Setiap rumah harus menjadi cabang kiblat (Ka’bah)
Misalkan di tengah-tengah Amerika masjid tidak dibuat dalam bentuk aslinya, tetapi dalam bentuk aula. Akan tetapi kita tidak bisa melihat realita ini dalam pandangan yang sempit, sebenarnya di setiap tempat harus dibangun masjid. Misalnya di dalam rumah, satu ruangannya harus dibuat sebagai masjid. Hal seperti ini selain merupakan langkah untuk tidak memancing orang-orang yang iri untuk mengganggu dan bertindak responsif, juga tidak membiarkan mereka mengatakan: “hancurkan mesjid itu…!”. Di satu sisi, Allah SWT pernah berfirman kepada Hz Musa dan Harun as: “waj’alu buyuutakum qiblatan…” (QS 10:87) yang artinya: “jadikanlah olehmu rumah-rumahmu itu tempat salat “. Agar orang-orang cenderung menujumu di sana, agar ketika mereka datang ke rumahmu, mereka melihat dirinya seperti orang yang masuk ke masjid.
Inilah yang disebut dengan membuat nuansa masjid di dalam rumah. Ini bukanlah sebuah istikrar (keputusan) yang hanya kebetulan saja terbersit dalam pikiran. Hal yang demikian seperti melanjutkan kemurnian masa lalu ketika para sahabat memaksimalkan penuh posisi masjidil haram dan masjid nabawi. Dengan perumpamaan Hz Muhammad (SAW) dalam tahun kehidupannya di Madinah, atap masjidnya (SAW) terbuat dari serabut, batang, pohon, dan tambang-tambang. Mungkin disebagiannya menggunakan besi, kira-kira demikian perumpamaannya, dan ketika hujan turun, air pun membasahi seisi masjid. Selama 10 tahun tidak ada seorang pun yang merasa desain masjidnya harus diganti, padahal ganimah-ganimah mengalir seakan dunia datang merangkak ke arah kaki mereka (para sahabat). Ya, walaupun demikian tidak ada satu pun yang merasa diperlukan adanya pemugaran.
Setelah masa kenabian, kemudian tiba masa Sayyidina Abu Bakar ra. Pemerintahannya berlangsung kira-kira selama 2 tahun 3 bulan lebih beberapa hari. Masjid Nabawi seperti aslinya hingga masanya Sayyidina Umar yang berlangsung selama kira-kira 10 tahun. Akan tetapi karena barokah yang demikian besar, setiap orang yang masuk masjid tersebut keluar dalam keadaan full (seperti baterai yg baru dicharge). Kita lihat bagaimana kediamannya baginda Nabi, ada semacam insibar di dalamnya, mereka yang pergi kehadapan baginda Nabi, ketika keluar seperti mendapatkan bagian dari insibarnya SAW. Demikian juga dengan keadaan orang-orang yang keluar dari Masjid Nabawi, semuanya ketika keluar seperti telah mendapatkan bagian insibar di dalam dirinya.
Pertama, 10 tahun di masanya Nabi SAW, kemudian hampir 3 tahun di masa Sayyidina Abu Bakar, sehingga total menjadi 13 tahun. Setalah itu ditambah lagi 10 tahun pada masa Sayyidina Umar ra, total 23 tahun. Kemudian pada masa yang disebut sebagai “Sadr-i Awwali” di zaman Sayyidina Usman ra. Artinya selama lebih dari 1/2 masa “Hayat-i Saniyyah” masjid tersebut masih murni tak tersentuh perubahan, kemudian setelah itu barulah muncul ucapan seperti: “Aku ubah di satu bagian, akan saya tambahkan satu bagian, akan saya kembangkan, akan saya luaskan, dan seterusnya”. Hati nurani umumnya akan mengatakan: “Itu adalah masjidnya Nabi, pilar dan kolomnya dibuat oleh Nabi”, akan tetapi ada bagian yang berbeda, khususnya di bagian raudah. Di suatu waktu mereka mengganti pilar pohon dengan marmer, akan tetapi di zaman Usmani mereka sama sekali tak menyentuhnya (tetap seperti aslinya), setidaknya seperti itu, sekarang akhirnya hanya bisa melakukan sebatas itu.
Atmosfer maknawi masjid Nabawi tetap terjaga di zaman Hz Usman juga. Aura insibanya tetap hadir, mereka yang memasukinya tiba-tiba berubah kondisi maknawinya. Bagaikan terjadi mutasi dalam gen ruhnya, ia pun mencapai derajat yang lebih tinggi, sudut pandangnya berubah, langkah kehidupannya pun berubah. Anda pun akan berujar: “Apakah akan dibiarkan seperti ini saja selamanya?” atau “apakah menara-menaranya tidak perlu didirikan?”. Di zaman itu gereja-gereja raksasa juga dibangun lengkap dengan menara dan kubahnya yang megah.
Kakek moyang Anda menyaksikannya, mereka pun berujar: “Kaum muslimin tidak boleh tertinggal dibelakang mereka”. Di hadapan menara-menara mereka kita pun harus meletakkan menara khas kita yang lebih mulia dan tinggi, “Nama mulianya, ruh maknawinya Rasul Muhammad SAW harus bergaung ke seluruh sudut dunia, oleh karenanya kita pun harus memiliki menara kita, oleh karenanya kubah kita yang megah pun harus ada. Semuanya bergantung kepada sudut pengambilan keputusannya”. Dalam mazhab Hanafi, pembangunan menara ini berkaitan dengan nilai istihsan yang terkandung dalam semangat pembangunannya. Sedangkan dalam mazhab Maliki pembangunannya berkaitan dengan nilai maslahatnya atau menurut sebuah ungkapan: “Masjid-masjid megah telah dibangun lengkap dengan menara dan kubahnya yang megah juga”. Untuk mereka yg telah membangunnya: “Semoga ridha Allah menyertaimu”.
Akan tetapi kemegahan masjid-masjid tersebut, tak ada satu pun yang mampu mengalahkan fungsi dan aura maknawi yang dimiliki oleh kesederhanaan Masjid Nabawi dan Masjidil Haram di masa lalu. Mungkin ada satu bagian yang berhasil dimiripi oleh masjid-masjid itu, akan tetapi tetap saja fungsinya sebagai penebar insiba tak bisa disamai, masjid-masjid itu tak mampu menyamai aura Masjid Nabawi terlebih lagi Masjidil Haram. Mungkin saja renovasi tersebut dapat dilihat dari sudut kecintaan kita kepada Nabi SAW, ini normal muncul di pikiran kita sebagai manusia. Ah seandainya pilar-pilarnya terbuat dari zerbejed, ah seandainya saja tiang-tiangnya terbuat dari emas, seandainya saja yang bagian ini terbuat dari zamrut, seandainya mimbarnya terbuat dari perhiasan dari surga atau: “Seandainya terbuat dari simbol kemewahan dunia seperti mutiara”. Inilah yang pasti muncul di benak kita, akan tetapi apakah hal ini yang diinginkan oleh agama kita?
Menurut saya pertanyaan ini akan membuat saya terhenti sejenak. Dalam menghadapi persoalan tersebut, kita perlu bersandar kepada ungkapan “yassiru”, mudahkanlah! “Yassiru”, janganlah engkau persulit. Permudahlah semua permasalah yang sedang engkau hadapi, dengan mudah buatlah ia sesuai karakter aslinya. Masalah ini sedikit berhubungan dengan keihlasan, tujuan untuk ridha ilahi, artinya apapun yang anda akan lakukan, anda akan memfatihkan kalbu-kalbu. Anda akan memasuki kalbu mereka, anda akan melewatkan waktu bersama mereka tanpa harus memicu reaksi negatif dari mereka, sehingga anda pun tak perlu berhadapan dengan para reaksionis. Demikianlah hizmet yang harus dilakukan, asasnya harus dibawakan pada poros tersebut menurut saya.
Oleh karena itu Allah berfirman kepada Hz Musa dan Harun as di mesir: “Waj’alu buyutakum qiblah” yang artinya “jadikanlah olehmu rumah-rumahmu itu tempat salat “. Entah apakah mereka menggunakan Masjidil Aqsa sebagai arah kiblat mereka ataukah mereka menghadap ke arah Tanah Haram yang Mulia, asasnya adalah bagaimana menjadikan rumah kita berfungsi seperti masjid, bagaimana kita bisa mengusahakan di setiap rumah bisa berjalan seperti masjid. Dan memang itulah salah satu amanat Hz Pir Mugan (Bediuzzaman) kepada anda, itulah rumah-rumah anda, rumah itu kadang anda sebut sebagai “dersane” atau mungkin “rumah cahaya” (isik evler), kalau ada banyak dan besar anda sebut sebagai “asrama”. Akan tetapi kalau seandainya ada tempat taktis, tempat yang suci di dalam setiap struktur, maka itulah tempat dimana anda berkumpul, tempat dimana anda menunaikan tanggungjawab anda sebagai hamba Allah, yaitu tempat-tempat yang difungsikan sebagai masjid. Dimana saja ada tempat tersebut, padanya terdapat barokah. Dan pada hari ini, yang membawakan ruh anda ke seluruh dunia, yang membawakan hal-hal maknawi yang berasal dari akar asal usul anda, yang mengantarkan usare-usare dan yang bersama mereka berusaha mewujudkan cita-cita anda adalah ruh dari rumah-rumah tersebut.