Menjelang akhir tahun, saya mengajak keluarga untuk rekreasi. Mumpung liburan, kami ingin menikmati udara segar tanpa polusi. Duduk santai sambil berteduh di bawah pohon nan rindang. Karena udara di Jakarta yang panas, membuat kami mencari tempat yang sejuk dan dingin.
Kami memutuskan untuk pergi ke tempat wisata alam. Daerah pegunungan, hutan, atau taman perkebunan menjadi pilihan. Namun, dari rumah kami yang di pinggiran Jakarta, tak ada banyak pilihan. Berdasarkan info yang kami peroleh, ada sebuah tempat wisata keluarga yang baru saja dibuka. Lokasinya tidak terlalu jauh dari rumah kami. Berada di perbatasan kota Depok dan Bogor.Â
Kami lihat lokasinya di google. Gambar-gambarnya sangat meyakinkan. Tempatnya sesuai dengan yang kami inginkan. Asri, hijau, sejuk, dan menyegarkan. Ada jejeran pohon rindang, hamparan rerumputan luas, danau dengan sepeda bebek di atasnya, dan kolam renang untuk anak-anak.
Terlintas di benak suasana tenang yang menentramkan. Gemericik air, semilir angin, dan cicitan burung kecil nan merdu terngiang di kepala. Saya membayangkannya sambil menyiapkan buku untuk dibaca. “Ini tempat yang tepat untuk membaca, merenung dan merefleksikan diri di akhir tahun,” pikirku.
Esok harinya, kami berangkat agak sedikit siang. Kami berpikir tempatnya akan sepi. Belum banyak orang yang tahu tempat ini, karena tempatnya masih baru. Ternyata kami salah. Setibanya di lokasi, kami dikagetkan dengan ramainya tempat parkiran. Orang-orang berlalu-lalang memadati jalan menuju lokasi wisata. Antrian loket tiket pun terpantau mengular panjang.
Kami beruntung masih bisa mendapat tiket dan masuk ke dalam. Di dalam, semua sudut sudah dipenuhi orang-orang. Ada yang sedang makan bersama, bernyanyi bersama, dan bersenda gurau santai bersama keluarga. Kami kesulitan untuk sekedar mencari tempat duduk yang nyaman dan sedikit tenang.
Terlintas dalam pikiran, “Buyar sudah semua bayangan lokasi wisata yang menyegarkan, buyar sudah rencana membaca buku dengan tenang.” Dengan jumlah pengunjung sebanyak itu, suasana menjadi lebih seperti pasar daripada tempat wisata. Pergerakan menjadi sangat terbatas. Perlu mengantri dan menunggu lama untuk bermain di setiap wahana yang tersedia.
“Senyumin aja, nikmati aja, syukuri aja” itu yang terbesit di benakku. Kebetulan saya sedang membaca buku tentang stoikisme, sebuah filosofi Yunani kuno yang mengajarkan kita untuk mengendalikan diri. Dalam prinsip stoikisme dikatakan bahwa ada hal-hal yang bisa kita kendalikan dan ada yang tidak.
Jika kita ingin hidup bahagia, maka kita seharusnya fokus kepada hal-hal yang bisa kita kendalikan. Bagian utama yang bisa kita kendalikan adalah pikiran kita. Kita bisa mengendalikannya ke arah baik dan positif. Ini yang saya artikan The power of positive or good thinking.
Ramainya suasana di lokasi wisata tidak bisa saya kendalikan. Yang bisa saya kendalikan adalah bagaimana saya bisa berpikir positif, mencoba mengendalikan pikiran dan menikmati kondisi itu. Daripada mengeluh dengan ramainya suasana, lebih baik keliling mencari wahana yang bisa dinikmati.Â
Itu yang saya lakukan. Membawa anak-anak keliling sambil melihat-lihat wahana yang ada. Benar saja, ternyata kami menikmatinya, ternyata suasana tak ideal ini bisa menyenangkan juga. Berbagai wahana kami coba. Tak terasa, kami bermain sampai sore hari tiba. Kami pun harus pulang walau masih ingin bermain lama lagi. Meskipun singkat, liburan ini sudah cukup membawa kebahagian bagi kami sekeluarga.
Begitulah caranya kita menikmati kehidupan. Selalu melihat apapun dari sisi baiknya, sisi positifnya. Selalu memfokuskan kepada yang bisa kita kendalikan. Selalu hidup dengan menghilangkan aura negatif dalam pikiran kita. Dengan ini, hidup kita akan menjadi lebih produktif, lebih bermakna, dan lebih bermanfaat.
Bukankah seharusnya hidup kita seperti itu? Liburan akhir tahun ini sejatinya memang bisa dijadikan sebagai momentum. Momentum kita untuk berpikir seperti para stoa (penganut filosofi stoikisme). Sebelum kita memasuki tahun yang baru, mari kita renungi sejenak kehidupan kita pada tahun lalu! Apakah kita sudah cukup bahagia? Atau kita selalu hidup dalam kecemasan?
Dalam agama, kita juga diajarkan untuk berpikir positif, agar tidak selalu cemas. Caranya dengan memperbanyak bersyukur. Jika kita bersyukur, maka hidup kita akan bahagia, apapun keadaannya, apapun kondisinya. Syukur adalah bagian penting dalam penghambaan kita kepada Tuhan. Tanpa adanya syukur, kita tak akan memahami betapa besar nikmat Tuhan yang telah dicurahkan kepada kita.
Ustad Badiuzzaman Said Nursi dalam salah satu koleksi bukunya Risalah Nur menjelaskan pentingnya bersyukur. “Zikir, Syukur, dan Fikir” katanya. Di awal “Basmallah” sebagai zikir. Di akhir “Hamdallah” sebagai syukur. Di tengah-tengah adalah memikirkan asma-asma Tuhan melalui segala nikmat yang diberikan-Nya.
Ustad Badiuzzaman Said Nursi menjelaskan hal ini pada bab pertama kitab pertama koleksi Risalah Nur. Pada bab awal ini, sebenarnya beliau mengangkat pembahasan tentang Basmallah. Basmallah adalah awal dari setiap perbuatan baik. Semua perbuatan yang dimulai dengan Basmallah, pasti akan mendapatkan hasil yang baik. Basmallah memiliki kaitan erat dengan bersyukur.
Ya, di awal tahun sudah semestinya kita membuka lagi lembaran baru kehidupan dengan penuh rasa syukur, dengan ucapan Basmallah. Basmallah bukan hanya dilapalkan, tetapi diarungi makna di dalamnya. Di dalamnya kita akan memahami pentingnya bersyukur. Dengan syukur hidup kita akan aman, tentram, dan penuh kedamaian.