Semangat Pengabdian Sepanjang Kehidupan
(Diterjemahkan dari artikel “Bir Ömür Boyu Adanmışlık Ruhu”dari buku Kırık Testi 14; Buhranlı Günler ve Umit Atlasımız)
Pertanyaan: Apa saja prinsip-prinsip pokok agar dapat menjaga semangat pengabdian tetap menyala di dalam kalbu ?
Jawab: Orang-orang yang sudah mengabdikan dirinya secara menyeluruh harus menjauhkan diri dari segala macam sikap dan perbuatan yang dapat menjatuhkan nama baik atau kepercayaan orang-orang di sekitarnya. Menurut saya, orang-orang yang sudah memberikan hatinya kepada sebuah cita-cita mulia dengan tulus dan tanpa pamrih, tidak akan pernah sengaja untuk melakukan hal-hal yang menghancurkan jamaahnyaserta tidak akan pernah sengaja melakukan perbuatan yang membuat kecewa teman seperjuangannya. Namun, kadangkala langkah yang diambil tanpa dipikir matang atau tanpa pertimbangan yang hati-hati dalam suatu persoalan dapat membuat seseorang tergelincir dan akan menyebabkan hilangnya kepercayaan orang lain atas dirinya. Dalam hal ini, maka yang perlu dilakukan adalah suatu tindakan yang sigap dari teman-teman seperjuangannya, yang memiliki pemikiran dan perasaan serupa untuk memperbaiki kesalahan tersebut. Tindakan yang sigap ini tidak hanya menyelamatkan orang tersebut dari rasa malu, tetapi juga mencegah pikiran negatif orang lain terhadap jamaah tersebut.
“Ya Allah, Jangan Biarkan Hamba Membuat Malu Sahabat-Sahabatku!”
Seorang tokoh ulama, Mawlana Khalid al-Baghdadi, sangat berhati-hati dalam menjaga martabat dirinya dengan tidak meminta-minta dari siapapun dan mampu memberikan contoh yang baik bagi kita semua. Dalam mencegah persepsi negatif orang-orang di zamannya, beliau mengingatkan para murid dan pengikutnya sejak awal: “Jangan pernah terlalu dekat dengan orang-orang kaya, penguasa, dan pemerintah. Mereka bisa saja menawarkan makanan yang lezat, memberikanmu kedudukan terhormat, dan juga berwajah manis untuk melakukan korupsi di belakang. Jika sudah berada di bawah pengaruh mereka, kalian akan tunduk kepada mereka sepanjang hidup. Oleh karena itu, merasa cukuplah dengan apa yang kamu miliki dan jangan pernah meminta kepada siapapun. Jangan lupa bahwa para penguasa dan pemerintah berkeinginan untuk menguasaimu agar tunduk kepada mereka.”
Orang-orang yang memprioritaskan filosofi hidup dalam mengabdi kepada Rabbnya, harus menjauhkan diri dari segala perbuatan yang menimbulkan rasa curiga terhadap jamaahnyadan tidak pernah mendekati tempat-tempat yang dapat menimbulkan kecurigaan terhadap mereka. Contohnya, mereka tidak boleh meskipun hanya sekedar melewati sebuah bar agar orang-orang tidak memiliki pikiran bahwa mereka baru saja keluar dari bar, karena ada kemungkinan mereka bisa mendapatkan fitnah dari orang lain. Oleh sebab itu, diperlukan sikappenuh kehati-hatian.
Seteliti apapun dalam bertindak, perlu diingat bahwa selalu ada kemungkinan bagi kita untuk menjadi sasaran fitnah. Meskipun kalian selalu menjaga persaudaraan, menyebarkan perasaan cinta, memiliki sifat lapang dada, dan tidak memiliki musuh dengan siapapun, jika ada orang-orang yang memiliki rasa dengki dan benci, mereka tidak akan pernah mengulurkan tangan dan tidak melapangkan dada kepada kalian. Sebaliknya,mereka akan membalas senyuman kalian dengan wajah masam. Pada saat itu, tidak ada hal selain meminta kepada Rabb dan memohonlah pertolongan kepadaNya. Jangan pernah lupa, kejadian seperti ini sudah terjadi sejak masa Nabi Adam Alaihissalam hingga sekarang dan akan terus berlangsung. Apa yang menjadi perhatian di sini adalah jiwa-jiwa pengabdi harus menjauhkan diri dari kondisi dan perilaku yang dapat menodai pergerakan mereka sendiriserta kehidupan keluarga dan sosial.Kalian harus memiliki tekad dan selalu memohon kepadaNya seraya berdoa, “Ya Rabbi jangan membuat malu teman-teman atas perbuatan kami, dan jangan membuat kami malu atas perbuatan teman-teman kami.” Jangan pernah berhenti mencari perlindungan Allah dan meminta pertolonganNya. Karena sangatlah mungkin bagi seseorang jatuh kepada nafsu duniawi dan setan terus-menerus memperindah angan-angan dan membuat lupa dirinya, selalu membuat dosa-dosa nampak indah bagi manusia.
Seseorang yang tidak berhati-hati akan bahaya dosa, mungkin akan masuk ke salah satu dosa tersebut tanpa sadar dan (semoga Allah melindungi kita) dapat membuat malu. Oleh sebab itu, orang-orang yang berada dalam sebuah gerakan yang jutaan orang memandangnya dengan penuh harapan harus sangat waspada untuk menghindari segala hal yang dapat membahayakan akhlak dan kesucian, teguh melawan godaan setan dan nafsu, serta tidak pernah memberikan kelonggaran atas nilai kejujuran dan amanah (dapat dipercaya). Mereka harus takut bila melanggar hak-hak dari rekan relawan yang bersama mereka dalam melangkah di jalan ini. Mereka harus mengangkat tangan seraya berucap, “Ya Rabbi, jika hamba membuat teman-teman merunduk malu, dengan segenap hati hamba lebih suka dikubur dalam tanah sebagai gantinya.” Itulah ungkapan kesetiaan dan loyalitas kepada teman-temannya. Agar tidak membiarkan orang lain berpikiran negatif dan kesalahan sekecil apapun terjadi, setiap jiwa yang mengabdi harus berusaha seperti seorang duta kejujuran, kesetiaan, dan kesucian. Sepanjang waktu, mereka harus dengan hormat menahan diri dari meminta-minta, mengemis dari orang lain, serakah, bersyukur atas apa yang diberikan Allah, dan menjauhkan diri dari segala hal yang merusak kehormatannya.
Sebelum Menasehati Berikanlah Contoh
Siapapun yang berusaha menyampaikan kebenaran dan kebajikan, jangan pernah lupa bahwa dengan sikap tulus dan teladan dapat mengajak orang-orang kepada kebaikan, daripada sekedar kata-kata yang diucapkan. Kata-kata yang tidak mencerminkan kebenaran atau jauh dari makna hakiki karena terlalu berlebihan, mungkin dapat membuat orang-orang terpesona namun itu hanya sementara. Bukan menjadikannya tertanam abadi di dalam kalbu, justru mengganggu kredibilitas/kepercayaan dari orang lain. Sedangkan perbuatan yang terus-menerus dilakukan, tidak mungkin sebuah kepalsuan. Dia akan terus mengalir di alurnya. Seseorang yang selalu jujur, setia sepanjang waktu, tidak pernah bermain-main dengan kesucian, dan terus menerus menginspirasi kejujuran akan sangat meyakinkan bagi orang-orang sekitarnya. Dari sudut pandang ini kita dapat berkata bahwa di dalam Islam, teladan perbuatan lebih utama daripada perkataan.
Salah satu tugas kenabian dari Rasulullah Shallallahu Alayhi Wasallam, yang sangat kita cintai bagaikan raja bagi kita, adalah menyampaikan wahyu yang beliau terima dari Allah. Oleh karena itu, jika wahyu tidak disampaikan melalui sosok yang dirahmati seperti beliau, mukjizat wahyu Ilahi tidak akan terasa hingga masa ini dan kalbu tidak akan menerimanya. Untuk alasan inilah, Al-Qur’an yang kita taruh di rak dinding rumah-rumah kita yang dibalut dengan sampul beludru yang indah, telah dan akan selalu diwakilkan oleh orang-orang yang pantas mewakilinya. Dalam hal ini, kedalaman tingkat keteladanan Rasulullah memiliki hak tertinggi untuk menyampaikan wahyu Ilahi. Beliau diangkat ke langit saat Mi’raj, tidak hanya karena beliau telah menyampaikan ayat-ayat Al-Qur’an, tetapi juga karena beliau telah memberikan contoh teladan melalui akhlak dan kepribadiannya.
Kerendahan Hati dan Berusaha Tidak Membuat Iri
Rasululullah bersabda, “Tuannya dari orang-orang adalah dia yang melayani mereka.” Salahuddin Ayyubi, seorang pahlawan Islam yang merupakan teladan dari sikap ini, adalah penguasa pertama yang diberi gelar “Pelayan Dua Tempat Suci”, yaitu Makkah dan Madinah. Beberapa abad kemudian, Sultan Selim I, yang juga memiliki semangat yang sama merasa kurang nyaman mendapat gelar “Penguasa Dua Tempat Suci”, lalu segera mengubahnya menjadi “Pelayan Dua Tempat Suci” seraya berlutut dari singgasananya, sebagai tanda hormat. Mereka yang menjadi pewarisnya pun menggunakan sebutan “Pelayan Dua Tempat Suci.” Dalam hal ini, tanpa melihat status sosialnya, para jiwa yang semangat mengabdi harus menyadari bahwa sebuah kehormatan terbesar adalah dengan melayani orang lain. Bahkan mereka akan mengatakan, “Dibutuhkan seseorang untuk membawakan minuman dan melayani mereka yang sedang duduk bersama untuk berbagi pemikiran, cita-cita, dan ide,” dan selalu menjadi yang terdepan dalam melayani orang lain.
Selain itu, keberhasilan seseorang pada bidang tertentu dapat menimbulkan rasa iri hati pada orang lain. Beberapa orang dengan karakter yang lemah dapat menjadi sangat cemburu, terbawa perasaan persaingan. Pada masalah ini, perlu melihat prinsip-prinsip mulia yang diajarkan agama Islam dalam mendisiplinkan nafsu. Bediuzzaman Said Nursi, yang membuat pedoman di bawah cahaya prinsip-prinsip tersebut, menyatakan bahwa murid sejati Al-Qur’an tidak boleh menyebabkan rasa iri pada para pengikutnya. Secara umum, perasaan iri yang manusiawi masih bisa diterima dalam Islam. Tetapi mengingat faktanya, perasaan iri adalah tetangga dekat dari hasad (rasa iri yang menimbulkan kemarahan), seseorang yang memendam perasaan iri, suatu saat dapat melampaui batas tanpa disadari. Atas alasan inilah Bediuzzaman menyatakan untuk tidak berbuat yang menimbulkan perasaan iri hati kepada orang lain sebagai sebuah tanggung jawab sebagai murid Al-Qur’an. Cara untuk mewujudkan ini, seseorang harus menghargai setiap manusia yang mengabdi atas nama Allah dan lebih mengutamakan orang banyak daripada dirinya sendiri. Selain itu, setiap manusia memiliki titik lemah yang berbeda-beda, misalnya berkeinginan untuk mendapatkan tepuk tangan, meraih penghargaan, dan mendapat kenaikan pangkat. Oleh karena itu, diperlukan seseorang dalam bidang tertentu untuk menyiapkan lahan dalam berkarya dalam lingkup yang luas, membiarkan berbagai individu untuk melayani dengan tepat dalam bidang yang beragam, dan juga merasa puas atas hasil jerih payahnya. Selain itu, perlu untuk menjaga orang lain agar tetap dalam keimanan dan moralitas, menjaga ikatan yang kuat kepada Rabb nya, dan menyandarkan segala sesuatu hanya kepada Allah.
Bahaya ketika Berada di Derajat Tinggi
Hal lain yang harus kita perhatikan adalah berada dalam jalan yang lurus dengan teguh. Allah yang Maha Kuasa mungkin sedang membawa kita ke jalanNya; namun mencari jalan yang lurus saja tidaklah cukup; yang paling utama adalah untuk berjalan lurus hingga garis akhir dengan pandangan waspada. Berdasarkan sabda Rasulullah, “Setiap manusia dapat terjatuh dalam kebinasaan, kecuali yang berilmu. Orang yang berilmu juga dapat terjatuh dalam kebinasaan, kecuali mereka yang mengamalkan berdasarkan pengetahuan mereka. Mereka yang mengamalkan pengetahuan juga dapat terjatuh dalam kebinasaan, kecuali bagi mereka yang ikhlas. Mereka yang ikhlas juga menghadapi bahaya yang besar.”[1] Mungkin bahaya besar ini bisa disebut “bahaya ketika berada di derajat tinggi.” Dalam hal ini, tidak peduli seberapa tinggi Allah menaikkan derajat, kita harus selalu merasa takut bahwa kita dapat terjatuh kapan saja. Allah telah membimbing beberapa kaum pada jalan yang benar, tetapi saat mereka tidak fokus kepada titik di tengah “lingkaran”, mereka tersesat hingga garis luar dan sulit untuk kembali. Karenanya sebuah kaum menjadi tersesat dan menyimpang, dan ada juga kaum yang mendapat azab dan menerima murka Allah. Dengan demikian, meskipun mencari jalan yang lurus adalah tugas yang sulit dan sangat diutamakan, berada di jalan yang lurus terus-menerus tentu lebih sulit. Sama ketika menghadapi kesulitan saat mendaki tebing, mempertahankan diri di puncak jauh lebih sulit. Atas dasar itulah Bediuzzaman mengingatkan kembali bahwa seseorang yang terjatuh dari ketinggian dari keikhlasan akan menghadapi bahaya jatuh ke lubang yang dalam.
Memberikan Tugas Sesuai dengan Keahlian
Ada sebuah hal penting lain yang harus diperhatikan oleh jiwa-jiwa pengabdi agar bisa berbakti dengan tepat dalam jangka waktu yang lama yaitu mengenali apa saja sumber daya manusia yang tersedia dan menempatkan dengan benar, dan tidak bertentangan dengan bakat alami. Allah yang Maha Kuasa menciptakan manusia dengan bakat yang beragam dan memberkahi manusia dengan berbagai keahlian. Ada beberapa orang yang kurang efektif dalam menyampaikan pesan secara langsung kepada khalayak karena kemampuan sosialisasinya yang kurang. Misalnya, ada beberapa orang yang sanggup menyuarakan kebenaran ketika menggoreskan pena pada kertas, yang dapat membujuk orang lain, mengobarkan kembali semangat di dada. Saat mereka diminta untuk menyampaikan khutbah, bisa jadi mereka kehilangan kepercayaan diri yang biasanya mereka dapatkan dengan adanya buku-buku disampingnya pada saat di atas mimbar, karena Allah mungkin tidak memberikan keahlian berbicara yang sama baiknya dengan keahlian menulisnya. Tetapi orang tersebut bisa sangat berhasil dalam menyampaikan kebenaran yang diyakininya dengan buku-buku, artikel, dan tulisan-tulisan karyanya. Jadi seorang pimpinan yang memiliki wewenang untuk membimbing dan mengelola bawahan harus menyadari fakta ini dan memberikan pekerjaan pada setiap orang dengan tugas yang sesuai keahliannya. Seperti kisah yang banyak diketahui ini, ada permintaan yang ditujukan kepada Khalid ibn al-Walid, Nabi Shallallahu Alayhi Wasallam pun mengirimnya ke Yaman sebagai pengajar ilmu agama. Sebagaimana yang dikisahkan oleh Abu Musa al-Ash’ari, hari dan bulan berlalu tetapi tidak ada kabar mengenai perkembangannya. Dan sebenarnya, Khalid ibn al-Walid bukanlah pembicara yang baik. Allah yang Maha Kuasa tidak memberkahinya dengan keahlian untuk menjadi seorang yang terpilih menjadi pembimbing melainkan menjadi seorang komandan prajurit. Ya, Allah telah memberkahinya dengan keunggulan di bidang lain. Kebijaksanaan Allah melampaui akal kita. Seandainya Khalid ibn al-Walid menjadi rajanya sastra yang jumlahnya sangat jarang sepanjang sejarah – sama seperti para sahabat lainnya – lalu siapa yang akan memimpin pasukan melawan kekuatan besar musuh kala itu? Setelah tinggal beberapa lama di Yaman, beliau kembali ke Madinah, lalu Nabi Shallallahu Alayhi Wasallam mengirimkan Ali ibn Abi Talib ke Yaman sebagai gantinya. Sosok Ali ibn Abi Talib, adalah pengkhutbah dan orator yang bagus, kata-katanya sangat menyentuh jiwa, suaranya menjangkau semua usia, dan Allah telah memberkahi beliau dengan keahlian khusus di bidang ini, maka jumlah penduduk yang menyatakan keimanan pun tumbuh pesat. Beliau sosok mulia yang sangat mengenal dengan baik bagaimana menjangkau ke dalam jiwa-jiwa orang ketika sedang berbicara dan mengetahui apa yang harus disampaikan. Dengan demikian, apa yang seharusnya dilakukan oleh pemimpin adalah mampu membedakan bakat dan keahlian dan menempatkan setiap orang pada posisi yang tepat sehingga dapat bekerja dengan efisien. Seperti memberikan beban tugas seekor gajah kepada seekor semut justru akan menginjaknya, sebaliknya mempekerjakan seekor gajah yang mampu mengangkut batang pohon dengan sebuah beban yang sanggup dipikul oleh seekor semut adalah mubazir. Sangat penting untuk menilai keahlian dan karakter setiap individu, dan tidak pernah lupa bahwa semua itu bergantung pada kekuasaan Allah. Misalnya, saya mengenal beberapa orang yang tidak bisa mengungkapkan perasaannya dengan baik, dia yang mengalami kesulitan saat berbicara meskipun hanya beberapa kalimat, tetapi sanggup melunakkan hati orang-orang setelah berbicara beberapa patah kata. Kalian tidak bisa menjelaskan hal tersebut ketika hanya melihat penampilan fisik seseorang, kualitas, kapasitas, batas pemikiran, dan kemampuan berekspresi, selama hati ada di tangan Allah. Dialah yang memberikan petunjuk kepada siapa yang dikehendaki. Untuk itu, demi Allah para relawan tidak bisa menganggap remeh segala tanggung jawab yang mereka emban. Mereka harus berusaha menunaikan tanggung jawabnya, meski sekedar membuatkan secangkir teh, makanan, atau melakukan kunjungan. Singkat kata, kita perlu memanfaatkan segala kesempatan yang ada untuk memenangkan hati orang lain.
Keseimbangan antara Cita-cita dan Realita
Agar dapat membedakan antara cita-cita dan realita, sangat perlu untuk menjaga standar yang tinggi dan mengejar tujuan yang luhur – maka mereka yang berhijrah demi mewujudkan cita-citanya harus benar-benar mengejar cita-cita yang tinggi yaitu mengubah wajah dunia. Jika seseorang menyimpan impian yang tinggi dengan penuh semangat, bahkan jika mereka tidak berhasil meraihnya dengan usaha sendiri, Allah yang Maha Kuasa akan mengganjar niat dan memberikan pahala sesuai apa yang di dalam hati mereka. Setiap orang akan diganjar pahala atas niat baiknya meskipun dia tidak berhasil dalam meraih tujuan. Atas hal ini, setiap orang harus selalu memiliki cita-cita yang tinggi dan menjaga harapan besar mereka. Bersamaan dengan ini, cita-cita harus disadari juga dengan mempertimbangkan waktu, tempat, kemungkinan, dan faktor manusia. Rencana yang baik harus dipertimbangkan sesuai kondisi riil sehingga langkah yang kita ambil tidak akan salah dan mengalami kegagalan. Kadang-kadang, banyak orang pergi untuk mengubah warna dunia, tetapi sebenarnya mereka hanya berfantasi tentang sebuah utopia semacam “Negeri Saleh” karya Al Farabi atau “The City of The Sun” karya Campanella. Pada dunia hasil imajinasi mereka, masyarakat saling berpelukan di manapun mereka berjumpa. Kawanan singa dan serigala datang menawarkan bantuan pada domba-domba. Pasar menjadi tempat yang sangat sempurna dimana sebagian besar pedagang adalah malaikat. Di dunia tersebut, tidak ada satupun yang bertindak asusila dan melakukan korupsi. Anak-anak memasuki proses pertumbuhan dan pendewasaan dengan baik tanpa ada masalah pendidikan dan pendisiplinan yang serius, lalu mereka seperti menjadi sosok malaikat ketika berusia lima belas tahun. Meskipun sangat mudah memiliki hal-hal tersebut dalam pikiran dan imajinasi, kenyataannya sangatlah berbeda. Kita harus memperhatikan perangai manusia dan hubungan interpersonal. Kehidupan di suatu tempat yang bukan di lingkungan Rasulullah tinggal, sebuah pasar tidak pernah menjadi tempat yang penuh kebaikan, serigala dan domba tidak pernah berdamai, dan singa tidak pernah meninggalkan daging untuk menjadi vegetarian. Menurut saya, melihat apa yang realita yang terjadi, kita tidak bisa acuh dalam mempertimbangkan apakah mencari kebenaran bisa terwujud atau tidak. Bahkan jika kita mengharapkan teman seperjuangan kita memikul beban kebajikan untuk mengubah warna dunia, kita akan mengalami kekecewaan karena membangun cita-cita kita dengan sebuah mimpi kosong dan larut dalam mengejar kesia-siaan, yang juga akan menghancurkan harapan mereka yang menaruh harapan kepada kita. Agar tidak memikul beban dosa itu, sekali lagi sangat perlu untuk menilai potensi dan bakat setiap orang, mendistribusikan tugas dengan tepat, dan menyadari cita-cita mulia kita dengan mempertimbangkan waktu, tempat, dan ketersediaan sumber daya manusia.
[1]Lihat Kasyf al-Khafa (2796)