Musim dingin yang lalu, kami berkesempatan untuk berpartisipasi dalam program bimbingan intensif, yakni program Young Leaders In Johannesburg. Berangkat dari pulau nan eksotis Indonesia, kelompok kecil kami yang terdiri dari sekumpulan delapan individu yang memiliki pikiran penuh rasa ingin tahu, menjelajahi benua hingga ke Afrika Selatan. Bersama-sama kami menjelajahi luasnya medan perjalanan, di mana setiap langkah-langkah yang kami jalani, mampu membentuk kisah penuh penemuan dan perkembangan.
Pada Jumat pagi yang dingin, kami bangun lalu mulai menyiapkan makanan yang akan dibagikan ke panti jompo. Kami membuat sandwich dengan penuh antusias. Ya, hari ini adalah hari pelayanan masyarakat. Kami memilih Jumat sebagai hari pelayanan masyarakat. Kami datang sekitar empat puluh lima menit dari komplek Nizamia, ke sekolah Mayfair di Joburg. Memerlukan sekitar dua jam bagi kami untuk menyiapkan empat ratus sandwich. Dalam usaha membuat sandwich yang sempurna, kami merasa perlu meminta bantuan dari warga sekolah disana. Kolaborasi tangan baik yang sudah pernah maupun yang baru membuat sandwich, bersatu padu untuk menyusun kreasi kuliner ini. Tawa bergema di udara saat kami memotong, menyusun, dan menata sandwich sandwich itu, mengubah tugas sederhana menjadi kolaborasi harmonis yang akan membekas dalam ingatan kami. Bapak Sarkhan, pengatur program pelayanan masyarakat, memberi tahu kami bahwa kami harus menyelesaikan tugas sebelum pukul sebelas setengah sehingga kami bisa mendistribusikannya ke panti jompo didekat sekolah dan kembali untuk salat Jumat.
Segera setelah menyelesaikan tugas, kami menyiapkan sandwich dan sekaligus mengumpulkan berbagai macam buah yang akan kami bagikan bersama-sama. Kami membawa makanan tersebut ke minivan yang tengah menunggu di luar dapur. Dalam perjalanan singkat sekitar lima menit dari sekolah, tibalah kami pada tujuan utama yakni panti jompo. “Semua orang berkumpul di depan minivan sekarang!,” kata Bapak Sarkhan. Jadi, dilingkungan yang penuh semangat ini, serangkaian rumah mengelilingi sekitar kami.
Lalu apa misi kami?
Yakni Mengetuk setiap pintu, menawarkan makanan. Begitu mereka menanggapi ketukan pintu tersebut, sejumlah makanan yang bermanfaat menanti mereka berupa tiga bungkus sandwich, disertai dengan dua jeruk dan apel yang segar. Kami menganggukkan kepala bersama-sama, sepenuhnya memahami tugas sederhana namun bermakna bagi kami.
Saat kami perlahan mengetuk setiap pintu, beberapa penghuni muncul dari dalam. Dengan detail, Bapak Sarkhan menjelaskan perjalanan kami dari Indonesia dan usaha keras yang kami lakukan sejak pagi hari untuk membuat sandwich ini khusus untuk mereka. Rasa keterhubungan antara kita pun mulai terbangun. Di tengah interaksi kami, seorang wanita paruh baya menarik perhatian kami. Ia terasing di dalam rumahnya, mobilitasnya terbatas dan dia tengah duduk dengan rasa pasrah. Mendekatlah salah satu teman kita dengan penuh rasa iba yang kemudian menyodorkan tiga kantong sandwich berikut dengan macam-macam buah yang kami bawa. Sebuah potret momen hubungan antar manusia yang bermakna mendalam terungkap di hadapan kami. Ayra berlutut dengan penuh kedermawanan, menyerahkan bingkisan tersebut kepada wanita itu, dan dengan lembut ia pun bertanya, “Bagaimana kabar Anda, bibi?” Bibi itu, kaget dengan gestur tak terduga, kemudian menjawab, “kabar saya baik, terima kasih. Siapa Anda, dan mengapa Anda memberikan ini kepada saya?”
Dengan senyum hangat, Ayra pun menjelaskan, “Kami berasal dari Indonesia. Kami menyiapkan sandwich ini sejak pagi tadi, khusus untuk Anda. Kami senang bisa berbagi dengan Anda. “Mata bibi itu terlihat berkaca-kaca dan bercampur haru saat dia melanjutkan ucapannya,” Tidak!, maksud saya, saya belum pernah menerima sesuatu yang dibuat khusus untuk saya seperti ini, bahkan bukan dari anak-anak saya sendiri.
Apakah Anda seorang Muslim?
Pandangannya tertuju pada kerudung Ayra, penuh rasa tanya. Ayra menganggukkan kepala, senyumnya melebar, “Ya, saya seorang Muslim. Kami ingin menunjukkan perhatian dan rasa hormat kami kepada Anda melalui hal sederhana ini.”
Momen tak terduga pun terjadi ditengah percakapan itu, wanita itu membuka diri tentang penyakit dan kekurangan fisiknya. Dengan perasaan rentan, dia mempercayakan kepada Ayra, mengungkapkan keinginannya untuk memeluk Islam pada hari itu. Terharu oleh ketulusan kata-katanya, Ayra memeluk wanita tersebut dengan erat, hatinya penuh kehangatan. “Bapak Sarkhan, bisakah Anda datang ke sini?” Suara Ayra membawa campuran kegembiraan dan penuh harap. Ketika Bapak Sarkhan tiba, mata bibi itu bersinar penuh ketulusan seakan ada harapan baru ketika ia menyatakan ingin memeluk Islam. Dengan bimbingan yang lembut, Bapak Sarkhan duduk di sisinya, kata-katanya menenangkan dan penuh dukungan. Saat matahari naik menuju cakrawala, memancarkan sinar hangat pada momen itu, wanita itu pun mengucapkan Syahadat, bersaksi atas iman yang suci di depan kami. Suasana kian terisi dengan rasa persatuan dan spiritualitas, sebuah momen tak terlupakan yang terukir dihati kami selamanya.
Terima kasih banyak untuk cerita ini. Baru saja dibacakan di Jogja. Sungguh sebuah cerita yang sangat menyentuh hati.
Sama-sama, semoga kita semua bisa saling menginspirasi untuk rida Allah SWT, aamiin