fbpx
Nutrisi Iman

KREDIT TERBESAR BAGI PARA KAFILAH DAKWAH

Tanya: Apa saja pondasi dasar yang harus dimiliki jiwa-jiwa yang bertekad untuk mempertemukan umat manusia dengan hakikat kebenaran?

Jawab: Ubudiyah manusia yang beriman terhadap zat yang mutlak disembah, harus diletakkan sebagai penghambaan mutlak kepada-Nya. Maksudnya, dalam penghambaan dirinya, ia tak boleh tercampur dengan hal selain-Nya. Karena kita sebenarnya adalah budak-Nya dimana terdapat tali kekang di leher-leher kita. Kelemahan, kepapaan, kealpaan, dan ketidakmampuan kita, serta bagaimana kita tidak memiliki kuasa untuk meraih apa yang kita cita-citakan tanpa inayah-Nya; kadang sesuatu sudah diraih namun ia lepas lagi dari genggaman tangan kita; Apa yang kita harapkan ternyata tak mampu kita raih; fakta tersebut sebenarnya menunjukkan betapa papanya kita. Telah jelas bahwasanya kita tidak menguasai dan memiliki diri kita sendiri. Oleh karena itu, sudah pasti ada suatu kekuasaan di atas kita.

Dan memang manusia seringkali tidak menyadari hakikat ini. Manusia kadang melakukan kalibrasi atau peneraan dalam frekuensi tertentu, tetapi ketika proses kalibrasi tidak dilakukan dengan tepat, maka dari kanan kiri akan masuk berbagai lintasan pikiran. Ia akan mempengaruhi cara berpikir dari seseorang. Oleh karena itu, manusia harus berusaha menemukan suara kebenaran lewat proses kalibrasi yang serius. Ya, sebelumnya manusia harus menimbang pemikirannya, gagasannya, dan kata-katanya di atas timbangan yang dimiliki oleh sosok-sosok yang memahami nilai hati nurani. Setelah semua ini ditunaikan, lalu jika dalam perjalanannya masih terdapat sekelebat lintasan pikiran yang mengganggu kemurnian penghambaan kita, hal selanjutnya yang dapat kita lakukan adalah mengharap pengampunan dari-Nya. Jika tidak, maka kita akan dimasuki perasaan telah melakukan semua pekerjaan dengan sempurna, dimana ia bertentangan dengan kesadaran untuk menghamba.

GADA DEMI GADA

Ketika Anda bersujud dalam shalat, Anda menumpahkan segala isi perasaan Anda kepada Allahﷻ selama lima sampai sepuluh menit. Akan tetapi di saat yang sama, setan membisikkan: “Sungguh kamu telah melakukan penghambaan yang baik.” Jika lintasan pikiran seperti itu muncul di dalam hati, segeralah jawab ia dengan jawaban: “Wahai Allahﷻ, satu-satunya Zat yang patut disembah, sungguh kami tak mampu menghamba dengan sempurna! Wahai Allahﷻ, Zat yang namanya diagungkan oleh makhluk bumi dan langit, sungguh kami tak mampu men-zikir-kan Nama-Mu dengan layak! Wahai Tuhanku yang harusnya dipuja-puji dengan segala macam bahasa, sungguh kami tak mampu bersyukur kepada-Mu dengan baik! Wahai Allahﷻ, Zat yang Maha Suci dari segala kekurangan, sungguh kami tak mampu bertasbih dan mensucikan Nama-Mu dengan baik!.” Jawaban ini bagaikan gada. Dengannya kita mennghantam lintasan pikiran yang tidak diridai oleh-Nya hingga ia tak mampu lagi menegakkan tulang punggungnya.

Namun, walaupun Anda telah menghantamnya dengan Gada terbesar setan bagaikan makhluk bernyawa seribu, ikalipun, perlu diketahui bahwasanya  lewat waswas dan nafsu ammarah serta segala taswilat dan tazyinat[1]nya senantiasa menghantui dan siap menerkam di tempat dan waktu yang tak terduga. Demikian siaganya mereka, bahkan saat kita tawaf di Kabah; berdoa dan wukuf di Arafah; bermalam di Muzdalifah; ataupu saat melempar jumroh di Mina sekalipun, setan dan nafsu tidak pernah beristirahat; mereka selalu berusaha membuat kaki kita tergelincir.

Oleh karena sebab itulah, dalam Alquranul Karim diperintahkan:

فَٱستَقِم كَمَا أُمِرتَ وَمَن تَابَ مَعَكَ وَلَا تَطغَواْ (١١٢)

Artinya: Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu. (QS Hud 11: 112)

 Sehingga, kita pun dalam setiap shalat berdoa:

ٱهدِنَا ٱلصِّرَٰطَ ٱلمستَقِيمَ (٦)

Artinya: Tunjukilah kami jalan yang lurus. (QS Al Fatihah 1: 6)

Jika kita mendirikan shalat fardhu beserta rawatibnya, kita mengulangi doa ini sebanyak empat puluh kali dalam sehari[2]. Jika kita menunaikan shalat-shalat nafilah lainnya seperti Isyrak, Dhuha, Awwabin, dan Tahajjud, maka itu artinya kita mengulang doa agar Allahﷻ senantiasa berkenan membimbing kita di jalan yang lurus sebanyak 60 kali dalam sehari[3]. Jika Allahﷻ tidak berkenan untuk membimbing kaki kita menuju jalan-Nya yang lurus, maka langkah perbaikan kita akan terhenti di rutenya nafsu ammarah. Ya, jika Dia ﷻ tidak membimbing langkah kaki kita, demikian banyaknya kecelakaan lalu lintas yang akan kita alami, sehingga kerusakan yang dialaminya pun tidak akan bisa diperbaiki dengan mudah.

MEREKA YANG MENGHARGAI PENGABDIANNYA KEPADA AGAMA DENGAN ‘TARIF’ TERTENTU, TIDAK AKAN PERNAH SUKSES     

Di sisi lain, jika kita senantiasa mengeja nama agung-Nya dan menghabiskan malam-malam kita bersama-Nya; jika ketika berada di mana pun kita senantiasa menzikirkan  “Dia” dan menghirup nafas “Huwa” maka di waktu dimana kita berada dalam ruang manusiawi[4] kita,  hubungan kita dengan-Nya akan senantiasa berlanjut. Misalnya Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam pernah menyampaikan kabar gembira, bahwasanya mereka yang setelah menunaikan salat isya lalu sebelum tidurnya berniat untuk bangun salat tahajjud dan menghidupkan malam, namun karena kantuk yang amat berat lalu ia tidak sanggup untuk bangun tahajjud, beliau katakan bahwasanya tidurnya tersebut merupakan sedekah dari Allahﷻ untuknya.[5] Hal tersebut adalah hadiah yang dianugerahkan Allahﷻ dari rahmat-Nya yang luas kepada kita. Ya, rahmatNya tak memiliki akhir, Dia tidak meminta pertanggungjawaban atas apa-apa yang kita tidak mampu memikulnya, melainkan memberikan mukallafiyah[6] sesuai dengan kemampuan yang kita miliki. Seperti diisyaratkan dalam ayat:

لَا يُكَلِّفُ ٱللَّهُ نَفسًا إِلَّا وُسعَهَا (٢٨٦)

Artinya: Allahﷻ tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. (QS Al Baqarah 2: 286)

Dalam agama tidak terdapat kewajiban yang tak mampu dipikul umatnya.

Jika demikian, kita tidak boleh memiliki harapan selain keridaan-Nya, mengingat demikian luasnya anugerah dan tak terbatasnya rahmat dari-Nya. Karena tidak ada harapan yang lebih agung dari mengharap keridaan-Nya. Hadiah terbesar kedua dari Allahﷻ kepada para penghuni surga setelah tajalli jamaliyah adalah firman-Nya: “Aku rida kepadamu.” Kita tak akan mampu menjelaskan dampak yang ditimbulkan oleh wangi aroma Ilahi yang bersumber dari-Nya terhadap ruh manusia. Barangkali sosok waliyullah seperti Syeikh Abdul Qadir Jailani, Abu Hasan as Syadzili, Muhammad Bahauddin an Naqsyabandi, Maulana Khalid al Baghdadi, Imam Rabbani, dan Bediuzzaman Said Nursi; mereka mungkin telah bermusyahadah –menyaksikan– nikmat tersebut dalam takaran sketsa yang dapat ditanggung oleh kemampuan dunia. Sedangkan saya tidak memiliki kemampuan untuk menjelaskan ataupun menggambarkan kelezatan yang didapatkan oleh mereka yang menerima nikmat tersebut. Karena Sang Pemilik Syariat Shalallahu Alaihi Wassalam sendiri ketika beliau menjelaskan nikmat-nikmat di dalam surga.

Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wassalam bersabda:

أَعْدَدْتُ لِعِبَادِيَ الصَّالِحِينَ مَا لَا عَيْنٌ رَأَتْ وَلَا أُذُنٌ سَمِعَتْ وَلَا خَطَرَ عَلَى قَلْبِ بَشَرٍ  يَقُولُ اللَّهُ تَعَالَى

“Allahﷻ berfirman: Aku telah menyediakan bagi hamba-hamba-Ku yang saleh kenikmatan yang belum pernah mata melihatnya, belum pernah telinga mendengarnya, dan belum pernah pula terbetik dalam kalbu manusia.”[7]

Dalam kerangka yang digambarkan disini dapat kita pahami bahwasanya  kenikmatan surga adalah sebuah topik yang melewati batas pikiran dan khayalan manusia.

Dari sisi ini, baik di dunia dan di akhirat, tidak ada sesuatu yang lebih besar dan bernilai dibandingkan dengan mengemis kasih kepada Allahﷻ serta mengingatkan orang-orang di sekitar kita untuk turut mengemis kasih dari-Nya. Oleh karena itulah, seluruh umur kehidupan dari para nabi digunakan untuk mengenalkan Allahﷻ dan mengarahkan umat manusia agar mencintai Allahﷻ, serta memperkuat hubungan mereka dengan Allahﷻ; dan untuk usahanya tersebut, para Nabi tidak mengharapkan imbalan apapun dari umatnya. Karena pamrih dapat mencederai keikhlasan dan menghilangkan keutamaan dari amal perbuatan. Selain itu, manusia yang mengharapkan imbalan dari setiap pengabdian yang dilakukannya tidak akan sukses. Mereka bisa jadi nampak sukses untuk sementara waktu. Akan tetapi saat angin kritik mulai menghembus, maka mereka akan terguling-guling seperti gulungan jerami.

SEMUA NABI MENYAMPAIKAN HAKIKAT YANG SAMA

Allahﷻ Yang Maha Mulia dalam surat Syura, setelah menyebutkan nama para Nabi Agung seperti Nabi Nuh, Nabi Hud, Nabi Salih, Nabi Luth, dan Nabi Syuaib secara berurutan, Dia berfirman:

وَمَا أَسٔلُكُم عَلَيهِ مِن أَجرٍ إِن أَجرِيَ إِلَّا عَلَىٰ رَبِّ ٱلعَٰلَمِينَ (١٠٩)

Artinya: Dan aku sekali-kali tidak minta upah kepadamu atas ajakan-ajakan itu; upahku tidak lain hanyalah dari Tuhan semesta alam. (QS. Asy-Syu’ara: 109) [8] Mereka melakukan tugasnya hanyalah untuk Allahﷻ; Mereka selalu mengarahkan pandangannya hanya kepada-Nya; dan tidak pernah memiliki pamrih apapun walau hanya sebesar biji Żarrah atas semua pengabdian yang mereka lakukan.

Walaupun mereka hidup di masa yang berbeda, dengan kondisi dan kebutuhan sosio-kultur masyarakat yang berbeda, tetapi para nabi-nabi yang dibahas dalam ayat tersebut tetap menyampaikan pesan yang sama. Apa yang disampaikan oleh Nabi Nuh, juga disampaikan oleh Nabi Hud, Nabi Salih, Nabi Luth, dan Nabi Syuaib Alaihisalam. Padahal masalah yang dimiliki setiap masyarakatnya berbeda-beda. Ini artinya apapun masalahnya, solusinya tetap sama, yaitu ikhlas dan tanpa pamrih.

Misalnya, kaum Nabi Nuh Alaihisalam, mereka menuhankan para tokoh masyarakat di antara mereka; mereka menamai tuhan-tuhan mereka dengan nama-nama seperti Wadd, Yaghuts, Ya’uq, dan Nasr. Mereka menyampaikan salam kepada tokoh-tokoh yang jasadnya sudah di kubur di dalam tanah ini dan mengharapkan sesuatu sebagai balasannya.[9] Kondisi tersebut merupakan ancaman bahaya yang dapat ditemukan di setiap periode masa.

Kamu ‘Aad, merasa bangga dengan kehebatannya. Mereka memiliki kemampuan memahat gunung batu dan menjadikannya tempat tinggal. Demikian angkuhnya mereka oleh kehebatannya, sampai-sampai mereka merasa tidak ada satupun dari apa yang ada di langit dan di bumi yang dapat mencelakakan mereka. Mereka merasa yakin, walaupun semua patahan bumi berkumpul di bawah tanah yang mereka pijak dan bergeser di waktu yang sama, rumah-rumah yang mereka bangun tidak akan runtuh karenanya. Dengan demikian masalah yang dihadapi Nabi Hud berbeda dengan masalah yang dihadapi Nabi Nuh. Nabi Hud Alaihisalam sambil mengacuhkan ancaman demi ancaman yang dilancarkan kaum ‘Aad kepadanya, terus-menerus menyampaikan betapa salahnya pemahaman mereka dan dalam melakukannya beliau senantiasa tidak mengharap pamrih apapun.[10]

Ketika kita sampai pada pembahasan Nabi Salih, kita akan melihat bahwa masalah yang dihadapi oleh beliau juga berbeda. Kaumnya hanyut dalam keindahan duniawi taman-taman dan kebun-kebunnya serta ranumnya bebuahan yang dihasilkannya; mereka pun mulai hidup di dalam kesenangan dan kebanggaan dalam rumah-rumah yang dimilikinya. Nabi mereka Salih Alaihisalam, menghadapi semua kesulitan sambil berusaha menegakkan dadanya; ia menunaikan tugas agungnya tanpa mengharap imbalan apapun, dan mengundang kaumnya menuju tauhid. Beliau juga mengingatkan kaumnya agar tidak menjadi orang-orang yang musrif (ahli mubazir) dan mufsit (sesat).[11]

Nabi Luth Alaihisalam  yang datang setelahnya, menghadapi kaum yang tenggelam di dalam akhlak yang menjijikkan. Sebagaimana nabi-nabi sebelumnya, Nabi Luth pun mengabaikan ancaman dari kaumnya, beliau mengundang mereka menuju jalan yang benar dan tauhid, serta tak mengharapkan imbalan apapun sebagai balasannya.[12]

Lalu kita pun sampai pada pembahasan kaum Nabi Syuaib Alaihisalam. Di masa itu, takaran dan timbangan di pasar dan pertokoan tidak dikalibrasi dengan benar. Timbangannya pun tidak jelas, yang sebelah mana yang menjadi ukuran, yang sebelah mana yang digunakan untuk menimbang. Kehidupan perdagangan penuh dengan spekulasi. Selang (kemakmuran) hanya ada di tangan-tangan yang memiliki kekuatan dan kekuasaan dimana ia digunakan untuk memenuhi tangki-tangki penyimpanan pribadinya. Nabi Syuaib dengan nasihat-nasihatnya: “Sempurnakanlah takaran dan janganlah memakan hak orang lain dengan mengurangi takarannya. Timbanglah dengan benar dan janganlah mengurangi hak orang lain. Janganlah merusak sistem dengan perilaku buruk itu.” Memperingatkan kaumnya dan atas ajakannya ini beliau tidak meminta imbalan apapun dari mereka.[13]

Surat Asy-Syura ketika menceritakan kisah lima Nabi ini tidak menyebutkan Nabi Besar Muhammad Shalallahu alaihi wassalam. Akan tetapi dalam ayat lainnya disebutkan bahwa pesan yang dibawa oleh Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wassalam tidak berbeda dengan apa yang disampaikan oleh nabi-nabi sebelumnya:

ذٰلِكَ الَّذِيْ يُبَشِّرُ اللّٰهُ عِبَادَهُ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِۗ قُلْ لَّآ اَسْـَٔلُكُمْ عَلَيْهِ اَجْرًا اِلَّا الْمَوَدَّةَ فِى الْقُرْبٰىۗ وَمَنْ يَّقْتَرِفْ حَسَنَةً نَّزِدْ لَهٗ فِيْهَا حُسْنًا ۗاِنَّ اللّٰهَ غَفُوْرٌ شَكُوْرٌ

Artinya: Katakanlah: “Aku tidak meminta kepadamu sesuatu upahpun atas seruanku kecuali kasih sayang dalam kekeluargaan.” Dan siapa yang mengerjakan kebaikan akan Kami tambahkan baginya kebaikan pada kebaikannya itu. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri. (QS. Asy-Syura 42:23)

Lewat nasihatnya tersebut, disampaikan bahwasanya beliau tidak mengharapkan imbalan apapun dari kaumnya di Mekkah yang selama tiga belas tahun lamanya tak pernah berhenti memberikan beragam masalah, memaksanya untuk hijrah, dan membuatnya merasakan makna sedih karena perpisahan. Ya, walaupun beliau telah menjadi wasilah kebahagiaan dunia dan akhirat bagi umatnya, namun beliau tak mengharapkan apapun dari mereka sebagai imbalannya; beliau merebahkan tubuhnya di atas anyaman tikar tipis, beliau juga melewati hari-hari dengan perut lapar, tetapi tidak pernah sekalipun beliau ubah perilaku dan perbuatannya.

MENIADAKAN REPUTASI DIRI DAN JALAN TERJAL YANG MENGHADANGNYA

Meniadakan reputasi diri adalah satu-satunya jalan asas agar lawan bicara mempercayai dan meyakini pesan yang kita sampaikan. Karena mereka yang mengharap pamrih dan manfaat parsial dari pengabdian yang dilakukannya otomatis akan kehilangan reputasi serta mematahkan rasa hormat orang lain pada dirinya. Jika Anda memasuki medan pengabdian ini dengan “Bismillah!”, maka Anda tidak boleh menjauhi jalan kenabian. Mereka yang menyaksikan Anda harus bisa berkata: ”Ketika dulu pertama kenal dengan orang-orang ini, saya lihat ia hanya memiliki beberapa rupiah di kantongnya. Kini ketika ia pamit untuk pergi mengabdi di tempat lainnya, uang di kantongnya tak bertambah, bahkan berkurang. Ini artinya, ia pun tak bisa menahan uang pribadinya. Uang pribadinya pun terpakai untuk pengabdian yang dia lakukan. ”Prinsip tanpa pamrih dan istighna[14] sebagaimana merupakan karakteristik yang perlu dimiliki oleh para abdi negara mulai dari level lurah hingga presiden, ia juga merupakan karakter yang perlu dimiliki oleh jiwa-jiwa yang berdedikasi untuk menjelaskan hakikat kebenaran. Karena dinamika terbesar dari para pengabdi adalah tanpa pamrih dan penuh dedikasi.

Kesuksesan mereka yang mendedikasikan dirinya untuk melayani umat manusia agar usahanya tetap lestari, bergantung pada sejauh mana mereka terus berjalan di atas jalan kenabian. Jika tidak, mereka bisa jadi memulai jalannya sebagai Harun namun mengakhiri perjalanannya sebagai Karun yang ditenggelamkan ke dalam harta bendanya dan diingat masyarakat dengan kutukan. Jika di dalam lidahku terdapat tempat untuk mengutuk, maka teruntuk mereka yang mengaku melayani masyarakat namun ternyata mengambil manfaat pribadi dari simpati masyarakat, mereka yang senantiasa memperhitungkan segala sesuatu dengan hitungan untung dan rugi, mereka yang mengambil komisi pribadi dari  berbagai tender, dan kepada mereka yang menempatkan para munafik itu di posisi para sultan, akan kukatakan: “Semoga Allah menenggelamkan dan menghancurkan pamrih dan keinginan-keinginan Anda ke lubang bumi yang paling dalam bersama anak cucu Anda!.” Namun, karena mengutuk tidak memiliki tempat di dalam lidahku, maka aku akan mengatakan apa yang dikatakan Iqbal,[15] aku pun hanya memanjatkan doa, dan tidak mengucap “amin” untuk kutukan.

Dari sini, maka orang-orang yang berada di lingkaran penuh berkah, sosok-sosok yang mendedikasikan diri untuk mengabdi kepada iman dan Al Quran, tidak boleh sedikitpun terbersit dalam pikiran mereka untuk memanfaatkan kredit atas pengabdian yang mereka lakukan untuk kepentingan pribadi. Mereka tidak boleh menggunakan reputasinya untuk memenangkan tender proyek tertentu yang bukan haknya, pun untuk manfaat pribadi lainnya. Mereka tidak boleh mengorbankan dinamik terbesarnya, yaitu dedikasi dan tanpa pamrih, untuk hal-hal yang bersifat duniawi. Allahﷻ telah menganugerahkan kepada mereka berbagai nikmat-Nya, dan menguntungkan mereka dalam kehidupan dunianya; dan Allahﷻ masih berkenan menganugerahkannya. Mereka pun menggunakan nikmat dan rizkinya di jalan Allahﷻ. Ketika pembahasannya sampai kepada mereka yang bertanggungjawab di bidang bimbingan dan konseling, maka sesungguhnya kekayaan terbesar mereka adalah sifat tanpa pamrihnya. Jika mereka terjatuh ke posisi dimana mereka mengejar hal lainnya, maka sesungguhnya mereka telah meninggalkan sesuatu yang banyak demi mendapatkan sesuatu yang sedikit.

AKHIR MENYEDIHKAN DARI PARA PELAKU JALAN RUSAK (KORUP)

Merekalah para tokoh yang perlu diteladani. Jalan dan cara yang benar adalah jalan yang mereka ambil. Jalan yang selain jalan mereka adalah jalan rusak (korup). Orang yang keluar dari jalan yang benar, tanpa sadar terpeleset ke berbagai macam jalan rusak. Korupsi yang mereka lakukan, mungkin awalnya hanya jadi bahan tertawaan, namun akan datang suatu hari yang berat, dimana di hari itu akan membuat mereka yang mendengarnya menangis dan berkata:

يَا لَيْتَنِي كُنتُ تُرَابًا

Artinya: “Alangkah baiknya sekiranya aku dahulu adalah tanah” dan tidak mendengarnya. (QS An Naba 78:40)

Oleh karena itu, orang-orang yang berada di dalam “komisi mulia” ini hendaknya mengacuhkan segala hal duniawi yang mungkin nampak indah oleh hawa nafsu namun pada hakikatnya tidaklah lebih mulia dari sayap nyamuk. Ada sebuah kalimat yang dikatakan sebagai hadits, dunia tak lebih dari seonggok bangkai; semua aktivitas, rencana, roda, atau mesin, serta orang-orang yang digunakan untuk meraihnya bagaikan anjing-anjing yang berebut untuk mendapatkan bangkai tersebut[16].

Andai kita mampu melupakan dunia yang penuh tipu daya ini dan hal lain di luar hal yang harusnya menjadi fokus kita. Mereka yang tidak mampu melupakannya sesungguhnya telah menyia-nyiakan dirinya sendiri, bangsanya, dan sejarahnya. Istana Topkapi telah berhasil mengikuti jalan para sahabat dan membawa bangsa yang penuh berkah ini menjadi penguasa dunia. Di sana dunia ruh kita dipantulkan ke luar. Di sana terdapat cita-cita Fatih Sultan Mehmet, Sultan Bayezid ke-2, Yavuz Sultan Selim yang agung, serta Kanuni Sultan Sulaiman. Mereka meniti jalan ini, pergi menuju belahan dunia lainnya, melakukan segala sesuatu yang diperlukan untuk menciptakan keseimbangan dunia, membuat orang-orang zalim  bertekuk lutut, memberi nafas kehidupan kepada orang-orang yang dizalimi. Namun, sekembalinya dari tugas, mereka pulang ke istana yang sederhana ini. Di Istana Topkapi ini mereka melanjutkan tugas mereka. Sebaliknya, istana-istana seperti Dolmabahce dan Yildiz, walaupun penuh dengan kilau kemewahan dan kebanggaan, mereka justru meredupkan cahaya bintang kita. Walaupun mereka di satu sisi menampilkan dunia seperti surga, sesungguhnya mereka telah membuat kita melupakan Allahﷻ dan surga yang sejati.

(Diterjemahkan dari Yolun Kaderi hlm. 213 artikel berjudul Irsad Yolculari icin en Buyuk Kredi: Beklentisizlik)

Leave a reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Dapatkan artikel baru setiap saat!    Yees! Tidak Sekarang