Mutiara HatiNutrisi AkhlakSeri Ramadhan

Hak Orang Tua dan Hak Dakwah

Tanya: Bagaimana harusnya bersikap kepada kedua orang tua yang tidak menginginkan kita aktif dalam usaha dakwah?

Jawab: Terkait kebutuhan akan pengembangan Islam, setiap masa memiliki prioritasnya masing-masing. Misalnya di masa Dinasti Umayyah, Abbasiyah, dan Usmani. Karena di masa itu hal-hal seperti menguasai ilmu pedang, memelihara kuda perang, dan memiliki niat untuk bergabung dalam jihad adalah hal-hal yang sangat penting, maka semua orang yang hidup di masa tersebut mengetahui bahwa jenis jihad tersebut adalah tugas tersuci. Di samping periode tersebut, juga terdapat periode dimana sosok-sosok seperti Mus’ab bin Umair dan Khabbab bin Arats tumbuh di masa awal penyebaran Islam. Di masa itu misalnya, tidak diketahui adanya pedang maupun kuda yang dipelihara. Sebaliknya, di masa tersebut para pahlawan cinta menyebar ke seluruh penjuru bumi dengan membawa bukti-bukti Al-Quran yang cemerlang layaknya permata. Mereka berperangai lembut dan siap menyingkirkan kerasnya hati dan batunya pikiran di kepala lawan bicaranya. Demikianlah, Khabbab melunakkan hati Mus’ab. Demikian juga Mus’ab menakhlukkan hati tujuh puluh orang dalam setahun dakwahnya di Madinah. Mus’ab bin Umair memberi pelajaran kepada masyarakat Madinah sama persis dengan pelajaran-pelajaran yang diterima dari gurunya, yaitu Sayyidina Khabbab bin Arats yang notabene adalah seorang budak. Demikianlah jihad dilaksanakan di masa itu. Akan tetapi, di hari Uhud Baginda Nabi SAW menginginkan hal lain dari Mus’ab. Masa ketika Sayyidina Mus’ab jatuh syahid di tangan orang-orang kafir, dimana terdapat pedang yang disarungi baju lamanya dan  jubah Rasulullah juga menempel di punggungnya, secara deretan kejadian menunjukkan kondisi yang berbeda. Di hari Uhud, tugas baru yang diemban Sayyidina Mus’ab tersebut secara kebutuhan mendapat prioritas utama. Saya tidak berpikir telah menggambarkan bahasan-bahasan ini untuk menggelorakan emosi dan membangkitkan gairah Anda.  Maksud dari saya menjelaskan bahasan ini adalah untuk menyampaikan bahwasanya di setiap masa terdapat perbedaan pada hal mana yang lebih menjadi prioritas.

***

Di masa kita saat ini, demikian urgennya pekerjaan irsyad dan tabligh untuk menjadi prioritas, tetapi di waktu yang sama menakhlukkan Jerman dengan tank dan membawa semua teknologi industri Jerman ke negeri kita tidaklah lebih utama dibandingkan mengenalkan Allah SWT kepada lima puluh masyarakat Jerman. Membujuk Rusia agar meletakkan hulu ledak nuklirnya di negeri kita tidaklah lebih penting dibandingkan dengan mengenalkan Allah kepada lima puluh warga Rusia. Demikian juga dengan Amerika, membawa semua sistem dan kemajuan di Amerika ke negeri kita tidaklah lebih penting dibandingkan dengan menjelaskan apa itu muslim kepada sepuluh orang negro di sana.

Pada hari ini, disebabkan urgensinyalah irsyad akhirnya sampai pada posisi dimana ia menjadi tugas terpenting yang layak mendapatkan aplaus dari para penghuni langit. Oleh sebab itu, menggeser perhatian masyarakat yang sedang bersemangat dengan Islam ke masalah-masalah materi dan politik, artinya mengeluarkan perhatian masyarakat tersebut dari posisi seharusnya. Hal tersebut adalah salah satu dari banyak kekhawatiran-kekhawatiranku. Kelompok-kelompok yang meyakini segala permasalahan dapat dicarikan solusinya di tingkat parlementer, mereka terhitung sebagai sosok-sosok yang mengeluarkan permasalahan inti dari posisi seharusnya. Tentu saja sebagai sebuah realita jalan parlementer juga perlu digarap. Akan tetapi, apabila masalah amar makruf nahi munkar tidak ditujukan kepada pondasi dasarnya, di waktu yang dekat mereka, termasuk juga para politisi, akan menemui jalan buntu yang akan sangat mengejutkannya. Semoga Allah tidak menunjukkan hari itu kepada kita! Kita harus menggunakan semua upaya yang bisa kita lakukan. Atas inayat Ilahi, kita tidak boleh meninggalkan lahan irsyad dan tabligh kosong  begitu saja.

Di masa ini, kita memiliki putra dan putri yang melakukan pekerjaan irsyad serta tabligh layaknya Sayyidina Sa’ad bin Abi Waqqash dan  Mus’ab bin Umair.  Sayyidina Mus’ab bin Umair, sosok dimana pemuda dan pemudi kita mengambil inspirasi darinya, setelah tinggal di Mekkah selama 4-5 tahun lamanya kemudian pertama-tama ia hijrah ke Ethiopia sebelum akhirnya melanjutkan hijrahnya ke Madinah. Hanya Allah yang mengetahui betapa besar ujian yang diberikan pihak keluarga kepadanya. Anak yang memiliki keindahan surgawi ini telah menerima Islam saat usianya baru menginjak 15-16 tahun. Ia mengerahkan semua upayanya untuk tidak menyakiti hati ibunya. Di waktu yang sama, ia tidak sesaat pun berpaling dari sisi Baginda Nabi SAW. Sa’ad bin Abi Waqqash adalah putra dari pamannya Baginda Nabi. Ia masuk ke naungan Islam di usia 18 tahun. Di umurnya yang masih belia tersebut, ia telah menunjukkan loyalitasnya kepada Baginda Nabi. Ia menjelaskan sendiri keadaannya:

“Di suatu malam di Mekkah, saya keluar untuk untuk melakukan hadats kecil. Karena lapar, mata saya tidak dapat melihat dengan jelas. Dari suara air saya memahami bahwa ia telah mengenai sesuatu yang keras. Saya berusaha merabanya dan tangan saya berhasil menemukan sepotong kulit. Dengan hati bahagia aku membawanya pulang. Aku membersihkan dan memasaknya. Aku menikmati kuah sup dari rebusan kulit tersebut selama tiga hari. Dengannya aku mengatasi laparku dalam beberapa hari.”[1] Sayyidina Sa’ad bin Abi Waqqash yang telah melewati beragam kesulitan hidup seperti kisah tersebut kemudian berkata: ”Suatu hari Ibuku datang menemuiku dan berkata: ’Saya bersumpah tidak akan makan apapun dan tidak akan berpindah dari bawah terik matahari sampai engkau berpaling dari jalanmu itu!’ Tiga hari berturut-turut ibuku benar-benar melaksanakan sumpahnya. Ketika ia mulai pingsan di hari ketiga, aku segera menemui Baginda Nabi dan menjelaskan keadaannya. Ayat kemudian turun: ’Dan kami wajibkan kepada manusia agar berbuat kebaikan kepada kedua orang tuanya….’[2][3]

   Di masa itu, sensitivitas di sisi tersebut memang dibutuhkan.  Segala upaya dilakukan untuk tidak menyakiti hati ayah dan ibu yang masih musyrik, tetapi di waktu yang sama kegiatan untuk berdakwah tidak pernah kendur. Hari ini kita hidup di masa dimana segala beban dakwah berada di pundak kita, baik laki-laki maupun perempuan. Semoga Allah SWT mengokohkan generasi ini! Akan tetapi, jangan sampai masalah ini jadi sebab kita menyakiti perasaan kedua orang tua kita. Kita tidak boleh lupa, walaupun misalnya mereka musyrik sekalipun, Al Quran memerintahkan kita untuk menghormati mereka: “…pergaulilah keduanya di dunia dengan baik…”[4]

Tugas dasar kita kepada orang tua adalah sensitif dalam mentaati keduanya serta selalu  memasang wajah penuh senyuman saat berinteraksi dengan mereka. Secara fitrah dan karena kasih sayangnya, tidak ada satu ibupun yang rela hidup berjauhan dengan anaknya, walaupun untuk alasan dakwah. Akan tetapi, jika terdapat ladang dakwah yang membutuhkan pengorbanan dimana di sana dibutuhkan sumber daya manusia untuk mengelola progam-program dakwah, maka dia harus tetap berdiri teguh di sana. Jika tidak berdiri teguh, kegoyahannya tersebut dapat dianggap pengkhianatan kepada dakwah dan teman-teman seperjuangannya. Orang-orang yang berada pada posisi harus memilih salah satu di antara dua pilihan ini harus memohon rida ibunya seraya mencium tangan dan kaki ibunya. Ia harus menumpahkan air matanya dan berkata:”Aku mencium kaki ibu dengan penuh rasa bangga. Karena Baginda Nabi bersabda ‘surga ada di bawah telapak kaki ibu.’[5] Namun, insya Allah aku akan menjadi anak yang membanggakanmu di akhirat dan di hadapan Baginda Nabi SAW,” untuk meyakinkan ibunya. Karena hak terbesar yang harus kita penuhi setelah hak Allah adalah hak orang tua. Dalam Al Qur’an tertera peringatan:”…jangan menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada ibu bapak…”[6] Saya secara pribadi senantiasa gemetar bila mengingat peringatan yang terdapat pada ayat ini.

***

Terkait topik pembahasan, saya hendak menceritakan peristiwa yang terjadi pada diri saya. Saya tidak ingat pernah menyakiti hati ayah saya. Saya hendak menceritakannya sebagai bentuk dari tahdis nikmat: Saya dapat bersumpah bahwa saya tidak pernah menginjak bahkan bayangan dari ayah saya. Ketika berjalan bersamanya, saya selalu berusaha berjalan di belakang bayangannya. Ayah saya adalah sosok yang sangat bersih. Beliau juga merupakan guru bahasa Arab saya. Namun salah satu keputusannya pernah membuatku berkata:”Ayah, permasalahan rumit seperti petualangan yang jatuh kepada saya ini hampir saja membuat ibu dan saudara-saudara lainnya menangis!”. Beliau ketika itu pergi ke tempat yang tidak disukai keluargaku dan ketika perjalanan pulang, beliau terjatuh tepat di atas rel kereta. Namun suratan takdir berkata bahwa kereta tidak melindasnya. Hanya sebagian pakaiannya saja yang tersobek. Ayah dengan nada protes dan marah berkata kepadaku:”Ayah seperti apa yang kau inginkan?”

Jika mengingat peristiwa tersebut, hatiku gemetar terguncang oleh kekhawatiran bagaimana aku mempertanggungjawabkannya di akhirat nanti. Hari itu duniaku runtuh. Demikian dahsyat efeknya, aku sampai tidak ingat pada tungku yang kubakar.  Tungku yang terbakar menjalarkan api ke sekelilingnya. Muncul kobaran api kecil di kamarku. Aku benar-benar terguncang.

Ya, hak ayah dan ibu amatlah besar. Aku tidak bisa memaafkan diriku walau masalah tersebut sepertinya remeh. Bagaimana bisa aku jadi pemicu bagi ayahku yang merupakan seorang religius meluapkan kemarahannya? Aku masih merasakan penyesalan di lubuk hatiku yang paling dalam. Namun, di akhir kehidupannya, beliau menyatakan kebanggaannya kepadaku. Hari-hari terakhir dalam kehidupannya jatuh pada hari kamis pertama di bulan Ramadhan. Aku berkata kepadanya:”Jika ayahanda mengizinkan aku akan berangkat ke Manisa, tempat dinasku yang baru.” Wajahnya menatapku dengan menyiratkan ketidakridaan, tetapi di akhir beliau berkata:”Pergilah anakku! Disini engkau hanya ditunggu oleh empat mata, tetapi di sana engkau telah ditunggu oleh ribuan mata. Ya, beliau meridai dan bangga padaku, tetapi aku tetap tidak bisa memaafkan kesalahanku.

***

Terkait muamalah kepada kedua orang tua, lebih sensitif dan berhati-hatilah, khususnya jika keduanya juga sensitif dalam menjaga wudu dan waktu salat. Jika kalian menginginkan umur yang berkah, ingin istikamah dan kokoh dalam ketakwaan, serta menginginkan wajah bercahaya saat menghadap ke haribaan Ilahi, jangan pernah goyah dalam menghargai kedua orang tuamu. Seorang manusia tidak memiliki hak untuk menentang dan berbuat tidak adil kepada kedua orang tuanya. Memangnya hak apa yang layak dituntut oleh seorang anak kepada kedua orang tuanya? Terkait masalah ini, al Quran sangat tegas dalam menunjukkan sikapnya. Sang Penyusun Gagasan Abad ini dalam menjelaskan masalah ini berkata:”Mereka yang menentang kedua orang tuanya adalah monster yang merusak manusia”[7]

______________________

[1] Abu Nuaim, Hilyatul Auliya, 1/93

[2] QS Al Ankabut 29:8

[3] Wahidi, Asbabun Nuzul, hlm. 341

[4] QS Lukman 31:15

[5] Al Qudai, Musnadus Syihab, 1:102

[6] QS al Isra 17:23

[7] Bediuzzaman Said Nursi, al Kalimat, kata ke-32

Leave a reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You may also like

More in Mutiara Hati