Setiap manusia memiliki sesuatu yang menyibukan dirinya, membuatnya sedih dan sering membuatnya melupakan perkara lain yang berhubungan dengan dunia. Setiap manusia masing-masing memiliki perkara yang dianggapnya besar. Sesuai dengan ukuran masalahnya, manusia tersebut akan meninggalkan apa pun selain masalah itu. Semakin besar masalah, maka semakin banyak pula perkara lain yang dilupakan dan ditinggalkan. Sebagai contoh, seseorang yang sedang menghadapi masalah kehilangan kakinya maka tidak akan terpikir olehnya untuk berbicara tentang jenis makanan apa yang akan dimasaknya pada hari itu, karena dia memilki masalah besar yang sedang dihadapi. Seseorang yang istrinya meninggalkan rumah dan pergi ke suatu tempat yang tidak diketahui. Pada hari itu, dia tidak akan peduli untuk menyemir sepatunya. Pada dasarnya, dia telah melupakan banyak masalah lain seperti itu. Sesuai dengan besar kecilnya suatu masalah, membuat segalanya dilupakan dan ditinggalkan. Siapa yang akan menentukan apa masalah ini? Bagaimana kita bisa memahami ukuran besar kecilnya sautu urusan yang ada di luar kehidupan kita? Mungkin pernyataan terakhir ini lebih inklusif.
Di setiap masa, beberapa perkara telah menjadi penting. Pada masa Rasulullah SAW, di masanya ada perkara yang yang menjadi sangat penting. Mungkin akan tiba suatu masa, perkara perang itu menjadi hal penting, menaklukkan dunia menjadi hal penting, membangun peradaban, membangun properti menjadi hal yang penting. Terkadang juga, memberi orang kepuasan yang mereka butuhkan adalah hal penting.
Sementara Iman menjadi perkara yang penting untuk menyelamatkan manusia dari menikmati keinginan mereka sendiri. Menjadi perkara penting karena keinginan Allah kepada hambanya adalah menjalankan dan menghidupkan perintahNya. Ini adalah salah satu masalah nyata yang hampir dapat dirasakan oleh setiap manusia yang memilki hati nurani dengan bimbingan akal. Seseorang yang tidak bersedih saat menghadapi generasi yang tidak terkendali, berarti dia tidak memiliki hati nurani. Jika seseorang yang memiliki seorang anak atau kerabatnya tidak beragama dan dia tidak bersedih karenanya, berarti dia telah kehilangan kemampuan alaminya (sikap kemanusiaannya telah hilang). Dalam kehancuran seperti itu, dimana kehancuran dan hidup terasa sia-sia, hanya mengikuti satu sama lain di ranah masyarakat suatu bangsa, jika bangsa itu tetap acuh tak acuh dan mati rasa maka tidak dapat dikatakan bahwa bangsa itu memiliki hati nurani.
Setiap manusia yang memiliki hati nurani, apabila ada dari saudaranya meskipun bukan dari bangsanya, meskipun masalah ini memiliki tingkat kepentingan tersendiri, karena ada mereka yang keluar dari agama dan ada yang tidak beragama, meninggalkan shalat dan tidak berakhlak maka harus ada rasa sedih yang luar biasa di dalam hatinya. Jika semua itu tidak menimbulkan kesedihan yang besar di hatinya maka kita dapat simpulkan bahwa ia tidak memiliki hati nurani. Jika seseorang menyesali dirinya karena masalah yang sangat kecil, namun tidak sedih karena perkara keimanan, berarti mereka memiliki keraguan, tentang konsekuensi akan tidak adanya iman.
Jika seseorang tidak bersedih dalam menghadapi keruntuhan, pembubaran dan perpecahan maka pada dasarnya, berarti bahwa dia tidak percaya adanya hari kebangkitan, dia tidak percaya adanya Yaumul Hisab (hari perhitungan), tidak percaya akan kembali kepada Allah, dan tidak percaya akan keabadian hakiki. Jika dia tidak menyesal menghadapi anaknya yang kehilangan kendali, kehilangan moralitas, kami akan membuang setiap bukti dalam hal ini ke belakang. Karena pertanda nyata, pertama kali mempercayai hal ini adalah usaha yang akan dilakukan dengan menyelamatkan anaknya.
Akan ada beberapa usaha yang harus dilakukan dalam perkara ini. Semoga Tuhan yang Maha Kuasa membuat kita dapat memahami dan menyadari masalah penting ini sesuai dengan tingkat kepentinganya. Rasulullah Saw telah membuka matanya untuk hidup dan memahami makna hidup, Dia telah menyibukkan diri dengan perkara ini dan menjadikannya sebagi masalah yang besar baginya. Rasulullah telah mengorbankan kekayaannya untuk masalah ini. Dia juga telah mengorbankan kekayaan istrinya untuk masalah ini. Dia tidak mendapatkan waktu untuk beristirahat karena masalah ini. Mereka mengatakan “kepalamu telah pecah!”. “Aku tidak peduli, aku memiliki masalah lain yang lebih besar”. “Gigimu patah!”. “Aku tidak peduli, aku memiliki masalah lain yang lebih besar”. “Kamu terpaksa meninggalkan kampung halamanmu”. “Aku tidak peduli, aku memiliki masalah lain yang lebih besar” “Kamu seorang imigran. “Aku tidak peduli, aku memiliki masalah lain yang lebih besar”. Beliau selalu berkata begitu. Dia (SAW) selalu memiliki masalah dalam benaknya. Hal ini membuatnya hampir mati lemas sehingga dalam Al Quran disampaikan: “Boleh jadi engkau (Muhammad) akan membinasakan dirimu (dengan kesedihan), karena mereka (penduduk Mekkah) tidak beriman.” Qs. Asy Syuara: 3
Iniah ekspresi hati manusia yang beriman. Inilah ekspresi orang yang memiliki hati nurani. Boleh jadi engkau akan membinasakan dirimu karena mereka tidak beriman.
Begitu juga ketika beliau menderita karena pamannya, Abu Thalib. Abu Thalib telah membantu dan melindungi Rasulullah selama hampir 40 tahun. Dia tidak melindungi Rasulullah karena kenabiannya, tetapi karena dia adalah seorang yang dekat dengannya, dia adalah kerabat baginya. Jika saja dia melakukannya karena kenabiannya maka es di hatinya akan dicairkan dan dia juga akan mencair di lautan Rasulullah. Tetapi dia hanya melakukannya dengan perasaan kedekatan dan kasih sayang. Tetapi Rasulullah ingin perlindungannya itu menjadi tanpa pamrih, maka dari awal dia telah meminta sesuatu darinya: “Pamanku, aku tidak ingin terlalu banyak darimu, katakan Lailaha illallah sehingga saya bisa menjadi perantara bagimu di hari penghakiman besar nanti”. Tetapi Abu Thalib ragu-ragu…
Kita belajar lagi dari Rasulullah: “Bagaimana kalian hidup, begitulah kalian mati, bagaimana kalian mati begitulah pula kalian akan dibangkitkan.” Abu Thalib tidak hidup dengan mengucapkan Lailaha illallah, maka meninggal lah seperti itu! Allah tidak memberikannya kesempatan saat itu, Rasulullah saat itu selalu bersikeras. Ada tokoh-tokoh Quraisy di hadapannya saat itu disana juga, Abu Jahil, (bapak kebodohan) Ketika Rasulullah mencoba meyakinkannya untuk mengatakan Lailaha illallah Abu Jahal pun mengatakan “Apakah engkau menyimpang dari agama leluhurmu?” Rasulullah pun tidak bisa membujuk Abu Thalib. Jika seseorang terjebak dalam pemikiran yang terbentuk sebelumnya, orang itu akan tidak bisa diyakinkan! Kata-kata terakhir Abu Thalib adalah “Ala Millati Abdul Muttalib”. Sementara kata-kata terakhir seorang Mukmin adalah “Lailaha Illallah”. Namun, pernyataan terakhir Abu Thalib adalah “Saya sedang sekarat pada agama Abdul Muthalib”. Diketahui bagaimana Abdul Muthalib meninggal di masa Jahiliyyah. Saat itu hancur perasaan Rasulullah, seakan-akan beliau di dalam bangunan dan kubahnya jatuh keatas kepala beliau. Paman beliau telah melindungi beliau selama 40 tahun, menanggung begitu banyak penderitaan bagi beliau, dan telah menghadapi segala bahaya yang mematikan, lalu dia meninggal sedangkan Rasulullah tidak bisa melakukan apapun dan dia melewatkan kesempatan syafaat Rasulullah. Hancur perasaan Rasulullah, beliau sangat tertekan saat itu sehingga beliau mengucapkan kata-kata ini: “Selama Aku diizinkan, Aku akan selalu berdoa untuk pengampunanmu.” Tetapi Allah tidak mengizinkan. Allah langsung menurunkan ayat pada saat itu juga: “Tidak pantas bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memohonkan ampunan (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, sekalipun orang-orang itu kerabatya, setelah jelas bagi mereka, bahwa orang-orang musyrik itu penghuni neraka jahannam.” (Qs; At-Taubah; 113)
Ayat selanjutnya adalah sebagai hiburan kepada Rasulullah “Sungguh engkau (Muhammad) tidak dapat memberi petunjuk kepada orang yang engkau kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang Dia kehendaki.” (Al-Qashas; 56)
Jadi, janganlah bersedih! Jangan sampai hatimu yang murni menjadi sedih. Walaupun dia dekat denganmu, kedekatan yang sebenarnya adalah kedekatanmu dalam Taqwa, ketaqwaan kepada Allah.
Ya, apa yang membuat seorang mukmin tertekan, yang membuat seorang mukmin menderita adalah tidak beragamanya seseorang. Bagaimana jika seribu orang menjadi tidak beragama setiap harinya? Bagaimana jika tiap harinya seribu orang mati kehilangan iman? Bagaimana jika ribuan orang menyimpang dari agama? Siapa pun yang tidak merasa menyesal dalam menghadapi pemandangan seperti ini berarti dia tidak memiliki hati nurani. Dengan begitu, orang-orang akan mencoba menjelaskan dakwah besar ini kepada orang lain sesuai dengan keyakinannya. Perkara utamanya adalah menjelaskan Allah kepada orang lain.
Seseorang yang terlibat dalam suatu partai politik, berjalan dari desa ke desa, dia menceritakan tentang Adi dan Budi kepada siapa pun itu yang merupakan pemimpin partai politiknya. Bukankah Allah memiliki nilai di pandangan anda seperti halnya pemimpin di partai itu? Apakah Rasulullah tidak sebanding dengan pemimpin partai di pandangan kalian? Apabila Anda tidak menjelaskan Allah kalian kepada orang lain dengan pergi dari desa ke desa dan dari kota ke kota, jika hatimu tidak sedih dalam menghadapi pemuda yang keluar dari nilai moral, maka kita telah rusak, maka berarti hati kita telah busuk.
Semoga Allah membantu kita! Semoga Dia memberikan kita kesempatan untuk memahami kebenaran yang agung. Berapa lama lagi orang-orang ini akan merangkak, Allah tahu! Sudah pasti bahwa ini akan terjadi hingga bangsa ini kembali kepada Allah. Semoga Allah mengampuni kita dengan karunia-Nya dan membawa kita ke jalan yang lurus. Inilah keprihatinan dan dakwahnya Rasulullah. Jadikanlah keprihatinan dan dakwahnya Rasulullah sebagai keprihatinan dan jalan dakwah kalian. Ini lah yang Allah inginkan. Berdakwahlah sesuai dengan yang Allah inginkan. Hiduplah dengan hati kalian, hiduplah dengan hati nurani kalian, buatlah keputusan di bawah cahaya hati nurani kalian dan cobalah untuk membuat pekerjaan yang kalian lakukan agar didengarkan.
Sayyidina Ali ra, telah ditugaskan oleh Rasulullah untuk penaklukan Khaybar. Ketika Khaybar tidak bisa ditaklukkan, Rasulullah berkata:
لأعطين الراية غدا رجلا يحب الله ورسوله ويحبه الله ورسوله
“Besok aku akan memberikan bendera ini ke seseorang, yang mana orang ini dia mencintai Allah dan Rasul-Nya dan juga Allah dan Rasul-Nya mencintainya.”
Malam itu semua orang mengharapkan bendera akan diberikan kepada dirinya esok lusa nanti. Umar menunggu, Abu Bakar juga menunggu, Utsman juga menunggu (radhiyallahu ‘anhum). Sayyidina Ali ra. yang matanya sakit dan memiliki penyakit di matanya datang ke hadapan Nabi kita dan beliau mengoles air liur di matanya dan sembuhlah dia. Ketika Rasulullah memberinya bendera, terlihatlah siapa yang dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya. Beliau berkata “Berjalanlah seperti dirimu, kemana kamu pun pergi jelaskanlah tentang Allah. Jelaskanlah tentang Allah kepada siapa pun yang kamu jumpai!”
فَوَاللَّهِ لأَنْ يَهْدِىَ اللَّهُ بِكَ رَجُلاً خَيْرٌ لَكَ مِنْ أَنْ يَكُونَ لَكَ حُمْرُ النَّعَمِ
“Demi Allah, sungguh jika Allah memberi hidayah pada seseorang lewat perantaraanmu, maka itu lebih baik dari unta merah.”
Keimanan seseorang individu dari bangsa ini lebih penting daripada kematian total negara ini. Runtuh dan ratanya kota Izmir dengan tanah karena gempa bumi adalah kejadian yang sangat sederhana dibandingkan dengan penyimpangan seorang individu dari agama. Bila orang-orang meninggal maka mereka bisa masuk surga jika mereka mendapatkan ridha Allah SWT.
Bagaimana dengan mereka yang tinggal di neraka abadi yang telah selamanya kehilangan Allah, mereka telah kehilangan Al Quran selamanya? Itulah sebabnya, perkara yang paling penting bagi seorang mukmin adalah menjelaskan tentang Allah dan juga menjelaskan Rasulullah SAW.
masyaallah
Sangat menggugah hati… (2 jempol tangan 🙂