya, tidak melihat darimana bangsa, ras, atau warna kulit mereka. Rumah sakit, penjara, dan tempat pemakaman sedang berteriak meminta bantuan!

Inilah tanggung jawab besar kita, dan bebannya sangatlah berat. Tidak ada seorangpun yang boleh memupuskan harapan mereka yang sedang kabur dari api penderitaan ini, mereka sedang mencari perlindungan. Selama kita tidak bisa melepas kain iman dari pundak kita, maka kita harus menunjukan usaha yang sungguh-sungguh untuk menjaga dan menghormati sorban ini.

Dari Akar, Mehmet, Mesel Ufku, Istanbul: Timas, 2008, hal. 103

Rasa Tanggung Jawab yang Ditunjukkan oleh Nabi dan Para Sahabatnya

Rasa Tanggung Jawab yang Ditunjukkan oleh Nabi dan Para Sahabatnya

Nabi kita yang mulia merasakan beban tanggung jawab begitu besar sehingga ketika Surat Hud diturunkan, jumlah rambut abu-abu di janggutnya bertambah sangat banyak. Mereka bertanya padanya:

“Wahai Rasulullah, akhir-akhir ini warna abu-abu di janggutmu bertambah sangat banyak.”
Beliau menjawab: “Surah Hud telah membuat saya tua.”
Sekali lagi, mereka bertanya: “Ayat yang mana, yaa utusan Allah?”

Beliau menjawab: “Maka tetaplah engkau (Muhammad) (di jalan yang benar), sebagaimana telah diperintahkan kepadamu dan (juga) orang yang bertobat bersamamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sungguh, Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (Hud 11:112).

Dalam setiap jenjang ajakannya beragama, Rasulullah SAW sebagai orang yang paling bertanggung jawab selalu menekankan pentingnya rasa tanggung jawab kepada orang yang dituju, karena, orang yang memiliki rasa tanggung jawab akan selalu berperilaku lihai dan dengan cara yang tepat. Kadang-kadang, Nabi kita menyebutkan bahwa semua Muslim memiliki tanggung jawab dan kadang-kadang Beliau menunjuk pada kelompok tertentu ketika Beliau berbicara tentang tanggung jawab manusia. Ada juga saat-saat di mana Beliau mengingatkan seseorang akan tanggung jawabnya. Sekarang, mari kita berikan beberapa contoh sehubungan dengan topik ini.

Nabi kita menunjukkan bahwa setiap individu dalam masyarakat memiliki tanggung jawab dan Beliau tidak mengecualikan siapa pun: “Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggung jawaban atas yang dipimpinnya. Imam adalah pemimpin yang akan diminta pertanggung jawaban atas rakyatnya. Seorang suami adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggung jawaban atas keluarganya. Seorang isteri adalah pemimpin di dalam urusan rumah tangga suaminya, dan akan dimintai pertanggung jawaban atas urusan rumah tangga tersebut. Seorang pembantu adalah pemimpin dalam urusan harta tuannya, dan akan dimintai pertanggung jawaban atas urusan tanggung jawabnya tersebut. Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggung jawaban atas yang dipimpinnya.”1

Dalam kaitannya dengan mengajak orang-orang kepada kebaikan, setiap Muslim bertanggung jawab akan hal tersebut. “Siapa yang melihat kemunkaran maka ubahlah dengan tangannya, jika tidak mampu maka ubahlah dengan lisannya, jika tidak mampu maka (tolaklah) dengan hatinya.”2 (Ketika mempraktikkan hadits ini, Muslim tidak boleh melanggar hukum negara tuan rumah mereka.)

Nabi kita sangat mementingkan pengetahuan, pembelajaran dan pengajaran. Beliau fokus pada tanggung jawab sebelum bertindak. Perhatiannya tentang tanggung jawab berlanjut juga selama latihan. Menurut Nabi yang mulia, ini adalah perkembangan yang tidak berakhir pada titik tertentu. Alasannya, masyarakat pada masa itu tidak memiliki struktur yang kokoh; selalu mengalami perubahan. Jumlah individu dalam komunitas terus meningkat, sehingga informasi penting perlu diulangi bagi mereka yang baru bergabung dengan komunitas tersebut.

Nabi kita memiliki banyak pernyataan yang menjelaskan berbagai aspek tanggung jawab. Jelas bahwa jika suatu gerakan didisiplinkan melalui rasa tanggung jawab, hal itu akan lebih menguntungkan. Sebaliknya, gerakan yang tidak didisiplinkan melalui rasa tanggung jawab akan melahirkan anarki dan kekacauan. Utusan Allah telah mengembangkan karakter orang-orang di sekitarnya melalui sentimen tanggung jawab dan mengubah mereka menjadi individu yang bermanfaat bagi masyarakat. Sentimen tanggung jawab yang didakwahkan oleh Nabi yang mulia dapat dilihat dalam kehidupan dan perilaku para Sahabat.

Nabi kita biasa memberikan tanggung jawab kepada para sahabatnya dalam hal menyampaikan kebenaran. Salah satu Sahabat ini adalah Mus’ab ibn Umayr. Beliau adalah putra dari keluarga Mekah yang kaya. Mus’ab adalah seorang pemuda yang lembut, beradab, dan tampan. Beliau berpaling dari semua kekayaan yang dimiliki keluarganya untuk menjadi seorang Muslim. Setelah sumpah pertama di Aqaba, Nabi mengirim Mus’ab ke Madinah untuk mengajar Islam dan membacakan Al-Qur’an kepada mereka yang telah menerima kenabiannya. Di Madinah, Mus’ab tinggal di rumah Asad ibn Zurara.

Mus’ab, seorang pria yang bertanggung jawab yang mengerahkan semua usahanya untuk menjelaskan Islam dibimbing oleh Asad ibn Zurara yang membawanya ke para pemimpin Madinah. Banyak orang di Madinah telah memeluk Islam. Namun, hal ini perlu dilakukan dalam skala yang lebih besar sehingga pertemuan dengan pimpinan sangatlah penting. Itu penting untuk mendorong beberapa pemimpin terkemuka untuk memeluk Islam.

Sa’d ibn Muaz, pemimpin suku Aws belum menjadi Muslim dan beliau khawatir dengan penyebaran Islam di Madinah. Beliau mengirim Usayd ibn Khudayr, yang juga salah satu pemimpin sukunya, menemui Mus’ab sehingga Beliau bisa menghentikannya menyebarkan Islam. Beliau juga menambahkan, “Saya tahu apa yang harus saya lakukan dengannya, jika sepupu saya Asad ibn Zurara tidak terlibat.”

Usayd bergegas ke lokasi tempat Mus’ab berkumpul dengan sekelompok kecil orang. Usayd sangat marah ketika Beliau mendekati kelompok itu. Asad telah memperhatikan Usayd sedang mendekat dan dengan cepat menoleh ke Mus’ab dan menjelaskan bahwa Beliau adalah salah satu pemimpin suku mereka. Usayd berdiri di samping mereka dan berteriak, “Mengapa kamu datang ke sini! Anda menyesatkan beberapa orang kami yang lemah dan tidak tahu apa-apa. Jika Anda tidak ingin kehilangan nyawa Anda, pergi sekarang juga! “

Mus’ab menjawab, “Tunggu, datang dan duduklah sebentar. Dengarkan apa yang saya katakan. Jika Anda setuju dengan apa yang saya katakan maka Anda akan menerimanya; jika Anda tidak melakukannya maka Anda dapat melakukan apa yang Anda inginkan dengan saya. ” Ini adalah balasan yang baik dan ramah dari Mus’ab.

Usayd berkata, “Kamu telah mengatakan yang sebenarnya.” Beliau kemudian meletakkan tombaknya di tanah dan duduk di sebelahnya. Mus’ab menjelaskan Islam kepadanya dan kemudian membacakan beberapa ayat dari Al-Qur’an. Usayd tidak bisa menahan dirinya lagi saat Beliau berkata, “Kata-kata indah apa ini? Bagaimana seseorang memeluk agama ini?” Mus’ab dan Asad menjelaskan bahwa pertama-tama Beliau perlu mandi, berganti pakaian, dan kemudian mendaraskan kesaksian iman. Mereka juga menambahkan bahwa Beliau harus melaksanakan Sholat. Usayd mengikuti semua instruksi dan menjadi seorang Muslim. Kemudian, Beliau berdiri dan berkata, “Saya akan pergi sekarang dan mengirim seseorang yang penting bagi Anda. Jika orang ini memeluk Islam, tidak akan ada orang di wilayah kami yang menolak agama ini. “

Dengan cepat, Beliau kembali ke Sa’d ibn Muaz. Saya bertanya, “Apa yang telah Anda lakukan dengan mereka?” Beliau menjawab, “Saya melakukan apa yang perlu dan berbicara dengan mereka tetapi saya tidak melihat ada masalah dengan keduanya.” Sa’d berkata, “Penjelasan Anda tidak memuaskan.”

Sa’d menjadi sangat kesal saat memutuskan untuk memecahkan masalah tersebut sendiri. Beliau pergi dan dengan cepat menemukan Mus’ab dan Asad. Beliau berteriak dengan marah saat Beliau berdiri di dekat mereka, “Hai Asad! Jika kami tidak berhubungan, saya tidak akan menunjukkan toleransi apapun terhadap Anda, karena Anda telah membawa kekacauan pada orang-orang kami!”

Mendengar ini, Mus’ab menjawab dengan lembut, “Silakan duduk bersama kami sebentar. Dengarkan apa yang saya katakan. Jika Anda merasa kata-kata ini dapat diterima, terimalah. Jika Anda menemukan mereka menjijikkan maka kami akan berhenti menyampaikannya.”

Sa’d diyakinkan saat Beliau duduk dan mendengarkan. Mus’ab menjelaskan arti Islam dan membacakan beberapa ayat dari Al-Qur’an. Saat Beliau melafalkan syair tersebut, ekspresi Sa’d berubah dan tanda-tanda iman mulai terlihat di wajahnya. Tiba-tiba, Beliau berkata, “Apa yang kamu lakukan untuk masuk ke agama ini?” Mus’ab menjelaskan esensi Islam dan nilai-nilainya. Tanpa ragu Sa’d membacakan kesaksian iman dan memeluk Islam. Melalui sikap lembut Mus’ab dan pendekatan yang tulus, tidak ada rumah di Madinah di mana Islam belum masuk.3 Orang-orang yang mirip Mus’ab saat ini dapat belajar banyak dari kejadian-kejadian ini.

Semangat Tanggung Jawab Harus Selalu Tetap Hidup

Ketika orang mengucapkan kata-kata “Mengapa saya harus repot-repot dengan ini”, sebuah dialog yang terjadi antara Sultan Sulaiman yang Agung dan Yahya Efendi, yang merupakan seorang Cendekiawan berpengarauh pada zaman itu, muncul di benaknya. Sultan dan Yahya Efendi adalah saudara sepersusuan. Yahya Efendi adalah individu suci yang doanya kuat.

Suatu hari, Sultan Sulaiman merenungkan masa depan Negara Utsmaniyah dan menulis surat kepada Yahya Efendi: “Saudaraku, kamu adalah seorang cendekiawan yang bijaksana. Berkati kami dengan pengetahuanmu dan beri tahu kami apa yang akan terjadi dengan putra-putra Utsman.”

Yahya Efendi membalas dengan pesan berikut: “Mengapa saya harus repot-repot dengan ini, saudara?”

Sultan Suleyman tercengang dengan jawaban itu sehingga dengan cepat Beliau memutuskan untuk mengunjungi Yahya Efendi di penginapan darwisnya di Taman Yildiz. Beliau kecewa karena tidak ada jawaban yang diberikan atas pertanyaannya. Saat Sultan masuk, Beliau bertanya, “Saudaraku, Anda belum menjawab pertanyaan saya, apakah saya telah melakukan sesuatu yang salah?”

Yahya Efendi menjawab, “Saya telah menjawab pertanyaan Anda, namun saya terkejut Anda gagal untuk mengerti.”

“Apa maksudnya itu?” tanya Sultan Suleyman.

Yahya Efendi menjawab: “Saudaraku, dalam suatu bangsa, jika ketidakadilan dan tirani menyebar luas dan jika mereka yang melihat ini berkata “Mengapa saya harus repot dengan ini” dan tidak bertindak; jika seekor domba dimangsa oleh gembala bukan serigala dan jika mereka yang tahu tidak mengatakan apa-apa; jika jeritan orang miskin dan orang tak berdosa naik ke langit dan jika tidak ada yang mendengarnya, maka tunggu sampai matinya bangsamu. Harta karunmu akan dijarah dan tentaramu akan memberontak, inilah akhir zaman.”

Beruntung adalah mereka yang sadar akan kemanusiaan mereka dan memiliki perasaan tanggung jawab yang luhur. Mereka tidak pernah bisa berkata, “Mengapa saya harus repot-repot dengan ini.” Ketika mereka melihat luka berdarah, mereka tidak mengabaikan ini karena hati mereka terbakar oleh kesakitan. Mereka merasa malu di hadapan Allah dan hati nurani mereka merasakan tekanan spiritualitas Nabi sehingga mereka tidak meninggalkan tujuan suci yang dipercayakan kepada mereka. 4

  1. Sahih Bukhari, Jumua 11; Sahih Muslim, Imarat, 20; Sunan Abu Dawud, Haraj 1
  2. Sahih Muslim, Iman, 87
  3. Ibn Hisham, As Sirah, 1/275-277
  4. Akar, Mehmet, Mesel Ufku, Istanbul: Timas, 2008, p104
Bambu Islam

Bambu Islam

     Bagi sebagian orang, memeluk Islam dan menjalankan tugas sucinya adalah sama seperti proses pertumbuhan pohon bambu. Mungkin ada yang bertanya-tanya, kenapa dan bagaimana bisa? Kita dapat dengan baik menjawab pertanyaan ini dengan memperhatikan langsung bagaimana pohon bambu itu tumbuh dan berkembang. Pertama, benihnya ditabur, disirami dan diberikan pupuk. Tidak ada perubahan yang bisa diamati pada benih tersebut selama satu tahun pertama. Kemudian benih disirami dan diberikan pupuk lagi. Hasilnya tetap sama, benih bambu itu tetap tidak muncul ke permukaan selama tahun keduanya. Langkah yang sama terus diulangi pada tahun ketiga dan keempat, benih bambu terus disirami dan diberikan pupuk, tapi ia tetap pada kondisinya semula, tidak ada tanda-tanda pertumbuhan padanya.

Sang petani tetap lanjut memberikan penyiraman dan pupuk yang cukup dengan kesabaran tinggi selama menjalani tahun kelima bambunya. Hingga pada akhirnya, menjelang akhir tahun kelima, bambu tersebut mulai tumbuh dan muncul ke permukaan, dan dalam waktu yang sangat singkat, yaitu sekitar enam minggu, ketinggiannya mencapai 27 meter. Sekarang yang menjadi pertanyaan adalah, manakah yang lebih tepat dan lebih diterima akal, bambu itu tumbuh dan berkembang hingga mencapai ketinggian 27 meter dalam waktu hanya enam minggu atau lima tahun? Jawaban untuk pertanyaan ini adalah, sudah barang tentu lima tahun. Jika saja benih tidak disirami dan diberikan pupuk selama lima tahun, jika saja kesabaran dan ketekunan yang tinggi tidak diterapkan, mestinya kita sama sekali tidak membicarakan tentang pertumbuhannya, alih-alih bambu tersebut tidak menemui wujudnya. Oleh karena itu, masa tunggu selama lima tahun diisi dengan perlakuan perlahan tapi pasti, yaitu dengan terus memberikan makanan bagi unsur kimia dan fisika yang terkandung dalam tanah, terus menyirami, serta membiarkan matahari menghangatkan benih yang selanjutnya membentuk embrio dari bambu tersebut.

Tentu saja, hal ini tidak bisa terjadi secara spontan. Bisa dipastikan itu terjadi dan terus terjadi karena adanya Yang Maha Pemberi Sebab, Allah SWT, yang telah membawa sebab-sebab tersebut bersama-sama dan memberikan urutan waktu tumbuhnya. Dialah yang telah memberikan nafas kehidupan yang menyebabkan benih bambu tersebut tumbuh.

Beberapa kepribadian mirip dengan bambu ini: sangat keras, kasar, mereka menunggu, menciptakan satu masa tunggu, yang namun pada akhirnya mereka menebus keterlambatannya dengan sangat cepat. Periode ini bisa berlangsung 3 sampai 30 tahun, mereka menunggu yang lain, atau pun barangkali mereka sedang menunggu dirinya sendiri. Mereka menyerap airmata kita, usaha dan keringat kita, seperti halnya vacuum yang tiada hentinya. Hingga waktu yang tepat datang dan mereka muncul dengan kecepatan tinggi yang bahkan bisa melangkahi mereka yang di depan. Sama seperti atlet, begitu dia mendekati garis finish, usahanya yang begitu besar sudah cukup untuk menutupi berbagai jarak dan mereka pun menyelesaikan lomba sebagai yang pertama.

Tingkat kelamaan seseorang menunggu orang lain atau orang tersebut menunggu dirinya sendiri sebelum menerima kebenaran adalah tergantung pada keinginan, karakter dan situasi yang sedang dijalani. Sudah barang tentu, bahwa karakter memainkan perannya di sini. Jika seseorang tidak dididik dengan apa yang mereka butuhkan dimana hal itulah yang menjadi dominan dalam karakternya, mereka tidak merasakan kepuasan. Sebagai contoh, jika karakter dominan seseorang adalah sebagaimana dicerminkan oleh asma Allah, Yang Maha Mengasihi dan Maha Mencintai, sebelum mereka bisa menerima sesuatu atau mengundang yang lainnya ke hati mereka, mereka membutuhkan dan mendambakan kasih sayang. Inilah kunci mereka untuk membuat perubahan. Mereka hanya akan mengalah ketika kasih sayang sudah cukup ditunjukkan bagi mereka. Sebaliknya, jika tidak, maka mereka tidak akan menyerah.

Ini bisa diamati dari konversi sebagian orang ke Islam. Kadang ada kejutan yang luar biasa, setelah waktu berinvestasi yang lama, orang tersebut memeluk Islam hanya dengan hal-hal yang sepele. Sebuah permasalahan kecil sanggup menyebabkan perubahan yang besar ini, dan itu bukanlah keharusan kita untuk mengetahui apa kuncinya. ​Fokus perhatian kita hanya untuk melanjutkan investasi, terus menyirami dan memberi makan, serta memeliharanya dengan menampilkan pokok-pokok ajaran agama kita. . .

Hampir bisa dipastikan, diantara mereka yang pertama sekali melaksanakan aksi-aksi tersebut adalah mereka yang telah mengeluarkan tenaga yang besar dan banyak mengalami penderitaan. Terdapat banyak pahlawan tanpa tanda jasa, merekalah yang telah menyirami benih masa depan dengan air mata dan kucuran keringat dari pundak mereka. Orang-orang tersebut tidak disebutkan dimana-mana, mereka tidak pernah didengarkan keberadaannya. Mereka tidak beristirahat, mereka tidak menghabiskan waktu hanya sekedar untuk mencium aroma bunga atau memakan buah usahanya, mereka hanya melakukannya demi Allah semata. Sebuah pergerakan kecil dengan usaha yang ringan terkadang bisa membuahkan hasil, namun tidak hanya orang yang memetik buah yang akan mendapatkan penghargaan. Semua yang terlibat dalam proses pertumbuhan pohon dan mematangkan buah akan diberikan penghargaan. Allah Yang Maha Adil dan Maha Bijaksana tidak menghukumi hanya dengan penampilan fisik saja, Dia menghukumi berdasarkan esensi dan realitasnya. Dengan alasan ini, Dia tidak membiarkan serta mengabaikan siapa pun, Dia tidak melupakan apapun, Dia memberikan imbalan atas usaha yang dilakukan setiap orang dengan adil.

Penduduk Makkah yang menjadi Muslim setelah Penaklukan Makkah pada 11 Januari 630 M atau bertepatan dengan 20 Ramadhan 8 H adalah sejalan dengan bambu Islam. Nabi mengajak mereka beriman selama 13 tahun di Makkah, yaitu dari tahun 610 sampai 622. Dia menyirami hati mereka dengan air mata sucinya dan keringat dari keningnya. Kemudian, dia menunggu di Madinah dengan penuh kesabaran selama delapan tahun. Pada akhirnya, di tahun 630, yaitu berselang 21 tahun dari awal mula kenabian, di dalam hati keras mereka yang telah dipelihara dan disirami oleh Nabi dan para sahabat yang mulia dengan usaha dan semangat pantang menyerah, benih keimanan mulai tumbuh, bercabang dan bunganya bermekaran hingga menghasilkan buah. Sudah dikatakan bahwa bambu membutuhkan waktu lima tahun untuk tumbuh, tapi orang-orang yang semula tidak beriman tersebut membutuhkan hampir 21 tahun untuk tumbuh berkembang. Alhamdulillah mereka mulai tumbuh dan bisa mempelajari Islam langsung dari Nabi.

Sebagai kesimpulan, kita menuai apa yang kita tanam. Kita tidak seharusnya memposisikan diri sebagai orang yang mengumpulkan buah, itu bukanlah peran kita. Kita adalah orang yang harus merawat benih dan menyiraminya penuh kasih sayang. Memberikan usaha dan meluangkan waktu untuk membimbing orang lain ke jalan yang benar akan membuat Allah ridha, inilah yang seharusnya menjadi pokok tujuan kita. Mereka yang dipersiapkan untuk menunggu orang-orang agar menjadi matang, yaitu selama 21 tahun, dengan penuh kesabaran berharap menaklukkan hati untuk membawa mereka ke jalan yang benar yang sesungguhnya merupakan usaha mengikuti jalan Nabi, jalan memberikan penerangan dan ajakan. Seseorang yang beranjak dari perjalanan ini tanpa adanya kesabaran akan sia-sia belaka.