Tanya: Bagaimana metode mendapatkan hati manusia yang dilakukan Rasulullah dan para Ashabul Kiram, sebagai sosok yang senantiasa hidup dengan kecintaan dan nyeri tabligh? Apakah perjuangan mencari dada yang bisa memahami diskusi selama 30-40 menit dalam sebuah perjalanan kereta api pun dihitung sebagai cerminan dari cinta dan rasa sakit itu? Apa peran dari pendekatan individu (dakwah fardiyah) dalam usaha ini?
Jawab: Ya, diriwayatkan bahwa Rasul & Ashabul Kiram senantiasa hidup dalam semangat tablig & menanggung deritanya. Pertama-tama, sangat penting untuk meyakini urgensi berdakwah dan yakin akan adanya ganjaran yang dijanjikan kepada para pelaku dakwah. Ya, mereka meyakininya. Seberapa percaya? Mereka lebih percaya pada dakwah daripada pada fakta bahwa setelah hari ini akan datang hari esok. Mereka lebih percaya pada dakwah daripada pada fakta bahwa setelah matahari tenggelam malam akan tiba.
Matahari bisa saja tidak terbit, malam bisa saja tidak datang. Seberapa besar kemungkinannya matahari tidak terbit dan malam tidak datang? Mungkin hanya 1/1triliun. Kemungkinan itu muncul seperti saat Allah Subhanahu Wa Ta’ala menahan matahari sebagai salah satu mukjizat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, sehingga malam pun tidak datang. Atau kiamat pecah, sehingga malam tidak datang karena yang datang adalah hal lain.
Namun, mereka sangat percaya pada tujuan mereka sehingga mereka mempercayainya dengan pasti seperti percaya pada hasil hitungan matematika. Mungkin terdapat keraguan pada hasil hitung dua kali dua sama dengan empat. Akan tetapi, kami tidak ragu pada akhir perjalanan kami. Kami tidak sedikit pun ragu pada yang dijanjikan Allah dan Rasul-Nya kepada kami. Mereka meyakini hakikat itu. Ini adalah perkara yang sangat penting.
Mungkinkah kepercayaan ini muncul secara tiba-tiba? Allah ketika mengutus Rasulullah di waktu yang sama Dia juga mengirim orang-orang yang akan menyambutnya. Anda tidak bisa menjelaskan perkara ini dari sudut pandang lainnya. Rasulullah dibekali mungkin dengan satu ayat atau satu surat. Rasulullah mengambil pesan ini dengan semangat untuk menyampaikan apa saja yang dijanjikan oleh pesan ini kepada orang lain. Beliau menyampaikannya kepada Sayyidah Khadijah.
Semoga Ummul Mukminin Khadijah mengampuni kita dan berkenan memasukkan kita dalam naungan pengayomannya. Semoga beliau berkenan mengusap rambut kepala kita di akhirat nanti. Dan mengakui kita sebagai anak-anaknya, insya Allah.
Tanpa keraguan, ia meletakkan telapak tangan di dadanya dan berkata: “Sampaikan kepadaku…! Sekali-kali Allah tidak akan merendahkanmu! Sesungguhnya engkau menyambung hubungan keluarga, menafkahi kerabat, dan membantu orang-orang tidak mampu. Memberikan jamuan kepada tamu serta menolong orang-orang yang tertimpa musibah. Allah tidak akan mengizinkan setan mengganggumu, mereka tidak akan membuatmu tenggelam dalam khayalan. Tidak bisa diingkari lagi, Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah memilih engkau untuk memberi petunjuk kepada kaummu. Jalan yang engkau tempuh selalu merupakan jalan menuju kekamilan.. Ufukmu senantiasa merupakan ufuk yang agung…” Ini merupakan respon dan pemikiran yang luar biasa. Dialah orang yang pertama kali menghibur Rasulullah.
Orang yang kedua adalah Sayyidina Abu Bakar. Dia adalah orang yang pertama kali ditemui Rasulullah ketika keluar rumah pasca beliau menerima wahyu. Ia adalah sosok yang dikenal dan sering membersamainya sejak masa kecilnya. Jarak umurnya 2-3 tahun lebih muda. Beliau menanyai Sayyidina Abu Bakar: “Kepada siapakah akan kusampaikan pesan ini?” Sayyidina Abu Bakar menjawab tanpa ragu: “Kepadaku Ya Rasulullah!”
Ketika melihat peristiwa itu dari perspektif ini, ketika Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengirimkan sosok yang akan membawa pesan yang akan mengubah warna dunia, ketika Allah mengirimkan seorang insan kamil untuk membawa pesan agung ini, sejak awal Dia menyiapkan sosok-sosok dengan karakter khusus yang akan menyambut pesan dari utusan-Nya. Demikianlah Allah memprogram dan menakdirkannya. Beberapa dari mereka hanya membutuhkan satu ayat untuk melejit, misalnya Abu Bakar, Ali, dan Usman radhiyallahu anhum. Tiga-empat tahun kemudian Sayyidina Umar menyusul. Demikian juga para Asyarah Mubasyarah, mereka semua merupakan sahabat muhajirin. Anda juga dapat mengkaji mereka dengan kriteria yang serupa.
Faktor kedua, seperti yang dibahas Badiuzzaman, yaitu faktor insibag (celupan). Kepada siapa pun Rasulullah menggoreskan kuas pesan, perasaan, dan pemikirannya, seakan mereka yang digores mengalami proses melangit. Mereka yang menyaksikan sikap, perilaku, dan tatapan matanya akan berseru: “Tidak ada kebohongan padanya”. Apabila mereka yang menyaksikannya tidak memiliki praduga, mereka akan takjub & jatuh hati kepadanya. Dan berseru: “Beliau sosok terpercaya yang layak untuk diyakini”. Demikianlah besaran kekuatan magnetnya. Mereka yang tadinya hidup di dalam jelaga hitam pun seketika rontok noda-nodanya. Seakan disucikan oleh telaga kautsar di surga sehingga mereka layak bersanding bersama malaikat. Teruntuk mereka yang meyakini adanya kehidupan setelah mati dengan segala kriterianya dan mereka yang meyakini Rasulullah serta pesan-pesan yang dibawanya, sungguh terdapat ganjaran atas apa yang mereka yakini sebagai kabar gembira yang telah dijanjikan.
Sebaliknya, terdapat ancaman bagi mereka yang mengingkarinya. Di satu sisi, mereka yang meyakininya akan berangkat menuju kebahagiaan abadi. Mereka menjadi calon orang beruntung yang akan menyaksikan jamaliyah Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Mereka berangkat menuju ufuk untuk meraih rida Allah. Sedangkan mereka yang tidak meyakininya akan mendapat hal yang sebaliknya. Jika kelompok yang satu melangit, menyerupai malaikat, berangkat menuju derajat malakut. Maka kelompok yang ini akan terpuruk dan tergelincir ke derajat asfala safilin. Kini jika kita melihat perbedaan dari dua keadaan ini secara bersamaan, maka kelompok yang berhati bersih ini akan dengan penuh semangat menyebarkan pesan-pesan ini kepada manusia. Aku tidak bisa menggunakan analogi yang sama untuk Rasulullah. Namun, Al Qur’an menjelaskan kondisinya dalam dua ayat Fa la’allaka bākhi’un nafsak (QS al Kahfi 18:6) yang artinya “Maka (apakah) barangkali kamu akan membunuh dirimu”
Beliau sangat ingin agar umatnya memilih jalan yang pertama supaya umatnya melejit ke derajat ‘alaya iliyin, supaya umatnya dimuliakan dengan surga. Dengan demikian mereka akan dimahkotai kesempatan menyaksikan jamaliyahnya Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Beliau berharap umatnya untuk meyakininya sehingga mereka pun menjadi layak dimahkotai dengan Ridwan. Beliau berseru “Orang ini juga harus yakin/beriman… Orang itu juga harus yakin/beriman…” . Bukan seperti apa yang dikatakan sebagian teolog islam masa kini: “Allah juga punya neraka. Buat apa kamu terlalu semangat berdakwah dan mengundang orang-orang?” Ungkapan ini merupakan wujud ketidaksadaran diri dan ketidakpahaman akan makna neraka.
Nadanlar eder sohbeti nadan ile telezzüz
Divanelerin hemdemi divane gerektir.
Hanya orang tak berilmu yang menikmati perbincangan dengan orang dungu.
Dan kawan orang gila adalah juga orang yang tak berminda.
Ziya Pasa
Di sisi lain, orang-orang yang tidak beruntung berarti kehilangan kebahagian abadinya. Sebagaimana dibahas dalam tafsir. “… Lābiṡīna fīhā aḥqābā.”… Mereka tinggal di dalamnya berabad-abad lamanya (QS An Naba 78:23)
Serta ayat: Innallażīna kafarụ bi`āyātinā saufa nuṣlīhim nārā, kullamā naḍijat julụduhum baddalnāhum julụdan gairahā liyażụqul-‘ażāb, innallāha kāna ‘azīzan ḥakīmā, Setiap kali kulit mereka hangus, Kami ganti kulit mereka dengan kulit yang lain, supaya mereka merasakan azab (QS. An-Nisa 56). Ya, Setiap kali kulitnya hangus, Allah akan ganti kulitnya dengan kulit yang lain sehingga mereka bisa merasakan azab.
Ketika melihat gambaran dari ancaman ini, hati kita bergidik “Ampun Ya Allah..!” Ternyata kita harus merangkul dan menyelamatkan orang-orang. Kini menghadapi masalah yang demikian jika Anda masih memiliki hati nurani, Apakah Anda tidak akan membunuh diri Anda sendiri seperti yang dirasakan oleh Rasulullah? Inilah yang dirasakan dan dipikirkan para sahabat. Di satu sisi mereka memandang surga dengan mata kepalanya. Mereka tidak akan menyia-nyiakannya. Di sisi lain mereka menyaksikan neraka seperti digambarkan oleh Al Qur’an. “Ampun beribu ampun! Jangan sampai Allah menjebloskan kita ke tempat ini!” Jangan sampai satu orang pun jatuh ke dalamnya. Oleh karena itu, kita harus mengulurkan tangan.
Kemudian ia tidak menikmati waktu untuk pribadinya. Ia menggunakannya untuk kebutuhan orang lain. Mereka rela mati asal orang lain bisa bangkit hidup. Mereka hidup untuk orang lain. Hidup yang tak digunakan untuk hidup orang lain tak layak disebut hidup. Hidup yang demikian adalah hidup yang rugi. Dan mereka tak tinggal diam di derajat yang rendah itu. Mereka selalu hidup di derajat alaya iliyyin, menuju kekamilan hidup.
Pertama-tama, permasalahannya perlu ditinjau dari sudut pandang ini. Demikianlah Rasulullah dan ashabul kiram hidup dalam semangat dan pilunya dakwah dan cara memenangkan hati manusia.
Selain itu, yang ketiga adalah mulayamah (lemah lembut). Ia merupakan faktor penting lainnya. Ia dibahas dalam Al-Qur’an dalam bentuk anjuran kepada Nabi Musa supaya berlaku dengan Qawl Layyin. Jika Anda menunjukkan kebaikan, kelembutan, dan toleransi dalam wajah dan pemikiran Anda, jika Anda memiliki rasa hormat terhadap nilai-nilai kemanusiaan universal, pihak lain tidak akan tidak menghormati Anda, mereka juga akan menghormati Anda. Ini akan menjadi kisah penuh hormat yang disampaikan kepada pihak yang penuh rasa hormat juga. Ia disebut Qawl Layyin, yaitu tutur kata yang lembut.
Misalnya Anda pergi menemui Amenophis II atau Firaun. Lalu Anda berseru: “Wahai orang merugi yang merasa dirinya adalah tuhan! Saya mengundangmu kepada hidayah. Jika menolak, dirimu akan dijebloskan ke dalam neraka.”
Namun, perintah Al-Qur’an berkata: “Fa qụlā lahụ qaulal layyinal la’allahụ yatażakkaru au yakhsyā ~ Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut”. (QS. Thaha 44)”.
Dengan adanya perintah ini, maka kita perlu sesuaikan apa yang akan kita sampaikan. Mungkin disampaikan: “Wahai hamba Allah…”
Saya rasa pemilihan kata yang tepat juga merupakan faktor yang sangat penting. Apabila Anda merangkul semua orang, termasuk kepada mereka yang menghina Anda, maka alam semesta pun akan merangkul Anda. Lewat pendekatan Rumi dan Yunus Emre kita rangkul semua orang. Kita harus mampu berkata:”Nilai yang saya yakini telah mentarbiyah sikap saya.” Bukankah ini cukup meyakinkan?
“Saya pun juga seorang manusia, saya pun bisa marah. Namun nilai yang saya yakini telah membentuk karakter saya sedemikian rupa. Meskipun Anda menghina saya sedemikian rupa, saya tetap ingin merangkul Anda.”
Pada akhirnya, mereka juga manusia; Sebagai apresiasi mereka pun akan memberi respon positif. Apalagi dengan beragamnya perbedaan yang ada dewasa ini. Misalnya perbedaan agama, mazhab, dan suku. Di satu sisi kita perlu menutup mata pada perbedaan tersebut untuk kemudian mengundangnya minum teh. Kita pun perlu datang juga memenuhi undangannya, atau mengunjunginya sambil membawa bingkisan. Kita juga bisa memanfaatkan hari-hari besar agama.
Contoh lainnya bisa Anda tambah sendiri. Misalnya kita membuat program untu memperingati waktu wahyu pertama turun atau lazim disebut Nuzulul Qur’an. Itulah hari di mana pintu langit dibuka kepada kita. Kita harus memaksimalkan dan manfaatkan hari ketika wahyu pertama turun di singgasana Hira tersebut melalui peringatan yang penuh makna.
Contoh berikutnya, kita buat peringatan hari di mana Rasulullah diboikot misalnya.
Berikutnya yaitu peringatan Maulid Nabi. Tentu program maulid kita sudah rutin melakukannya; atau peringatan Isra Mikraj.
Contoh berikutnya, membuat peringatan wafatnya Sayyidah Khadijah. Dalam program tersebut kita bsia membaca manaqibnya. Kita sampaikan kisah hidup Ummul Mukminin yang agung.
Contoh berikutnya, membuat peringatan tahun baru hijrah yang dimulai perhitungannya pada masa Sayyidina Umar. Ketika membahas tahun baru hijriah otomatis kita akan membahas kemuliaan hijrah. Hijrah merupakan awal keberadaan dan awal pembentukan negeri madani. Di dalamnya terdapat peristiwa dipersaudarakannya muhajirin dan ansar, serta hal agung lainnya.
Kita bisa memanfaatkan beragam peristiwa serupa. Misalnya iduladha, idulfitri, nisfu syaban, dsb. Di masyarakat kita terdapat penghormatan terhadap hari-hari besar itu. Itu juga merupakan kesempatan bagi Anda untuk menyampaikan rasa hormat kepada hari-hari besar tersebut. Di hari tersebut bisa kita bawakan bubur sumsum, bubur candil, bubur baro-baro, dsb. Kita masakkan juga rendang, dan nasi liwet. Melalui sarana ini kita coba menunjukkan bahwasanya kita dekat. Kunjungan ini kita jadikan sebagai jembatan penghubung. Dengan jembatan yang dibangun itu mereka pun bisa datang mengunjungi kita. Di hari berikutnya Anda akan menyaksikan mereka membawakan teh dan kopi untuk Anda. Saya pikir hal-hal ini sangatlah penting untuk mengenalkan dunia Anda, Wallahu alam.