fbpx
Karya Pembaca

Mencari Makna yang Hilang

Karya Pembaca: Haerul Al Aziz

Namanya Andre, 30 tahun. Kini ia tertegun dengan secarik kertas dan pena yang ada di hadapan matanya, penuh rasa khawatir dan bimbang. Sosoknya yang terkenal sebagai pemuda paruh baya itu konon telah menjalankan hidupnya penuh dengan limpahan harta dan kekayaan. Anak konglomerat dari salah satu daerah di Indonesia tersebut, tak merasa sukar jika ia harus menikmati segala macam jenis kenikmatan dunia. Pendidikan dengan fasilitas terbaik telah ia tempuh. Segala jenis makanan ternikmat di dunia juga mungkin telah ia rasakan. Tempat-tempat terindah yang ada di dunia pun mungkin pernah ia jelajahi.

Tetapi ada sesuatu yang ia anggap masih kurang. Ia masih merasa belum puas dengan semua itu. Seolah seluruh kenikmatan yang telah ia cicipi itu, tak bernilai. Ia belum merasakan suatu yang hingga saat ini ada, menghantui benaknya. Terpantul jelas dalam lorong-lorong bayangan rasa penasarannya di dalam relung jiwanya saat itu. Suatu hal yang justru orang lain malah lari, karena takut darinya. Ya, ia menginginkan kematian. Sesuatu yang dianggap sebagai pemutus segala kenikmatan. Dan telah ia tuliskan dalam secarik kertas sebagai petuah, pantulan dari kegelisahannya saat itu :

Saat menemui ajal kelak, mungkinkah ada kenikmatan lain yang belum pernah aku rasakan? Mungkinkah kenikmatan sejati dapat diraih setelah aku masuk ke dimensi itu?  Adakah makna dari penciptaan kehidupan baru di alam lain tersebut?

Terbesit sebuah pertanyaan besar dalam kepalanya yang hampir linglung karena telah muntah harta dan bosan akan kenyamanan dunia. Namun tak ada seorang pun yang mampu menjawab keraguan itu, kecuali mereka yang meyakini bahwa hal itu memang benar adanya. Karena yang pergi, telah pergi. Tak akan pernah kembali untuk menyampaikan apa yang sebenarnya terjadi. Menunggu ganjaran atas apa yang telah mereka perbuat di dimensi alam ini.

Tujuan dan tugas istimewa yang dimiliki manusia di muka bumi ini

Apa yang sebenarnya manusia cari? Atau apa yang hilang, hingga ia merasa belum puas dengan kenikmatan yang ia raih di bumi ini? Benarkah dimensi lain itu lebih indah dan abadi?

Jika melihat ke semua makhluk yang ada, bisa kita pastikan bahwa kehadiran mereka ke dunia ini tentunya memiliki sebuah tujuan. Dimulai dari bulan yang menerangi langit di kala malam, hingga matahari yang menyinari siang di setiap harinya. Dari tanaman hias hingga pohon-pohon besar yang menyelimuti bumi ini. Dari seekor semut hingga hewan-hewan berkaki empat yang memiliki banyak manfaat bagi keberlangsungan hidup makhluk yang lain. Lalu bagaimana dengan tujuan penciptaan manusia?

Ketika berencana untuk membangun sekolah, kita perlu memahami terlebih dahulu alasan mengapa dan untuk apa kita ingin membangunnya. Pasti ada tujuan yang termaksud, yang mungkin setara atau bahkan lebih besar dari apa yang ingin kita rencanakan sebelumnya. Begitu pula dengan penciptaan alam semesta ini dan juga makhluk istimewa yang merupakan wujud intisari darinya yang kita sebut sebagai manusia. Sebagai bentuk alam kecil yang mempunyai arti yang lebih luhur dari pada alam yang besar ini, tak mungkin hadir jika tanpa sebuah tujuan.

Setiap insan yang datang ke ruang tamu dan kerajaan dunia ini, setiap kali membuka kedua matanya ia akan melihat berbagai jamuan yang sangat mulia, pameran yang penuh seni, kemah dan tempat latihan yang menakjubkan, tempat rekreasi yang sangat mengagumkan, tempat tafakkur yang penuh hikmah dan bermakna. Tetapi sesuai dengan keahliannya tersebut, dibalik tujuan pengirimannya ke dunia ini, tentunya manusia juga tak lepas dari tugas yang perlu ia emban.

Karena ia memiliki pikiran untuk memilih mana yang terbaik baginya. Memiliki hati nurani untuk menyadari apakah ada hikmah dibalik semua yang ia lihat dan rasakan dalam kehidupannya. Bersikap sadar di antara makhluk yang tak memiliki kesadaran akan esensi dari penciptaannya. Dengan kehendak parsialnya itu, ia berusaha menjawab pertanyaan dari ujian yang ada di lembaran muka bumi ini, untuk mencari makna yang sebelumnya hilang karena terpaku oleh nilai yang sifatnya material semata. Mengajaknya untuk meneliti lebih jauh makna yang ada dalam dirinya dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut dengan tepat :

“Siapa ia sebenarnya? Untuk apa ia diciptakan?  Adakah pemilik hakiki dari semua ciptaan ini? Apa yang harusnya ia lakukan di muka bumi? Akan sampai kapan ia hidup? Ke mana ia akan pergi setelahnya? Bagaimana ia bisa menyelamatkan dirinya dari segala jenis kekhawatiran yang ada ini?”

Memahami makna dari arti kehidupan    

Mungkin setangkai bunga sudah merasa puas dengan kehadirannya di taman, menghiasi kebun-kebun. Bisa jadi seekor sapi merasa lega saat memakan rumput dan menganggap tugasnya telah usai saat dagingnya berhasil disantap oleh manusia. Namun  manusia tidak akan pernah puas meski seluruh isi dunia menjadi miliknya. Ia memiliki harapan dan keinginan yang abadi. Karena memang ia diciptakan untuk keabadian. Untuk itu, kita perlu menawarkan kenikmatan yang sifatnya abadi pula, atau setidaknya mengarah pada keabadian itu sendiri. Karena kenikmatan duniawi tak akan pernah cukup untuk memuaskan hasrat keabadiannya itu.

Kita hidup di dunia modern yang dengan fasilitasnya mampu memanjakan manusia yang hidup di masanya. Namun sayang, dunia yang berkembang saat ini dengan segala kemegahannya itu dalam beberapa hal hanya mampu menawarkan kenikmatan sementara yang mengantarkan individunya pada sikap narsisme, bangga diri dan tertipu oleh tampilan luar semata. Tampilan luar yang menyodorkan iming-iming palsu dengan menampilkan diri mereka yang seolah merepresentasikan sebuah nilai luhur, tapi melupakan makna yang ada di dalamnya. Sedangkan makna, mengindikasikan sebuah keabadian. Oleh karena itu, tampilan luar yang kehilangan makna tidak akan sanggup memuaskan hasrat manusia secara utuh.

Kunci untuk Meraih Makna

Kenikmatan yang dirasakan di dunia ini bagi sosok manusia, masing-masing sebenarnya merupakan permisalan. Bahwa ada hal yang lebih indah lagi yang dapat mereka rasakan di dimensi yang lain. Yang ada di dunia ini hanyalah contoh. Di samping mereka tidak akan pernah puas meski sudah mencicipi segala kenikmatan yang ada di dunia ini, di sisi lain mereka juga termasuk orang yang tak tahu diri, jika tidak mengenal siapa sesungguhnya yang memberikan seluruh nikmat tersebut dan hanya menghabiskan itu semua dengan penuh kerakusan.

Selain itu manusia tidak dikirimkan ke dunia ini hanya untuk merasakan kenikmatan belaka. Karena dengan kepedihan yang telah ia lewati atas masa lalu dan kekhawatiran yang ia rasakan akan masa depan, membuatnya tak akan sepenuhnya puas merasakan kenikmatan itu. Bersamaan dengan hal tersebut, kebutuhan, keinginan, dan harapan yang diharapkan manusia, melebihi dirinya sendiri. Maka, tak salah jika makhluk yang paling banyak kebutuhannya ialah manusia. Tetapi ia pun sebenarnya lemah dan papa, bahkan ia tak mampu memenuhi hidupnya atau menghadapi musuhnya sendirian. Untuk itulah dia butuh tempat bersandar yang maha agung dan kokoh dari manifestasinya yang lemah dan papa.

Di saat yang sama, manusia layaknya benih. Benih yang membutuhkan cahaya, air, tanah, dan pupuk yang sesuai, sehingga akan menghasilkan buah layaknya tujuan. Cahaya dalam bentuk maknawi yang mampu menerangi hidupnya. Air yang mampu memberikan nutrisi agar ia tetap bisa hidup dengan kapasitas yang ia miliki. Tanah yang dapat memberikan tempat untuk bisa menjulang tinggi dan wadah baginya untuk berkreasi menampilkan kedermawanan pemiliknya. Pupuk yang membantunya agar lebih subur dan rindang. Pada akhirnya menghasilkan buah manis dan bergizi yang bermanfaat bagi lingkungan sekitarnya.

Padanya juga terdapat kunci, yang mana jika ia mampu menggunakannya dengan benar maka ia pun akan melihat esensi dari seluruh penciptaan alam semesta ini, termasuk dirinya sendiri. Tetapi jika ia salah dalam menggunakannya, semoga Allah ta’ala melindungi kita, ia akan menjadikannya dirinya sebagai firaun-firaun yang ada di zamannya masing-masing. Itulah yang dinamakan ego manusia. Manusia yang terpaku pada egonya, tidak akan mudah untuk mengenali dirinya sendiri. Mereka yang tak mampu mengenali diri, atas tujuan apa mereka dikirimkan ke dunia, tentunya akan sulit untuk mencari makna dari eksistensinya. Mereka yang tak mampu mendeteksi makna tersebut akan sukar untuk mengenal siapa sebenarnya yang memiliki kerajaan ini. Untuk itu, mari kita merefleksikan diri, sudah seberapa jauh kita mengendalikan ego ini untuk mencari makna yang hilang itu? Dan menyelamatkan Andre dari pikiran konyolnya tersebut.

Leave a reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Dapatkan artikel baru setiap saat!    Yees! Tidak Sekarang