Karya Pembaca
DELINKUENSI REMAJA, TANGGUNG JAWAB SIAPA?

DELINKUENSI REMAJA, TANGGUNG JAWAB SIAPA?

Bagi pembaca berusia 40 hingga 60 tahun, besar kemungkinan memiliki anak remaja. Kadang kita terkaget-kaget dengan kenakalan remaja zaman ini, yang tak pernah terbayangkan oleh generasi yang lahir 40 atau 60 tahun lalu. Jika anak kecil berbuat nakal, sejatinya mereka hanya memiliki banyak akal. Namun, kenakalan remaja berbeda karena berdampak tidak hanya pada dirinya, tetapi juga pada lingkungan sekitar.

Sering kali, kita terjebak dalam pikiran negatif yang menghakimi kenakalan remaja hanya pada individunya, seolah merekalah satu-satunya yang paling bertanggung jawab atas segala kekacauan. Namun, apakah benar demikian? Apakah remaja yang bangga menjadi begal atau merasa keren dengan kenakalannya harus memikul tanggung jawab sendirian?

Pemuda dan Potensinya

Menurut World Health Organization (WHO), remaja adalah mereka yang berusia 10 hingga 19 tahun. Sementara itu, Peraturan Kesehatan RI Nomor 25 Tahun 2014 mendefinisikan remaja dalam rentang usia 10-18 tahun, sedangkan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana (BKKBN) menetapkan rentang usia remaja adalah 10-24 tahun bagi yang belum menikah. Kementerian Pemuda dan Olahraga menetapkan rentang yang lebih panjang, yakni 16 hingga 30 tahun. Dalam Islam, usia 15 tahun bagi laki-laki dan 9 tahun bagi perempuan menandai jatuhnya kewajiban syariat, meski belum menunjukkan tanda-tanda baligh.

Bung Karno pernah menyampaikan, “Beri aku 1.000 orang tua, niscaya akan kucabut Semeru dari akarnya. Beri aku 10 pemuda, niscaya akan kuguncang dunia.” Meski terkesan hiperbolik, pernyataan ini mengandung pesan bahwa masa depan bangsa bergantung pada pemudanya. Dengan makna serupa, Sayidina Ali juga berkata, “Pemuda hari ini adalah pemimpin masa depan.”

Jika kita melihat sejarah, banyak pemuda yang berperan penting dalam memajukan peradaban. Sultan Muhammad al-Fatih, misalnya, naik tahta pada usia 12 tahun dan pada usia 21 tahun berhasil menaklukkan Konstantinopel. Lalu ada Abdurrahman Ad-Dakhil yang menjadikan Andalusia sebagai pusat peradaban dunia di masa remajanya. Salahuddin al-Ayubi pun dikenal sebagai pemimpin muda yang berhasil menyatukan umat Islam, menghidupkan semangat persatuan dan perjuangan di kalangan umat.

Nama-nama pemuda seperti mereka bersinar di zamannya, tidak hanya menerangi satu sudut kecil peradaban, tetapi menyinari setiap sisi dari bangunan besar peradaban. Dari sejarah ini, kita bisa melihat sulitnya menemukan delinkuensi atau kenakalan remaja dalam setiap episode kehidupan mereka. Apakah cahaya serupa bisa bersinar dari remaja yang nakal di abad ini?

Peran Sentral Pendidikan

Jika remaja adalah mereka yang berusia 12 hingga 30 tahun, maka sebagian besar dari mereka masih berada dalam usia belajar. Faktanya, banyak remaja yang melakukan kenakalan adalah mereka yang masih duduk di bangku sekolah. Karena itu, menghakimi individu atau menumpuk tanggung jawab hanya pada pelaku kenakalan menjadi kurang bijak.

Jika pendidikan berjalan pada haluan yang benar, cerita kenakalan remaja seharusnya tak perlu terjadi. Pendidikan seharusnya mampu melahirkan insan kamil, manusia sejati dengan jiwa kemanusiaan. Mari kita bebaskan diri dari prasangka dan sikap menghakimi. Kita perlu menyadari bahwa selalu ada tanggung jawab kita dalam kekacauan yang dilakukan orang lain, karena sejatinya kita terikat dalam berbagai ikatan: Unity of God, Unity of Cosmos, Unity of Ecosystem, Unity of Mankind, Unity of People, Unity of Family, hingga ikatan terkecil yaitu Unity of Self.

Jauh sebelum ini, Ki Hajar Dewantara mengajarkan bahwa pendidikan adalah tanggung jawab bersama dengan konsep tripusat pendidikan: Lembaga pendidikan, orang tua, dan masyarakat. Lalu, bagaimana peran ketiga elemen ini?

Peran Lembaga Pendidikan

KH Imam Zarkasih pernah memberikan nasihat kuat, “Metode lebih penting daripada materi (bahan ajar),” yang kemudian ditambahkan oleh KH Hasan Abdullah Sahal, “Guru lebih penting dari metode, dan yang terpenting dari segalanya adalah jiwa sang guru.” Nasihat ini tepat, mengingat peran sentral pendidikan dipegang oleh guru. Sayangnya, masih banyak guru yang tak sadar akan besarnya peran mereka sehingga hanya mencukupkan diri pada proses transfer pengetahuan.

Muhammad Fethullah Gulen, tokoh asal Turki yang fokus pada pembinaan generasi muda, merumuskan kriteria guru ideal yang mampu menempati hati siswanya. Menurutnya, guru adalah generasi Rabbani, penerus tugas mulia para Nabi. Mereka konsisten dalam kebenaran dan menghidupkan nilai-nilai luhur. Mengajar adalah tugas besar yang tak dapat dipikul oleh mereka yang terjerat urusan duniawi.

Guru adalah rajul al-Qolb (kesatria hati), yang berpikir, melihat, dan bertindak dengan komponen hati. Kehadirannya adalah rahmat; kata-katanya menyejukkan. Ia mengajarkan rahasia penciptaan dari dalam diri manusia, menunjukkan tujuan hakiki dari penciptaan. Cita-cita tertinggi dari guru Rabbani adalah menghantarkan setiap jiwa menuju keabadian, menghadirkan hikmah dalam jiwa manusia, dan menuntun setiap insan mendekat kepada Tuhan.

Guru adalah arsitek rohani yang mendesain masa depan murid dengan teliti, sosok yang menginspirasi hingga ke dalam relung hati. Ia adalah pribadi yang tak segan menggenggam tangan generasi muda, bagaikan tukang kebun yang menanam benih-benih kemanusiaan sejati. Guru adalah pemandu berpengalaman yang membantu peserta didik keluar dari jalan panjang yang membingungkan. Mereka menghidupi anak didiknya tanpa mengharap pamrih, karena mereka tahu:

“Kita adalah hasil dari apa yang telah ditanam oleh para pendahulu; sementara generasi sesudah kita kelak adalah buah dari jerih payah kita saat ini.”

Referensi

Majalah Mata Air Anakku Banyak (N)Akal vol. 6 No 22

Dina Rahmawati, (2021).  Memahami Pengertian Remaja dan Perkembangannya, SehatQ. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. https://www.sehatq.com/artikel/memahami-pengertian-remaja-dan-tahap-perkembangannya. Di akses pada Kamis, 18 Juli 2023. Pukul 13.42

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2009 tentang Kepemudaan pasal 1 ayat 1

Salim Bin Sumair Al Hadhrami, Safinatun Najah, (Lebanon: Darul Minhaj, 2009) hal. 17

Nur Dinah Fauziah , Muhammad Mujtaba Mitra Zuana. Jurnal Syariah dan Hukum Islam Al-Adalah, Peradaban Islam di Andalusia. Vol.1,No.1, Maret 2016- hal 80-91

AM Ash-Shallabi , Salahuddin al-Ayubi: Pahlawan Islam Pembebas Baitul Maqdis. (Kairo: Darul Ibnu Jauzi. 2007) hal.303

Syair bijak di atas, dipopulerkan pertama kali oleh K.H Imam Zarkasih yang pada awalnya hanya sebatas “ At-thariqah ahammu mina-l-maddah” lalu kemudian dilanjutkan oleh K.H. Hasan Abdullah Sahal sehingga menjadi kata mutiara yang seperti di atas. Lihat Binhadjid : Pondok Moderen Gontor “Interpretasi Makna Atariqoh Ahammu Minal Maadah” https://gontor.ac.id/interpretasi-makna-at-toriqoh-ahammu-min-al-maddah/ (dilihat pada Rabu, 28 Juni 2023. Pukul 22.43

Rabbani secara bahasa berarti orang yang memiliki sifat yang sangat sesuai dengan apa yang Allah harapkan. Secara istilah Ali bin Abi Thalib ra., mendefinisikan “rabbani” sebagai: Generasi yang memberikan santapan rohani bagi manusia dengan ilmu (hikmah) dan mendidik mereka atas dasar ilmu. Sementara Ibnu Abbas ra. Dan Ibnu Zubair ra. mengatakan: Rabbaniyun adalah orang yang berilmu dan mengajarkan ilmunya

Fethullah Gulen, Generasi Rabbani, Para Arsitek Rohani. Majalah Mata Air, Vol. 6 No. 21 Tahun 2019, hlm 4

Kata mutiara ini dikutip dari buku M. Fethullah Gulen, Dari Benih ke Pohon Cedar, (Jakarta: Republika Penerbit, 2018), hlm 1. Buku ini merupakan terjemahan dari Cekirdekten Cinara (Bir Baska Acidan Aile Egitimi), Izmir: Nil Yayinlari, 2002

 Lihat Majalah Mata Air, pada artikel berjudul Rasa Tanggung Jawab. 

Lihat Majalah Mata Air, Pada artikel Bagaimana Mau Tak Peduli

Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *