Menjadi Pembaca yang Benar
Tanya: Di seluruh penjuru dunia, perhatian kepada gerakan sukarela ini semakin bertambah dari hari ke hari. Untuk itu, apa saja yang perlu dijadikan prioritas agar kesempatan ini tidak sia-sia dan lawan bicara kita dapat memperoleh kebahagiaan di dunia dan akhirat?
Jawab: Pertumbuhan atensi secepat deret geometri[1] kepada gerakan sukarela benar-benar terjadi akhir-akhir ini. Teman-teman kita telah tersebar hingga ke 150-160 negara. Seakan-akan tidak lagi tersisa tempat dimana Anda tidak menghembuskan nafas dan memperdengarkan pesan-pesan Anda. Sebagai bentuk tahadduts ni’mah[2], dapat dikatakan bahwasanya kita menerima anugerah yang dulu pernah diberikan Allah kepada para sahabat. Tentu saja apa yang tergambar disini semata-mata merupakan anugerah dan kebaikan yang berasal dari Allah SWT. Kita tidak tahu apa sebab dari segala macam anugerah dan kebaikan ini. Insya Allah anugerah ini bukanlah istidraj[3]. Semoga bukan istidraj dan semoga segala anugerah ini tidak menjadikan kita bangga diri.
Semangat Mobilisasi yang Baru
Jika pertumbuhan atensi yang seperti deret geometri ini hanya dibarengi oleh pertumbuhan kualitas dan kuantitias setara deret aritmetika dari orang-orang yang akan melakukan pendampingan dan bimbingan, maka sumber daya manusia yang ada harus kembali dibakar semangatnya dengan api yang pernah membara di dada teman-teman kalian yang dulu amat bersemangat dan bergairah untuk meraih pahala hijrah di tahun 90an.
Firman Allah di dalam Al Quran berikut ini menunjukkan target tersebut.
وَالَّذِينَ هَاجَرُوا وَجَاهَدُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ
Artinya:
…dan orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah… (QS al Baqarag 2:218)
Maksudnya, seorang manusia dengan berhijrah ia dapat meraih derajat mulia di sisi Allah. Selain itu, di tempat tujuan hijrah, mereka berjuang untuk meruntuhkan tembok yang menghalangi manusia dari mengenal Allah. Perjuangan mereka dilatarbelakangi oleh semangat bahwasanya apa yang mereka lakukan itu semata-mata merupakan penunaian kewajiban yang diemban oleh mereka yang berhijrah. Untuk itu, agar dapat mengimbangi pertumbuhan geometrik atensi masyarakat kepada gerakan sukarela ini, usaha untuk melejitkan manusia ke dalam kehidupan kalbu dan ruh, menjauhkan manusia dari jasmaninya, serta mengeluarkan manusia dari kebutuhan hewaninya untuk kemudian memasukkan mereka ke dalam orbit kalbu dan ruh dengan pendidikan ketat ala sahabat di Era Kebahagiaan merupakan hal yang sangat penting. Disebabkan oleh ketidaksempurnaan orang-orang yang baru masuk Islam di akhir era sahabat dan di awal era tabiin dalam memahami ruh agama, maka muncullah golongan-golongan seperti Khawarij, Rafidhah, dan Kebatinan. Sabda Baginda Nabi ketika menyampaikan keadaan tersebut: “Akan muncul di antara kalian orang-orang yang akan membuat kalian menganggap shalat, puasa, dan amal kalian tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan shalat, puasa, dan amal mereka. Mereka membaca al Quran tetapi al Quran yang mereka baca tidak sampai melewati batas tenggorokannya. Mereka keluar dari Islam secepat anak panah meluncur dari busurnya (HR Bukhari, bab Fadhailul Quran, 36; HR Muslim No.1773).
Anda dapat memikirkan makna hadits itu untuk masa Anda saat ini. Beberapa orang salat sedemikian rupa hingga meninggalkan bekas di dahi dan lututnya. Akan tetapi, karena ia tidak berhasil mencapai informasi-informasi prinsip di dalam salat, ia pun tidak berhasil menyelamatkan dirinya dari bahaya ifrat dan tafrit[4]. Berkebalikan dengan penampilan mereka yang mirip seperti orang yang dekat dengan Allah, dengan mudahnya mereka mengafirkan sosok-sosok seperti Sayyidina Abu Bakar, Umar, Usman, dan Ali. Padahal sosok-sosok tersebut adalah sosok-sosok yang dijanjikan Baginda Nabi dengan surga. Perhatikanlah bagaimana pandangan mereka yang satu berkontradiksi dengan pandangan mereka lainnya. Rasulullah yang mana dirimu mengaitkan diri dengan agamanya telah menjanjikan sepuluh sahabatnya dengan surga, tetapi beberapa manusia kemudian bangkit dan menuduhkan hal-hal yang membuat bulu kuduk berdiri. Itulah kebodohan yang berasal dari ketidaktahuan dan ketidaksadaran pada ruh dan esensi agama.
Oleh karena itu, kita harus meneliti jalan apa saja yang bisa digunakan untuk mencetak insan kamil agar ketika mengobarkan semangat mobilisasi di kalbu-kalbu manusia untuk kedua kalinya, kita tidak menderita distorsi dan deformasi yang bersumber dari ragam kultur budaya dan latar belakang pemahaman yang berbeda-beda. Untuk dapat mewujudkannya, orang-orang yang nantinya akan jadi pemandu, pembina, pembimbing, harus menguasai secara mendalam al Quran dan as Sunnah sebagai rujukan utama agama kita. Di waktu yang sama, mereka juga harus mengetahui dan mengenal karakter para lawan bicara di tempat mereka menjalankan tugasnya. Di samping itu, mereka juga harus memiliki pengetahuan memadai seputar sains dan ilmu sosial. Mereka setidaknya pernah mempelajari dasar-dasar ilmu seperti fisika, kimia, matematika, dan antropologi. Ya, seseorang yang akan melakukan tugas membimbing manusia harus berangkat sebagai seseorang yang telah matang dengan sempurna. Generasi pertama dari kawan-kawan kalian telah berangkat dengan keimanan yang murni, penuh keikhlasan, serta kesederhanaan. Berkat inayat ilahi mereka telah menjadi sarana bagi terwujudnya banyak kebaikan. Akan tetapi, mulai dari sekarang, di saat ada banyak tempat yang membuka dirinya kepada kalian, dibutuhkan kedalaman, keluasan, dan kelengkapan perangkat yang lebih baik lagi.
Manfaat yang Dijanjikan oleh Membaca secara Muzakarah[5]
Ketika kita sedang membaca buku-buku referensi untuk menutrisi kedalaman, keluasan, dan kelengkapan perangkat kita, hendaknya ia tidak sekedar dibaca begitu saja. Kita harus membacanya dengan penuh gairah, diperbandingkan satu karya dengan karya lainnya, dianalisis, dengan tekad meraih kombinasi informasi yang terbaik dan teruji.
Perhatikanlah tafsir Al Quran: betapa banyak buku tafsir yang ditulis semenjak Al Quran diturunkan hingga hari ini. Betapa banyak pula hasyiah[6] yang telah dituliskan. Ya, hari ini terdapat ribuan jilid buku yang ditulis untuk menafsirkan Al Quran. Di satu sisi, sebagai ibnuzzaman, anak-anak zaman, setiap mufasir mengambil setiap ilham yang didapatkannya serta dengan melihat kondisi terkini di lingkungan sekitarnya kemudian menuliskan: “ayat ini dipahami seperti ini, tujuan seperti ini yang ingin dicapai olehnya.” Lewat tafsiran-tafsirannya tersebut, mereka berangkat menuju pembukaan-pembukaan baru dalam memahami Al Quran. Jika kita membandingkan beberapa buku tafsir, kita akan menemukan perbedaan-perbedaan. Misalnya Imam Fakhruddin ar Razi[7] menafsirkan suatu ayat, tetapi penafsiran Zamakhsyari[8] terkait ayat yang sama berbeda dengannya. Sedangkan Imam al-Baidhawi[9] menganalisis ayat tersebut dengan jalan yang berbeda lagi. Walaupun Ebussuud Efendi[10] umumnya bersandar kepada al Baidhawi, beliau juga memiliki penafsirannya sendiri. Jadi, karya-karya tafsir al Quran terus bermunculan hingga akhirnya terbit karya tafsir abad ini yang ditulis oleh al Allamah Hamdi Yazir[11]. Tentu saja setelah karya beliau juga akan lahir karya-karya lainnya. Kita harus bergerak dengan semangat ini. Kita juga harus mendidik insan-insan yang mampu membaca dengan baik kebutuhan zaman, mampu mendeteksi dan menganalisis sesuatu dengan lebih baik, mampu melihat lebih luas makna di setiap benda dan peristiwa, mampu lebih merangkul, serta mampu melihat lebih detail. Karena para pembimbing ini akan bertemu dengan anak-anak dari beragam latar belakang budaya. Oleh karena itu, jika ia tidak bersiap dan melengkapi dirinya untuk menghadapi beragam masalah yang mungkin muncul akibat perbedaan pemahaman dan budaya, ia akan jatuh KO.
Untuk itu, kita katakan bahwasanya di tempat dimana kita pergi bertugas, Allah SWT dapat menganugerahi hati kita dengan ilham-ilhamNya lewat beragam sarana. Akan tetapi, pada saat Anda ingin memanfaatkan beragam sarana ini, hendaknya ilham-ilham ini tidak disuarakan seperti halnya ketika Anda menyuarakannya kepada lingkungan sekitar Anda, melainkan harus Anda sesuaikan dengan kultur masyarakat di tempat Anda bertugas. Hal ini sekali lagi menunjukkan betapa kita membutuhkan pembimbing yang berkalbu luas, yang mampu melihat makna di balik benda dan peristiwa lebih mendalam, serta mampu merangkul para lawan bicaranya. Untuk memenuhi kebutuhan ini, suatu mobilisasi membaca dan berpikir harus dimulai sekali lagi.
Baginda Nabi SAW menyebut persoalan ini dengan istilah tazakur. Makna dari kata istilah ini adalah suatu persoalan dimuzakarahkan dengan keterlibatan sedikitnya dua orang. Mereka yang terlibat dalam proses muzakarah dan berkumpul di dalam suatu majelis yang seperti ini dikatakan oleh Baginda Nabi sedang berada di dalam rahmat dan penjagaan ilahi. Selain itu, Baginda Nabi menyebut majelis yang demikian dalam sabdanya sebagai berikut:
لَا يَشْقَى بِهِمْ جَلِيسُهُمْ
Artinya: “Tidak akan rugi orang-orang yang bermajelis dengan mereka.” (HR Bukhari, Bab Daawat, 66)
Maksudnya, ala kulli hal, mereka yang hadir di dalam majelis itu pasti akan menerima sesuatu. Pasti sesuatu yang baik akan masuk entah ke dalam hati ataupun ke dalam kepala mereka. Bisa jadi ada seseorang yang duduk di majelis tersebut dengan niat awal yang bersifat duniawi. Bisa jadi ia menghadiri majelis tersebut dengan niatan mendapat manfaat yang sifatnya materi. Namun, karena ia berkumpul bersama orang-orang baik, akhirnya ada nilai kebaikan yang menelusuk ke dalam dirinya. Lebih tepatnya, orang itu memperoleh insibag[12] dari orang-orang saleh di sekitarnya. Syakhsiyah maknawiyah; satu kuas turut digoreskan kepadanya dan dengannya ia pun tergores dengan goresan kuas maknawiyah. Dari sisi ini, dengan inayat dan anugerah ilahi setiap pembimbing dan pembina lewat sarana muzakarah harus dapat membangun jalan keluar permasalahan paling muskil sekalipun. Ia harus mampu menghasilkan solusi bagi segala permasalahan serta mampu meraih level dimana ia bisa menjawab segala macam pertanyaan.
Sayangnya, orang-orang kita saat ini jauh dari metode membaca yang demikian. Bahkan Al Quran yang notabene merupakan firman Sang Rabbi pun terpaksa menjadi korban dari pembacaan dan pembahasan yang biasa, statis dan hanya mengupas kulit permukaannya saja ini. Barangkali saat ini Al Quran sedang tersimpan rapih di dalam sampul beludru di samping tempat tidur kita. Sebenarnya masyarakat kita memiliki penghormatan istimewa terhadap Al Quran. Aku pun memuji penghormatan tersebut. Akan tetapi, masyarakat kita saat ini awam akan makna Al Quran. Padahal ia merupakan pesan dari Allah yang dikirimkan kepada kita. Kenyataan amatlah pahit, kita tidak pernah bertanya kepada diri kita sendiri:”Apa yang sebenarnya diinginkan Allah dari kita lewat pesan-pesanNya ini?” Kita amatlah asing bahkan dengan kitab suci kita sendiri. Ya, pengemasan yang biasa dan statis telah membutakan mata kita, telah membuat kita gagal memahami makna yang terkandung di dalam kitab suci kita. Kita pun telah berpuas diri dengan penghormatan kering tersebut. Sekali lagi, saya memuji penghormatan yang seperti itu. Namun, penghormatan sejati terhadap Al Quran hanya dapat diwujudkan dengan meniti ruh, makna, dan esensi yang ada di dalamnya.
Dapat dikatakan bahwasanya kita juga buta terhadap karya-karya yang membahas hakikat Al Quran dan As Sunnah. Membacakan salah satu kitab tersebut di setiap pagi tidak dapat dikatakan cukup sebagai usaha untuk memahami hakikat-hakikat Al Quran dan Sunnah. Yang menjadi kriteria asas adalah bagaimana kita mampu memperhatikan kepadatan dan kearifan gagasan serta pikiran tokoh tersebut di dalam karyanya, berusaha memahaminya dengan membandingkan gagasan di karya yang satu dengan karya lainnya. Misalnya, terkait suatu topik pembahasan, Imam Ghazali berpendapat seperti ini. Akan tetapi, Bediuzzaman Said Nursi berpendapat berbeda. Kita harus mampu mengembangkan sistem membaca yang baru dan setidaknya kita harus mampu membaca dengan metode perbandingan seperti contoh tersebut. Mari kita pikirkan, bagaimana nama-nama sosok pilihan tersebut mampu membangkitkan semangat kita, bagaimana nama-nama mereka mampu mendiktekan semangat para sahabat kepada Anda, apakah nama-nama mereka mampu memantik dan menggerakkan diri Anda? Tetapi apa yang terjadi, karya-karya agung tersebut kemudian berubah hanya menjadi lembaran-lembaran yang dibaca karena kebiasaan belaka. Padahal karya-karya agung tersebut harus didaras lebih mendalam dengan beragam sudut pandangnya. Bahkan kita seharusnya tidak hanya mencukupkan diri dengan ungkapan-ungkapan di dalam karyanya saja, melainkan kita juga harus berusaha menangkap ufuk pandangnya. Setelahnya, cara membaca yang dipenuhi analisis dan kombinasi dari berbagai karya harus diwujudkan.
Kedalaman yang paralel dengan perluasan
Kita membutuhkan pembimbing dan pembina yang dapat menerangi jalanan kita, yang membaca dan menguasai karya-karya dasar dalam Islam dengan ushul dan keluasan yang paralel dengan pertumbuhan geometrik perhatian masyarakat kepada gerakan sukarela ini. Jika kita mencukupkan diri dengan pertumbuhan aritmetika jumlah pembimbing dan pembina yang mampu menguasai karya-karya tersebut, maka malfungsi akan banyak terjadi karena kurangnya asupan nutrisi pembinaan yang adekuat. Malfungsi yang terjadi hari ini pun bersumber dari lemahnya semangat membaca dan lemahnya usaha untuk menemukan nilai serta jati diri kita. Hal-hal seperti mencukupkan diri pada apa yang tampak, dan berfokus pada hal-hal yang sifatnya permukaan adalah sebab-sebab dasar munculnya masalah-masalah ini. Bediuzzaman misalnya, membaca Risalah Ikhlas yang ditulisnya sendiri sebanyak 115 kali. Ada seorang profesor yang heran dan takjub melihat potret ini dan berkata:”Apa mungkin seseorang membaca karya yang ditulisnya sendiri sebanyak ini?” Menurut saya, jika karya tersebut layak untuk dibaca sebanyak itu, artinya karya tersebut memang harus dibaca sebanyak itu. Bediuzzaman dalam setiap kesempatan membaca, dengan ilham dan anugerah yang terlahir di dadanya pasca membaca, seakan ada sebuah layar terkembang yang mengantarkannya berlayar menuju ufuk-ufuk yang lebih agung dan membantunya mencapai kedalaman maknawi yang luar biasa. Sayangnya, meskipun terdapat kesempatan yang amat luas seperti ini, saya rasa kita tidak mampu membaca dan memahaminya dengan cara pandang luas sebagai berikut:”Topik ini dibahas seperti ini di karya itu. Topik yang sama dibahas dan diringkas seperti itu. Dari dua karya tersebut terdapat hubungan demikian ketika membahas topik ini…dan seterusnya”
Pada hari ini, kita sebagai anggota masyarakat membutuhkan pembimbing dan pembina yang mampu mencerna dan menginternalisasi esensi dari Al Quran, as Sunnah, serta karya-karya yang menafsirkan dan menjelaskan rujukan utama Islam ke dalam karakternya. Jika pembimbing dan pembina dengan karakteristik ini tidak tersedia, kita akan menemui banyak masalah yang tidak diharapkan ketika di sisi lain kesempatan untuk menjelaskan hakikat terbuka lebar dengan kecepatan tertingginya. Akhirnya energi yang ada akan habis oleh usaha untuk memikirkan solusi-solusinya. Mungkin sebagian besar dari Anda tidak akan mampu memecahkan sebagian besar dari masalah yang muncul.
Ya, sekali lagi saya sampaikan, di sepanjang sejarah, manusia yang tidak matang selalu menimbulkan masalah. Ribuan orang Khawarij misalnya berkumpul dan menyampaikan tuntutan-tuntutan versi mereka. Ketika sosok yang medapat gelar Al Allamah-nya umat Sayyidina Ibnu Abbas pergi menemui mereka dan menjelaskan duduk persoalannya:”Anda mungkin menuntut hal ini. Akan tetapi, sebenarnya hal ini tidak dipahami demikian!” kemudian muncul jawaban dari ratusan orang di antara mereka:”Astagfirullah! Kita tidak pernah memahami perihal ini seperti itu!” Barangkali di antara mereka, ada orang-orang yang dalam sehari menunaikan shalat ratusan rakaat, mengkhatamkan al Quran tiga hari sekali. Akan tetapi orang yang sama, dengan santainya mengafirkan sosok-sosok agung seperti Sayyidina Ali, Muawiyah, dan Amr bin Ash.
Jika individu-individu tidak memahami suatu topik permasalahan beserta segala tetek bengeknya dengan cara yang seharusnya ia dipahami, dan jika mereka tidak bergerak dengan informasi yang benar, maka mereka akan senantiasa muncul sebagai masalah. Kuantitas yang seperti ini akan mencatatkan kualitas yang tidak jauh berbeda. Hafizanallah, demikian gentingya permasalahan yang akan terjadi, Anda akan terpaksa meresponnya dengan ungkapan:”Seandainya pertumbuhan atensi masyarakat tidak terjadi secepat ini!”. Untuk itu, agar Anda tidak menyisakan kekosongan di antara manusia, Anda harus mengetahui dan menguasai hal-hal yang harus Anda ketahui, dan menginternalisasikannya dalam kehidupan Anda sehari-hari. Ketika menunaikan shalat, Anda harus menunaikannya dengan kesadaran penuh bahwasanya Anda sedang berada di hadapan Sang Penguasa Alam Semesta. Ketika Anda menyungkurkan diri untuk bersujud, dada Anda harus berguncang dan bergemuruh layaknya suara air mendidih yang direbus di dalam panci. Orang-orang harus melihat Anda dalam keadaan demikian. Mereka harus takjub dengan kualitas Anda dan berkata:”Orang-orang ini betul-betul orang yang mengimani Allah dengan sepenuh hati.” Tentu saja kita tidak melakukannya supaya orang-orang memuji kita. Akan tetapi, kita harus berusaha untuk meraih kedalaman dan sifat-sifat agung ini sebagai tabiat kita. Untuk itu, manusia yang berhasil menjadikan sifat-sifat agung tadi sebagai tabiatnya, seakan tenggelam ke dalam daya tarik suci mereka akan berkata:”Inilah yang aku cari! Aku telah menemukan sesuatu yang telah lama kucari!”
Pendeknya, di samping kecemerlangan dan kemilau indah gagasan serta ketepatan penyajian, daya tarik dari para representasi nilai-nilai ini memiliki efek dahsyat dan pengaruh luar biasa kepada para pendengarnya. Dari sini, saat kita memulai kembali mobilisasi atas nama kemanusiaan, ruh dan kalbu kita harus menyerukan kalimat “Bismillah tanpa henti!” seakan-akan kita baru pertama kali memulainya. Kita harus terjun ke pekerjaan ini dengan gairah yang luar biasa. Ketika idealisme ini diperankan oleh sosok seperti Hulusi Efendi, Hafiz Ali, dan Husrev Efendi, masyarakat akan berlari menghampiri. Mereka yang datang tidak akan pernah berpaling lagi.Tidak boleh dilupakan, orang-orang akan berpaling saat mereka tidak menemukan apa yang mereka cari. Mereka dapat berpikir: “mengapa aku menyia-nyiakan waktuku di sini?” dan mereka pun perlahan menjauh. Untuk itu, walaupun berat untuk nafsu kita, idealisme hidup untuk menghidupkan orang lain dan semangat berjuang sepanjang umur hingga izrail menjemput harus dicanangkan.
Diterjemahkan dari artikel berjudul “Okuma Seferberligi”
[1] Barisan dan deret geometri adalah barisan bilangan yang nilai pembanding (rasio) antara dua suku yang berurutan selalu tetap. Rasio, dinotasikan dengan huruf r, merupakan nilai perbandingan dua suku berururtan. Rumus suku ke-n adalah Un = arn-1 dengan u1 adalah a, r adalah rasio, dan n adalah bilangan asli. Rasio dapat dihitung dengan rumus r = un : un-1
[2] Menyebut-nebut nikmat Allah yang dilakukan dalam rangka bersyukur kepada Allah dan bukan dalam rangka menyombongkan diri pada yang lain.
[3] Hal atau keadaan luar biasa yang diberikan Allah SWT kepada orang kafir sebagai ujian sehingga mereka semakin takabur dan lupa diri kepada Tuhan, seperti yang terjadi pada Firaun dan Karun.
[4] Ifrath: berlebih-lebihan (terlalu ketat) dalam agama
Tafrith: mengurang-kurangi (terlalu ringan) ajaran agama
[5] Pertukaran pikiran tentang suatu masalah; pengulangan pelajaran secara bersama-sama (KBBI
[6] Catatan atau keterangan yang dituliskan di tepi buku (KBBI); komentar terkait satu karya tafsir
[7] Salah satu karya tafsirnya yang terkenal adalah Mafatih al Ghaibi
[8] Salah satu karya tafsirnya yang terkenal adalah Al Kasysyaf
[9] Salah satu karya tafsirnya yang terkenal adalah Anwar Al Tanzil wa Asrar Al Ta’wil
[10] Syaikhul Islam Usmani, menjalankan tugasnya di masa kepemimpinan Kanuni Sultan Sulaiman dan Sultan Selim II (Sari Selim)
[11] Salah satu karya tafsirnya yang terkenal adalah Hak Dini Kur’an Dili
[12] Celupan, terwarnai. Lihat QS al Baqarah 2:138 “Sibgah Allah.” Siapa yang lebih baik sibgahnya daripada Allah? Dan kepadaNya kami menyembah