fbpx
Dawai Kalbu

Sarana Meraih Keikhlasan dan Keistikamahan

Sarana Meraih Keikhlasan dan Keistikamahan di Masa Kemunafikan dan Keegoisan[1]

Al-Qur’an menyebutkan bahwa tempat kaum munafik adalah di lapisan neraka paling bawah, bahkan lebih rendah daripada orang-orang kafir sekalipun. Ini karena mereka bermuka dua: mengaku muslim, tetapi perbuatannya justru menguntungkan orang kafir. Mereka bahkan menggunakan nilai-nilai suci agama sebagai argumen demi meraih keuntungan pribadi. Karenanya, kemunafikan lebih berbahaya dari kekafiran. Tugas kita di masa ini adalah menjauhi kemunafikan dan waspada kepada orang-orang munafik. Mereka bisa muncul kapan dan di mana saja.

Saya rasa, orang munafik lebih berkembang di tempat di mana pemikiran islami menjadi mayoritas. Hal ini karena ketika yang sedang jaya dan berkuasa adalah orang-orang yang kufur dan ingkar, mereka—orang-orang munafik—dapat melakukan kekufuran secara terang-terangan. Misalnya, Abu Jahal, Utbah, Syaibah, Uqbah bin Abi Mu’aith, dan Walid tidak merasa perlu melakukan kemunafikan. Karena berkuasa dan kuat, maka mereka mampu melakukan segala yang diinginkannya. Misalnya, mereka berkuasa untuk merantai orang yang menentangnya. Namun, di Madinah, saat kaum muslimin berkuasa, kemunafikan mulai berkembang. Sebelum Madinah diubah Sang Nabi menjadi pusat peradaban, mereka punya harapan untuk berkuasa. Harapan mereka hanyalah bagaimana bisa berkuasa dan mengekalkannya. Saat mahkota menemukan pemilik sejatinya, yaitu Rasulullah, mereka sama sekali tak rela dengan kenyataan itu. Kriteria ini berlaku di setiap waktu. Sebagian menanti pamrih agar seisi dunia memuja mereka, baik pujian dari dunia Islam maupun dari dunia non-Islam. Namun, sebagaimana dikatakan Ustaz Badiuzzaman: “Masa ini adalah Masa Keegoisan”. Sebagai konsekuensinya, masa ini pun masa kemunafikan. Orang-orang munafik akan menunaikan misinya, di tempat di mana pemikiran dan praktik Islam sedang menjadi mayoritas dan sedang bergelora dilakukan. Maksudnya, saat praktik islami menjadi tren, di saat manusia mudah mengikuti arusnya, di sanalah benih kemunafikan tumbuh dan berkembang pesat. Itu karena kondisinya mendukung. Orang munafik ini memanfaatkan argumen agama sehingga kaum muslimin pun sering tertipu. Untuk itu, Ustaz berkata: “Kita adalah seorang muslim, mungkin saja tertipu. Namun, kita tidak sekali-kali menipu”.

Menurutku, walau kita puluhan kali ditipu, kita tetap harus berhusnuzan sambil terus waspada. Kita tetap harus berhusnuzan kepada mereka yang sudah menipu kita. Namun, kita tetap harus waspada agar tak ditusuk dari belakang. Nasihat dari Badiuzzaman: “Berhusnuzan dan tetaplah waspada…”

Di satu sisi: “Kita ini muslim yang mungkin saja tertipu, tetapi kita tidak sekali-kali menipu”. Mengapa? Karena kita membuat kesimpulan dari apa yang terlihat secara lahiriah saja. Kita hanya bisa menilai dari apa yang dikatakan oleh lisannya saja, kita tak mampu membelah dada dan membaca isi hatinya. Rasulullah lah yang mengatakannya. Kepada siapa? Putra Zaid, Usamah, anak yang amat dicintainya[2]. Sosok yang sangat agung, Sayyidina Usamah saat itu berhasil memojokkan musuh. Saat terdesak, si musuh pun bersyahadat. Beliau radhiyallahu anhu berijtihad: “Kita berada di dalam perang. Ia adalah musuh. Ia bersyahadat karena terdesak belaka”. Beliau radhiyallahu anhu pun membunuhnya. Saat kabar ini didengar Nabi, Beliau bertanya: “Mengapa kamu membunuhnya?” Usamah: “Dia bersyahadat karena terdesak” Nabi bersabda: “Apa kamu telah membelah dan membaca dadanya?!”

Perhatikanlah! Kriteria ini selalu berlaku bagi kita. Jika dari lisannya masih keluar kata: “Allah, Rasulullah, Islam”. Anda tak bisa berkata: “Saya tidak percaya”. Karena mereka, yaitu Nabi dan penduduk langit berkata: “Apa kamu sudah membelah dan membaca isi dadanya”. “Bagaimana jika ia bersyahadat dengan tulus?” Inilah husnuzan. Namun, jika terdapat keraguan atas pernyataannya, setelah berhusnuzan, lakukanlah adam-i itimad (waspada). Janganlah Anda lalai memberikan suatu amanah penting kepada seseorang yang belum teruji. Punggung Anda dapat tertusuk belati. Jangan sekali-kali Anda lalai, karena punggung Anda dapat tertusuk belati.

Dikatakan juga: “Di hatimu harus selalu tersedia kursi di mana semua tipe orang dapat duduk di sana”. Mengenal, menganalisa, dan mengelola orang-orang munafik amatlah sulit. Jika Anda tak bisa tepat menganalisanya, Anda tak boleh membuat kesimpulan instan. Pertama, analisis harus dilakukan sebelum amanah nantinya diberikan. Anda pasti menemui kesulitan dalam prosesnya. Kadang Anda melihatnya menyungkurkan wajah dengan mata sembab di Multazam, atau melihatnya mengusap wajah ke Hajar Aswad dan berkata: “Biar aku jadi tebusanmu!”. Namun hatinya lebih kotor dari hati Abu Jahal, Utbah, dan Syaibah. Tak peduli di depan Ka’bah, mereka menanti suitan dan tepuk tangan pujian kepada mereka. Pujian seperti: “Jayalah! Engkau tak memiliki tandingan! Biar aku jadi tebusanmu!” Ketika orang-orang memujinya, ia pun membesar seperti kalkun.

Kembali ke pembahasan, zaman ini zaman kemunafikan dan keegoisan. Manusia ibarat setetes air, tetapi ia melihat dirinya seakan samudra. Mereka mulai suka terlihat seperti matahari, padahal kita hanyalah zarah, sehingga pamrihnya pun amat besar. Misal mereka berkata: “Kalau kita lewat, kita harus disambut tepuk tangan”. “Dalam posisi berdiri takzim, seperti posisi saat salat di hadapan Allah”. Nauzubillah! Sebentar lagi mungkin mereka mengaku sebagai Tuhan! Firaun mengaku sebagai tuhan secara terang-terangan karena dia lebih jentelmen dibanding mereka. Karena Firaun menunjukkan kebiadabannya terang-terangan, demikian juga dengan Qarun dan Haman, maka Nabi Musa dan Harun pun mengetahuinya. Sedangkan mereka, orang-orang di masa ini berkata, “minal kalalisy“. Ini adalah istilah translasi campuran dari bahasa Turki ke bahasa Arab. Anda bisa menanyakan makna “kalalisy[3] pada mereka yang tahu bahasa Arab. Karena itu mereka selalu menipu dan menempatkan orang lain di posisi hulubalang. Ia memandang semua masyarakat berada di kasta paria. “Kamu dibanding aku hanyalah makhluk yang levelnya 10 tingkat di bawahku.” Lalu jika ada orang yang berkata kepadanya: “Menyentuhmu adalah bagian dari ibadah”. Maka ia menjawab: “Terima kasih, Kamu sangat tahu cara mengapresiasi saya!”

Jika dikatakan: “Ia memiliki semua sifat Allah”. Ia menjawab lagi: “Kamu sangat tahu cara mengapresiasiku!” Tidak ada yang berani mengatakan, “sungguh itu merupakan ucapan yang bisa mengantarkan pada kekafiran mereka yang mengatakannya”. Namun, mereka dengan mudah mengafirkan dan menyesatkan para sukarelawan Hizmet yang menyebar ke seluruh dunia demi rida Allah, demi berkibarnya bendera agama dan bangsa, serta demi dikenalnya nama agung Baginda Nabi Muhammad Saw.

Ketika mengafirkan, isyarat mereka tidak mengarah kepada perseorangan seperti Ustaz Osman Simsek, Ustaz Ergun Capan, Ustaz Rasyid Haylamaz. Namun, yang dikatakan adalah: “Saya meragukan keimanan mereka!”. Mereka meragukan iman para sukarelawan yang mengibarkan bendera Sang Nabi di seluruh dunia. Namun, mereka tak meragukan iman orang yang mengatai Al-Qur’an, tak meragukan iman orang yang bilang “menyentuhnya adalah ibadah”. Saya rasa dengan contoh ini Anda dapat memahami ciri orang munafik. Anda akan memahaminya. Walau nanti akan tertipu lagi, suatu saat Anda akan selamat dari tipuannya.

Apapun yang terjadi, ingatlah ayat Al Quran surat An-Nisa 4:45:

وَكَفَىٰ بِاللَّهِ وَلِيًّا وَكَفَىٰ بِاللَّهِ نَصِيرًا

“Dan cukuplah Allah menjadi Pelindung (bagimu).

Dan cukuplah Allah menjadi Penolong (bagimu)”

Abu Hasan as Syazili menjadikannya bagian dari wiridnya dengan mengulangnya 10 kali. Aku tak tahu apa hikmahnya. Setelah membaca: يَا غَارَةَ اللهِ، حُثِّي السَّيْرَ مُسْرِعَةً “Ya Allah, kumohon segera turunkan pertolongan-Mu!”. Lalu beliau membaca: وَكَفَىٰ بِاللَّهِ وَلِيًّا وَكَفَىٰ بِاللَّهِ نَصِيرًا

Beliau mengulangnya sebanyak 10 kali. Cukuplah Allah sebagai Wakil dan Penolong kalian…! Serahkan pada Allah, rangkul pertolongan Allah, dan taatilah hikmah-Nya. “Jika ada jalan keluar, pastilah ini, aku tak tahu jalan keluar lainnya.” Inilah nasihat dari Mehmet Akif, penyair abad ini yang memiliki jiwa dan cara pandang yang luas.

[1] Sebagian terjemahan dari:

http://fgulen.com/tr/ses-ve-video-tr/bamteli/nifak-ve-enaniyet-caginda-ihlas-ve-istikamet-vesileleri dan teks ceramah dari video https://www.youtube.com/watch?v=-oUqFf_gwQU&t=112s

[2] Demikian cintanya Rasulullah kepada Usamah dan ayahnya sangat menginspirasi Sayyidina Umar. Pada Masa kekhalifahannya, Sayyidina Umar memberikan gaji kepada Sayyidina Usamah lebih tinggi dibanding siapapun, termasuk kepada anaknya. Hingga akhirnya, anaknya yaitu Abdullah bin Umar bertanya kepada Amirul Mukminin karena penasaran. Abdullah berkata kepada ayahnya: “Wahai ayahku, Engkau memberikan gaji kepada Usamah 4000 sedangkan engkau memberikan aku hanya 3000. Padahal ayahnya tidak lebih utama dari dirimu, dan ia juga tidak lebih mulia daripadaku.”

Umar Al Faruq berkata: “Engkau keliru… Ayahnya lebih dicintai oleh Rasul daripada ayahmu. Dan ia lebih dicintai Rasul daripada dirimu!”

Maka Abdullah bin Umar rela menerima pemberian gaji yang diberikan untuknya. Dan Umar bin Khattab setiap kali ia berjumpa dengan Usamah bin Zaid akan berkata: “Selamat datang, Amirku!” Jika ada orang yang merasa aneh dengan tingkah Umar ini, ia akan berkata kepada orang itu: “Rasul ﷺ telah menjadikan dia sebagai amirku!”

Ya, Rasulullah telah menjadikan Sayyidina Usamah bin Zaid sebagai amir pasukan yang di dalamnya terdapat sahabat-sahabat senior seperti Sayyidina Abu Bakar, Umar, Sa’d bin Abi Waqash, Abu Ubaidah bin Al Jarrah dan sahabat besar lainnya.

[3] Ia merupakan bentuk jamak dari istilah yang artinya pengkhianat

Leave a reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Dapatkan artikel baru setiap saat!    Yees! Tidak Sekarang