idul adha ibadah kurban

Perjuangan dalam Kebahagiaan Ibadah Kurban

Karya Pembaca: Habib A.

Setahun sekali, umat muslim melakukan ibadah kurban sebagai bentuk ketaatan kepada Rabb-nya, sebagai sunnah yang diwariskan oleh beliau abu anbiya Ibrahim alaihi salam. 

Tak henti – hentinya dan tak bosan – bosannya, mereka yang berada di jalan dakwah mengingatkan kepada kita yang awam tentang keutamaannya, tidak lain adalah guna memotivasi kita supaya ikhlas, hanya mengharap ridha-Nya. 

Semua manusia turut merasakan dampaknya, tidak terkhusus bagi mereka yang muslim saja. 

Hari raya kedua umat muslim yang ditetapkan oleh-Nya pada bulan Dzulhijjah, sebagai salah satu dari empat bulan haram, menjadi suatu hari yang begitu dinantikan. Hari dimana golok dan pisau sudah dalam keadaan tajam, siap untuk mengambil manfaat hewan kurban yang telah disiapkan. Hari dimana kantung plastik dan timbangan bersatu dalam menjalankan peran, membagikan kepada semuanya tanpa membedakan ras, suku, agama, dan golongan. Hari dimana para ibu mempersiapkan bumbu masakan beserta alat masak untuk melanjutkan estafet perjuangan. Semuanya berbahagia di hari itu dan di tempat itu, hanya mereka yang disembelih-lah yang meneteskan air mata, air mata kebahagian karena dipersembahkan kepada Penciptanya.

Ya. Bukan hari raya namanya jika tidak ada kebahagiaan di dalamnya. Bukanlah hari raya namanya jika sebelumnya tidak ada perjuangan yang dilakukan. 

Keduanya, baik kebahagiaan maupun perjuangan merupakan suatu kemurahan dari-Nya, Sang Maha Pemurah. Kemurahan yang diberikan bukan tanpa maksud, melainkan dimaksudkan agar hamba-Nya menjadikannya sebagai sarana untuk mendapatkan kebahagiaan abadi di akhirat kelak, sebagai bentuk kasih sayang-Nya, Sang Maha Penyayang.

Sudah menjadi hal yang rutin bagi kita untuk gigih dalam perjuangan sebelum datang kebahagiaan sebagai ekspresi dari kemenangan. Perjuangan yang tidak terlepas dari sebuah pengorbanan. Perjuangan yang timbul dari ketakwaan.  Perjuangan untuk menaklukan hawa nafsu dalam jiwa. Perjuangan yang lebih berat daripada menaklukan sebuah kota sendirian.  

Perjuangan yang dimaksud tersebut adalah puasa, yang setelahnya akan tiba kebahagiaan dalam bentuk hari raya. Terlepas dari hukum pelaksanaan keduanya yang berbeda, mengisyaratkan kepada kita akan adanya kesakitan sebelum kesenangan, keringat sebelum nikmat.

Tak hanya puasa saja yang dapat dikatakan sebagai perjuangan. Kurban yang dilakukan pada Idul Adha pun demikian. Meskipun di awal disebutkan bahwa hari raya -idul adha – merupakan suatu kebahagiaan yang datang setelah adanya perjuangan, tetapi mengapa masih ada perjuangan yang dilakukan di dalamnya?  Dan mengapa berkurban dikatakan sebagai sebuah perjuangan? Perjuangan dalam kebahagiaan?

Jawaban dari kedua pertanyaan tersebut dapat kita baca pada QS. Al Hajj (22) ayat 37, Allah Azza wa Jalla berfirman yang artinya,

“Daging (hewan kurban) dan darahnya itu sekali-kali tidak akan sampai kepada Allah, tetapi yang sampai kepada-Nya adalah ketakwaan kamu. Demikianlah Dia menundukkannya untukmu agar kamu mengagungkan Allah atas petunjuk yang Dia berikan kepadamu. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik”.

Ya. Pada ayat tersebut disebutkan bahwa daging dan darah dari hewan yang kita kurban-kan tersebut tidak akan sampai kepada Allah, tetapi yang sampai kepada-Nya adalah ketakwaan kita. Ayat ini menjadi penangkis terhadap praktik sesaji yang dilakukan, sebagai bentuk penegasan bahwa Allah Yang Maha Suci berbeda dengan berhala-berhala yang dijadikan mereka sebagai sekutu-Nya.

Sekali lagi, tidak akan sampai kepada Allah sesuatu berupa benda yang kita kurban-kan. Melainkan, yang akan sampai kepada-Nya adalah ibadah kurban yang kita lakukan sebagai bentuk ketakwaan kita kepada-Nya. Ketakwaan yang melahirkan perjuangan, perjuangan melaksanakan apa yang diperintahkan-Nya dan menjauhi apa yang menjadi larangan-Nya. Ketakwaan yang dilakukan dengan dasar keimanan dan disempurnakan dengan keikhlasan. Ketakwaan yang mengharuskan kita melepaskan dengan rela apa yang kita cinta. Tidak semua orang dapat melakukannya, kecuali mereka yang Allah inginkan kebaikan untuknya.

Allah berfirman, “Dan unta – unta itu Kami jadikan untukmu bagian dari syiar agama Allah, kamu banyak memperoleh kebaikan padanya. Maka sebutlah nama Allah (ketika kamu akan menyembelihnya) dalam keadaan berdiri (dan kaki dalam keadaan terikat). ..” QS. Al Hajj (22) : 36.

Allah berfirman, “Demikianlah (perintah Allah). Dan barang siapa mengagungkan syiar – syiar Allah, maka sesungguhnya hal itu timbul dari ketakwaan hati”.  QS. Al Hajj (22) : 32.

Memang, tidaklah mudah untuk melepaskan sekaligus merelakan sesuatu yang kita cinta, baik itu harta, tahta, pasangan, maupun anak. Itulah sebabnya ibadah kurban dapat dikatakan sebagai bentuk perjuangan, perjuangan pada saat hari raya, perjuangan dalam kegembiraan, perjuangan sebagai bentuk ketakwaan. 

Di sinilah Allah Sang Pemilik Alam Semesta menguji kita, menguji seberapa sami`na wa atho`na nya diri kita terhadap apa yang diperintahkan-Nya. Yang mana sebelumnya, Dia melakukannya kepada kekasih-Nya Ibrahim `alaihissalam, yang menjadi tonggak awal lahirnya perjuangan ini. Dia menguji seberapa sami`na wa atho`na nya beliau Ibrahim alaihi salam ketika dihadapkan dengan perintah untuk menyembelih anaknya, Ismail alaihi salam. Beliau berhasil. Lalu, Dia menyampaikan kembali bentuk ketakwaan tersebut kepada anak keturunan Ibrahim Sang Kekasih-Nya hingga akhir zaman.

Bukan tanpa maksud, disampaikan oleh-Nya perintah kurban kepada kita adalah agar kita menjadi dekat kepada-Nya, agar kita mendapat ridho-Nya, dengan ketakwaan sebagai dasarnya. Berbekal kedekatan dengan-Nya, berbekal ridho-Nya, Dia memberikan kebahagiaan yang tidak terbayang oleh kita sebelumnya. 

Demikianlah. Puasa dan kurban sebagai miniatur kecil dari sebuah perjuangan yang akan mengantarkan kepada kebahagiaan sebagai bentuk dari kemenangan. Namun, sebagaimana diumpamakan dengan ibadah kurban, kebahagiaan tersebut belumlah bersifat final, masih terdapat perjuangan yang dilakukan di dalamnya. 

Karena sejatinya, hidup kita saat ini di dunia adalah sebuah perjuangan, perjuangan untuk mendapatkan kebahagiaan yang sejati. Kebahagiaan yang tidak terdapat lagi perjuangan di dalamnya, kebahagiaan sebagai hari raya yang sesungguhnya, kebahagiaan abadi di dalam surga-Nya. 

idul adha ibadah kurban

Artikel lain tentang keutamaan Bulan Dzulhijah dapat dibaca dalam artikel berikut: Keutamaan Sepuluh Malam Pertama Zulhijah

mengembangkandiri.com festive-lantern-with-bokeh-background-ramadan-kar-2021-08-30-14-08-28-utc

Ibadah Kurban sebagai Bentuk Kesalehan Sosial

Karya Pembaca: F. Yusuf

Menurut KBBI, kurban dapat dimaknai sebagai persembahan kepada Allah (seperti biri-biri, sapi, unta yang disembelih pada hari Lebaran Haji) sebagai wujud ketaatan muslim kepada-Nya.

Adapun secara bahasa, kurban berasal dari akar kata ‘qariba yaqrobu qurbanan wa wirbanan’ yang kurang lebih berarti ‘mendekat.’ Memang tidak dipungkiri jika kurban merupakan napak tilas Nabi Ibrahim, namun alangkah bijak jika semua mukmin mengetahui hakikat mendalam dibalik diperintahkannya ibadah kurban. Satu dari seribu hakikat kurban terwujud melalui kesalehan sosial yang niscaya bermanfaat bagi anggota masyarakat.

Bagaimana memaknai kesalehan sosial?

Kesalehan sosial dapat didefinisikan sebagai nilai Islam yang melihat kepedulian seseorang terhadap kepentingan masyarakat sebagai bagian dari ibadah. Seorang mukmin yang mengamalkan kesalehan sosial tidak hanya terkungkung kepada ibadah ritual, tetapi juga memiliki kesadaran sosial tinggi untuk berbuat kebaikan terhadap orang lain di sekitarnya.

Bagaimana kurban mewujudkan kesalehan sosial?

Dalam ilmu fikih, daging kurban dibagi menjadi tiga macam, yakni dimakan, diberikan kepada kaum duafa, dan disimpan untuk suatu keadaan mendesak. Pengamalan ketiganya dengan cara berbagi mampu menghidupkan solidaritas sosial yang perlahan mendorong tumbuhnya jiwa toleransi, menebar kasih saying, dan menjalin kerukunan antaranggota masyarakat tanpe melihat kriteria sosial tertentu.

Kurban merupakan momentum terbaik untuk menguatkan ukhuwah Islamiyah antaranggota masyarakat. Semua bersatu dan bekerja sama menyembelih hewan kurban. Semua mencurahkan tenaga demi kepentingan bersama. Semua mengesampingkan segala perbedaan dengan mempererat tali persaudaraan dalam satu atap prinsip fundamental kehidupan, yaitu akidah Islam dan cahaya iman. Mereka mengesampingkan sikap egosentris yang kian menjamur demi tujuan hakiki. Ibadah kurban menjadi momentum yang tepat untuk evaluasi diri sembari saling memaafkan dalam cakupan interaksi sosial antarsesama. Tali silaturahmi antarmukmin yang semula renggang menjadi erat kembali.

Kurban mengajarkan manusia untuk selalu peka, peduli, dan aktif berpatisipasi terhadap lingkungan sosial. Tatkala kurban tiba, kita membagikan demikian banyak kantung daging kepada mereka yang membutuhkan sebagai aksi konkret tenggang rasa terhadap sesama. Menurut ijtihad ulama ulung seperti Imam Abu Hanifah, pembagian kurban dilakukan kepada semua elemen masyarakat tanpa membedakan suku, bangsa, dan agama.

Kurban menjadi sarana dalam mencukupi kebutuhan gizi masyarakat, terutama bagi mereka yang mungkin jarang menyantap daging karena tuntutan ekonomi. Daging kurban mengandung nutrisi yang diperlukan organ tubuh dalam menjalankan fungsi biologisnya. Ibadah kurban menjadi kesempatan bagi anggota masyarakat untuk memperbaiki kualitas diet guna memenuhi asupan gizi empat sehat lima sempurna.

Akhir kata, pelaksanaan ibadah kurban tidak hanya ritual penyembelihan hewan belaka, tetapi juga momen penyembelihan sifat ego dalam relung kalbu setiap insan.

mengaji alquran hari raya kurban

artikel lain tentang keutamaan Bulan Dzulhijah dapat dibaca dalam artikel berikut: Keutamaan Sepuluh Malam Pertama Zulhijah