Tugas Fitri Manusia: Beriman, Berdoa, dan Menyelamatkan Iman

Umumi Seferberlik, Sohbet Atmosferi, s.74-78

 

Iman, memanusiakan manusia. Iman bisa menjadikan manusia sebagai raja. Sedangkan Kekufuran, menjadikan manusia sebagai hewan. Kalau begitu, tugas asli manusia adalah beriman dan berdoa.

***

Di antara banyak dalil, satu diantaranya adalah perbedaan tujuan hidup manusia dan hewan. Ia adalah bukti yang jelas. Ya, manusia sejati yang beriman menunjukkan perbedaan yang jelas dengan hewan. Karena hewan,ketika diciptakan di dunia, seakan datang dari alam lain, ia datang ke dunia ini dalam keadaan sempurna (tidak perlu belajar). Ada yang hanya butuh waktu dua jam, ada yang butuh dua hari,ada yang butuh waktu dua bulan, lalu semua potensi dan kemampuannya  dapat muncul dengan sempurna dalam dua hari, misalnya semut dan burung gereja.

Ini artinya tugas hewan bukanlah untuk belajar dan jadi matang. Ini artinya tugas hewan bukanlah menyadari kekurangan yang kemudian mengharuskannya berdoa. Tugas hewan adalah berperilaku sesuai instingnya, dan melakukan penghambaan dengannya.

Sedangkan manusia ketika datang ke dunia ini berada dalam keadaan tidak mengetahui peraturan-peraturan yang ada di dunia; ia perlu belajar segala hal; waktu 20 tahun pun dirasa tak cukup untuk mempelajari bagaimana bisa hidup berdikari. Sepanjang hidupnya ia selalu dalam keadaan butuh belajar. 15 tahun hanya cukup baginya untuk bisa membedakan yang bermanfaat dan berbahaya (usia baligh). Hanya dengan hidup dalam masyarakat ia bisa meraih manfaat, dan menghindarkan diri dari bahaya.

Kalau demikian, maka tugas fitri manusia adalah mendewasakan diri dengan terus belajar, dan menghambakan diri dengan berdoa. Yakni, ia perlu berpikir:”Atas kasih sayang siapakah kebutuhan-kebutuhan hidupku bisa terpenuhi dengan penuh hikmah?”. “Atas kedermawanan siapakah aku tumbuh besar dalam didikan yang dengan penuh kasih sayang?”. “Atas anugerah dari siapakah aku dirawat dan diatur”? Dan dengannya manusia selalu berada dalam keadaan harus berdoa dan memohon dengan lisan fakirnya kepada Dzat yang Memenuh Semua Kebutuhan. Ini artinya manusia datang ke dunia ini untuk meraih kesempurnaan dengan wasilah berdoa dan menuntut ilmu.

***

Tanpa iman, manusia tidak bisa selamat di akhirat.  Allah SWT berfirman: “Orang-orang yang beriman dan beramal shalih, bagi mereka kebahagiaan dan tempat kembali yang baik” (Ar Ra’d 29). Baginda Nabi SAW dalam sabdanya menjelaskan: ”Allah tidak menerima iman tanpa amal perbuatan, dan tidak pula menerima amal perbuatan tanpa iman” (HR Thabrani) .

Dalam riwayat lainnya, Abu Hurairah menyampaikan bahwa Nabi SAW bersabda:”Tidak ada seseorang yang dimasukkan ke surga oleh amalnya,” Lalu ada yang bertanya:”Tidak pula Engkau wahai Rasulullah?”. Beliau menjawab:”Tidak pula saya, kecuali Tuhanku melimpahkan rahmat-Nya kepadaku” (HR Bukhari dan Muslim).

Abu Said al Khudri ra menyampaikan bahwa Rasulullah SAW bersabda:”Setelah penduduk Surga masuk ke surga, dan penduduk neraka masuk ke neraka, maka Allah Ta’ala berfirman,’Keluarkanlah dari neraka orang-orang yang dalam hatinya terdapat iman walaupun sebesar biji sawi.’ Mereka pun dikeluarkan dari neraka. Hanya saja tubuh mereka telah hitam legam bagaikan arang. Oleh karena itu, mereka dilemparkan ke sungai hayaa atau hayat. Kemudian tubuh mereka berubah bagaikan benih yang tumbuh setelah banjir. Tidakkah engkau melihat benih tersebut tumbuh berwarna kuning dan berlipat-lipat.” (HR Bukhari)

***

Bagaimana caranya agar rahmat Ilahi bisa diraih? Sang Pembawa Kabar Gaib yang terakhir SAW bersabda: “Apabila Allah memberi hidayah kepada seseorang melalui upayamu, itu lebih baik daripada apa yang dijangkau matahari sejak terbit dan tenggelam (HR Bukhari dan Muslim).”

Dari inspirasi ini, para pahlawan Islam mengorbankan semua yang mereka miliki demi keselamatan iman masyarakatnya. Bediuzzaman Said Nursi dalam kutipannya yang terkenal mengatakan: “Aku rela mengorbankan seluruh yang aku miliki, sampai jika aku harus mengorbankan urusan duniaku sendiri demi untuk menyelamatkan masyarakat di sekitarku dari siksa Allah Swt.. Sedikit pun tidak terselip harapan di dalam sanubariku untuk masuk surga sendirian, atau takut kepada neraka dengan mengorbankan kepentingan pihak lain. Yang aku harapkan adalah keimanan seluruh penduduk negeri Turki, yang saat ini telah mencapai sekitar dua puluh juta orang, dan keimanan seluruh penduduk dunia Islam yang mencapai beratus-ratus juta, bahkan bermilyar orang banyaknya. Andaikata kandungan Al-Qur‟an kita hanya dapat menaungi sekelompok orang saja yang berada di muka bumi ini, niscaya aku tidak akan berharap mendapatkan kenikmatan surga sebelum seluruh penduduk bumi mencapai keselamatan di akhirat kelak secara keseluruhan. Bahkan, aku rela dimasukkan ke dalam neraka Jahannam, asalkan seluruh penduduk dunia dapat menikmati kesenangan surga di akhirat kelak.”

***

Para sahabat sangat gigih dan totalitas dalam usaha menyelamatkan iman. Misalnya Abu Talha r.a. Ketika ayat :”[3.92] Kamu sekali-kali tidak sampai kepadakebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.”  diturunkan, setelah menimbang dalam pikirannya, ia segera mendatangi Rasulullah dan mengutarakan niatnya untuk menyedekahkan kebun yang amat dicintainya. Rasulullah pun bersabda agar ia menyedekahkannya kepada anggota keluarganya yang miskin (HR Bukhari).

Ketika ayat: “[9.41] Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan atau pun merasa berat, dan berjihadlah dengan harta dan dirimu di jalan Allah. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” diturunkan, ia segera melompat untuk kembali bersiaga di pos terdepan. Dan suatu saat, ia pun ikut dalam perjalanan ke Siprus walaupun usianya sudah sangat renta. Dia menjawab larangan anak-anaknya dengan berkata bahwa Allah Ta’ala telah memerintahkan kepada kaum muslimin untuk “maju bersama-sama / infiruu” (QS An Nisa 4:71)

***

Pahlawan berikutnya adalah Sayyidina Abu Ayyub Al Anshari r.a. Tidak ada yang mengetahui betapa dalam beliau memaknai ayat “maju bersama-sama / infiruu” (QS An Nisa 4:71) ini. Walaupun ia sudah tidak memiliki kekuatan yang cukup untuk berkuda namun tekadnya telah mengantarkannya ke pintu gerbang Istanbul. Kematian hanyalah menjadi pintu pertemuan yang menjadi saksi perjumpaan kekasih dengan yang dicintanya. Barangkali ia tidak rela dengan kematiannya karena belum tuntasnya misinya. Ia pun menjawab perintah “infiru” ini dengan bergabung bersama pasukan hingga ke pintu gerbang Istanbul dan meminta pasukan yang lain untuk menguburkan jasadnya di tempat terdekat yang bisa mereka capai agar ia bisa mendengar derap langkah kaki dan kuda prajurit penakhluk Istanbul yang dijanjikan kabar gembira oleh Rasul.

***

Kisah heroik berikutnya terekam ketika Usmani melawan sekutu dalam Perang Galliopoli atau Canakkale (1915-1916). Usmani dalam perang tersebut digempur oleh Inggris, Perancis, Australia, Selandia Baru, Pasukan Hindia dan Kanada. Kondisinya amat sulit. Terkadang makanan tidak bisa disuplai kepada para tentara. Senjata pun menunggu kiriman dari Jerman. Dalam perang  ini, dari pihak Usmani terdapat lebih dari 500.000 syahid dan 700.000 luka-luka. Kekurangan pasukan membuat para mahasiswa di Istanbul University dipanggil untuk mempertahankan negara.

***

Zaman sekarang, sebenarnya kondisi kaum muslimin lebih parah dan terdesak bila dibandingkan dengan Perang Canakkale. Bencana dan musibah hanya bisa dilewati sesuai dengan perjuangan yang diberikan umatnya. Di zaman ini dibutuhkan mubaligh, mursyid, guru yang ikhlas, murid yang semangat, dan pengusaha yang tulus, untuk menyampaikan cahaya Nabi Muhammad SAW ke hati sanubari seluruh umat manusia. Zaman ini, dengan melihat perbedaan kondisi dan tantangan yang dihadapinya, adalah Zamannya infiruu atau zaman untuk maju bersama-sama.

Semuanya harus maju dengan apa yang ada di tangannya. Yang punya pabrik dengan pabriknya, yang punya kecerdasan maju dengan kecerdasannya, yang punya profesi bagus dengan profesinya, yang punya waktu dan energi dengan waktu dan energinya. Insya Allah mereka akan ambil bagian dan bekerja sesuai bidangnya masing-masing. Inilah makna “jemm u nefir”, walaupun bungkusnya berbeda tetapi zaman ini tetap dihitung sebagai hari-hari dimana “jemm u nefir” diperlukan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *