Allah Azza wa Jalla dalam Al Quran berfirman,
“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya dan janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan Muslim.” (QS.Ali Imran : 102)
Ayat ini memiliki makna yang begitu dalam.
Semua orang beriman harus memiliki pijakan yang kuat; berusaha menjaga kesucian hati; selalu mengingat makna penciptaan;Â sekuat tenaga memenuhi janji pada-Nya.
Senada dengan ayat dalam surat Al-baqarah, “…penuhilah janjimu kepada-Ku, niscaya Aku penuhi janji-Ku kepadamu, dan takutlah kepada-Ku saja.” (Al-baqarah : 40)
Kita sudah berjanji untuk mengenal-Nya, mengenalkan-Nya pada insan lainnya, dan menyembah-Nya dengan sebaik-baik penyembahan. Jika janji kita ini terpenuhi, niscaya Dia akan mengampuni hamba-hamba-Nya dan menganugerahkan indahnya surga.
Memiliki pijakan yang kuat memiliki makna tersendiri. Makna tersebut termaktub dalam ayat, “Wahai orang-orang yang beriman! Jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.” (QS. Muhammad : 7)
Tidak ada seorang hamba pun yang mampu menolong Allah dan Allah tidak membutuhkan pertolongan dari siapapun. Ayat ini bermakna bahwa kita harus menolong agama Allah dan berjuang untuk mensyiarkan keagungan nama-Nya. Barangsiapa yang menolong agama-Nya pasti akan mendapat ampunan Allah kelak di akhirat. Mereka akan meninggalkan dunia fana ini dengan iman di kalbunya. Allah akan meneguhkan kedudukannya sepanjang hayatnya.
Hal ini berlaku bagi kedua belah pihak, pihak yang membimbing dan pihak yang dibimbing.
Di akhirat, begitu banyak balasan yang tidak terduga menunggu hamba-hamba yang seperti ini.
Ada satu kisah yang sangat menarik.
Seorang pemuda bernama Safa yang sedang menempuh studinya di Asia Tengah bercerita,
“Saya memiliki seorang teman yang mendapat beasiswa pemerintah. Kita berada di jurusan dan kelas yang sama. Ia lulusan dari sekolah menengah teknik sebelumnya.
Ia tinggal di asrama yang disediakan oleh pihak perguruan tinggi.
Selama liburan musim panas, ia pulang kampung halaman dan ayahnya merasa anaknya itu telah berubah.
Sang ayah berkata, “Nak, saya pikir, sepertinya disana, semua sudah menjadi terlalu bebas bagimu. Ayah tidak akan mengirimmu kembali lagi ke sana.”
Ia bersikeras agar ayahnya mengizinkannya kembali berkuliah, dengan dalih bahwa pendidikan merupakan sesuatu yang begitu berarti baginya.
Ayahnya menimpali, “Saya akan mengizinkanmu dengan satu syarat. Kamu harus selalu berbuat baik dan berteman dengan orang-orang saleh, kemudian saya akan mempertimbangkannya.”
Ia pun menerima syarat itu.
Awal semester telah tiba. Ia mendatangiku dan menceritakan segalanya.
Ia meminta agar dapat tinggal bersama di kontrakan saya waktu itu.
“Begitulah syarat ayahku. Untuk melanjutkan studiku, Aku harus tinggal bersama kalian.” ucapnya.
Saya pun menjawab, “Itu bisa diatur. Namun sebelumnya Aku harus berbicara kepada penghuni yang lainnya.”
Langsung, setelah itu saya menemui teman-teman dan menjelaskan kondisinya. Mereka berpendapat bahwa ia memiliki reputasi yang buruk, sehingga dikhawatirkan akan berpengaruh pada kami. Sekuat apapun saya membujuk teman kontrakan, mereka tetap bersiteguh dengan keputusan tidak menerimanya.
Setiap hari ia terus mengajak saya berbicara, hanya berdua dan bertanya, “Apa yang terjadi? Apakah kamu sudah berbicara dengan mereka?”
Saya terus membuat alasan dengan mengatakan, “Aku akan segera berbicara dengan mereka.”
Saya pikir perlahan-lahan ia akan menyerah. Namun, hal itu tidak terjadi.
Saya pun sedikit lebih memaksa penghuni kontrakan.
Salah seorang menjawab, “Jika memang benar kamu begitu ingin membantunya, mengapa kamu tidak pergi saja dan tinggal bersamanya.”
Saya pun setuju. Saya pergi bersama beberapa teman yang sepemahaman dan menyewa sebuah rumah. Dengan begitu, saya dapat mengajaknya untuk tinggal bersama kami.
Tidak lama kemudian, sikap dan perilaku teman saya tadi mulai menunjukkan tanda-tanda perubahan. Ia meninggalkan beberapa kebiasaan buruknya dan mulai memperbaiki diri. Tidak hanya itu, kini ia menjadi sosok baru, yang raut wajah dan rohaninya seperti memancarkan cahaya. Semua tetangga dan teman kami menyukainya.
Suatu hari ia menderita sakit parah. Kami pun membawanya ke rumah sakit terdekat. Setibanya di sana, dokter berkata, “Kalian sudah terlambat, usus buntunya sudah pecah.”
Entah mengapa ia tidak menyadari penyakit ini. Kebocoran ususnya sudah menyebabkan luka yang serius di organ lainnya. Tidak ada harapan baginya. Dokter pun menyarankan agar kami memberi tahu keluarganya untuk mendampinginya untuk yang terakhir kali. Sang ayah tiba dan melihatnya menghembuskan napas terakhir.
Beberapa bulan kemudian, saya bermimpi bertemu dengannya.
Ia sedang duduk beralaskan tanah menikmati teh sementara kami saling berbincang-bincang. Ia duduk di sebelah saya. Di sebelah saya juga terdapat teman yang lain.
Saya bertanya, “Bagaimana mereka memperlakukanmu disana?”
“Aku diperlakukan seperti saat bersama diantara kalian. Mereka tidak menjerumuskan orang-orang sepertimu ke dalam jurang neraka. Itulah mengapa aku juga dianugerahi Surga.”
Saya pun terbangun, dan menangis tanpa henti.
Sang Bediuzzaman menyampaikan kabar gembira kepada kita semua. Dalam kondisi zaman dan era seperti ini, siapa saja yang mengabdi kepada iman dan Al Quran niscaya ia akan ditolong oleh-Nya.
Beliau menjuluki mereka yang berkhidmah sebagai “Orang-orang beriman dan penyelamat”
Allah berkuasa untuk membalas sekecil apapun usaha dari hamba yang berjuang di jalan-Nya dengan imbalan yang lebih besar. Dialah Yang Maha Kuasa. Pintu ampunan selalu terbuka lebar kepada siapa pun yang mengetuknya dengan penuh keikhlasan. Selama mereka tidak menyimpang dari jalan cahaya, rombongan keabadian, keadilan dan kebenaran.