Musibah dalam Kehidupan Pribadi dan Kehidupan Agama
Entah mengapa, ketika kita membicarakan musibah, maka yang terbersit di kepala kita adalah musibah yang menerpa kehidupan kita di dunia. Musibah yang biasa dikaitkan dengan bencana. Bencana yang bisa disebabkan oleh faktor alam, non-alam, atau konflik sosial. Padahal ada musibah bentuk yang lain, yang mungkin bisa lebih berbahaya dampaknya.
Semua kita sepakat bahwa musibah adalah sesuatu yang tidak bisa kita hindari, dan harus kita hadapi. Musibah terkadang ada yang menimpa diri, keluarga, atau masyarakat luas. Dampak dari musibah pun sangat beragam macamnya.
Bagi individu, musibah bisa membuat seseorang jatuh ke jurang keterpurukan atau sebaliknya musibah juga bisa menjadi titik balik baginya untuk menjadi insan yang lebih baik lagi menjalani kehidupan. Semua itu tergantung apakah individu tersebut mampu mengambil hikmah atau tidak dari musibah yang sedang dihadapinya.
Musibah dalam Kehidupan Pribadi Manusia
Seperti yang dikatakan di awal, musibah tidak hanya dibatasi dengan peristiwa alam, non-alam ataupun konflik sosial. Musibah juga bisa menimpa sisi kehidupan pribadi manusia. Salah satu musibah yang sering menimpa sisi pribadi kehidupan manusia adalah rasa ketakutan, kekhawatiran, atau kegelisahan dalam menjalani kehidupan. Takut adalah sifat dasar manusia, tetapi jika salah disikapi, akhirnya ketakutan bisa menjadi musibah besar dalam kehidupan.
Misalnya, di masa pandemi seperti saat ini, seseorang bisa saja dirundung ketakutan yang luar biasa untuk menghadapi masa depan yang tidak menentu dan tidak bisa diprediksi akan seperti apa. Rasa takut ini bisa berubah menjadi sebuah tekanan, stress, dan akhirnya bisa membuat seseorang tidak bisa menjalani kehidupan dengan tenang.
Selain rasa takut, salah satu musibah besar dalam kehidupan pribadi adalah ketika manusia tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya. Kebutuhan pokok manusia berupa sandang, pangan, dan papan. Jika semua itu tidak terpenuhi, maka musibah besar bisa terjadi pada manusia. Hal ini yang membuat orang berlomba-lomba dan berusaha semaksimal mungkin agar bisa memenuhi kebutuhan pokok hidupnya.
Hal lain yang bisa dikategorikan musibah yang menimpa sisi kehidupan pribadi manusia adalah kekurangan harta. Di era yang serba glamor dan hedon seperti saat ini, hidup pas-pasan bisa membuat seseorang merasa dirinya terkucilkan. Meskipun kebutuhan pokok sudah terpenuhi, seseorang pasti menginginkan hal lainnya, yang jika dipikirkan sebenarnya hal tersebut bukanlah hal yang penting dan utama bagi dirinya.
Misalnya, banyak orang yang merasa dirinya tertekan jika tidak memiliki gawai. Tak bisa dipungkiri, di era digitalisasi teknologi, gawai seakan-akan menjelma menjadi kebutuhan pokok yang harus dimiliki setiap orang. Jika seseorang tidak bisa menyikapi hal ini dengan baik, maka ia bisa melakukan apapun dan mungkin menghalalkan segala cara untuk mendapatkannya.
Musibah dalam Kehidupan Agama
Sebenarnya, musibah yang menimpa kehidupan duniawi kita, apapun bentuknya, masih terbilang kecil jika dibandingkan musibah yang menimpa kehidupan agama kita. Musibah yang menimpa kehidupan agama memiliki dampak yang jauh lebih besar, karena tidak hanya berdampak di dunia, tetapi juga kehidupan di akhirat kelak. Dampaknya tidak sementara, tetapi berdampak kekal dan abadi.
Lantas, apa saja contoh musibah dalam kehidupan agama? Keraguan dalam keimanan, hidup dalam lingkaran dosa, tidak mementingkan ibadah, lemahnya hubungan dengan Tuhan, mangabaikan generasi penerus dan membiarkan mereka hidup jauh dari Tuhannya adalah beberapa contoh musibah dalam kehidupan agama. Jika kita memahami betapa bahayanya semua itu, maka musibah yang menimpa dunia kita tidak akan ada artinya.
Terkadang kita meremehkan dan tidak memperhatikan musibah kita dalam beragama. Padahal musibah ini sebenarnya musuh terbesar yang ada di dalam diri kita. Jika kita tidak mampu menghadapi dan kalah darinya, maka musibah-musibah duniawi lain akan datang menyertainya.
Agar kita bisa terhindar dari musibah dalam kehidupan agama dibutuhkan kepekaan diri dalam menyikapinya. Kepekaan akan muncul bergantung dengan bagaimana keseharian kita dalam menjalani kehidupan. Jika kita tenggelam dalam diskursus masalah-masalah aktual terkini dengan menyibukkan diri di media sosial, jika kita hidup dalam pikiran yang dikotori oleh dedikodu dan pikiran buruk lainnya, atau jika kita tidak pernah serius, menganggap enteng, dan selalu bercanda dalam kehidupan keseharian kita, maka kepekaan yang diharapkan tidak akan muncul dalam diri kita.
Oleh karenanya, dibutuhkan para ksatria yang selalu mampu menata hatinya untuk berhati-hati menjalani kehidupan, selalu menginstropeksi diri atas apa yang telah diperbuat, dan selalu menengadahkan kedua tangan seraya berdoa agar diberikan petunjuk jalan yang benar, jalan yang lurus, dan jalan yang diridhai-Nya.
Sebuah Refleksi
Ya, musibah akan datang dan menghampiri kita. Jalan yang tepat untuk menghadapi musibah adalah dengan kesabaran. Kita harus menyadari bahwa segala sesuatu itu datangnya dari Tuhan yang Mahakuasa, dan segala sesuatu akan kembali kepada-Nya. Maka, sebagai orang yang beriman, sikap sabar adalah sebuah keharusan karena kita tak pernah tahu apa skenario Tuhan yang sedang dijalankan dalam kehidupan kita.
Setelah kita memahami hal ini, maka kesabaran perlu diiringi dengan sikap keridhaan. Ridha atas segala takdir yang telah digariskan dalam kehidupan kita. Ridha atas segala konsekuensi yang akan kita dapati dalam setiap musibah yang kita terima.
Sabar dan ridha tidak berarti kita berpangku tangan atas segala musibah yang menimpa kita. Sabar dan ridha adalah puncak dari ikhtiar kita dalam rangka menjauhkan diri dari segala bala dan musibah. Sabar dan ridha seakan menjadi dua senjata ampuh yang dimiliki seorang yang beriman dalam menghadapi dampak buruk bala dan musibah. Dengan sabar dan ridha manusia akan menunjukkan sisi kemalaikatannya dan bisa mengambil hikmah dari bala dan musibah yang dihadapinya.