ilustrasi-potret-said-nursi-_mengembangkan_diri

Teladan Kehidupan: Sang Badiuzzaman

Kaitannya dengan pengabdian agama, Bediuzzaman adalah salah satu tokoh utama yang patut dijadikan sebagai teladan umat. Beliau berpendirian bahwa mengabdi kepada agama Allah harus menjadi tujuan utama setiap manusia. Beliau tetap bersiteguh dengan keyakinan ini dan tidak pernah menyimpang sedikit pun.

Satu contoh ringan misalnya, tatkala berada di pengadilan Eskişehir, seorang hakim bertanya kepada semua hadirin tentang pekerjaan, dan saat giliran beliau tiba,

Beliau lantas berdiri dan dengan lantang berkata, “Pekerjaanku adalah mengabdi kepada agama Allah.”

Bediuzzaman adalah sosok terhormat yang dengan tulus mengorbankan kehormatan, kebanggaan, jiwa, raga, dan kehidupannya untuk mengabdi kepada Alquran. Meskipun beliau telah menerima segala bentuk pelecehan dan penyiksaan, beliau tidak pernah mengambil langkah mundur dalam menjalankan tugas suci ini.

Bediuzzaman meninggalkan segala kenikmatan duniawi demi berkhidmat di jalan agama, menjauhkan diri dari mengumpulkan harta sebab beliau hidup dalam lingkaran rasa syukur, rasa takut kepada Tuhan, dan juga kesalehan. Beliau menghabiskan setiap menit cahaya kehidupannya dalam cengkeraman masalah dan rintangan lantaran mengamalkan Alquran. Hatinya akan terbakar disebabkan melihat kehancuran umat di tangan kekufuran dan ketidakpedulian.

Beliau selalu terlibat dalam setiap kegiatan yang tujuan utamanya berkutat pada: “mengabdi kepada agama”, menyelamatkan umat Muhammad SAW dan memenuhi kalbu masyarakat dengan rasa syukur.

Di saat begitu banyak orang yang berusaha memenuhi kepentingan pribadinya dan mencari kedudukan dunia yang tinggi, beliau justru mendedikasikan jiwanya untuk menyelamatkan umat dan menganggap hal ini sebagai misi terbesar di jagat raya. Karena sebab mulia inilah, beliau berhasil mempublikasikan buku, meskipun ditulis saat berada dalam kondisi tersulit dalam kehidupan beliau. Melalui Risalah Nur, beliau secara ilmiah mengawali penentangan terhadap materialisme, suatu paham yang menjadi musuh agama Islam. Beliau mampu menyesuaikan gagasan persatuan, kebangkitan umat, risalah kenabian, keadilan, takdir, dan analisis agama yang notabenenya berada dalam ujung kehancuran.

Bediuzzaman adalah seseorang yang tekun dalam memberikan aksi nyata, beliau begitu menderita melihat problematika yang dihadapi dunia Islam dan kemanusiaan. Beliau adalah seorang pahlawan pengabdian yang mengorbankan dirinya kepada nilai-nilai yang selama ini beliau percaya. Beliau tidak pernah gentar untuk menyatakan dengan lantang bahwa keyakinan yang dianutnya adalah suatu kebenaran. Beliau adalah seseorang yang sudah pernah diracun berulang kali, hampir dieksekusi mati, pernah dihadapkan pada segala bentuk pelecehan dalam suramnya penjara, serta dikirim menuju pengadilan militer dalam kondisi sangat dingin meskipun sudah berusia tua renta, tetapi beliau tidak pernah sedikitpun lengah atau meringankan apapun dari keyakinannya itu.

Rasa sakit dan penderitaan, dua saksi bisu yang senantiasa menjadi teman bagi siapa saja yang mengabdi kepada agama.

Beliau pernah berkata, “Dalam 80 tahun hidupku, diriku tidak ingat pernah merasakan nikmatnya dunia. Hidupku habis dalam medan perang, penjara bawah tanah, pengadilan, dan bui. Di pengadilan militer, diriku diperlakukan layaknya seorang pembunuh bengis dan dikirim ke pengasingan layaknya seorang gelandangan.”

Uraian kalimat ini sangat sempurna menggambarkan kehidupannya yang penuh dengan ujian.

Seringkali beliau menggambarkan ujian tanpa henti yang mencabik jiwanya dengan ungkapan, “Ada kalanya diri ini sudah lelah dengan kehidupan. Jika agamaku memperbolehkan diriku untuk bunuh diri, Said pasti sudah tiada sekarang.”

Dengan ungkapan ini, Bediuzzaman membuktikan bahwa dirinya selalu melindungi kehormatannya dengan bersabar dan bertahan menghadapi segala bentuk penyiksaan. Beliau seperti sudah mengemas kehidupan duniawi beliau kedalam sebuah keranjang rotan yang selalu beliau bawa dengan tangan.  Bagi beliau seperti itulah nilai dari seluruh kehidupan dunia.

Selama 28 tahun kehidupannya di penjara dan pengasingan, beliau senantiasa mengajarkan kepada muridnya arti penting menjaga dan menegakkan hukum. Beliau tidak pernah tunduk kepada peraturan pemerintah yang menindas. Kendati demikian, beliau tidak melawannya dengan kekerasan. Sebaliknya, beliau menggunakan pena untuk mengkritik dan melawan mereka. Kecerdasan dan bersikeras dalam sikap positif itulah yang telah menempatkan beliau di kedudukan yang istimewa dalam sejarah.

Dalam ceramahnya, beliau senantiasa menekankan pentingnya keikhlasan, ukhuwah, keimanan, dan pengabdian kepada Alquran. Di samping itu, beliau juga memperingatkan muridnya akan bahaya kesombongan dan egoisme.

Suatu ketika Zübeyr Gündüzalp mengadu kepada beliau, “Guru, diriku sungguh takut akan kesombongan.”

Mendengar hal itu, beliau menimpali, “Takutlah akan hal itu.”

Berkaitan dengan hal tersebut, beliau menasihati muridnya,

“Saudaraku, tugas kita adalah mengabdi kepada Alquran dan agama dengan penuh keikhlasan. Namun, kesuksesan kita, penerimaan masyarakat, dan kemenangan atas penindasan adalah tugas-Tuhan. Kita tidak boleh ikut campur dalam urusan ini. Bahkan ketika kita kalah pun, kita tidak akan kehilangan semangat dalam menyembah-Nya. Dalam hal ini, kita hanya perlu bertawakal. Seseorang pernah berkata kepada Jalaladdin Kharzamshah, komandan hebat Islam, “Anda akan memenangkan pertempuran melawan Genghis.” Beliau menjawab, “Tugasku adalah berjuang di jalan Allah. Kemenangan hanyalah milik-Nya. Diriku hanya akan melakukan tugasku dan tidak mencampuri urusan-Nya.”

Bediuzzaman seakan-akan sudah ditakdirkan untuk menghadapi segala bentuk cobaan dan kesulitan untuk menegakkan Alquran, keikhlasan, dan ukhuwah. Karakter beliau memberikan kekuatan yang luar biasa besar baginya untuk terus bersabar. Beberapa kejadian yang mereka tujukan kepada beliau sudah melampaui batas.

Beliau berulang kali dipanggil untuk datang ke kantor polisi dan pengadilan pada tengah malam. Menginterogasi beliau tentang kunjungan murid-murid beliau sudah menjadi penghinaan yang lumrah baginya.

Tidak hanya dirinya, orang yang berhubungan dengannya juga diperlakukan buruk.  Sebagai contoh, setiap orang yang mengunjunginya atau mencium tangannya akan segera ditangkap dan diinterogasi tanpa alasan yang jelas.

Mereka akan ditanyai, “Mengapa kamu menyalaminya?” “Mengapa kamu menatapnya?” Orang tidak berdosa pun akan mendapat perlakuan buruk hanya karena berinteraksi dengan beliau. Menghadapi kondisi demikian, sosok ideal ini justru lebih menunjukan kekokohan sikap sabarannya, atas nama ukhuwah demi menjaga keikhlasan dalam lubuk hatinya.

Permasalahan umat yang beliau beri perhatian ialah sikap mendahulukan kehidupan akhirat di atas dunia dan mengabdi kepada agama tanpa mengharap imbalan apapun. Meninggalkan tugas mengabdi kepada iman atau menunjukan kelesuan dalam menjalankannya adalah sesuatu yang tidak dapat beliau diterima.

rumman-amin--BHiUdFK5T4-unsplash

Sekali Lagi Pembahasan Tentang Salat

Sekali Lagi Pembahasan Tentang Salat[1]

Terdapat sebagian orang yang mengatakan bahwasanya disebabkan oleh kesibukan, dia tidak memiliki waktu untuk menunaikan salat. Apa yang dapat Anda sampaikan terkait permasalahan ini?

Jawab: Sebagaimana inti dari segala permasalahan adalah iman, maka pendekatan yang harus diambil dalam menangani permasalahan ini utamanya harus berasal dari kerangka iman itu sendiri. Demikianlah, di antara prinsip-prinsip yang membentuk iman, ia kemudian membentuk sudut pandang seseorang terhadap dunia. Berdasarkan hal tersebut, iman kepada Allah merupakan satu-satunya asas yang tiada duanya dalam menghadirkan dan menjamin ketenteraman kalbu. Kalbu yang tidak memiliki iman kepada Allah SWT, tidak akan bisa menutup kekosongan itu dengan hal lainnya. Maka waspadalah! Ayat: “Hanya dengan berzikirlah kalbu bisa menjadi tenang” mengingatkan kita akan hakikat ini.

Iman kepada Para Nabi merupakan faktor penting yang dapat menyelamatkan kita dari kerugian menatap masa lalu sebagai kegelapan dan menghadapi masa depan dengan penuh kekhawatiran. Berkat iman kepada para Nabi, khususnya iman kepada Sultannya para Nabi yaitu Nabi Muhammad SAW, kita pun meyakini bahwa kita bisa melewati tempat-tempat paling berbahaya baik di dunia maupun di akhirat layaknya kilatan petir yang menyilaukan mata; kita juga meyakini bahwa kita dapat meraih nikmat-nikmat di luar jangkauan panca indera kita melalui syafaatnya.

Iman kepada para malaikat memberikan keyakinan kepada diri kita bahwasanya dalam kondisi sendiri pun mereka senantiasa membersamai dan mengawasi kita. Dengan keyakinan seperti ini, maka perilaku kita akan senantiasa berada di bawah kendali dan kita pun menjalani kehidupan ini dengan penuh kesadaran.

Iman kepada takdir berarti meyakini sepenuh hati bahwasanya musibah dan kebahagiaan semuanya berasal dari Allah SWT serta tidak memberi kesempatan pikiran kita untuk memikirkan jika semua itu berasal dari hal-hal selain Allah SWT.

Iman kepada akhirat selain menjadi unsur terbesar yang menjaga sikap dan perilaku kita supaya senantiasa selalu terkendali, ia juga memberikan manfaat-manfaat duniawi yang tak terhitung banyaknya. Selain itu, cita-cita teragung setiap mukmin yaitu untuk bertatap muka dengan Rasulullah hanya dapat terwujud di akhirat. Para Nabi, para salafus salih, para auliya kiram, para asfiya fiham, semuanya berkumpul di akhirat.  Oleh karena itu, para mukmin yang memiliki kerinduan mendalam untuk bertemu sosok-sosok agung seperti mereka, merupakan sisi lain yang dihasilkan oleh iman kepada akhirat.

Sekarang, mengimani semua asas-asas ini, akan membantu setiap individu khususnya dalam pelurusan akidah, kemudian ia akan berpijak di tempat di mana seharusnya berpijak, dan dengannya ia akan menemukan ketenteraman sejati. Kemudian, unsur-unsur yang dapat merusak ketenteraman ini akan ditolak secara iradiyah (sengaja) dan ibadah-ibadah yang memelihara kelanjutan ketenteraman ini pun dikerjakan. Oleh karena itu, permasalahan yang dibahas dalam pertanyaan, apabila ingin dicari solusi pencegahannya, maka hendaknya ia dicari pada sumber masalah, yaitu asas-asas iman yang secara singkat dibahas tadi sebelum masuk ke dalam pembahasan ibadah. Mereka yang memiliki iman kamil tidak akan pernah mengalami masalah-masalah seperti itu.

Ketika mencari jawaban atas pertanyaan tersebut, saya rasa beberapa bahasan ringkas seputar salat juga dapat dilakukan. Salat adalah ibadah yang mengingatkan kita akan asas-asas iman yang sebelumnya kita bahas secara ringkas tadi. Di dalam salat senantiasa terdapat potensi pengingat dan dzauq (kelezatan maknawi) yang amat dalam. Salat mengingatkan manusia betapa tak berdaya dan papanya ia di hadapan Rabb-nya Masalah-masalah besar yang dirasa mustahil ditangani ataupun jalan keluar dari problem yang timbul menunjukkan bahwa asas dan sumber dari kekuatan yang mampu menangani segala sesuatu adalah iman kepada Sang Pemilik Takdir yang Mutlak SWT. Jawaban terakhir, kita dapat membuka pembahasan ini lebih lebar lagi lewat perenungan terhadap beberapa ayat dalam surat al Fatihah.

اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعٰلَمِيْنَ (Alhamdulillahi rabbil ‘alamin). Pujian hanyalah bagi Allah SWT, yang mengatur, menumbuhkan, dan mematangkan segala sesuatu, mulai dari zarah hingga ke sistem. Setelah beriman kepada Sang Rabb yang telah menyelamatkan kita dari keterbenaman dan menggenggam tangan kita saat berhadapan dengan seribu satu peristiwa, bagaimana mungkin aku bisa berputus asa?

الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ (Ar Rahmanir rahim). Dia Maha Pengasih, baik kepada orang kafir maupun kepada orang mukmin, di dunia dan di akhirat. Rahmatnya melebihi kemarahan dan kemurkaanNya. Jika demikian, bagaimana mungkin aku bisa berputus asa?

مٰلِكِ يَوْمِ الدِّيْنِ (Maaliki yaumiddin). Dia adalah Sang Pemiliki dari hari pembalasan. Amal terkecil dari seorang hamba yang dikerjakannya di dunia akan ditampilkan di hadapanNya dan akan dimintai pertanggungjawaban.  Akan tetapi, Allah SWT yang rahmatNya melebihi murkaNya kembali akan mengulurkan tanganNya untuk menolongku.

اِيَّاكَ نَعْبُدُ وَاِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ (Iyyaka na’budu wa iyyaka nastain): Penghambaanku hanya kupersembahkan kepadaMu, dan hanya kepadaMu kumohon pertolongan. Kami datang ke pintu gerbangMu dengan penyerahan dan kesadaran total atas Rububiyah dan UluhiyahMu. Dengan demikian, kami mengakui dan mendeklarasikan bahwasanya kami adalah hambaMu. Akan tetapi, betapa mulianya penghambaan ini. Sultan kami adalah Sultannya para sultan, itulah Engkau Ya Allah. Di samping itu, kita adalah hambaMu yang mulia dan terhormat, di mana kami tidak bersujud di hadapan makhluk lainnya, dan hanya kepadaMu saja kami memohon. Dalam ungkapan yang digunakan oleh Yunus Emre:

Yang disebut-sebut sebagai surga
Berisi beberapa istana dan bidadari
Berikanlah ia kepada mereka yang menginginkannya
Aku hanya menginginkan Kamu cuma Kamu…

Demikianlah.
Kini, tampilan akidah tauhid di segala sisi dan pengakuan penghambaan yang penuh kesadaran serta permohonan bantuan semata-mata kepadaNya sebenarnya merupakan rasa syukur yang sudah selayaknya disampaikan atas beragam anugerah dan kebaikan Ilahi, serta merupakan pengiktirafan bahwasanya ibadah belum ditunaikan dengan sempurna.  Pernyataan yang menggambarkan hubungan antara makhluk ciptaan dengan Sang Pencipta adalah ungkapan perasaan tak berdaya dan papa. Jika demikian, orang yang memiliki pemikiran dan pandangan yang seperti itu, bagaimana mungkin akan putus asa?

Kalimat-kalimat berikutnya dari surah Al Fatihah juga dapat dipahami dalam bentuk yang serupa. Oleh karena saya anggap makna yang akan dijelaskan dapat dipahami sebagaimana mestinya, maka saya menjelaskannya singkat saja. Ya, seorang manusia yang berhasil menunaikan salat dengan pemahaman dan pemikiran demikian, tidaklah mungkin akan mengabaikan salat disebabkan oleh alasan-alasan pekerjaan duniawi. Jika demikian, setelah iman, maka kita memiliki kewajiban juga untuk menjelaskan hakikat salat, atau jika memungkinkan membuat informasinya sampai kepada setiap manusia.

Seorang manusia dengan ibadah salatnya akan menyempurnakan dirinya sebagaimana bunga matahari yang pertumbuhannya menjadi sempurna dengan mekar ke arah matahari bersinar. Dengan bertawajuh kepada Tuhannya sehari sebanyak lima kali, seseorang akan membangkitkan kembali kesadarannya yang layu dan lesu. Kesadarannya akan bangkit dan ia pun memperbaharui janji setianya kepada Rabbnya. Dari sisi ini, maka salat adalah anugerah terbesar dari Allah SWT kepada kita. Ketiadaannya seperti ketiadaan mentari. Sebagaimana ketiadaan mentari akan menyebabkan ketiadaan bunga matahari dari segi hukum sebab akibat; maka ketiadaan ibadah yang demikian di satu makna berarti juga ketiadaan manusia. Jika demikian, maka sebenarnya kitalah yang membutuhkan ibadah.

Seorang manusia yang menunaikan salat dan mengisi ulang energinya di hadapan Sang Rabb akan terhindar dari hal-hal haram dan makruh ketika menekuni bidang perdagangan. Khususnya salat yang ditunaikan di tengah hari seperti salat zuhur dan ashar, ia dapat mengobarkan semangat muraqabah dan muhasabah dari seorang manusia. Salat di waktu itu akan membangkitkan mekanisme tersebut dan menyelamatkan manusia dari berbuat kesalahan. Sedangkan salat magrib, isya, tahajud, dan subuh merupakan pusat tajali rahasia yang ingin dijelaskan dalam bait berikut ini:

Di tempat di mana dialami kebuntuan
Seketika terbukalah tirai
Menjadi solusi bagi setiap masalah

Dan salat merupakan faktor yang mendorong seorang muslim untuk menata hidupnya dalam sistem yang teratur. Seorang manusia yang menemui Tuhannya sehari sebanyak lima kali mau tidak mau akan menata kehidupannya menjadi lebih teratur. Dia mulai bekerja sesudah menunaikan salat subuh. Setelah lelah bekerja selama 6-7 jam, maka ia kembali mengobarkan semangatnya melalui salat zuhur. Ia kembali bekerja hingga tiba waktu ashar. Melalui salat ashar sekali lagi ia menyegarkan pikirannya dan badan pun menikmati masa istirahatnya.  Apabila ia tidak membagi waktunya dengan cara demikian, maka pekerjaan yang ditekuninya tidak akan bisa meraih hasil yang diinginkan, bahkan performanya akan menurun. Mereka yang tidak mampu memahami prinsip-prinsip tersebut yang terdapat di dalam salat, akan terjebak ke dalam pusaran kekacauan, dia akan terseret dari krisis yang satu ke krisis yang berikutnya.

Kesimpulannya, mereka yang tidak menemukan waktu untuk menunaikan salat sebenarnya adalah mereka yang matanya tertutup dari hakikat-hakikat Ilahi. Berdasarkan pada hal itu, kelemahan iman, tidak meyakini prinsip-prinsip iman sebagaimana mestinya, dan ketidakmampuan memahami hakikat salat sebagaimana kita singgung dalam satu dua tempat di atas, sayangnya dapat mendorong masyarakat kita ke pemikiran yang seperti itu. Cara untuk menyelamatkan diri dari bahaya itu adalah dengan beriman dan menampilkannya dalam kehidupan kita sebagaimana sebagian telah dijelaskan pada pembahasan di atas.


[1] https://fgulen.com/tr/eserleri/prizma/bir-kere-daha-namaz

inbal-malca-NhlKx6Uvm3E-unsplash

Rasulullah dan Para Delegasi Asing 

Rasulullah dan Para Delegasi Asing 

Tanya: Rasulullah SAW, khususnya setelah Fathul Mekah, menyambut delegasi tamu yang datang dari berbagai negara dan kabilah tetangga dengan sangat baik. Beliau memuliakan para tamu ini dengan penuh ketulusan. Selain itu, beliau juga ingin agar kebiasaan ini dapat menjadi budaya yang diterapkan oleh para penggantinya. Di saat-saat terakhir kehidupannya, ia mengulangi permintaan ini sebagai bagian dari wasiatnya. Apa hikmah dari peristiwa tersebut? Jika kita menafsirkan peristiwa tersebut sesuai masa ini, pelajaran apa saja yang bisa kita ambil?

Jawab: Kebiasaan Rasulullah seharusnya menjadi titik perhatian bagi kita semua pada saat ini. Untuk itu, kita benar-benar harus menjalankannya dengan baik.

Rasulullah tidak hanya menjamu delegasi tamu, beliau juga memberi perhatian di level tertinggi bagi mereka yang mau mempelajari dan memeluk agama Islam.  Misalnya, ketika para tokoh-tokoh Mekkah seperti Khalid bin Walid, Amr bin Ash dan Usman bin Talhah datang ke Madinah, demikian istimewanya Rasulullah menjamu dan mengistimewakan mereka, Sayyidina Abu Bakar dan Umar bin Khattab (radiyallahu anhum) pun belum pernah menerima keistimewaan tersebut.

Nabi SAW bersabda kepada Sayyidina Khalid:  “Aku heran bagaimana mungkin sosok jenius seperti Khalid dapat tinggal di dalam kekufuran!”  Selang tak berapa lama kemudian, beliau menobatkan Sayyidina Khalid dengan sebutan “Pedang Allah”.

Amr bin Ash adalah sosok yang selalu berbuat keburukan kepada umat Islam.  Hingga masa itu, sosok Amr bin Ash menggunakan kejeniusannya untuk melawan Islam. Akan tetapi, ketika dia menjadi seorang Muslim dan datang ke Madinah, Rasulullah SAW menyambutnya dengan penuh hangat dan kemuliaan, beliau tidak pernah mengungkit masa lalunya walau sekecil apapun. Sebagai jawaban dari permohonan doanya Rasulullah SAW, “Tidak tahukah kamu jika Islam menghapus dan membersihkan semua dosa yang dilakukan seseorang sebelum masuk Islam.”

Ketika Sayyidina Abdullah bin Jarir al-Bajali ra masuk ke dalam majelisnya Rasulullah, Beliau memberi isyarat agar salah satu jamaah berdiri dan memberi tempat duduk kepada Sayyidina Abdullah bin Jarir al Bajali ra. Ketika tidak ada jamaah yang memahami isyaratnya, beliau segera bergerak dan melepas jubahnya untuk dijadikan sebagai alas duduk Sayyidina Abdullah bin Jarir al Bajali.  Kemudian beliau menyampaikan nasihatnya yang abadi tentang kewajiban menyambut dan memuliakan pemimpin suatu kaum. Bagaimana Rasulullah menjamu Ikrimah putra Abu Jahal dengan kata-kata pujian adalah pelajaran penuh hikmah lainnya yang beliau tunjukkan kepada kita.[1]

Ya, kebiasaan Rasulullah ini adalah prinsip-prinsip yang tidak akan berubah. Bagaimana Rasulullah menyambut individu dan delegasi tamu yang datang dengan kerangka prinsip-prinsip tersebut, sesungguhnya terdapat banyak tujuan yang penuh hikmah di dalamnya:

Pertama: Orang-orang yang baru saja memeluk agama Islam tetapi masih belum merasakan kehangatan Islam, jika di dalam fase ketidaknyamanan dan kecemasan tersebut mereka tidak menemukan sosok dengan atmosfer hangat serta penuh rasa aman yang dapat menyelamatkan mereka dari kecemasan itu, maka mereka bisa menggunakan preferensinya dengan cara lain di mana hal itu adalah kerugian bagi mereka. Begitulah Rasulullah SAW menunjukkan perhatiannya bahkan kepada mereka yang keinginan berislamnya sekecil apapun; perhatiannya telah menyelamatkan mereka dari pengambilan keputusan yang salah. Prinsip tersebut merupakan prinsip penting yang harus diperhatikan baik di masa kini maupun di masa mendatang.

Yang kedua: Di antara anggota delegasi yang datang, selalu ada orang yang dihormati di dalam kaum mereka. Mereka adalah orang-orang yang terbiasa dengan penghormatan dan perhatian seperti itu di dalam kaum mereka. Karena itu,  kemuliaan dan penghormatan harus dipersembahkan kepada mereka dalam takaran yang sama, sehingga mereka tidak merasa asing ketika tiba di lingkungan baru. Maksudnya, pemuliaan dan penghormatan ini seharusnya dapat menyingkirkan rasa tidak nyaman yang dapat muncul dari lingkungan baru serta menjamin rasa aman ke dalam hati mereka.

Ketiga: Sebagian besar delegasi ini adalah utusan resmi. Ketika Islam diumumkan sebagai sebuah sistem pemerintahan, maka kabilah-kabilah dan negara-negara di sekitarnya mengirimkan delegasi ke Madinah untuk melakukan perundingan. Orang-orang yang berada dalam delegasi ini juga bukan orang biasa; kurang lebih hampir semuanya memiliki wawasan luas akan dunia dan memiliki kemampuan mengevaluasi nilai dari sudut pandang mereka sendiri. Dan ketika orang-orang ini kembali ke tempat asal mereka, mereka akan kembali dengan kesan yang mereka bawa… Pendapat mereka akan mempengaruhi urusan-urusan di negara atau kabilah tempat mereka berasal. Jika demikian, maka orang-orang ini harus diyakinkan dengan opini-opini positif. Ini bergantung sekali dengan penghormatan yang ditunjukkan dan penyampaian masa depan yang menjanjikan.

Keempat: Akhlak dan karakter mulia Baginda Nabi telah dikenal dan diketahui oleh para Ahli Kitab. Karena akhlak dan karakter tersebut dijelaskan di dalam kitab-kitab mereka. Beberapa delegasi datang untuk menyelidiki kebenaran ini. Rasulullah SAW sendiri percaya akan dirinya sendiri. Beliau adalah nabi yang diberitakan dalam Taurat dan Injil. Beliau menganggap mereka yang datang untuk melihatnya dari dekat berarti telah menerima pesannya.

Ya, Rasulullah SAW menerima mereka dari dekat seakan membantu mereka untuk dapat menyaksikan tanda-tanda kenabiannya. Dengan demikian, sikap dan tindak tanduknya yang penuh berkah tersebut telah mencabik-cabik segala macam keraguan dan kebimbangan. Sebagian besar dari mereka yang datang lalu mengubah pandangan awalnya untuk kemudian bersiap melaksanakan misi tablig di tempat asal mereka.

Penafsiran pembahasan itu untuk kebutuhan masa kini:

Pertama-tama, kita harus mengakui bahwa tidak ada satu pun manusia yang bisa meniru sikap Rasulullah ini dengan sempurna. Karena tidak ada manusia yang memiliki daya dan kemampuan untuk melaksanakannya. Bayangkan saja, beliau adalah sosok yang mampu memanggul Al Quran dengan segala keagungan dan kemuliaannya yang bahkan tak mampu dipikul oleh gunung-gunung. Kedua kakinya berdiri di tempat yang kokoh, sehingga tidak ada satu pun peristiwa ataupun perlakuan yang mampu membuatnya berpaling dari prinsip-prinsipnya. Sedangkan pada diri kita terdapat kelemahan yang bisa membuat kita jenuh dan frustrasi. Akan tetapi, membayangkan kelemahan seperti itu terdapat pada Sang Nabi saja sudah tidak mungkin.

Dalam hal ini, baik untuk kehangatan penyambutan beliau terhadap delegasi tamu, ataupun penerimaan dan pemaafan beliau kepada tokoh-tokoh yang di masa lalu melakukan kesalahan fatal sekalipun, rasanya tidak mungkin bagi kita untuk melakukan hal yang serupa. Namun, wajib bagi kita untuk melakukan hal yang sama semaksimal mungkin. Jika tidak, maka kita bisa menunjukkan hizmet yang sudah dikenal di seluruh dunia pada level yang tidak semestinya sehingga dengan demikian seakan kita telah mengkhianati hizmet yang mulia ini.

Baginda Nabi SAW memberikan arahan untuk menunjukkan sensitivitas yang diperlukan dalam menerima tamu delegasi, menjadikannya sebagai bagian dari wasiat terakhirnya[2], serta betapa dalam dimensi yang akan diraih oleh sikap ini di masa depan, menunjukkan betapa pentingnya hal ini dalam jangka pendek maupun jangka panjang.

Padahal di masa itu pengaruh beliau masih belum keluar dari Jazirah Arab. Surat dan hadiah dari beberapa kepala negara yang dikirimkan masih berada dalam kerangka penghormatan kepada sosok beliau sebagai individu. Akan tetapi, di masa depan, Islam sebagai negara menyebar ke seluruh penjuru dunia sehingga mengharuskannya menjadi tuan rumah dan menjamu ratusan bahkan ribuan delegasi dari berbagai negara. Sebenarnya hal itu adalah bagian dari protokoler kenegaraan, tetapi sekali lagi dasarnya juga telah diletakkan pondasinya oleh Baginda Nabi SAW. Memang dalam masa kenabiannya selama 23 tahun, dalam skala mikro, tidak ada satu pun masalah yang tidak diselesaikan olehnya… Protokol menjamu delegasi pun hanyalah salah satu masalah yang berhasil diselesaikan olehnya…


[1] “Maka Ikrimah masuk Islam dan dia datang menemui Rasulullah SAW pada waktu Penakhlukkan Mekah. Tatkala Rasulullah SAW melihatnya, beliau langsung bangun karena amat gembiranya, dan beliau tidak memakai surban hingga dia membaiatnya. (at Tamhid; Muwaththa’ Imam Malik)

[2] 38.252/2825. Telah bercerita kepada kami Qobishah telah bercerita kepada kami Ibnu ‘Uyainah dari Sulaiman Al Ahwal dari Sa’id bin Jubair dari Ibnu ‘Abbas radliallahu ‘anhuma bahwa dia berkata; Hari Kamis dan apakah hari Kamis?. Lalu dia menangis hingga air matanya membasahi kerikil. Dia berkata; Rasulullah Shallallahu’alaihiwasallam bertambah parah sakitnya pada hari Kamis lalu Beliau berkata: Berilah aku buku sehingga bisa kutuliskan untuk kalian suatu ketetapan yang kalian tidak akan sesat sesudahnya selama-lamanya. Kemudian orang-orang bertengkar padahal tidak sepatutnya mereka bertengkar di hadapan Nabi Shallallahu’alaihiwasallam. Mereka ada yang berkata; Rasulullah Shallallahu’alaihiwasallam telah terdiam. Beliau berkata: Biarkanlah aku. Sungguh aku sedang menghadapi perkara yang lebih baik daripada ajakan yang kalian seru. Beliau berwasiat menjelang kematiannya dengan tiga hal; Usirlah orang-orang musyrikin dari jazirah ‘Arab, hormatilah para tamu (duta, utusan) seperti aku menghormati mereka dan aku lupa yag ketiganya. Dan berkata Ya’qub bin Muhammad, aku bertanya kepada Al Mughiroh bin ‘Abdur Rohman tentang jazirah ‘Arab, maka dia menjawab; Makkah, Madinah, Yamamah dan Yaman. Dan berkata Ya’qub; Dan ‘Aroj yang merupakan permulaan Tihamah (HR Bukhari).

pacto-visual-zSeOZKJZE6M-unsplash

Uslub dalam Mengkritik

Uslub dalam Mengkritik[1]

Tanya: Dewasa ini, ketika membahas persoalan pemerintahan, politik, serta kebijakan birokrasi, pendekatan kritik dan kecaman seakan telah menjadi kriteria tunggal. Apakah pendekatan seperti ini tepat?

Jawab: Kata َلتَّخْريِبُ اَسْهَل telah menjadi idiom di kalangan orang Arab. Terjemahan sederhananya adalah “merusak itu lebih mudah”. Ya, merusak, mengkritik, serta menghancurkan sangatlah mudah. Akan tetapi, “membangun” itu kebalikannya, ia amatlah sulit. Untuk itu, mereka yang ingin melontarkan kritik hendaknya meneliti langkah-langkah “membangun”, memastikannya, baru kemudian diperkenankan melontarkan kritik. Jika tidak, kekosongan yang ditinggalkan oleh kritik tidak akan bisa diisi.

Ya, terdapat beberapa masalah yang tidak memiliki daya tahan kokoh andai solusi alternatifnya belum disiapkan. Saya rasa para nabi, khususnya Baginda Nabi SAW, salah satu tugas utamanya adalah untuk mewujudkan keseimbangan ini. Ya, beliau secara jelas dan terang, dengan cara-cara persuasif seakan berteriak “ini salah!”, tetapi di waktu yang sama beliau menerapkan langkah-langkah alternatif yang benar. Dengan demikian, beliau tidak memberi kesempatan keadaan kacau balau serta kekosongan muncul. Beliau menyeimbangkan keadaan, menimbang segala efek positif serta negatifnya, serta tidak membiarkan kekosongan pikiran dan emosi muncul. Sebenarnya dari pendekatan beliau tersebut terdapat banyak hal yang dijelaskan kepada kita: sekali saja rencana dan proyek “membangun” tidak diletakkan pada pondasi yang kokoh, maka usaha-usaha kritik dan kecaman tak lain dan tak bukan adalah pembunuhan.

Oleh karena pemikiran tersebut tidak dipraktikkan dalam kehidupan nyata, bergantung pada besarnya kesalahan yang dilakukan, ia telah menyeret entah itu individu, keluarga, bahkan terkadang negara ke dalam kekacaubalauan serta pada kekosongan. Jika kita mengambil contoh di mana negara yang mengalami keadaan tersebut, maka negara Usmani-lah yang akan muncul pertama kali dalam benak kita. Saat itu sultan berusaha untuk digulingkan, disampaikan agar ditunjuk sosok yang lebih baik untuk menjadi pemimpin; tetapi ketika sosok yang lebih baik tidak berhasil ditemukan kemudian masuklah negara ke dalam keadaan yang lebih buruk lagi. Kondisi tersebut akhirnya memaksa kita untuk mencari kejayaan masa lalu dengan penuh kerinduan.

Misalnya kritikan tokoh-tokoh seperti Talat, Cemal, dan Enver Pasa; Riza Tevfik, Tevfik Fikret, dan – dalam beberapa kriteria – Mehmet Akif, serta banyak tokoh yang mengkritik Sultan Abdul Hamid II dengan panggilan semisal “Sultan Yang Karatan”, di kemudian hari mereka menyampaikan beragam pujian kepadanya. Akan tetapi, saat itu terjadi semuanya telah terlambat. Tokoh-tokoh seperti Cemal, Talat, serta Enver Pasa merintih sendu:”Aduh! Apa yang sudah kami lakukan Sultanku!”. Riza Tevfik ketika orang-orang Yunani menyerang Izmir menangis tersedu-sedu di pelataran masjid. Beliau pun menulis syair yang menggambarkan permohonan bantuan dari alam maknawi sang Sultan. Ya, mereka mungkin kemudian tersadar, tetapi ba’de harabi’l-Basra, nasi sudah menjadi bubur. Usmani telah runtuh, Mosul, Kerkuk, Suleymaniyah, dan Balkan telah melepaskan diri; ketenteraman yang terjaga selama enam abad perlahan mulai sirna; baru kemudian kesadaran itu tiba. Dunia kini sedang membayar konsekuensinya dengan harga yang sangat mahal. Padahal Usmani adalah unsur penyeimbang antara Timur Tengah, Kaukasia, dan Balkan. Sedihnya, kita baru menyadari hal tersebut setelah Usmani runtuh.

Betapa pedihnya, ternyata kesalahan-kesalahan bersejarah tersebut juga dapat terjadi pada hari ini. Negara serta pemerintahan dikecam dan dikritik sebelum rencana dan proyek alternatif terbaik selesai dirancang. Yang ada hanya slogan-slogan oposan seperti “saya tidak setuju dengan kebijakan tersebut” atau “politik dalam dan luar negeri tidak bisa dijalankan seperti itu…”. Saat mereka diminta untuk menjelaskan, menuliskan, serta menggambarkan bagaimana seharusnya bertindak, maka mereka berdalih dengan mengatakan bahwasanya hal tersebut membutuhkan pikiran dan pengalaman yang luas di mana mereka mengaku tidak memilikinya. Mohon izin, pemerintah dan birokrat bisa saja membuat kesalahan. Akan tetapi, bukan berarti kita bisa mengkritik dan mengecam mereka begitu saja tanpa memikirkan apa yang harus dilakukan sebagai solusi alternatifnya. Pemikiran yang demikian dapat melemahkan negara serta mengurangi wibawa bangsa di hadapan pandangan dunia internasional. Bahkan bisa membuka jalan dimana pengaruh negara pun akan sirna. Misalnya, dari segi geografis, negara kita yang memiliki letak strategis, di tengah-tengah pergolakan politik yang sedang terjadi di lingkungan sekitar kita, andaikata negara kita sedikit lebih kuat lagi, tentunya dapat menyatukan negeri-negeri di Asia Tengah untuk mendukung kita menjadi pusat dan dengan satu langkah dapat menyatukan mereka sebagai partner kita. Bahkan negara kita pun dapat mengumpulkan negara-negara Islam dalam satu kesatuan.

Bukankah kejayaan masa lalu telah membuktikan bahwa ia pernah terwujud? Alpaslan, Fatih, Yavuz, bukankah mereka muncul dengan reputasi kuat serta menjadi harapan bagi setiap anak bangsa? Bukankah mereka sebagian besar berhasil menjawab harapan tersebut dengan hasil yang positif?

Ya, kita tidak memiliki hubungan dengan mereka yang memburu perhitungan-perhitungan keliru. Kita sedari awal hingga saat ini, kadang dengan tangisan kadang dengan senyuman, tetapi dari bibir kita senantiasa terangkai senyuman yang berasal dari harapan; kita senantiasa berusaha keras dengan semangat dari kejayaan masa lalu yang mengitari takdir bangsa kita. Agar guncangan baru tidak lagi muncul dan menimpa bangsa serta negara, kita telah menunjukkan kehati-hatian ekstra dalam menjaga kalbu kita. Dalam menghadapi bahaya yang mengancam, kita senantiasa meneliti langkah apa saja yang harus kita ambil. Dan kepada mereka yang bertahun-tahun dari kampung ke kampung, dari desa ke desa, senantiasa membuntuti serta berbuat keburukan kepada kita, yang bisa kita katakan adalah:

قُلْ كُلٌّ يَعْمَلُ عَلَىٰ شَاكِلَتِهِ فَرَبُّكُمْ أَعْلَمُ بِمَنْ هُوَ أَهْدَىٰ سَبِيلًا
Katakanlah: “Tiap-tiap orang berbuat menurut keadaannya masing-masing”. Maka Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang lebih benar jalannya. (QS Al Isra 84)

Terhadap mereka yang menggunakan kuasa negara untuk mengganggu, kami tidak pernah kecewa ataupun marah kepada negara dan bangsa kami.

Ya, terkait pembahasan ini, keseimbangan adalah hal yang sangat penting. Sedangkan pada hari ini, menurut saya terdapat banyak kesalahan dilakukan di lahan ini. Padahal sebagaimana telah kami berikan contohnya di awal pembahasan, betapa besarnya laku tersebut dalam memberikan efek kerusakan dan komplikasi yang tak dapat kita perkirakan dampaknya di mana kekuatan kita rasanya tak akan cukup untuk memperbaiki walau hanya satu bagiannya saja.

Pendekatan ini bisa jadi meresahkan sebagian dari mereka yang memiliki penampakan radikal. Akan tetapi, menurut saya pembahasan ini cukup lembut. Sebenarnya saya tidak pernah menginginkan sebagian kaum muslimin tersinggung. Namun, di hadapan kita terdapat banyak pemahaman Islam. Mereka berkata “saya Muslim”, tetapi di tangannya terdapat bom, sementara di pinggangnya terdapat senjata untuk melukai orang lain di tengah jalan. Betapa sulitnya memahami dan mempertemukan pemandangan tersebut dengan agama Islam. Tentu saja tidak mungkin bagi kita untuk dapat menyenangkan semua pihak. Dari sudut tersebut, saya secara pribadi khawatir pembahasan ini disalahgunakan ataupun ditafsirkan secara keliru. Walaupun demikian, menjelaskan kebenaran dan hakikat adalah tugas kita.

Kesimpulannya, segala sesuatu harus ditunaikan di dalam peraturan yang melingkupinya. Ketika kita mengatakan “mari membangun: maka kita harus senantiasa menunjukkan perhatian pada uslub untuk tidak mendahulukan kritik dan kecaman. Dengan mengambil pelajaran dari masa lalu, kita tidak boleh jatuh ke dalam kekosongan logika; Bangsa dan negara tak boleh dikorbankan demi kepentingan rasa untuk berpetualang.

[1] Diterjemahkan dari artikel berjudul “Eleştiride Üslûb” di buku Prizma 1, bisa dilihat di laman https://fgulen.com/tr/fethullah-gulenin-butun-eserleri/132-Prizma/11570-fethullah-gulen-elestiride-uslub

zdenek-machacek-jbe0iCwo-U0-unsplash

Dua Prinsip Penting Dalam Dakwah: Sidik dan amanah

Dua Prinsip Penting Dalam Dakwah: Sidik dan amanah[1]

 Tanya: Dapatkah Anda menjelaskan maksud dari pernyataan berikut “Setiap yang kamu katakan haruslah kebenaran, tetapi kamu tidak mempunyai hak untuk mengatakan semua kebenaran”[2]

Jawab: Pernyataan ini ketika pertama-tama tumbuh di jiwa manusia dan berkembang di dalam masyarakat, ia telah mengguncang sebab-sebab kedustaan dari pondasinya.

      Dusta dengan penjelasan paling sederhananya adalah mengklaim suatu hal yang sebaliknya. Al Quran menyebut setiap sikap dan laku mereka yang mengingkari Allah sebagai dusta disebabkan mereka mengingkari hakikat besar di alam semesta ini.

۞ فَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنْ كَذَبَ عَلَى اللَّهِ وَكَذَّبَ بِالصِّدْقِ إِذْ جَاءَهُ ۚ أَلَيْسَ فِي جَهَنَّمَ مَثْوًى لِلْكَافِرِينَ

Artinya: Maka siapakah yang lebih zalim daripada orang yang membuat-buat dusta terhadap Allah dan mendustakan kebenaran ketika datang kepadanya? Bukankah di neraka Jahannam tersedia tempat tinggal bagi orang-orang yang kafir? (Az Zumar 39:32)

      Ayat tersebut dengan gamblang menjelaskan betapa perbuatan mendustakan Allah dan mendustakan kebenaran merupakan sebuah dosa yang amat menakutkan, saya tidak tahu apakah masih diperlukan untuk mengemukakan penjelasan lainnya.

        Kedua; dusta adalah sebuah karakter buruk yang dapat melenyapkan perasaan aman dan loyalitas yang terdapat pada seorang manusia. Seorang manusia yang beberapa kali berdusta lama kelamaan seperti meletakkan bayangan di hadapan segala kebenaran yang terpancar dari dirinya. Demikian pentingnya kebenaran, ketika prinsip-prinsip kenabian lainnya seperti tablig, fatanah, seimbang dan tidak jatuh kepada ifrat dan tafrit, serta kompetensi untuk senantiasa berada di atas siratal mustakim tumbuh di bawah spektrum bimbingan wahyu; karakter sidik dan amanah telah mulai tumbuh sejak Nabi masih belia dan berlanjut di sepanjang umur kehidupannya. Andaikata seorang Nabi di masa belianya sebelum diangkat menjadi nabi pernah berdusta ataupun diketahui tidak amanah, maka saat diangkat menjadi nabi orang-orang di sekitarnya akan berkata:” Kamu memang sebelumnya sudah sering berdusta. Kini dari mana kami tahu jikalau pesan-pesanmu tersebut bukanlah kedustaan lainnya?”

        Sidik adalah sifat para nabi yang paling utama, sedangkan dusta adalah sifat yang paling jauh dari kenabian. Al Quran pada surat al Anbiya ayat 58-68 menjelaskan peristiwa bagaimana Nabi Ibrahim as menghancurkan patung-patung yang disembah oleh kaumnya dimana beliau kemudian meletakkan kapaknya di leher patung yang terbesar dan setelah memberi isyarat bahwa patung besar itulah yang melakukannya, beliau berkata:

بَلْ فَعَلَهُ كَبِيرُهُمْ هَٰذَا

Artinya: Sebenarnya patung yang besar itulah yang melakukannya,

           Barangkali pernyataan metafora tersebut dengan sedikit sentuhan kecermatan adalah pernyataan yang benar. Akan tetapi, karena uslub yang demikian kurang cocok dengan tingginya derajat kenabian maka kepada mereka yang di hari akhir nanti meminta syafaat kepadanya, beliau akan berkata:” Seorang manusia yang pernah berbuat kekeliruan seperti itu tidak bisa memberi syafaat kepada kalian”. Pernyataan beliau tersebut juga memberi penekanan yang teramat penting betapa menyeramkannya dusta.

     Potret Kebanggaan Umat Manusia SAW telah masyhur dengan sifat jujur dan amanahnya jauh sebelum beliau diangkat menjadi nabi. Di antara banyak peristiwa barangkali kisah ini dapat dianggap sebagai dokumentasi penting yang menjelaskan karakteristik istimewa beliau tersebut: Suatu hari Kabah mengalami perbaikan. Ketika tiba waktu untuk meletakkan hajar aswad di tempatnya semula, muncullah ketegangan di antara kabilah. Hampir-hampir semua perwakilan kabilah mengeluarkan pedangnya dan menyatakan bahwa kabilahnyalah yang paling layak untuk mengerjakan tugas itu. Kemudian mereka membuat keputusan: Orang pertama yang memasuki Kabah akan mereka pilih sebagai hakim dimana keputusannya akan diterima oleh semua kabilah. Semua orang pun menunggu dengan penuh rasa penasaran hingga akhirnya orang yang pertama masuk adalah Nabi Muhammad. Sedangkan beliau saat itu tidak mengetahui apa yang sedang terjadi. Ketika kawan maupun lawan menyaksikan sosok yang memberikan rasa aman ini masuk maka berserulah mereka:”Yang datang adalah al Amin!”. Semua anggota kabilah sepakat untuk menerima apapun keputusan beliau tanpa syarat atau kondisi apapun. [3]

         Terdapat satu lagi peristiwa yang mendokumentasikan keterpercayaan beliau bahkan di kalangan lawan-lawannya: Sang Nabi beberapa saat setelah turunnya kenabian mengumpulkan orang-orang. Sambil menatap Jabal Abu Qubais, beliau bersabda “Apakah kalian percaya jika kukatakan bahwa di balik bukit itu terdapat pasukan musuh yang sedang datang untuk menyerang?” Kaum musyrik demi mendengar pertanyaan ini menjawab:”Ya, kami percaya!” Menimpali jawaban tersebut, Baginda Nabi kembali bersabda:”Ketahuilah bahwa aku adalah seorang Nabi yang diutus oleh Allah SWT.” Beliau menyelesaikan kata-katanya tetapi sebagian besar dari yang berkumpul tetap hidup dalam keadaan menentang kenabiannya.

        Pada hari ini, sosok yang dianggap sebagai hulubalang dakwah nabawiyah haruslah memberi perhatian besar kepada sifat sidik dan amanah sebagaimana Sang Nabi mempraktikkannya. Setiap kata yang disampaikan haruslah kata-kata yang benar. Di masa di mana dusta makin digemari dan banyak orang dengan santainya berdusta, maka kebenaran semakin mendapatkan nilai. Untuk itu, setiap murid Al Quran tidak boleh merendahkan dirinya di hadapan dusta bahkan yang terkecil sekalipun; murid Al Quran harus menyampaikan kebenaran atau jika tidak bisa maka ia lebih baik tidak berbicara.

       Ketiga, dalam beberapa keadaan, seorang manusia, bangsa, ataupun negara bisa saja berhadapan dengan kondisi dimana mereka diharuskan berbohong demi menjaga keselamatan dirinya. Dalam keadaan demikian sekalipun hendaknya kita memberi perhatian lebih spesifik lagi dan sama sekali tidak boleh menggunakan dusta sebagai jalan keluarnya. Ya, representasi dari rasa aman serta saksi kebenaran setiap saat harus berpikir dengan benar, berbicara dengan benar, dan bergerak dengan benar.

         Ya, setiap orang memang harus menyampaikan kebenaran, tetapi “Setiap kebenaran tidak harus disampaikan di setiap tempat.” Misalnya, seseorang yang memberikan informasi kepada musuh tentang posisi barak militer pertahan pasukannya sama artinya dengan memberi bara api kepada musuh dan membiarkannya menyerang pertahanan bangsanya. Untuk itu, dalam keadaan demikian hendaknya mencukupkan diri dengan kebenaran yang tidak memberikan implikasi bahaya. Tidak perlu baginya membocorkan kebenaran-kebenaran yang dapat membahayakan kelanggengan pos pertahanannya.

       Kesimpulannya, seorang manusia tidak perlu membuka pintu dusta walaupun itu tujuannya untuk masuk surga. Sambil menggenggam pernyataan “Setiap yang kamu katakan haruslah kebenaran, tetapi kamu tidak mempunyai hak untuk mengatakan semua kebenaran” sebagai prinsip, maka kita harus mengatakan kebenaran di setiap waktu.

[1] Diterjemahkan dari artikel yang berjudul: Tebligde iki Onemli Esas: Sidk ve Emanet, dari buku Prizma 4

[2] Bediuzzaman Said Nursi, Maktubat, Surat ke-22, Pembahasan Pertama

[3] Musnad Imam Ahmad, Mustadrak Imam Hakim

david-marcu-14AOIsSRsPs-unsplash

Menjadi Jiwa Berdedikasi

“Menjadi Jiwa Berdedikasi[1]

Bisakah Anda menjelaskan ungkapan: “Yang aku inginkan bukanlah menjadi bagian dari kemuliaan masa lalu ataupun menjadi bagian dari kesuksesan di masa mendatang; yang aku inginkan hanyalah menjadi bagian dari jiwa-jiwa yang berdedikasi di masa ini”

 

Mungkinkah bagi kita untuk tidak berharap menjadi bagian dari kemuliaan masa lalu, walaupun sekedar menjadi prajurit rendahannya saja? Ketika membahas masa lalu kita yang amat mulia itu, pikiran kita secara otomatis akan meluncur ke sana.  Untuk itu, penyair besar yang juga mengalami masa-masa pahit kemunduran peradaban kita di masa ini, yaitu Mehmet Akif Ersoy berkata:

Aku menatap burung-burung hantu yang meratapi puing-puing peradaban

Kulihat juga tanah air layaknya surga ini sedang berada di musim gugur

Andai Periode Mawar kuketahui, kurela menjadi bulbul

Ya Allah, andai Engkau ciptakan aku terlahir di masa itu!

 

Ya, siapakah di antara kita yang tidak mau berbagi masa kehidupan dengan Kanuni Sultan Sulaiman?[2] Siapakah dari kita yang tidak mau berada di sisi Yavuz Sultan Selim[3], dimana bersamanya kita menyenandungkan mars Yeniceri[4]? Siapakah dari kita yang enggan untuk mendampingi di sisi kiri ataupun kanan dari sultan-sultan seperti mereka di medan pertempuran seperti Mercidabik, Ridaniye, dan Caldiran[5]. Siapakah dari kita yang tidak suka untuk membusungkan dada kita demi menjadi perisai bagi sultan-sultan seperti mereka. Ya, sejarah cemerlang tersebut senantiasa menjadi fokus otonom alam bawah sadar kita.

Di sisi lain, terdapat janji Sang Nabi dan pengingatan dari para wali, dimana ketika memikirkan masa depan penuh kebahagiaan yang dinanti dengan penuh harapan itu kita pun senantiasa ingin segera tiba di masa tersebut.

Pemikiran yang seperti itu sebagaimana dapat disebut sebagai pendekatan nostalgia; sambil mengeluhkan banyaknya kekurangan di periode masa ini yang penuh kesempitan serta menjemukan, kita seperti seorang pelukis ataupun penyair, singkatnya seperti seniman yang mengkritik subjek-subjek dan objek-objek di hadapannya sembari membandingkannya dengan masa lalu ataupun masa yang akan datang.

Ya, sebagian dari kita barangkali pernah masuk ke dalam pemikiran tersebut. Meskipun hal tersebut bukanlah tugas serta tanggungjawab kita, meskipun hal tersebut dapat mendatangkan arti menawar takdir Ilahi, hal-hal seperti itu tetap dapat mendatangi pikiran kita. Kemudian dengan keikhlasan dan ketulusan yang tersisa, kita pun memperbaiki pemikiran tersebut: “Mohon ampun Ya Rabb, hal tersebut bukanlah perhatian utama kami… Siapalah kami kemudian berhak mengatakan hal seperti itu! Kami hanya berkewajiban mengerjakan tugas dan tanggungjawab kami. Kami tidak turut campur dalam wilayah kuasa RububiyahMu.” Akan tetapi, sekuat apapun tekad kita untuk senantiasa istikamah, sekokoh apapun kita menapakkan langkah kaki, dunia pikiran dan khayalan terkadang membawa kita menuju pemikiran bengkok sehingga hati pun terpeleset olehnya.   Segera kami sampaikan bahwasanya hal tersebut layaknya tergelincirnya hati dalam beriman, ia bukanlah dosa yang tak dapat dimaafkan. Barangkali ia adalah keburukan yang tidak berakibat ditulisnya dosa.

Sebenarnya bagi kita maupun bagi orang lain, kejayaan masa lalu bukanlah hal yang tak boleh diimpikan. Semoga masa depan kita pun seiring berkembangnya akar kejayaan akan setara dengan kejayaan masa lalu, insya Allah.

Akan tetapi, saya dengan pendekatan ala Qitmir, tidak merasa layak untuk berharap dapat menjadi seorang Kanuni dan Yavuz yang jaya di masa lalu, ataupun bermimpi untuk menjadi pimpinan bagi sosok-sosok suci yang menjadi representasi pekerjaan ini di masa mendatang. Sebaliknya, saya lebih suka untuk memilih menjadi salah satu unsur kecil lagi sederhana dari kumpulan mereka yang berhizmet pada masa ini. Mengapa demikian?

Karena:

  1. Kesuksesan di masa mendatang, bersama capaian-capaian keberhasilan juga akan membawa unsur seperti gibah, hasad, serta kebencian. Terdapat ganimah yang dipandang wajib untuk dibagikan. Kecintaan pada pangkat dan jabatan akan menyerang jiwa-jiwa manusia. Ambisi, kebencian, serta kedengkian akan menggelembung. Dari mana Anda tahu? Saya mengetahuinya karena hal-hal itu terdapat pada tabiat manusia. Sejarah manusia telah menjadi saksi bahwa hampir di setiap zaman di masa kesejahteraan dan kebahagiaan yang mengikuti permasalahan dan penderitaan muncul, manusia tidak mampu menjaga kebersihan hati serta ketulusannya. Kemarin mereka yang berada dan berjuang di satu barisan lalu ketika sukses berhasil diraih mereka akan saling hantam satu sama lain demi pangkat dan manfaat pribadi. Keistimewaan yang dicapai di masa sulit satu demi satu akan hilang seiring datangnya keluasan dan kenyamanan. Sebenarnya saya tidak mau hidup di masa pasca hizmet, yaitu di masa kekacau balauan, kebinasaan, dan kemusnahan akan datang, wassalam.

Semoga Allah senantiasa membuat kita selalu berhizmet. Untuk sawerannya, siapapun yang akan membagikannya bagikanlah ia. Buat saya itu tidak terlalu penting. Asal masyarakat jadi bahagia, hidup tenteram dan rukun, itu cukup buat kita. Kalau mereka mau, mereka dapat merekrut kita sebagai buruh tani. Atau mungkin mengasingkan kita ke tempat-tempat terpencil. Sama sekali tidak masalah. Kita bisa pergi ke atas gunung dan hidup zuhud di sana. Maka jika dilihat dari penjelasan ini, maka saya dapat mengatakan: “Yang aku inginkan bukanlah menjadi bagian dari kemuliaan masa lalu ataupun menjadi bagian dari kesuksesan di masa mendatang, yang aku inginkan hanyalah menjadi bagian dari jiwa-jiwa yang berdedikasi di masa ini”

  1. Kita adalah anak-anak dari masa kini. Tidak mungkin kita masuk ke masa lalu ataupun lompat ke masa depan. Barangkali sebagian dari kita akan menemui masa depan, tetapi yang paling penting adalah hidup dan mengisi masa ini. Artinya kita tidak akan mengatai masa lalu kita sebagai dongeng. Tidak juga melihat masa depan sebagai mimpi di siang bolong. Atau dengan ungkapan lain: masa lalu bukanlah pemakaman raksasa; demikian juga masa mendatang, bukanlah negeri para gergasi[6]. Memang bukan, tetapi untuk menyiapkan masa depan yang setara dengan kejayaan masa lalu hanya dapat dilakukan dengan mengisi hari ini dengan sebaik-baiknya. Untuk itu, dengan gambaran ini, mereka yang pada hari ini bangkit dan duduknya senantiasa dihiasi dengan pikiran hizmet, hulubalang kecil yang kedipan matanya diperuntukkan hanya untuk hizmet dan bukan untuk pikiran lainnya, mereka itu lebih baik dibandingkan para raja dan penguasa di masa lalu. Bahkan dapat dikatakan jika mereka bisa lebih baik daripada para wali, para kutub, bahkan para ghauts.
  2. Orang-orang yang berhizmet dalam periode waktu dan kriteria tertentu bisa jadi membawa kebanggaan di dalam jiwa-jiwanya. Kebanggaan tersebut dapat menyapu bersih pahala-pahala dari pekerjaan baik mereka di periode tersebut. Untuk itu, seorang muslim sebaiknya sehari setelah meraih sukses, seperti halnya pergi bermigrasi setelah waktu asar lewat, maka pergi berpisah dari dunia ini adalah yang terbaik untuknya. Ya, waktu itu adalah waktu paling tepat untuk berdoa: “Ya Allah, ambillah amanahmu (nyawaku) ini!”

Dengan pemikiran demikianlah aku kemudian berkata: “Yang aku inginkan bukanlah menjadi bagian dari kemuliaan masa lalu ataupun menjadi bagian dari kesuksesan di masa mendatang; yang aku inginkan hanyalah menjadi bagian dari jiwa-jiwa yang berdedikasi di masa ini”. Saya pun mengucapkannya kembali pada hari ini. Akan tetapi, tetap saja kita tidak bisa mengetahui manakah hal yang paling hakiki. Saya tidak tahu, dan saya juga tidak bisa memutuskan apakah pemikiran ini berasal dari bisikan setan ataukah ilham dari Ilahi. Karena nafsu sangatlah menipu dan setan terkadang mendatangi manusia dari sebelah kanan. Pemikiran  seperti itu bisa jadi merupakan hasil pendekatan setan dari sebelah kanan. Allahlah sebaik-baik yang Mahamengetahui kebenaran.

 


 

[1] Diterjemahkan dari artikel https://fgulen.com/tr/fethullah-gulenin-butun-eserleri/prizma-serisi/fethullah-gulen-prizma/11647-fethullah-gulen-adanmis-ruh-olabilmek di akses pada tanggal 4 Oktober 2019, pukul 10.45

[2] Kanuni Sultan Sulaiman dikenal di barat dengan julukan Suleiman the Magnificent. Dia adalah sultan kesepuluh Usmani. Dia adalah sultan terlama selama sejarah Usmani, memerintah dari tahun 1520 hingga wafatnya pada tahun 1566, atau 46 tahun (hampir setengah abad). Masanya adalah salah satu masa paling cemerlang dari Usmani. Kepemimpinannya dibantu oleh Perdana Menteri brilian seperti Ibrahim Pasa dan Rustem Pasa sedangkan di bidang agama ada sosok seperti Seyhul Islam Ebussuud Efendi.

[3] Di Barat dikenal dengan julukan Selim The Grim. Terkenal dengan kisah bagaimana beliau turun dari kudanya saat perjalanan dalam menakhlukkan Kesultanan Mamluk di Mesir. Saat dimohonkan untuk naik kuda oleh Panglimanya dikarenakan semua pasukan kelelahan karena turut turun dari kuda, ia menjawab:”Bagaimana aku bisa naik di atas punggung kudaku sedangkan di depan kita terdapat Baginda Nabi SAW yang berjalan kaki memimpin pasukanku.” Beliau adalah ayah dari Kanuni Sultan Sulaiman.

[4] Yeniceri adalah korps elit dari pasukan infanteri Kesultanan Usmani. Yeniceri dikenal sebagai model pasukan modern pertama di Eropa. Diperkirakan Yeniceri dibentuk di masa Sultan Murad I (1362-1389)

[5] 3 perang tersebut adalah 3 fase pertempuran Usmani dengan Mamluk

[6] Jembalang: raksasa besar yang suka makan orang (KBBI)