Rumah Cahaya dari Masa ke Masa
(Diterjemahkan dari Prizma 2 artikel berjudul Dünden Bugüne İbn Ebi’l-Erkam Evleri)
Tanya: Apa esensi dari Rumah Cahaya dan apa saja yang bisa diuraikan terkait dengan misi yang diembannya?
Jawab: Topik dan gagasan yang paling sering saya sampaikan dan paling jelas saya kemukakan hingga saat ini salah satunya adalah rumah cahaya. Tidak mungkin saya bisa mengingat keseluruhan penjelasan saya di masa lalu untuk kemudian mengulangi menjelaskannya kembali secara sistematik saat ini. Akan tetapi, karena kembali ditanyakan, saya akan berusaha menjelaskannya kembali sesuai dengan apa yang terlintas dalam pikiran saya, mohon maklum jika tidak tertib.
Benih mungil yang di lempar di padang ketiadaan
Semua institusi yang kita kelola pada hari ini, dapat diibaratkan seperti pohon besar yang tumbuh dari sebuah benih mungil yang dilempar di atas padang ketiadaan.
Ya, di masa dimana sebuah lilin dinyalakan di tengah kegelapan yang semakin pekat melingkupi – perlahan ia menyirnakan kegelapan pekat tersebut; ruang mungil yang dibangun, pelan-pelan ia menjadi sebuah rumah cahaya, lalu menjadi kompleks perumahan yang lebih besar; persis seperti karakter fitri sebuah sperma yang mengandung cahaya dari Baginda Nabi Shallallahu Alayhi Wasallam sebagai sebab pertama dari penciptaan dasar langit dan bumi, ia pun lewat perwalian Nuru Adzam melakukan hal yang kurang lebih sama.
Rasulullah membangunnya dari sebuah rumah
Jika kita melihat bagaimana Rasulullah SAW memulai usaha ini, beliau juga memulainya dari rumah-rumah ini. Ya, ketika Rasulullah SAW memulainya dengan sebuah rumah, maka bumi berubah menjadi masjid, dimana Mekkah menjadi mihrabnya, Madinah menjadi mimbarnya. Semua manusia di seluruh penjuru dunia, dari yang berumur tujuh hingga tujuh puluh tahun, dari laki-laki hingga perempuan, satu per satu menjadi santri yang juga jamaah dari masjid ini serta membenarkan pesan dari madrasah irsyad dan tablig ini. Yaitu usaha dakwah dan mematangkan jiwa manusia.
Para Pembaharu di setiap masa mengikuti jejak langkah Rasulullah
Di masa-masa setelah Rasulullah SAW berpulang ke rahmatullah, metode ini tetap diikuti. Misalnya, di masa dimana Bani Umayyah perlahan mengalami kemunduran, Sayyidina Umar bin Abdul Aziz r.a. bersama 3-5 orang di sekitarnya memulai usaha perbaikan dengan sejumput orang ini. Beliau memulainya dan dalam waktu yang amat singkat, yaitu dalam dua setengah tahun, beliau telah mencapai prestasi yang bahkan tidak akan mampu disamai oleh mereka yang bekerja selama seratus tahun. Beliau membangun usaha agungnya tersebut dari tempat yang kecil dengan dukungan sejumput orang-orang di sekitarnya saja. Kemunduran yang dimaksud disini adalah kemunduran di bidang keinsafan beragama.
Imam Ghazali juga mengikuti jalan yang sama. Ya, beliau juga bersama beberapa orang dari masyarakat yang dipanggilnya, menjelaskan falsafah khidmah kepada para manusia; beliau menunjukkan jalan ‘ihya’ ilmu-ilmu agama dan ketika beliau mengerahkan penanya untuk menulis ‘al Munqidhu minad Dhalal’ sebagai usaha dengan tujuan menghidupkan ilmu-ilmu agama tadi; Di sisi yang lain, dengan kitabnya yang berjudul ‘Ihya Ulumuddin’ beliau membakar suluh kebangkitan kehidupan Islami di kalbu kaum mukminin.
Sebenarnya, mulai dari masa dimana cahaya awal itu berpendar hingga masanya Imam Rabbani; dari masa beliau hingga ke masanya Sang Penderita Agung di masa kita ini, Bediuzzaman Said Nursi; Mereka yang berperan sebagai mursyid kepada umatnya Nabi Muhammad SAW di berbagai masa, sosok-sosok agung tersebut senantiasa mengikuti jalan yang sama.
Ya, alam semesta yang luar biasa ini; Sebagaimana sistem tata surya dan galaksi disusun oleh beragam atom berukuran mini. Demikian juga sebuah dakwah agung, ia dibangun dari usaha-usaha kecil tadi yang menggemakan[1] (pesan dakwahnya) ke setiap kalbu. (Atom-atom mini penyusun alam semesta tadi) Menjadi buku yang penuh makna, (ia) berisi berbagai macam galeri[2] (seni yang agung).
Isyarat halus dari Al Quran
Ketika pembahasannya sampai di masa kita ini; Cahaya yang terdapat di Surat An Nuur ~ yang berarti Cahaya;
ف۪ي بُيُوتٍ اَذِنَ اللّٰهُ اَنْ تُرْفَعَ وَيُذْكَرَ ف۪يهَا اسْمُهُۙ يُسَبِّحُ لَهُ ف۪يهَا بِالْغُدُوِّ وَالْاٰصَالِۙ ﴿٣٦﴾
Artinya: di rumah-rumah yang diberi izin oleh Allah buat ditinggikan dan disebut namaNya. Yaitu rumah-rumah yang disucikan namaNya di dalamnya, baik pagi atau petang (QS Nur:36).
Menurut saya, rumah-rumah cahaya ini memiliki korelasi dekat dengan ayat ini; rumah-rumah cahaya ini menunaikan tugas seperti menara masjid yang sekali lagi memperdengarkan apa makna dari potret seorang muslim.
Bukankah sosok yang berada di garda terdepan dalam pekerjaan ini ketika memperkenalkan dirinya berkata: ”Saya berada di ujung menara abad ke-13 H. Saya mengundang mereka yang secara tersurat seperti orang berpendidikan, tetapi secara tersirat adalah orang terbelakang untuk datang ke masjid.”
Sebenarnya ketika beliau menyampaikan hal tersebut, bukan berarti beliau benar-benar berdiri di atas menara lalu menutup telinganya (seperti bilal yang akan mengumandangkan azan) dengan jemarinya untuk berteriak. Akan tetapi, beliau, dengan menaranya di Barla, menara yang memanggul peran mulia – Pada hari ini pun ia masih tetap berdiri kokoh dengan segala wibawanya di sisi pohon Platanus orientalis – dari tempatnya beristirahat itu, beliau berusaha untuk memperdengarkan suaranya kepada umat manusia.
Tempatnya beristirahat tersebut, – menurutku – Darul Arqam, lalu kediaman mulianya Baginda Nabi SAW, rumah Imam Ghazali, rumah Imam Rabbani, dan rumah-rumah lainnya yang digunakan untuk tujuan yang sama, merupakan sebuah menara agung yang menjelaskan makna kecemerlangan dengan segala sisinya sebagaimana dijelaskan QS An Nur: 36 Yaitu di rumah-rumah yang diberi izin oleh Allah buat ditinggikan dan disebut namaNya. Yaitu rumah-rumah yang disucikan namaNya di dalamnya, baik pagi atau petang.
Karakteristik Rumah Cahaya
Rumah Cahaya ini memiliki karakteristik yang khas. Di sanalah tempat dimana kekosongan jiwa yang bisa muncul karena sisi manusiawi mereka diisi. Ia adalah tempat suci, dimana rencana dan proyek (kemanusiaan) diciptakan; tempat dimana tegangan metafisik terus-menerus dialirkan; tempat matangnya sosok-sosok beriman sekuat baja, berjiwa kokoh, dimana Ustadz menjelaskan mereka yang matang tersebut dengan kalimat: ‘mereka yang berhasil merengkuh iman yang hakiki, akan sanggup membaca semua kebutuhan dunia.’
Dan memang sekarang, penaklukkan dunia tak lagi dilakukan dengan berkuda seperti halnya berlaku di masa lalu; tak juga dengan pedang di tangan, belati di pinggang, ataupun busur panah di punggung; Sudah jelas bahwa di masa kini kalbu-kalbu manusia hanya bisa dimasuki dengan Al Quran di tangan kanan, dan logika di tangan kiri.
Demikianlah pemuda makna dan ruh matang di rumah cahaya. Merekalah yang akan memakmurkan jiwa-jiwa yang kosong dengan cahaya yang dianugerahkan Allah Subhanahu Wa Ta’ala kepadanya, di atas jalan menuju pembebasan di dalam makna dan di dalam jiwa. Jika demikian, rumah-rumah ini merupakan sebuah madrasah atau meja kerja, dimana generasi yang latah dengan godaan dunia yang memikat dan anak-anak yang kehilangan arah kemudian dimakmurkan dan dikembalikan ke akar makna dan jiwanya
Khususnya di masa dimana madrasah dan majelis zikir dilarang, apa yang diharapkan dari rumah-rumah tersebut adalah ditunaikannya misi mulia tersebut, yaitu untuk mengisi peran madrasah dan majelis zikir. Rumah-rumah ini mengajarkan ilmu agama dan ilmu pengetahuan positif kepada para penghuninya; Ini artinya, selain menjalankan tugas sebagai majelis zikir dan majelis taklim, ia juga menjalankan tugas sebagai madrasah.
Sebenarnya ayat Al Quran mengisyaratkan semua ini: Penggunaan kata بُيُوتٍ ‘Büyutün’ secara nakiroh (tidak spesifik), mengindikasikan bahwa kata ini dipakai untuk menjelaskan bahwa kata yang dimaksud adalah ‘sesuatu’ selain masjid. Yaitu, ia bukanlah musholla dan masjid dimana azan dikumandangkan lewat menara-menaranya sebagaimana yang kita ketahui; Ia adalah tempat yang tidak spesifik.
Rumah-rumah ini pun seiring berjalannya waktu juga tidak memiliki spesifikasi tertentu. Rumah-rumah ini tidak memiliki spesifikasi yang jelas, karena mereka yang keluar-masuk ke dalamnya senantiasa diawasi.
Walaupun demikian, ada satu yang spesifik dan jelas darinya, yaitu di masa dimana kesulitan menghimpit, rumah demi rumah yang dibuka telah berhasil mendapatkan kemuliaan dan anugerah di masa-masa sulit itu. Tanpa terpaku pada masalah yang sederhana dan sementara, pada masa dimana kumandang azan di menara-menara dan aktivitas mulia lainnya dibungkam, rumah mulia ini menjadi terpuji lewat izin tersirat Allah SWT:”Untuk saat ini biarlah NamaKu dipuji dan digaungkan di rumah-rumah ini”; ia adalah tempat luar biasa, dimana buku-buku dibaca dan kebenaran dikaji. Setelah ini, kajian-kajian tentang ruh beragama yang tadinya dilakukan di masjid, ia akan dilakukan di rumah-rumah ini. Dengan pertimbangan ini, rumah-rumah ini adalah tempat yang berkah, yang disebut sebagai “penerjemah wilayah hakikat yang agung”.
Karakteristik Pemuda yang Tinggal di Rumah Cahaya
Keadaan rumah-rumah ini senantiasa cocok dengan apa yang digambarkan Sayyidina Abu Bakar r.a.: “Ketika kita masuk rumah, kita tidak yakin apa masih bisa keluar. Demikian juga saat kita keluar rumah, kita tidak yakin apakah masih bisa masuk rumah lagi.“
Ya, adalah sebuah kemungkinan yang sangat terbuka bagi kita untuk ditangkap saat kita menuntut ilmu di dalam rumah; Demikian juga saat kita keluar rumah, juga sangat mungkin penghuni rumah-rumah ini untuk diculik oleh mobil tak dikenal. Oleh karena itu, Kita harus selalu berlindung kepada Allah SWT dengan berdoa: ”Tidak ada sekutu bagiMu, segala sesuatu ada dalam genggamanMu. Jika Engkau tidak mengizinkan, tidak ada satu keburukan pun yang dapat mencelakakan kami.“ Dengan doa tersebut, kita menyerahkan keamanan rumah ini dan penghuninya kepada penjagaannya Allah SWT.
Menyingkirkan semua ‘sekutu’, sepenuhnya berserah diri dan bertawakkal kepada Allah Subhanahu wa ta’ala, atau dalam istilah lainnya, duduk dan bangkit ‘bersama’ Allah Subhanahu wa ta’ala, adalah tabiat dari para penghuni rumah-rumah ini
Peran Wanita di Rumah Cahaya
Di sisi lain, ayatul karim ini menggambarkan bagaimana dakwah ini berjalan di masa-masa awalnya, dimana ketika itu hanya sedikit dari kaum wanita yang mengambil peran, atau dengan kaidah taglib[3] dalam bahasa Arab.
رِجَالٌۙ لَا تُلْه۪يهِمْ تِجَارَةٌ وَلَا بَيْعٌ عَنْ ذِكْرِ اللّٰهِ وَاِقَامِ الصَّلٰوةِ وَا۪يتَٓاءِ الزَّكٰوةِۙ يَخَافُونَ يَوْماً تَتَقَلَّبُ ف۪يهِ الْقُلُوبُ وَالْاَبْصَارُۙ ﴿٣٧﴾
QS Nur: 37 “Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingati Allah, dan (dari) mendirikan sembahyang, dan (dari) membayarkan zakat. Mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu)…” dimana dalam ayat ini seakan-akan hanya kaum lelaki saja yang dibahas. Akan tetapi, sebagaimana dikatakan sebelumnya, bahwasanya ayat ini dengan kaidah taglib juga mengisyaratkan kepada kaum wanita. Dengan demikian kata ‘rijalun’ juga bermakna ‘wanita yang tangguh seperti lelaki’. Yakni, ketika orang lain mengejar jabatan dan kebanggaan diri, tenggelam dengan penampilan jasmani, sibuk dengan anak-anaknya, sosok-sosok dalam ayat tadi terbang dengan keagungan yang digambarkan ayat tersebut; ia juga bermakna bahwa ada juga wanita-wanita dengan iradah kuat sekuat kaum lelaki sebagaimana dibahas dalam ayat tersebut.
Ya, pada masa permulaannya, bersama para pahlawan dari kaum lelaki seperti Sidik Sulaiman, Hulusi Efendi, dan Husrev Efendi, terdapat pula para pahlawan wanita yang kita kenal, walau jumlahnya sedikit. Mereka bagaikan berada di bawah bayangan Sayyidah Nasibah dan Sumaira yang juga turut terlibat dalam Perang Badar dan Uhud.
Ya, walaupun mereka wanita, mereka tidak ketinggalan dalam memanggul dakwah yang mulia ini. Pada hari ini pun, rumah-rumah cahaya bertindak sebagai tuan rumah bagi para pahlawan ini.
Peran yang dipikul Rumah Cahaya
Aku rasa, selama rumah cahaya ini dijalankan sesuai dengan tujuan pendiriannya, ia akan mencapai titik-titik yang tak mampu dicapai oleh tekke (majelis taklim) dan zawiyah (majelis zikir), dan di waktu yang sama ia akan menjadi sebaik madrasah dalam mencetak generasi (emas). Dari rumah-rumah ini akan lahir generasi seperti Abdul Qadir Jailani, Gelenbevi (Professor Matematika Usmani), Ali Kuscu (Ahli Astronomi), Molla Husrev (Syaikhul Islam), Molla Gurani (Guru Para Putra Mahkota Usmani), Ebu Suud (Syaikul Islam di zaman Kanuni Sultan Sulaiman), Ibrahim Hakki dari Erzurum.
Jika tidak, hafizanallah, bisa saja ia berubah menjadi gubuk miskin. Aku rasa, sebagian besar dari mereka yang memiliki perasaan dan pemikiran yang sama denganku, akan lebih memilih mati daripada harus menyaksikan keadaan rumah cahaya berubah menjadi gubuk-gubuk miskin.
Rumah – rumah yang memiliki peran dan tujuan seperti rumah Ibnu Arqam selalu dibuka di berbagai masa, di mulai dengan di masanya Baginda Nabi, pada hari ini pun ia masih melanjutkan tugas dan peranannya.
Rumah-rumah ini, di hari-hari dimana layar mulai terkembang untuk kebangkitan yang ketiga (Kebangkitan pertama adalah masa Sahabat. Kebangkitan kedua adalah masa Usmani, penerj.), ia akan menjadi tempat dimana generasi pembangkitnya dilengkapi dan disempurnakan, insya Allah..
Di satu masa, Tekke dan Zawiyah menjadi tempat yang sangat penting dalam menghasilkan generasi pembangkit. Lewat sosok-sosok bercahaya yang dihasilkannya, ia membangkitkan Anatolia. Dalam kriteria tertentu, lewat penunaian tugas dan fungsinya, ia juga menjadi sumber keberkahan bagi kita.
Dan kini, tidak hanya Anatolia. Bagaimana rumah-rumah ini sanggup mencetak pemuda ruh dan makna yang membangkitkan seluruh penjuru dunia, adalah sangat penting untuk menilai rumah-rumah ini memiliki (peranan yang ) setara dengan madrasah, tekke, dan zawiyah.
Para rijalullah yang dihasilkan dari rumah-rumah ini, sambil mempelajari semua aspek dari ilmu positif, dilengkapi dengan hadis, tafsir, fiqih, dan cabang ilmu Islam lainnya, mereka harus hidup dengan kehidupan ruh Islam yang amat luas, mereka harus menampilkan makna dan jiwa dari ruh para pendahulunya yang tak pernah lekang oleh waktu.
Jika tidak dilakukan, ia bagaikan pengkhianatan kepada rumah cahaya ini, kepada pemilik rumah ini (Bediuzzaman), kepada inspirasi rumah ini yaitu Arqam, dan kepada Sang pemberi arti, Baginda Muhammad Mustafa Shallallahu alayhi wa salllam.
Tamsil (perwakilan) dari ruh tersebut, sebagai bentuk dari kedalaman maknawinya, ia harus menunaikan shalat dengan amat dalam, kalau perlu ketika meletakkan kepalanya ke tanah ia sanggup mengatakan ‘Ya Allah, Andai Engkau tidak menakdirkanku untuk mengangkat kepalaku ini. Andai sujudku ini menjadi titik dimana aku kembali kepadaMu!’
Ia tidak akan mengalihkan pandangan matanya ke hal lain, ia berdiri dengan tulus di hadapan Ilahi, ia menutup dirinya untuk hal-hal yang tidak berfaedah, dan seakan ia sedang menyaksikan keindahan (jamal) nya Allah SWT di dalam surga, ia memasuki fase konsentrasi , mempertemukan tangan di atas lututnya, ia keluar dari ‘ana’ (saya) dan ‘nahnu’ (kami – kita), dan menjadi mata yang memandang ‘Huwa’ (Dia)
Ya, mengarahkan diri kepadaNya dengan kriteria ini…
Ya, bukan dengan pemikiran:’Azan sudah dikumandangkan. Aku masih perlu melakukan beberapa kegiatan. Kalau demikian biar aku selesaikan dengan cepat shalat ini.’
Melainkan: demi bisa berjalan menuju mikraj, seakan ia turun ke jalanan landai (menurun), ia melupakan dirinya, menuju serta mencapai fana fillah, baqa billah, menunaikan shalat dalam atmosfer kebersamaan denganNya, tanpa memikirkan diri sendiri…
Yakni, menuju Rabb sebagaimana Zübeyr Gündüzalp, Hüsrev Efendi meretakkan kalbunya. Dan dengan awradu azkar (wirid dan zikir), tasbihu takdis (tasbih), di bawah bimbingan cemerlang dari Al Quran, demi bisa mencapai Allah SWT, rumah-rumah cahaya ini dirubah menjadi pelabuhan dan galangan kapal yang tidak ada bandingannya.
Ya, jika rumah cahaya dijalankan seperti tadi, maka ufuk pun akan mencapai Allah SWT;
Tempat Menutrisi Generasi Pembawa Panji Kebenaran
Hari ini, mereka yang memiliki mimpi untuk membawa hakikat dan kebenaran ke tujuh benua, mereka wajib dinutrisi oleh rumah-rumah yang berperan bagai penghasil air susu ibu yang berkah.
Untuk mereka yang tinggal bertahun-tahun di tempat suci tersebut namun tetap tidak memahami Allah SWT, mereka yang tak mampu meraih kecintaan dan hasrat kepadaNya, mereka di satu kriteria merupakan orang-orang yang tidak beruntung dan menyedihkan.
Mereka yang memiliki keadaan demikian, mirip bayi yang berada dalam timangan ibunya, namun tak mampu meraih ASI dari ibunya. Mereka yang demikian, tidak mendapatkan keuntungan apapun, pun tidak akan mampu mengantarkan umat manusia menuju apapun.
Kesungguhan Dalam Mendirikan Shalat
Ketika sampai disini, izinkan aku menyampaikan isi hatiku. Ketika aku melihat orang yang sedang shalat, namun ia shalat sambil tengok kanan-kiri, aku merasakan, jika boleh dikatakan demikian, seakan kemuliaan Tuhanku sedang direndahkan. Saat itu aku bergumam:’Andai saja orang ini melemparkan sumpah serapahnya saja kepadaku, namun tak menengokkan matanya ke kanan dan ke kiri saat shalat.” Menurutku, sumpah serapah tersebut masih ringan dibandingkan shalat tanpa keseriusan seperti itu.
Ya, orang yang ketika menghadap kepada Allah melakukan gerakan seperti ini, aku secara pribadi menganggapnya sebagai sumpah serapah kepadaNya. Seandainya mereka menusuk jantungku saja, mungkin mereka akan menjadi pembunuh, tetapi aku akan berdoa:’Ya Allah, jika Engkau tidak memaafkan orang ini,–andai aku bisa – aku tidak ingin menghadap kepadaMu.‘
Seperti yang Anda saksikan, aku sangat terganggu oleh mereka yang tidak serius dalam shalatnya.
Tanpa doa dan shalat, atau menunaikan shalat tanpa ruhnya, tak mungkin seseorang bisa menjadi mukmin sejati. Allah SWT berfirman: ‘Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman. (Yaitu) orang-orang yang khusyuk dalam shalatnya (QS Al Mukminun : 1-2).
Shalatnya mereka yang tinggal di rumah-rumah suci tersebut, lebih penting daripada penakhlukkan dunia tanpa shalat. Dan memang, selama mereka tidak menjadikan shalat sebagai hal paling penting dalam kehidupannya, tidak mungkin dibayangkan mereka akan meraih kesuksesan.
Rumah Cahaya Dibuka Untuk Mengkompensasi Pekerjaan Yang Terabaikan
Kesimpulannya, untuk topik tadi, saya senantiasa merasa terluka. Rumah-rumah cahaya ini dibuka untuk mengkompensasi apa yang telah diabaikan oleh sejarah; barangkali aku tidak tahu seberapa tepatnya ia dijalankan sesuai dengan tujuan awalnya; namun, aku ingin tetap berhusnuzan sambil berkata:’teman-teman pasti menunaikan haknya rumah-rumah cahaya ini’
Jangan lupakan semua umat yang sedang dan akan berada dalam kehancuran dunia, mereka sedang menunggu pemuda irsyad yang matang di rumah-rumah ini untuk membangkitkan mereka. Dan demikian ia dipahami, bahwasanya fungsi dari rumah-rumah ini tidak akan pernah selesai
Jika demikian, maka demi Allah, datanglah, tunaikanlah shalat dengan haknya, berpuasalah; Dan tunaikanlah shalat dan puasa dengan sebaik-baiknya, sehingga malaikat yang sedari ia diciptakan tak pernah bangkit dari rukuknya pun akan berkata:’Luar biasa! ternyata ada yang menunaikan shalat lebih baik lagi.’ Demikian baiknya kita melebur ke dalam zikir dan fikir, para penghuni langit yang menyaksikan kita pun akan berkata:’merekalah yang akan membangkitkan dunia!’
Sebagai manusia yang beruntung, atau sebagai hamba Allah, mari kita manfaatkan rumah-rumah – keran air susu ibu – yang diliputi berkah tersebut dengan maksimal. Jangan sia-siakan waktu kita dengan canda tawa seperti orang-orang bodoh, atau dengan kata-kata yang tak bermakna, yang tak memberikan manfaat dunia dan akhirat. Marilah kita jadikan rumah-rumah cahaya ini sebagai sumber cahaya yang akan menerangi seluruh dunia.
Semoga Allah menjadi Penolong bagi kita semua! Amin
[1] Menggemakan: menjadikan bergema; gema: bunyi atau suara yang memantul; kumandang; gaung; memantul bergerak balik karena membentur sesuatu atau karena refleksi (KBBI)
[2] Galeri: ruangan atau gedung tempat memamerkan benda atau karya seni dan sebagainya (KBBI)
[3] Taglib : disebabkan suatu hubungan, suatu kata digunakan untuk makna lainnya dengan mengambil makna dari kata tersebut. Misalnya, untuk kata ayah yang berhubungan dengan ibu selaku orang tua, digunakan kata abawayn