Toleransi, Agama dan Integrasinya Dalam Kehidupan

Karya Pembaca: Mahir Martin

Semua agama pada dasarnya mengajarkan umatnya untuk menjunjung tinggi nilai-nilai kehidupan. Dalam membahas tentang agama dan nilai kehidupan, ada salah satu nilai yang paling penting yang perlu diperhatikan, yaitu toleransi. Setiap agama dengan pendekatannya masing-masing memiliki cara untuk memaknai nilai-nilai dalam kehidupan, yang dari sana menuntut kita untuk bersikap saling toleransi antar umat beragama. Bisa dimaknai bahwa agama dan toleransi adalah dua hal yang bisa diibaratkan seperti dua sisi pada koin yang sama.

Agama dan Toleransi

Indonesia, sebagai negara yang mengakui keberagaman agama, menuntut pemahaman masyarakat yang kuat dan benar tentang makna toleransi antar umat beragama. Masyarakat harus benar-benar memahami bahwa toleransi adalah salah satu cara memaknai agama di dalam kehidupan. Toleransi merupakan nilai yang perlu dikedepankan di setiap sendi kehidupan, di negara kita. Pendidikan bertoleransi pun seharusnya bisa dilakukan sedini mungkin di institusi-institusi pendidikan, baik formal maupun non formal. Pemerintah dan masyarakat pun harus bahu membahu menanamkan nilai-nilai toleransi dalam kehidupan bermasyarakat.

Lantas, bagaimana sebenarnya kedudukan toleransi itu sendiri dalam agama?

Semua agama menjunjung tinggi toleransi. Tak ada satu pun agama di dunia ini yang mengajarkan umatnya untuk bertindak intoleransi yang bisa mengarah kepada paham radikalisme. Yang menjadi permasalahan adalah, terkadang, masih ada segelintir umat yang mengaku beragama, telah salah memahami makna dari toleransi yang diajarkan agamanya. Akhirnya, paham radikalisme dapat tumbuh dan berkembang dengan pesat di berbagai belahan dunia.

Paham radikalisme, sebagai perwujudan gagalnya penganut agama memahami toleransi, tidak hanya tertuju kepada satu agama. Tak bisa dipungkiri, setiap agama memiliki potensi dimana penganutnya bisa saja salah dalam memahami ajaran agamanya. Yang pada akhirnya akan memabawa mereka pada paham radikalisme.

Jadi, radikalisme itu tidak identik pada satu agama. Radikalisme bukan hanya musuh satu agama atau golongan tertentu. Justru, paham radikalisme adalah musuh kita bersama, musuh semua umat beragama, musuh kemanusiaan umat manusia di seluruh belahan dunia. Dan, radikalisme hanya akan hilang, jika ada kebersamaan antar umat beragama untuk melawannya.

Agama dan Integrasi Dalam Kehidupan

Solusi terbaik untuk mengatasi permasalahan intoleransi yang mengarah kepada paham radikalisme adalah dengan mengajak para penganut agama untuk memahami ajaran agama dengan baik. Selain itu, nilai-nilai agama juga seharusnya bisa benar-benar diintegrasikan di dalam kehidupan.

Jika saja, nilai-nilai toleransi yang diajarkan agama bisa benar-benar diintegrasikan dalam kehidupan, maka tidak akan ada lagi paham radikalisme yang tumbuh dan berkembang dalam beragama. Para penganut paham radikalisme pun tidak akan memiliki tempat untuk hidup di dunia kita.

Akhirnya, meskipun dunia diisi dengan beragam agama dan penganutnya yang berbeda-beda, namun dengan adanya integrasi agama dalam kehidupan, para penganut agama yang berbeda-beda itu akan memiliki tujuan kehidupan yang sama, nilai-nilai kebaikan yang sama, dan keyakinan yang sama berdasarkan agama dan kepercayaannya masing-masing.

Intinya ada pada cara seorang penganut agama -apapun agamanya- mampu memahami agamanya dengan baik dan benar. Setelah memahaminya, maka para penganut agama tersebut seharusnya bisa menghidupi agama tersebut, dan yang tak kalah pentingnya mereka juga akan berjuang mengintegrasikan agama dalam kehidupan.

Dalam artikel “Makna Agama dan Kehidupan” dikatakan, “Religiusitas umat manusia harus memiliki perwujudan konkritnya dalam kehidupan sehari-hari manusia. Kebenaran agama akan kosong dan menjadi candu ketika agama hanya sebatas doktrin yang berada di luar kehidupan keseharian.”

Ya, beragama memang memerlukan perwujudan konkrit dalam kehidupan. Beragama tidak cukup hanya dilakukan dengan mengunci diri, menutup pintu rumah untuk beribadah kepada Tuhan. Beragama perlu berintegrasi dengan kehidupan. Prinsipnya, dalam beragama perlu ada aksi nyata dalam kehidupan. Jika tidak, beragama akan terasa hampa, bahkan bisa menjadi candu, seperti halnya yang dikatakan filusuf Karl Marx dengan Marxismenya.

Sebuah Refleksi

Ulama dan cendekiawan muslim Muhammad Fethullah Gulen Hojaefendi dalam bukunya “Islam Rahmatan Lilalamin” merangkum semua ini dari sudut pandang agama Islam yang dipeluknya. Beliau berkata, “Hanya ada dua jalan untuk lepas dari beban tanggung jawab pada Hari Kiamat: hidup bersama Islam secara sempurna atau berjuang mengembalikan Islam ke dalam kehidupan.”

Artinya, agama harus dihidupi dengan sempurna dengan keimanan dan keyakinan yang hakiki, bukan hanya sebagai identitas belaka. Lalu, agama harus diperjuangkan untuk diintegrasikan ke dalam kehidupan. Integrasi agama dalam kehidupan inilah yang bisa kita interpretasikan dalam berdakwah ataupun melayani agama (khidmah). Alhasil, agama dan toleransi memang akan selalu menjadi perbincangan hangat selama masih ada paham intoleransi, paham radikalisme di dalam kehidupan.

Agama yang diintegrasikan dan diwujudkan secara konkrit dalam kehidupan akan menjadi solusinya. Jika ini terjadi, maka dunia akan terbebas dari konflik dan polarisasi, dan kita semua akan bisa hidup dalam suasana yang diliputi dengan kedamaian. Semoga.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *