Kejujuran, Kebohongan, dan Omong Kosong
Orang-orang yang baru datang ke Turki pasti sepakat akan satu hal: Saat mereka berniaga dengan masyarakat muslim Turki, tidak diperlukan suatu kontrak berdagang tertulis karena perjanjian secara lisan sudah cukup disana. Situasi ini adalah hasil dari etika dan moral Islam yang sudah lama tertanam di masyarakat Turki.
Muslim yang berpegang kepada akhlak Al Quran digambarkan dengan,
“…… dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji….” (Q.S. Al-Baqarah 2: 177). Dalam kelanjutan ayat itu disebutkan, “Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.”
Seorang Jenderal Prancis, Comte de Bonneval, membagikan kekagumannya terhadap kejujuran masyarakat Turki,
“Kriminalitas seperti ketimpangan hukum, monopoli, dan pencurian seakan tidak dikenal di Turki. Singkat kata, entah karena keyakinan agama atau ketakutan kepada hukum, mereka menampilkan satu tingkat integritas yang membuat banyak orang tercengang kepada kejujuran mereka.”
Ketelitian dan sensitivitas pedagang Turki dalam urusan kejujuran tergambar dalam kisah berikut:
Kala itu, seorang pedagang tekstil dari negeri nan jauh datang ke negeri Utsmani dan ingin membeli seluruh kain yang dibuat oleh satu pabrik kain yang sangat dia sukai.
Namun, suatu ketika, dia melihat pemilik pabrik menyingkirkan satu gulungan kain saat kain yang lain sedang ditimbang.
Ketika ditanya alasannya, pemilik itu menjawab, “Saya tidak bisa memberikan kain ini, kain ini memiliki cacat.”
Meskipun pedagang asing tadi berkata, “Itu tidak masalah,”
Si pengusaha Turki tetap tidak mau menjual satu gulungannya itu dan berujar,
“Sudah kubilang bahwa kain ini cacat. Anda pun sudah tahu perihal ini. Ketika Anda menjual barang cacat ini di negerimu, orang-orang tidak akan tahu bahwa saya sudah memberitahu Anda. Maka, saya seolah menjual barang cacat ke rakyat negerimu. Harga diri dan kehormatan Daulah Utsmani akan dicerca dan mereka akan menyangka bahwa kami ini culas. Inilah mengapa saya tidak akan menyerahkan gulungan cacat ini bagaimanapun jua.”
Demikian dia menjelaskan alasannya kukuh tidak menjual kain tadi.
Satu karakter yang membedakan Bangsa Turki dari bangsa-bangsa lain adalah mereka tidak mengenal tindakan menipu dan berbohong. Ajaran agama Islam telah masuk menjadi pendirian dari masyarakat Turki untuk mencintai akhlak mulia serta menolak perbuatan tercela.
Hal ini disampaikan dalam dokumen sejarah dari Abad XIX yang tertulis sebagai berikut:
“Kita harus mencari tahu karakter suatu bangsa dari kelas menengahnya, di antara orang-orang yang mencari rezeki di pabrik kecil, mereka yang tidak miskin dan tidak pula kaya: kelas menengah pada bangsa Turki, memiliki nilai moral dan kebajikan yang terikat dengan ilmu pengetahuan yang cukup sepadan dengan kebutuhan mereka, dengan kecenderungan patriarki kekotaan di level keluarga satu rumah dan di masyarakat. Kejujuran juga menjadi karakter khas pengusaha Turki… Di perkampungan mereka, di mana tidak ada orang Yunani, kesederhanaan hidup dan kemurnian prilaku manusia amatlah terlihat, dan disana tidak dikenal istilah penipuan.” (Thomas Thornton (1762–1814), seorang pedagang Inggris di Timur Tengah dan penulis tentang Turki).
Pengamatan pengusaha-pelancong Prancis Abad VII, Du Loir, bisa menjadi simpulan yang gamblang: “Tidak diragukan lagi, politik dan kehidupan di Turki, dalam hal moralitas, adalah role model bagi seluruh dunia.” .
Seorang Muslim harus Jujur dan Amanah
Seorang muslim harus jujur dan amanah, perkataan dan perbuatan yang dilakukannya tidak boleh berlawanan dengan pikiran dan perasaannya. Kita harus berusaha banting tulang untuk tetap dalam kondisi seperti itu. Rasulullah sendiri memberikan perhatian yang lebih dalam penanaman nilai moral ini pada diri anak-anak.
Untuk menghindarkan para orang tua dari dosa berbohong, meskipun kepada anak-anak mereka, beliau telah merumuskan prinsip-prinsip umum sebagai pedoman dalam hubungan antara anak dan orang tua.
Sebagai contoh, tidak boleh seorang ayah atau ibu untuk berbohong pada anaknya, dalam kondisi apapun, dan tidak pula membeda-bedakan perlakuan kepada tiap anak.
Abdullah bin Amir menceritakan: “Suatu hari ibuku memanggilku, di saat Rasulullah SAW tengah duduk di rumah kami. Kata ibuku: Datanglah kemari! Aku akan memberimu sesuatu. Rasulullah bertanya padanya: Apa yang akan Engkau berikan padanya? Jawab ibuku: Saya ingin memberinya kurma. Maka Rasulullah berkata: Jika engkau malah tidak memberinya apa-apa, maka itu akan jadi dosa bagimu.”
Abu Hurairah juga meriwayatkan kisah serupa: “Rasulullah SAW bersabda, Barang siapa yang berkata kepada anaknya, “Datanglah kemari, aku akan memberimu sesuatu,” lalu malah tidak memberi apapun kepada si anak, maka itu akan dicatat sebagai perbuatan dusta.”
Kesesuaian antara hati dengan perilaku yang ditampilkan oleh seorang muslim juga amat penting untuk nilai integritasnya. Sama dengan kita harus menjauhi perkataan kasar, kita juga harus menjaga diri kita dari perasaan atau pemikiran penuh benci.
Dengan kata lain, seorang muslim harus berkata-kata sesuai dengan pikirannya, dan berperilaku sesuai dengan perkataannya; tidak boleh ada perbedaan antara yang terdapat dalam hati kita dengan perilaku yang kita tampilkan.
Hadis berikut mengupas aspek integritas:
“Barang siapa yang hatinya batil, tidak akan memiliki iman yang sempurna. Jika lidahnya tidak berkata benar, maka dalam hatinya tidak ada kebenaran, dan jika tetangganya tidak selamat darinya, maka dia tidak akan masuk surga” (Al-Musnad, 3/198).
Di sini Nabi mengajarkan bahwa hati dan lidah harus saling berkesesuaian, dan keduanya harus menampilkan integritas.
Ketika terdapat kesesuaian antara aktivitas batin seorang muslim dengan aktivitas lahirnya, maka dia akan selalu jujur, dalam bekerja maupun berniaga. Setiap muslim harus dengan detail tidak pernah sekalipun berbuat curang atau menipu orang lain demi mendapat laba yang lebih besar ataupun demi kepentingan lain.
Terdapat hadis yang diriwayatkan Abu Hurairah berbunyi,
“Suatu hari Nabi melihat (seorang lelaki menjual) setumpuk gandum. Nabi memasukkan tangannya ke tumpukan itu dan menemukan bahwa gandum yang di bawah basah sedangkan yang di tumpukan atas kering.
Maka Nabi bertanya kepada si penjual, ‘Apa ini?’
Lelaki itu menjawab, ‘Hujan telah membuatnya basah.’
Jawab Nabi, ‘Kamu harus meletakkan gandum yang basah di atas (agar semua orang bisa melihatnya).
Penipu bukan termasuk golongan kami.’”
Abu Sa’id al-Khudri meriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda,
“Pedagang yang tidak melenceng dari nilai keadilan dan kejujuran akan dibangkitkan bersama dengan para nabi, shiddiqin, syuhada, dan orang-orang taqwa.”
Salah satu karakteristik unik pada diri sahabat Nabi -barangkali adalah karakteristik yang paling penting- adalah integritas dan kejujuran yang teguh. Kualitas ini telah membawa satu atmosfer mendalam berupa kelapangan dan rasa aman pada batin dan hubungan antarpribadi mereka.
Pada suatu waktu Abu al-Haura bertanya kepada Hasan bin Ali, “Apa yang engkau hafal dari Rasulullah?”
Jawabnya, “Aku menghafal dari beliau: ‘Tinggalkan apa-apa yang membuatmu ragu, beralihlah ke apa-apa yang menghapuskan keraguan darimu.’”
Dalam riwayat yang sama, Sufyan bin Abdullah As-Sakafi berkata, “Wahai Rasulullah, berilah ilmu tentang Islam kepadaku yang cukup bagiku sehingga aku tidak perlu bertanya kepada siapapun lagi tentang Islam.”
Beliau menjawab, “Katakanlah, ‘Aku beriman kepada Allah,’ kemudian jadilah benar-benar jujur dalam segala hal.”