Saya hanya Percaya dengan Sesuatu yang Dilihat Mata Saya!
Seorang ateis bertanya kepada Imam Abu Hanifah, “Jika Allah memang benar ada, mengapa Dia tak terlihat?”
Beliau menimpali, “Mohon bawakan beberapa gelas susu, kemudian kita lanjutkan pembicaraan kita.” Si ateis tampak bungah setuju.
Jamuan pun tiba.
*Zaman itu, masyarakat Arab menggunakan sari tebu sebagai pemanis minuman, mengingat belum ditemukan gula layaknya sekarang. Alangkah baiknya jika sari tebu itu kita sebut sebagai gula dalam artikel ini. *
Si ateis mulai meminum susu.Â
Imam Abu Hanifah menawarkan beberapa sendok gula kepadanya. Beliau dengan nada memerintah berkata, “Ambillah lagi!”
Karena sudah terasa manis tentu sang ateis menolak tawaran Beliau. “Terima kasih, tapi susu ini sudah manis. Apakah Anda bisa langsung saja menjawab pertanyaan saya di awal tadi?”, tanyanya dengan angkuh.Â
“Tambahkanlah dulu gula di susumu, barulah kita lanjutkan berbicara.”
Sang ateis menjawab dengan suara lantang, “Saya sudah melakukannya!”
Sang imam sinis menimpali, “Aku tidak percaya.”
Dalam kondisi hati marah sang ateis bertanya, ” Mengapa?”
Dengan teguh Beliau menjawab, “Saya tidak percaya terhadap sesuatu yang tak terlihat.”
Sang ateis kukuh mendebat, “Bagaimana Anda melihat gula yang sudah tercampur dengan air susu? Memang saya tidak bisa menunjukkannya. Jika Anda meminumnya, pasti terasa manis. Mengapa Anda malah bertanya demikian? Bisakah Anda menjawab pertanyaan saya diawal tadi saja?”
Abu Hanifa, “Anda tidak memberiku kesempatan menjawab. Anda justru menjawabnya sendiri.”
“Apa maksudnya?”
Sang imam menjelaskan,Â
“Gula dalam susu memang ada namun tak terlihat, demikian halnya dengan Allah SWT. Mustahil bagi manusia untuk melihat gula dalam susu dengan mata telanjang. Manusia hanya dapat mengetahui dengan merasakannya, bukan dengan melihatnya. Bukankah banyak hal di alam semesta yang tak kasat mata, namun masih bisa diketahui keberadaannya melalui panca indera?
Diri manusia terlalu rendah untuk melihat wajah Allah jika melihat rasa manis gula dalam segelas susu saja tidak sanggup. Mata manusia terbatas. Manusia mampu mengetahui kekuasaan Allah melalui kreasi ciptaan-Nya yang indah luar biasa. Manusia merasakan-Nya dalam pikiran dan hati.”
Siapakah yang Menciptakan Allah?
Sekelumit pertanyaan yang mengandung kesalahan logika.
Tiada yang menciptakan Allah.
Sifat-Nya mengungkapkan bahwa Ia Maha Berdiri Sendiri, tidak membutuhkan apapun. Misal sesuatu bergantung pada suatu hal, tentu tidak dapat dikatakan berasal dari keilahian.
Allah-lah yang menciptakan semua makhluk. Pertanyaan perihal pencipta Sang Maha Kuasa merupakan kesia-siaan belaka yang nanti berujung kepada siklus sebab-akibat tanpa ujung.
Logika dan nalar dapat memahami bahwa setiap orang harus menempatkan suatu entitas yang mampu berdiri sendiri dengan kemandirian mutlak yang tak membutuhkan apapun dalam urutan teratas, bukankah demikian?Â
Coba pahami analogi dengan contoh konkret dalam kehidupan nyata berikut:
Tatkala melihat sebuah kereta bergerak bagai kilat, tampak gerbong kereta ditarik mengikuti gerbong depannya. Sampailah pada bagian mesin utama yang disebut lokomotif. Siapakah gerangan yang menghidupkan dan mengendalikan lokomotif terdepan? Bukankah demikian merupakan sesuatu yang tak masuk akal?
Lokomotif merupakan penggerak utama gerbong kereta, namun ia tetap mampu menggerakan diri sendiri. Demikian halnya dengan Allah, yang menjadikan semua orang beriman menyebut-Nya Allah.
Ibarat kursi dengan dua kaki saja, yang pasti tidak dapat berdiri sendiri. Mari bayangkan semisal kursi dengan dua kaki itu bersandar pada kursi dengan dua kaki yang lain, tetap saja mereka tidak mampu berdiri sendiri. Berapapun banyaknya jumlah kursi dengan dua kaki tersebut, tetap saja tak dapat berdiri tegak sendiri kecuali hingga ada sandaran kursi dengan empat kaki atau kursi yang mampu berdiri sendiri di ujungnya.
Ketika salat berjamaah misalnya, tentu makmum harus mengikuti sang imam. Lantas siapakah sosok yang diikuti imam? Sang imam tentu tidak mengikuti siapapun. Sebaliknya, jika kasusnya imam memiliki seseorang yg diikuti saat salat berjamaah, pasti dia bukanlah imam, namun dia pasti bagian dari makmum.
Seorang tukang kayu sama sekali tidak menyerupai meja yang dia buat. Tak ada kemiripannya. Demikian dengan Allah, tidak ada yang menyerupai-Nya, tiada bandingannya. Meja tentu tidak dapat berpindah dengan sendirinya. Tukang kayulah yang dapat berbuat demikian. Manusia tidak akan hidup dengan sendirinya, berbeda dengan Sang Maha Hidup.