Di masa mendatang,
ketika Anda mengkhayalkan hari-hari yang indah. Anda akan mengenang hari-hari yang telah berlalu. Banyak orang mencari hari-hari yang indah tersebut di masa yang akan datang. Namun kalian, justru mencarinya di masa lalu. Saat itu kalian akan mengenang wajah rumah-rumah siswa di masa lalu. Kalian akan mengenang asrama-asrama siswa yang didirikan dengan peluh keringat. Kalian akan merindukan wajah sekolah-sekolah yang kalian dirikan. Kalian akan merindukan wajah anak-anak yang meramaikan masjid-masjid. Akan datang hari, seperti halnya para sahabat.
Kalian akan berkata: “Duhai masa lalu…” Kalian pun akan mengatakan: “Ternyata hari yang indah itu ada di masa lalu”. Mungkin saya juga akan mengatakannya. Entah saat mengatakannya, apa saya sudah di liang lahat, ataukah masih hidup.
‘Wahai masa lalu…’
Ternyata itulah hari yang paling tepat untuk hidup. Hari-hari dimana pengabdian dilakukan tanpa kenal siang dan malam. Hari-hari penuh pengabdian, bagaikan kuda yang lari terengah-engah di tengah panasnya siang. Hari dimana penuh rasa malu dan segan. Hari dimana wajah penuh peluh keringat. Hari dimana kalian diminta untuk bersemangat, demi keridhoan Allah SWT.
Hari dimana kalian menyeru: “Berilah beasiswa…” “Berilah hewan kurban” “Dirikanlah madrasah…!” “Dirikanlah asrama…! Dirikanlah mes mahasiswa…! “Dirikanlah sekolah…! Dirikanlah…!” Hari dimana peluh keringat bercucuran. Aku akan mengatakannya. Kalian juga akan mengatakannya.
Mungkin hari ini adalah hari-hari yang penuh penderitaan. Atau mungkin hari penuh penantian. Namun suatu hari akan datang, itulah hari-hari yang dirindukan. Sayyidah Nasibah tidak gembira karena dia bisa hidup di Asr-Saadah (Masa Kebahagiaan). Namun dia senang dan tersenyum karena mengenang perjuangan di Perang Uhud. Dia merasa senang karena memiliki bekas luka perang Uhud yang amat besar di punggungnya. Dan sekali-kali bukan karena dia bisa hidup di Asr Saadah.
Abdullah Ibnu Huzafah as-Sahmi mengenang hari dimana kepalanya dimasukkan ke dalam air mendidih. Ia berkata: ‘Duhai Masa Lalu…’ Huzaifah mengenang hari saat ia diusir dari rumah oleh ayahnya. Diapun berkata: ‘Duhai Masa Lalu…’ Begitu juga Ammar yang berjalan terburu-buru. Dia mengenang hari dimana bara api diletakkan dipunggungnya hingga padam. Diapun berkata: ‘Duhai Masa Lalu…’ Zubair bin Awwam, mengenang hari dimana dia dibungkus dalam tikar yang dibakar.
Diapun berkata: ‘Duhai Masa Lalu…’.
Itulah ‘Masa lalu…’. Karena di hari-hari itu orang-orang mukmin sedang mendaki tebing yang terjal untuk naik derajatnya. Kalbu mereka tidak terkait dengan apapun selain-Nya. Mereka tidak pernah merasa lebih berhak walaupun mereka adalah generasi awal. Tanpa merasa berhak karena telah melakukan berbagai khidmah. Kata yang terucap dari lisan mereka hanyalah: ‘Khidmah.’ Dengannya mereka melanjutkan perjalanannya.
Mereka berkata: “Duhai masa lalu…”
Mereka menyebutnya demikian karena di hari-hari yang penuh dengan kepedihan itu tidak ada hal lain yang dikejar selain keridhoan Allah SWT. Karena di hari itu tidak ada yang merasa dirinya lebih penting. Karena di hari itu semuanya sama dan kecil. Karena di hari itu semuanya adalah orang biasa. Karena di hari itu tidak ada yang merasa lebih terhormat. Karena di hari itu, tidak ada yang merasa lebih berharga karena menjadi generasi awal. Karena di hari itu, yang ada hanya: ‘Kun ‘indannasi fardan minannas’ yang artinya “Jadilah manusia biasa di antara para manusia”
Wahai nafsuku yang tidak tahu terima kasih. Kamu pun akan mengatakan: ‘Duhai masa lalu…’ Tak pernah terbersit dalam pikiranmu kan hal-hal seperti di atas? Kamu tidak merasa tersinggung entah mereka menyimak nasihat-nasihatmu atau tidak. Setelah masuk kelas sebanyak 8 jam di pagi hari, engkau pun masuk lagi 2 jam di waktu malam. Lalu di akhir pekan, engkau keliling mulai dari kampung Simav, Gediz, hingga Demirci. Lalu kamu harus segera bersiap untuk pelajaran di hari senin. Namun kamu tidak tersinggung dan kecewa. Kamu tidak sedih karena mereka tidak menyimakmu. Kamu tidak bersedih karena kamu tidak bisa menginspirasi mereka.
Duhai masa lalu!
Betapa jauh dirimu dengan posisi kami.
Betapa dirimu telah menjauhi kami.
Duhai Masa Lalu!
Betapa besarnya kami sekarang!
Duhai Masa Lalu!
Betapa kecilnya engkau kini?!
Wahai ayyamullah! Wahai bulannya Nabi!
Duhai hari-hari penuh khidmah!
Duhai hari-hari penuh perjuangan! Hari dimana tidak ada hal lain selain-Nya.
Semakin kami besar, engkau pun semakin kecil dan tertinggal di belakang.
Engkau tertinggal di gubuk kayuku di Asrama Kestane Pazari.
Duhai gubuk kayuku!
Segala sesuatu tertinggal dan hilang bersamamu.
Duhai kerendahan hati… Betapa baiknya kamu…
Kita pernah berteman…
Duhai masa lalu!
Kita bukan yang pertama…
Kita juga bukan yang terakhir…
Duhai Masa Lalu…
Duhai hari dimana shalat diimami dengan penuh rintihan air mata.
Hari dimana detak jantung nyaris berhenti ketika membaca Al Quran.
Duhai masa lalu…
Hari dimana ukhuwwah, perasaan saling mencintai dan keterikatan hati.
Hari dimana manusia satu sama lain saling berangkulan.
Sehingga orang yang melihatnya pun takjub & memuji: “Betapa indah persaudaraan mereka”. Duhai masa lalu yang kini jadi kerdil.
Demikian me-raksasa-nya kita.
Kita tak mampu melihatmu walaupun sudah membungkuk.
Kita telah meraksasa hingga setinggi puncak Everest.
Duhai hari yang kerdil…!
Engkau bagai Laut Mati, yang berada 200 meter di bawah permukaan tanah.
Celakalah rasa haus akan penghormatan!
Celakalah pangkat dan jabatannya!
Celakalah kecintaan pada pangkat dan jabatan!
Celakalah ucapan-ucapan dan pikiran berbau syirik: Akulah yang melakukannya. Akulah yang membuatnya. Akulah yang memulainya. Akulah yang membangunnya. Akulah yang memberinya. Akulah yang menginisiasinya. Akulah yang menjalankannya.
Hasya wa kalla. Tidak! Sekali-kali tidak! Allah-lah yang melakukannya. Allah-lah yang mengizinkannya terjadi.
Duhai Masa Lalu. Ketika hal tersebut terbersit dalam pikiran kita, kita telah jatuh kemana? Ketika kita memikirkannya sungguh kita terkungkung oleh mimpi-mimpi. Kita jatuh saat ia terbersit. Duhai Masa Lalu. Hari itu adalah hari yang cerah sebagaimana cemerlangnya Sayyidah Nasibah.
Mereka tegar seperti Ibnu Huzaifah yang saat diusir dari rumah orang tuanya berkata: “Syukurlah! Akhirnya aku menemukan jalan menuju Rasulullah SAW”. Mereka bahagia sebagaimana Sayyidina Huzaifah bahagia. Hari-harinya bagai hari-hari Sayyidina Hamzah yang tak kenal takut dan lalai. Hari-harinya seperti Ali, jauh dari kemalasan, kesantaian, kenyamanan.
Betapa cepatnya hari berubah. Hari-hari itu telah digantikan oleh kasur yang empuk. Hari-hari itu telah digantikan oleh rumah-rumah yang memiliki banyak ruangan. Hari itu telah digantikan oleh meja penuh hidangan yang disiapkan tiga kali sehari. Hari itu telah digantikan oleh kesibukan berumah tangga, bersama pasangan dan anak-anak. Khususnya hari sabtu dan minggu, atau mungkin hari-hari lainnya.
Setelah menunaikan pekerjaannya di hari kerja, orang-orang yang mengatakan: “2-3 hari sudah saya wakafkan di jalan Allah…” Hari-hari yang diwakafkan tersebut pun digantikan dengan perasaan dan gagasan lainnya. Hari-hari tersebut digantikan dengan cita-cita, harapan, dan keinginan yang lain.
Duhai masa lalu…