samuel-scrimshaw-361567-unsplash

Istiqomah di Jalan Dakwah

“Istiqomah di Jalan Dakwah”

 

Tafsir al Fatihah dan Jalan Kenabian

Jika Anda mendengarkan diri, mungkin ini subjektif, saat salat Anda mengingat sifat AgungNya Allah. Anda membaca ayat “ٱلۡحَمۡدُ لِلَّهِ رَبِّ ٱلۡعَٰلَمِينَ (Alhamdulillahi rabbil ‘alamin).” Segala pujian dari seluruh alam, dari masa azali hingga keabadian, hanyalah milik Allah. Segala pujian hanya ditujukan kepada Allah. Hak dipuji hanya milik Allah. Pujian ini adalah kalimat penting yang memiliki makna penghormatan, pengagungan, dan pemuliaan Zat Uluhiyah. Tapi tidak cukup sampai disitu. ZatNya jauh lebih agung dari puji-pujian itu.

Kemudian dikatakan, ” ٱلرَّحۡمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ (ar Rahman, ar Rahim).” Rahman-nya diberikan di dunia dan di akhirat, sedang Rahimnya di akhirat. Semoga Allah memperlakukan kita di akhirat dengan sifat ar RahimNya. Semoga Allah menganugerahi kita dengan tajali al Jamal-Nya. Dan semoga Allah tidak mengutuk kita dengan tajali al Jalal-Nya. Dikatakan, ” ٱلرَّحۡمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ(Arrahmanir rahiim).” Demikianlah Dua sifat agung ini dizikirkan. Ismul Dzat diikuti oleh Ismul Sifat, “ٱلرَّحۡمَٰنِ (ar Rahman)” dan “ٱلرَّحِيمِ (ar Rahim).”

Tidak cukup dengan itu, lalu dilanjutkan, ” مَٰلِكِ يَوۡمِ ٱلدِّينِ(Maaliki yawmid diin).” Setelah mengagungkanNya lewat lafal Sifat dan KedudukanNya, barulah penghambaan kita nyatakan.

Kemudian dilanjutkan dengan ” إِيَّاكَ نَعۡبُدُ وَإِيَّاكَ نَسۡتَعِينُ(iyyakana’ budu wa iyyaaka nasta’in).” Kata “ إِيَّاكَ (iyyaka)”, telah menjadi karunia bagi kita. Ia disebut “at tanazzalutal ilahiyyatu ila ukuli basar.” Karena kemampuan memahami manusia tak mampu menyentuh Zat Uluhiyah dan Subhani-nya Allah, Tanazzulat Ilahi jadi cermin bagi terpantulnya cahaya mentari  ke cermin mungil manusia. Seakan Allah berfirman, “Ayo, sebut Aku dengan kata ‘Engkau’.” Setelah menyebut keagungan SifatNya, Allah lalu membuka pintu agar kita menyebutNya “Engkau.” Biarlah kukorbankan nyawaku untukNya.

” إِيَّاكَ نَعۡبُدُ (iyyaka na’budu)” Hanya kepada Engkaulah kami menyembah. Setelah kita melihat dan mendengar keagungan dan kebesaranNya, merasakannya dengan hati nurani, Anda saksikan penghambaan Anda kepadaNya hanyalah bagaikan setetes air di samudera.

Akan saya gambarkan lewat ungkapannya Bediuzzaman. Bayangkan semua orang yang sedang bersedekap khusyuk untuk ibadah. Maka Anda akan mulai membayangkan mereka yang ada di saf terdepan, lalu yang di masjid. Lalu mereka yang beribadah di seantero bumi, serta para penduduk langit. Lalu para malaikat, lalu para pemanggul arsy, lalu mereka yang keluar masuk Sidratul Muntaha. Anda membaca “Iyyakana’budu” atas nama triliyunan makhluk yang menyembahNya. Andai kumampu, triliunan pujian ini aku saja yang menzikirkannya, karena itu pun sedikit untukMu! Karena anugerahMu tak ada batasnya, dan Engkau selalu memberinya dengan “majjanan (cuma-cuma).”

Mulai sekarang, standar ibadahku akan kunaikkan selayak mungkin! Aku berusaha menjelaskan hakikat ” إِيَّاكَ نَعۡبُدُ (iyyakana’budu)” lewat gaya penjelasannya Bediuzzaman. Akan tetapi Ya Rabbi, ternyata beribadah sebanyak itu amatlah susah! Amat susah untuk memuji dan bersyukur kepadaMu sebanyak lisan semua malaikat & zarah di alam! Untuk mengakui bahwasanya “kami adalah hambaMu” nyatanya amat sulit!

Untuk itu dilanjutkanlah dengan, ” وَإِيَّاكَ نَسۡتَعِينُ (wa iyyaka nasta’in)”, kami mohon pertolonganMu. Ketika demikian, maka konsentrasi penuh dalam ibadah akan diraih. Di sana Anda menumpahkan isi hati Anda Ketika membaca ” إِيَّاكَ (iyyaka)”, Anda menyatakan bahwa Anda adalah budak dengan tali kekang di leher. Budak dengan rantai di kaki. Budak penjaga pintu. Iyyakana’budu. Kami adalah budak-budak yang setia menunggu di pintuMu.

Tepat saat konsentrasi sedang di puncak, Andapun membaca “Iyyakana’budu waiyyaka nasta’in.” Disanalah gangguan setan paling kuat muncul. Barangkali Anda juga menyadarinya. Anda bisa mengalami lupa. Kadang ia muncul, “apa maksud kalimat ini? Apa ikrarku ini bisa kuingat?” Apalagi bagi orang seperti saya. Saat dibaca, mungkin bertepatan saat saya lalai (menguap). Jika bersin asalnya dari Sang Rahman, maka menguap asalnya dari setan (Hadits). Ada orang berkata, “Setiap sampai di iyyakana’budu waiyya kanasta’in, aku selalu menguap!” Pertanyaannya, di tempat dimana kita harusnya berkonsentrasi, layakkah kita menguap? Orang lalai itu lalu bertanya, “Lalu apa yang harus kulakukan?” Kujawab, “Baca lagi iyyakana’budu waiyya kanasta’in.” Awalnya belum fokus, tapi akhirnya dibaca kembali.

Juga saat membaca tahiyat, ada pujian Allah untuk Baginda Nabi dalam “percakapan agung” di Mikraj, “Duhai Nabi Agung yang akan menyampaikan RisalahKu kepada hamba-hambaKu! Salam atasmu! Kebahagiaan di dunia dan akhirat adalah milikmu!” Disini adalah titik fokus! Disini Allah sedang berfirman, seakan-akan Anda sedang bertatapan dengan Baginda Nabi dan berkata dengan firman Ilahi tersebut. “Assalamu’alayka Yaa Ayyuhan Nabiyy…”

Tapi sayangnya puncak kantuk dan lalai menyerang tepat di waktu itu. Seperti yang tadi saya jelaskan, katakanlah, “Kamu  mengalangi fokus konsentrasi dan melalaikanku!” Maka kuulangi salamku, “Assalamualayka ya ayyuhan nabi…” Seakan jemari di ‘tempat’ tersebut tiba-tiba jelas nampak di mata. Seakan tempat wafatnya Baginda Nabi tiba-tiba bisa disaksikan. “Assalamu ‘alayka ya ayyuhan nabiy wa rahmatullahi wa barakatuhu…” Jika Anda menyentuhnya dengan kalbu, dengan yang Anda ambil dari Allah, dengan pujian Allah kepadanya, “Kuambil pujian Allah padamu itu sebagai amanah & kusuguhkan padamu SAW” dengan penuh khusyuk, Anda seakan mendengar jawabanNya SAW, “Assalamu’alayna wa’ala ‘ibadillahis salihin.” Semoga keselamatan dunia akhirat tercurah padaku, padamu, dan pada semua yang beriman! Amin. alfu alfi amin. Jutaan kali amiin. Ganjaran yang dijanjikan tak terbatas.

Jawaban terlayak atas kesetiaan Rasulullah SAW hanya kesetiaan meniti jalannya dengan usaha dan gairah yang tinggi. Andai seluruh dunia menjadi Yazid, Hajjaj, Hitler, dan Anda menjadi orang paling terzalimi di antara manusia, maka Anda tetap akan berseru, “radhina billahi rabba, wabil Islami dina, wabi Muhammadin nabiyya wa rasula.” Dengannya Anda mengungkapkan keridaan Anda atas segala suratan takdir dari Allah. “Allahumma al ikhlas, wa ridhaak, wa khaalis al isyq wal isytiya ila liqaaik.” Ya Allah buat kami bisa mengucapkannya dengan lisan dan kalbu kami! Jadikan kami istikamah bertawajuh kepadaMu! Jangan pisahkan kami dari jalan KekasihMu!

 Ingatlah! Nabi hidup dalam kezaliman musuh selama 13 th di Mekkah dan 5 th di Medinah! Total 18 th! 18 tahun dari 23 tahun kenabiannya, beliau merasakan kezaliman dari antek-anteknya setan. Sedangkan antek setan muncul di setiap zaman, dan mereka yang menerima kezaliman antek setan di masa kini pun harus bersabar. Mereka harus bersabar dan membaca doa tadi, “radhina billahi rabba.” Letakkan keluhan itu di bawah kaki & injaklah. Ia harus digilas&diganti dengan bergembira atasnya! Kita harus berseru kepada keluhan, “Kamu memang layak untuk digilas!” Kita harus menggilas keluhan kita dan memperkuat hubungan kita dengan Allah, dengannya kita wujudkan amanah QS 3:103.

وَٱعۡتَصِمُواْ بِحَبۡلِ ٱللَّهِ جَمِيعٗا

Dan berpegangteguhlah kamu pada tali agama Allah

Anda adalah pejalan di jalan tersebut. Dulu pernah diselenggarakan konferensi “Jalan Kenabian” di Turki. Tajuk konferensinya sangat cocok, demikian juga topik-topik yang dibahas di dalamnya. Tajuk dan topiknya dirasa cocok bila diukur dengan kemampuan kita. Membahas & menggambarkan keagungan Nabi SAW dengan sempurna bukanlah jangkauan kita. Semoga Allah izinkan kita bisa memujinya dengan sempurna. Tanpa memujinya, manusia takkan sadar sedang dibelakangnya SAW. Perhatikan! Jangan sampai kita meniti jalan selain jalannya SAW.

Mana yang layak? Melangkahkah, atau mengelap jalannya dengan wajah kita? Ya, kita harus meniti jalannya dengan tepat, langkah demi langkah. Demikian juga dengan jalannya Khulafaur Rasyidin yang diberi petunjuk! “Ikutilah jalanku dan jalan Khulafaur Rasyidin sesudahku!”[1] Yaitu jalannya Sayyidina Abu Bakar, Umar, Usman, dan Ali radhiyallahu anhum ajmain. Tokoh cemerlang itu mengambil arahan Allah langsung dari Sang Nabi dengan sempurna, insya Allah. Dan mereka senantiasa istikamah menjalankannya. Sesungguhnya mereka melihat, merasakan, dan mendengarkan segala yang dilihat, dirasakan, dan didengar Baginda Nabi.

Dalam hadits sahih muslim, dari berbagai saluran sanad bisa kita simak, Nabi bersabda, “Jika aku bisa mengambil sahabat, aku akan mengambil Abu Bakar sebagai sahabatku. Aku akan membangun tali kasih persahabatan dengannya. Tetapi, Allah adalah Halil-ku (sahabat).”[2]

[1]Salah satu hadis dengan makna yang sama diriwayatkan sebagai berikut:

 عَلَيْكُمْ بِتَقْوَى اللهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا وَسَتَرَوْنَ مِنْ بَعْدِيْ اخْتِلاَفاً شَدِيْدًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِيْ وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّيْنَ عَضُّوْا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَاْلأُمُوْرَ الْمُحْدَثَاتِ فَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ (رواه ابن ماجه)

“Hendaklah kamu bertakwa kepada Allah, dan mendengar serta taat (kepada pemimpin) meskipun ia seorang budak hitam. Dan kalian akan melihat perselisihan yang sangat setelah aku (tiada nanti), maka hendaklah kalian mengikuti sunnahku dan sunnah para khulafa’ rasyidin mahdiyyin (pemimpin yang lurus dan mendapat petunjuk), gigitlah ia dengan gigi geraham (berpegang teguhlah padanya), dan jauhilah perkara-perkara muhdatsat (hal-hal baru dalam agama), sesungguhnya setiap bid’ah itu kesesatan” (HR. Ibnu Majah. Hadis senada diriwayatkan pula oleh At-Tirmidzi, Abu Dawud, dan Ahmad).

[2]Hadis ini ada dalam sahih Bukhari dan Muslim

 لَوْ كُنْتُ مُتَّخِذًا خَلِيلًا لَاتَّخَذْتُ أَبَابَكْرٍ خَلِيلًا، وَلَكِنَّهُ أَخِي وَصَاحِبِي، وَقَدِ اتَّخَذَاللهُ ﻷصَاحِبَكُمْ خَلِيلًا

“Sekiranya aku diizinkan oleh Allâh untuk menjadikan seseorang sebagai khalîl, niscaya aku jadikan Abu Bakar sebagai khalîlku, akan tetapi ia adalah saudara dan sahabatku, sedangkan Allâh Azza wa Jalla telah menjadikan sahabat kalian ini (diriku) sebagai khalîlnya” [HR. al-Bukhâri, no. 3656, Muslim, no. 2383]

Photo by Saffu on Unsplash

Mereka yang Merasakan Manisnya Iman

“Dawai Kalbu: Mereka Yang Merasakan Manisnya Iman”

Dalam sabda Nabi SAW disebutkan bahwa: Barangsiapa memiliki 3 ciri ini, berarti dia telah merasakan manisnya iman[1]. Ciri-ciri tersebut antara lain:

  1. Mencintai Allah dan RasulNya atas segalanya
  2. Mencintai sesuatu hanya karenaNya
  3. Benci kembali ke kesesatan seperti bencinya ia jika dilempar ke neraka

Jika pada diri seseorang ada tiga ini, maka pemiliknya akan merasakan manisnya iman. Mereka yang merasakan manisnya iman, imannya di atas segalanya, serta memahkotai imannya dengan makrifat. Iman yang tak bersandar pada makrifat selalu mudah ambruk oleh sedikit guncangan.

Kondisinya mirip seperti hari ini, dimana kita diguncang oleh perilaku setan dan bala bencana. Di sisi lain, guncangan itu menguji siapa saja yang teguh di jalanNya, sebagaimana ampas dan residu terpisah dari emas dan perak saat diekstraksi.

وَلِيُمَحِّصَ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَيَمۡحَقَ ٱلۡكَٰفِرِينَ 

“Agar Allah membersihkan orang beriman dan membinasakan orang kafir” (QS 3:141).

Orang-orang terjungkal karena sikapnya, mereka menunjukkan siapa dan kemana mereka bersandar. Ternyata karakternya menunjukkan bahwa mereka tak siap menghadapi persoalan-persoalan serius. Andai mereka hidup di masa Nabi mereka akan membuat fiasko dan blunder di Badar dan Uhud. Di Medan Khandaq, mungkin mereka akan membuat skenario untuk berlepas diri. Sebagaimana yang dilakukan oleh tokoh munafik, Abdullah bin Ubay bin Salul. Mungkin dia hanya satu, tetapi di sekitarnya ada banyak orang lugu yang hanyut bersamanya. Kini dunia kita mengalami inflasi karena banyaknya sosok seperti Abdullah bin Ubay bin Salul muncul.

Demikianlah, tanda dirasakannya manisnya iman adalah dicintainya Allah dan RasulNya di atas segalanya. Pertama iman kepada Allah, lalu memahkotai iman dengan makrifat. Kemudian menjaga agar makrifat dan mahabatullah senantiasa terkembang. Memahkotai mahabatullah dengan rasa cinta dan istiyak kepadaNya. Topik ini banyak dibahas dalam tasawuf, tetapi tidak di kitab fikih dan akhlak. Rasa cinta dan istiyak kepada Allah kemudian melahirkan zawq ruhani yang dibahas oleh Ustaz: “Imani billah, makrifatullah, mahabbatullah, dan zawq ruhani.”

Tetapi, dari perspektif Qitmiriyah, Zawq Ruhani hanya dicapai jika tak diharapkan, tetapi datang sendiri. Segala amal hanya untukNya. Saat datang, kita hanya bisa berkata: “ini semua adalah anugerah, rahmat, kemurahan dari Allah SWT.” Semoga Allah tak membatasi anugerah ini pada kita, semoga Allah senantiasa menganugerahinya pada kita Imani billah, marifatullah, mahabatullah, zawq ruhani, dan rasa cinta dan istiyak padaNya.

Mencintai Allah dan RasulNya lebih dari apapun. Sebagai contoh, seperti yang kusampaikan di ceramah yang agak berantakan waktu itu. Ketika Sayyidina Umar tiba-tiba mahabah serta rasa cinta dan istiyaknya terkembang. Lalu ia menatap wajah cemerlang secerah mentari dari Baginda Nabi dan berkata, “Ya Rasulullah! Aku mencintaimu lebih dari segalanya, dari keluargaku, anakku, kecuali diriku.” Pernyataan ini adalah pernyataan yang sangat penting. Andai kita mendengar langsung pernyataan serta kehalusan, kedalaman, serta keindahannya, maka pasti kita akan berdiri dan berputar layaknya para darwish murid Rumi. Tetapi Baginda Nabi memberikan jawaban yang tak disangka. “Tidak beriman salah seorang dari kamu hingga aku lebih dicintai daripada dirinya sendiri.” Istimewanya sistem respon Sayyidina Umar, ia bisa menerima pesan dari seribu lokasi berbeda sekaligus. Pesan tersebut dengan segera diolah dan diberi respon. Ia memiliki kapasitas untuk berkembang serta melejit secara instan dan seketika. Seketika ia berkata:”Ya Rasulullah, kini aku mencintaimu bahkan lebih dari diriku.”[2] Aku tak pernah berpikir walau satu banding sejuta kata-katanya akan menyalahi realita. Ia adalah Umar. Semoga Allah anugerahi kita keistimewaan itu.

 

[1] Dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu , dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ثَلَاثٌ مَنْ كُنَّ فِيْهِ وَجَدَ بِهِنَّ حَلَاوَةَ الْإِيْمَانِ، مَنْ كَانَ اللهُ وَرَسُوْلُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا وَأَنْ يُـحِبَّ الْمَرْءَ لَا يُحِبُّهُ إِلَّا لِلهِ، وَأَنْ يَكْرَهَ  أَنْ يَعُوْدَ فِـي الْكُفْرِ بَعْدَ أَنْ أَنْقَذَهُ اللهُ مِنْهُ، كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِـي النَّارِ.

“Ada tiga perkara yang apabila perkara tersebut ada pada seseorang, maka ia akan mendapatkan manisnya iman, yaitu (1) barangsiapa yang Allâh dan Rasûl-Nya lebih ia cintai dari selain keduanya, (2) apabila ia mencintai seseorang, ia hanya mencintainya karena Allâh. (3) Ia benci untuk kembali kepada kekufuran setelah Allâh menyelamatkannya sebagaimana ia benci untuk dilemparkan ke dalam Neraka.”

Hadits Shahih, diriwayatkan dalam Shahih Al-Bukhari (no. 16), Muslim (no. 43), At-Tirmidzi (no. 2624), An-Nasa`i (VIII/95-96), dan Ibnu Majah (no. 4033).

[2] Kisah ini diriwayatkan pada HR. Bukhari [Bukhari: 86-Kitabul Iman wan Nudzur, 2-Bab Bagaimana Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersumpah]