fbpx
Karya Pembaca

CAKRAWALA HIDUP KITA

Karya Pembaca: Haerul Al Aziz

Sudah tidak diragukan lagi bahwa kemuliaan sosok sahabat Nabi adalah hasil representasi dari nilai luhur yang dicontohkan Nabi Muhammad sallallahu ‘alaihi wasallam sebagai Potret Kebanggaan Manusia yang menjadi panutan bagi seluruh umatnya. Antara jarak dan jangka waktu yang memisahkan kehidupan kita dengan cakrawala agung yang mereka miliki, seolah menjadi hal yang mustahil bagi kita, bahkan untuk sekadar berimajinasi memanifestasikan apa yang telah mereka wujudkan. Menjadi sosok insan kamil merupakan tujuan diciptakannya manusia dengan pencapaian ibadah, ubudiyah dan ubudahnya sebagai seorang hamba. Dengan keselarasan tujuan ini, mampukah kita sebagai generasi milenial menggapai cakrawala yang telah mereka persembahkan sebagai perwujudan dari keteguhan iman, kesadaran islam, dan kedalaman ihsan yang mereka miliki?

Perlu kita akui bahwa sosok sahabat merupakan potret agung yang memiliki karakteristik istimewa. Sehingga generasi setelahnya tidak akan mampu mendapatkan intensitas yang sama dengan pencapaian iman dan aktualisasinya dalam menjalankan sebab akibat untuk memenuhi haknya sebagai seorang mumin dan tanggung jawabnya dalam menjalankan pundi-pundi agama Islam. Seperti yang telah diungkapkan oleh Mursyid Hakiki sallallahu ‘alaihi wasallam bahwa,  “Sebaik-baik umatku adalah pada masaku. Kemudian orang-orang yang setelah mereka, lalu orang-orang yang setelah mereka.”[1] Para sahabat menyerahkan diri mereka dan beriman secara utuh kepada lantunan ayat Al-Quran sebagai sumber utama bagi keberlangsungan hidupnya meski kala itu segala penindasan bertubi-tubi menghujam konsistensi iman yang mereka miliki. Bersama dengan sisi ummiyah[2] yang membuat mereka jauh dan tertutup dari dunia luar, penyerahan dan penerimaan dalam waktu yang singkat ini, di sisi lain sebenarnya merupakan perwujudan dari mukjizat Nabi Muhammad sallallahu ‘alaihi wasallam dan Al-Quran itu sendiri.

Di samping itu, kebersamaan dengan Nabi Muhammad sallallahu ‘alaihi wasallam ketika mereka secara langsung melihat, mendengar dan merasakan manifestasi aliran wahyu yang juga ikut terpercik dalam anatomi spiritual tubuh mereka, ditambah dengan bahasa sikap dan perilaku yang Beliau persembahkan sebagai pedoman kehidupan, menjadikan mereka layak untuk memiliki gelar “Wilayatul Kubra” yang merupakan kedudukan tertinggi dalam dimensi kewalian. Meski mereka yang mengaku telah bertemu berpuluh-puluh kali dengan Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam melalui sebuah mimpi, nilai mereka tak akan sebanding dengan keluhuran yang dimiliki para sahabat, karena percikan langsung yang mereka raih dari sumber yang hakiki kala itu.[3]

Periode era kebahagiaan telah berlalu, generasi selanjutnya melahirkan generasi lain sesuai dengan kedalaman yang mereka miliki. Disadari maupun tidak, sebuah proses penerimaan dan pemberian tongkat estafet yang mereka amanahkan berlangsung hingga generasi kita saat ini. Kemuliaan-kemuliaan yang dimiliki oleh para sahabat di atas yang menjadikan mereka memiliki gelar sebagai sosok “sahabat yang sesungguhnya” mungkin tidak akan mampu kita capai. Namun dengan keluhuran dan karakteristik tunggal yang mereka miliki tersebut, bukan berarti tidak ada karakteristik lain yang mampu kita jadikan sebagai pedoman supaya kita pun bisa berdiri di belakang barisan mereka. Bahwa layaknya Mursyid Agung, mereka pun tidak melepas tanggung jawabnya sebagai sosok sahabat untuk mencotohkan apa yang seharusnya diimplementasikan bagi generasi setelahnya. Disini kita akan memaparkan prinsip-prinsip mulia yang merupakan karakteristik lain para sahabat sebagai seorang hamba dan manusia ideal, yang mana jika kita mampu merealisasikannya, menggapai kebangkitan layaknya era kebahagiaan bukanlah sekadar imajinasi belaka.

Karamah yang Sesungguhnya

Bashirah agung Umar bin Khatab dalam ekspedisi Sariyah bin Zanim al-Khalji, doa Sa’ad bin Abi Waqqas yang segera terkabulkan, dan sumpah Bara bin Malik yang tak pernah ditolak Allah ta’ala  merupakan contoh dari banyaknya karamah yang dimiliki oleh para sahabat. Meski demikian keistimewaan ini bukanlah tujuan yang ingin mereka capai. Yang ingin mereka tunjukkan sebagai karamah asli ialah menjalankan apa yang seharusnya mereka lakukan sesuai dengan kausalitas yang ada dan mengarahkannya kepada ridha Allah ta’ala seraya menjauhi segala hal yang beraroma takjub di luar itu. Dibandingkan hal yang menakjubkan, mereka lebih memilih untuk hidup sesuai dengan ruh agama yang semestinya; memiliki akhlak mulia; mengisi dirinya dengan kesadaran ma’rifat, mahhabah, ikhlas, dan ihsan; senantiasa memelihara hak Allah dan juga hak orang lain; dan sebisa mungkin memperdalam hubungannya dengan Sang Pencipta. Ini semua merupakan sebuah pantulan dari keteguhan nilai iman yang mereka miliki yang layak bagi kita untuk dijadikan pedoman.

Dua Kosa Kata Luhur “Kesetiaan dan Loyalitas”

Ketika mendengar kosa kata “kesetiaan dan loyalitas” siapa yang tak mengenal Abu Bakar bin Uthman Abu Quhafa, sosok sahabat yang telah sampai kedalam tingkatan siddiq. Kesetiannya untuk menjaga dan melindungi Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam tak ada satu orang pun yang akan meragukannya. Namun kesetiaan dan loyalitasi yang dimilik para sahabat lain pun perlu kita paparkan sebagai landasan bagi kehidupan generasi kita saat ini. Karena dua nilai luhur ini layaknya sudah menjadi darah daging dalam tubuh mereka dalam rangka menjunjung tinggi nama Allah ta’ala dan mengobati hati yang penuh luka akibat kekufuran. Amr bin Al Ash yang meletakkan rambut Nabi Muhammad sallallahu ‘alaihi wasallam di bawah lidahnya ketika ia meninggal dunia sebagai bentuk loyalitas dan wasilah untuk memudahkannya menjawab pertanyaan di akhirat kelak; Sang Panglima perang Khalid bin Walid yang tetap menjaga kesetiaannya meski ia harus wafat di atas kasurnya; dan Ukba bin Nafi yang pergi ke ujung samudera untuk menyampaikan amanahnya dalam rangka memanifestasikan dua kosa kata luhur ini. Sebuah implementasi akan kesadaran Islam yang ingin mereka persembahkan bagi kita semua.

Ramuan Ihsan antara Kesabaran dan Rasa Syukur

Penindasan yang mereka alami di awal tak membuat mereka gentar dan tetap bersabar untuk menjalankan segala kewajiban dan tanggung jawabnya sebagai umat Islam. Di sisi lain kegembiraan setelah mereka berhasil menaklukan kota Mekkah tak membuat mereka bangga diri, bahkan bersyukur dengan segala karunia yang telah Allah ta’ala limpahkan. Mereka berhasil memadukan kesabaran dan rasa syukur tersebut sebagai ramuan ihsan yang layak bagi mereka untuk kita jadikan sebagai contoh dalam menyikapi setiap peristiwa yang ada. Sebagai perwujudannya tak ada satu pun dari mereka yang ingin membalas dendam dengan apa yang telah kaum musyrik lakukan meski kala itu mereka telah berada di puncak kemenangan. Dengan itu semua mereka lebih memilih untuk bersikap istikamah di jalan ini.

Musyawarah dan Atmosfer Spiritual

Melalui tuntunan Nabi Muhammad sallallahu ‘alaihi wasallam pentingnya musyawarah juga mereka hadirkan ke dalam pundi-pundi kehidupan mereka sebagai indikator terpenting yang menunjukkan kualitas keimanan pada suatu masyarakat serta menjadi karakter utama yang melekat pada semua komunitas yang mempersembahkan hidup mereka demi kejayaan agama Islam. Di sisi lain, mereka pun selalu menggunakan setiap waktu dan kesempatan yang mereka miliki untuk berbincang dan merundingkan tentang keagungan Allah ta’ala dan hakikat Islam. Tak ada satu pun manfaat dunia yang ingin mereka raih atau mereka gambarkan dalam imajinasinya.

Nilai khas yang dimiliki para sahabat sudah menjadi karakter tunggal yang tidak dimiliki oleh generasi lain. Tetapi bukan berarti kehidupan mereka sebagai seorang hamba yang luhur tidak bisa kita manifestasikan ke dalam kehidupan generasi milenial saat ini. Tidak bisa dipungkiri bahwa jarak dan waktu telah memisahkan kita dengan mereka, namun jika kita masih sanggup menjaga keteguhan iman, kesadaran Islam, dan kedalaman ihsan yang seharusnya, bukankah kita juga akan memiliki nilai istimewa lain sebagai sosok “saudara” yang dikenang Nabi Muhammad sallallahu ‘alaihi wasallam dalam sabdanya? Walaupun secara langsung kita tidak sanggup melihat dan merasakan kehidupan mulia yang telah mereka jalankan bersama Sang Nabi kala itu. Kendati seperti itu, jika kita melihat ke seluruh penjuru dunia saat ini, sebuah imajinasi yang kita gambarkan dari awal, telah dimanifestasikan oleh sekumpulan individu yang mengabdikan diri mereka untuk menjungjung tinggi perdamaian dunia atas nama kemanusiaan yang telah sejak lama ditunggu kehadirannya. Yang menjadi pertanyaan ialah, kapankah tiba saatnya bagi kita untuk juga mengimplementasikan prinsip-prinsip mulia tersebut sebagai cakrawala hidup kita yang sesungguhnya?

[1] Sahih Muslim, “Fada’il al-Sahaba” 210, 211, 212, 214, 215; Abu Dawwud, Sunnah 9.

[2] Ungkapan ummiyah disini lebih mengarahkan kedalam  makna bahwa kehidupan mereka hingga saat itu jauh dan terasing dari dunia luar, tidak ada hubungan yang signifikan antara kehidupan mereka dengan kultur atau agama lain. Sehingga hati mereka masih bersih dan jernih. Mereka tidak memerlukan sumber lain dalam pemahaman dan penafsirannya terhadap Al-Quran. (http://www.herkul.org/kirik-testi/kur-an-kulturu-ve-sahabe/)   

[3] Bediüzzaman Said Nursi, “Sözler”, Şahadamar Yayınları (2007), s. 532; Fethullah Gülen, “Ölümsüzlük İksiri”, Nil Yayınları (2011), s. 96.

Leave a reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Dapatkan artikel baru setiap saat!    Yees! Tidak Sekarang