MENGIRINGI DAKWAH DENGAN DO’A

MENGIRINGI DAKWAH DENGAN DO’A

DITULIS OLEH: MUHAMMAD FETHULLAH GÜLEN HOCAEFENDI

Berdo’a merupakan tugas utama yang harus senantiasa dilakukan oleh seorang da’i, karena berdo’a adalah sarana yang paling utama untuk berhubungan dengan Allah Swt. Masalah ini sangat dibutuhkan oleh setiap orang, terutama para nabi dan da’i, karena untuk memberi petunjuk kepada manusia tidaklah mudah, dan kewenangannya hanya di tangan Allah Swt. Dia yang berhak memberi petunjuk atau kesesatan bagi siapapun yang dikehendaki-Nya. Jadi, manusia, siapa pun, tidak berwenang memberi petunjuk atau memberi kesesatan kepada siapapun. Tentang masalah ini, Allah Swt telah berfirman, “Katakanlah (kepada orang-orang musyrik), “Tuhanku tidak mengindahkan kamu, melainkan kalau ada ibadatmu. (Tetapi bagaimana kamu beribadat kepada-Nya), padahal kamu sungguh telah mendustakan-Nya? Karena itu, kelak (azab) pasti (menimpamu),” (QS al-Furqân [25]: 77).

Kesimpulannya, setiap mukmin, khususnya para nabi dan da’i, harus rajin memohon kepada Allah Swt untuk diberi kemudahan membuka pintu hati para pendengarnya. Adakalanya, karena do’a seorang yang mukhlis, banyak orang yang diberi petunjuk oleh Allah Swt lebih dari yang diberi ceramah. Sehingga, do’a mempunyai kekuatan bagai sihir yang dapat memengaruhi hati orang banyak. Selain itu, do’a juga menjadi senjata orang mukmin dan benteng yang paling ampuh baginya, baik di masa lalu maupun di masa kini. Karenanya, setiap da’i harus rajin memohonkan petunjuk kepada Allah Swt bagi umatnya sebelum ia berdakwah; kemudian, setelah itu, ia berdakwah semampunya. Dengan kalimat yang lebih sederhana, dapat dikatakan di sini bahwa setiap da’i harus berdo’a, menggunakan cara-cara yang masuk akal, sederhana, menarik, dan menimbulkan simpati agar dakwahnya bisa diterima oleh orang banyak.

Rasulullah Saw. telah berusaha sekuat tenaga untuk menyampaikan dakwahnya kepada kaumnya dengan berbagai cara, tetapi beliau tidak pernah terlepas dari berdo’a. Disebutkan bahwa beliau Saw. pernah berdo’a memohon pertolongan Allah Swt agar hati ʿUmar bin Khattab dibuka untuk masuk ke dalam Islam. Do’a beliau Saw. diterima; tidak lama setelah itu, Umar diberi petunjuk oleh Allah Swt untuk masuk Islam.

Disebutkan bahwa pada suatu hari, Abu Hurairah meminta do’a dari Rasulullah agar hati ibunya dibuka sehingga mau menerima Islam. Dalam sebuah riwayat yang lain, disebutkan bahwa Abu Hurairah ra. berkata, “Pada suatu hari, aku mengajak ibuku masuk ke dalam Islam, ketika ia masih sebagai wanita musyrik. Namun, ia mengata-ngatai Islam, sehingga aku datang kepada Rasulullah Saw. seraya menangis, “Ya Rasulullah Saw., tadinya aku mengajak ibuku masuk ke dalam Islam, tetapi ia menjelek-jelekkan Islam. Karena itu, do’akan semoga ibuku mau masuk Islam.” Kemudian, Rasulullah Saw. berdo’a, “Ya Allah, berilah petunjuk kepada ibunya Abu Hurairah.” Kemudian, aku keluar pulang ke rumahku untuk mengabarkan kepada ibuku tentang do’a beliau baginya. Namun, anehnya, ketika aku tiba di depan pintu rumahku, aku lihat pintu rumahku tertutup. Ketika ibuku mendengar langkah kakiku, ia berkata, “Tunggulah sebentar, wahai Abu Hurairah.” Aku mendengar ia sedang mandi; setelah itu, ia memakai baju dan kerudung, kemudian ia membuka pintu seraya berkata, “Wahai Abu Hurairah, aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan aku bersaksi juga bahwa Muhammad adalah hamba Allah dan Rasul-Nya.” Kata Abu Hurairah, “Kemudian aku kembali ke tempat Rasulullah Saw. sambil menangis atas keislaman ibuku.”

SELARASKAN QALBU DENGAN Al-QUR’AN

SELARASKAN QALBU DENGAN Al-QUR’AN

DITULIS OLEH: MUHAMMAD FETHULLAH GÜLEN HOCAEFENDI

Jika seorang da’i ingin berhasil dalam usaha dakwahnya, maka hendaklah ia menyesuaikan qalbunya seiring dengan petunjuk-petunjuk Al-Qur’an dan Al-Sunnah. Sebab, hubungan antara qalbu dengan tuntunan Al-Qur’an dan Al-Sunnah sangatlah dekat. Dengan kata lain, Al-Qur’an ini sangat erat hubungannya dengan qalbu yang bersih dan sadar diri. Sebagaimana telah disebutkan oleh Allah Swt. dalam firman-Nya berikut ini: “Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mau menggunakan fungsi akalnya, atau yang mau menggunakan pendengarannya, sedang ia menyaksikannya” (QS Qâf [50]: 37).

Al-Qur’an adalah kitab suci yang Allah Azza wa Jalla turunkan bagi umat Islam. Di dalamnya mengandung berbagai petunjuk, nasihat yang baik, dan sekaligus peringatan. Syarat utama agar bisa meresapi seluruh kandungan Al-Qur’an ke dalam sanubari adalah qalbu kita harus terbuka atau bersedia menerima ajaran Al-Qur’an. Oleh karena itu, setiap pembaca Al-Qur’an hendaknya memusatkan pandangan dan pendengarannya kepada kandungan Al-Qur’an.

Bahkan, sangat dianjurkan agar ia menfokuskan seluruh perhatian kepada isi Al-Qur’an. Karena, tidak mungkin seseorang dapat mengambil pelajaran dari Al-Qur’an jika ia juga bersedia menerima petunjuk dari sumber yang lain atau mengikuti jalan yang bertentangan dengan jalan yang telah ditetapkan dalam Al-Qur’an. Sebab, siapa saja yang perhatiannya tidak sejalan dengan ajaran Al-Qur’an, maka ia tidak akan menikmati ketinggian nilai mukjizatnya. Bahkan, ia akan berani menyamakan Al-Qur’an dengan ucapan manusia biasa dalam perlakuannya terhadap Al-Qur’an. Siapa pun yang menilai Al-Qur’an dengan penilaian seperti itu, maka ia tidak akan bisa mengamalkan ajaran Al-Qur’an, meski ia banyak berbicara tentang Al-Qur’an. Sebab, Al-Qur’an sendiri menyatakan sebagai berikut: “Alîf lâm mîn, Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa” (QS al-Baqarah [2]: 1-2).

Kitab suci Al-Qur’an berisikan firman-firman Allah Swt., Tuhan seluruh alam semesta. Di dalamnya tidak ada yang perlu diragukan, dan kitab tersebut tidak dapat memberi petunjuk apa pun, kecuali kepada orang-orang yang bertakwa hanya kepada-Nya.

Dari penjelasan firman Allah di atas, dapat disimpulkan bahwa orang-orang yang bertakwa adalah manusia yang paling mulia, dan mereka paling mengerti dengan syari’at Islam yang sangat cocok dengan fitrah manusia. Perlu diketahui pula bahwa seseorang yang tidak peduli dengan ajaran Al-Qur’an, maka ia bukanlah orang yang bertakwa, karena qalbunya tidak dapat menerima petunjuk apa pun dari Al-Qur’an. Bahkan, qalbunya telah tertutup rapat (mati), sehingga tidak dapat melihat kebenaran Al-Qur’an. Sebagaimana telah disebutkan oleh Allah Swt. dalam Al-Qur’an berikut ini: “Dan orang-orang yang beriman bertanya, mengapa tiada diturunkan suatu surah?” Maka apabila diturunkan suatu surah yang jelas maksudnya, dan disebutkan di dalamnya perintah berperang, maka akan engkau lihat orang-orang yang ada penyakit di dalam qalbunya memandang kepadamu seperti pandangan orang yang pingsan karena takut mati. Dan kecelakaanlah bagi mereka” (QS Muhammad [47]: 20).

Bagaimana pendapat Anda jika seorang yang sedang tidak sadarkan diri akibat ketakutan mampu mengerti ajaran Al-Qur’an dan Sunnah Rasul-Nya? Tentu, tidak mungkin sama sekali. Akan tetapi, seorang yang sanubarinya terfokus dan peduli kepada ajaran Al-Qur’an, maka ia akan mampu memerhatikan segala kejadian yang ada di alam semesta ini sebagai ciptaan Allah Swt. Sebaliknya, jika seseorang tidak dapat memerhatikan segala kejadian yang ada di alam semesta ini sebagai ciptaan Allah, maka ia tidak akan bisa menerima petunjuk apa pun yang bersumber dari Al-Qur’an.

Jika kita tinjau masalah ini dari sisi yang sedikit berbeda, maka dapat kita simpulkan bahwa ketika seorang da’i ingin berhasil dalam dakwahnya, maka hendaklah sanubarinya selalu disesuaikan dengan petunjuk-petunjuk Al-Qur’an. Apabila ia mampu menyesuaikan sanubarinya dengan petunjuk-petunjuk Al-Qur’an, maka dijamin ia akan berhasil dalam dakwahnya. Jika sebaliknya, maka usaha dakwahnya akan mengalami kegagalan. Karena, seorang da’i akan mampu mengambil pelajaran dari petunjuk-petunjuk Al-Qur’an, jika ia bisa menyatukan qalbunya dengan tuntunan Al-Qur’an. Sehingga diharapkan ia akan bisa menjadi seorang yang mempunyai sanubari lembut, bersih, penuh kasih sayang yang mulia, dan berbagai sifat terpuji lainnya. Lalu ia akan menjadi seorang Mukmin yang sejati.

Segala perwujudan dari sifat orang yang bersikap ingkar pada masa sekarang ini tidak selalu menunjukkan bahwa ia sebagai seorang yang kafir. Demikian pula halnya dengan sifat orang beriman yang tidak selalu menunjukkan bahwa ia sebagai orang yang beriman. Adakalanya sifat-sifat seorang mukmin diwarnai dengan sifat-sifat mereka yang kafir pada tampilan lahiriahnya. Oleh karena itu, pada masa sekarang ini banyak kaum mukmin yang kemudian menjadi lemah karenanya. Sebab, setiap mukmin dituntut untuk mempunyai segala sifat yang berlaku sebagai seorang mukmin, terutama para da’i yang harus memiliki sifat-sifat seorang mukmin secara penuh. Karena, seorang Mukmin adalah cerminan dari sikap seorang yang berjiwa lembut, bersih, ramah, dipenuhi kasih sayang, sehingga ia mampu menyaksikan alam semesta ini sebagai karunia Allah Yang Maha Memberi.

Hendaknya pula seorang mukmin mempunyai kehidupan yang teratur dalam segala aspeknya, sehingga tidak satu saat pun yang ia lewati melainkan ia terlihat sebagai seorang yang terpimpin dan mendapat petunjuk kebenaran. Seorang mukmin tidak boleh membuang waktunya sia-sia di tempat-tempat yang tidak mendatangkan manfaat. Sebab, tempat-tempat dimaksud tidak akan menisbahkan kebaikan apa pun baginya. Sebaiknya, seorang mukmin keluar dari rumah menuju ke tempat-tempat yang baik seperti masjid, majelis ilmu, dan tempat-tempat untuk berdakwah. Jika seorang da’i telah mempunyai sifat-sifat terpuji yang sejatinya dimiliki oleh orang mukmin, maka ia menjadi seorang penuntun ke jalan yang baik.

Kini kita dapat membuktikan mengapa sebagian orang di wilayah Barat lebih unggul daripada orang-orang Islam di wilayah Timur. Karena, mereka mau melaksanakan apa yang menjadi dasar pijakan dari ajaran Islam dengan baik. Sehingga mereka mendapatkan kemajuan yang luar biasa. Sedangkan umat Islam sendiri mengalami kemunduran di berbagai bidang, karena mereka justru melupakan atau menjauh dari ajaran Islam yang sejati. Sehingga dapat kita simpulkan di sini bahwa siapa saja yang bersedia melakukan ajaran Islam dengan baik, maka ia akan mendapat keunggulan di berbagai bidang kehidupan. Dan jika sebaliknya, maka mereka akan mengalami kemunduran di berbagai bidang kehidupan ini. Oleh karena itu, tidak ada pilihan lain bagi seorang mukmin untuk menyelamatkan dirinya di kehidupan alam dunia ini dan alam akhirat kelak, kecuali dengan berpegang-teguh terhadap ajaran Al-Qur’an.

BEKALI DIRI DENGAN ILMU PENGETAHUAN

BEKALI DIRI DENGAN ILMU PENGETAHUAN

Ditulis oleh : Muhammad Fethullah Gülen Hocaefendi

Semua jenis ilmu mempunyai definisi tersendiri, dan setiap pengamalan juga mempunyai caranya tersendiri. Tanpa mengetahui definisi dan cara pengamalannya, maka seseorang tidak patut membicarakan satu bidang ilmu apa pun, serta tidak patut pula membicarakan pengamalannya sedikit pun. Disebabkan masalah dakwah adalah tugas seorang muslim saja, maka untuk pelaksanaannya, ia mempunyai berbagai pokok dan cara tersendiri pula. Setiap dakwah yang tidak mengindahkan cara-cara yang telah dituntunkan, maka tidak akan ada keberhasilannya sedikit pun, selain kesia-siaan. Apabila padanya ditemukan sejenis keberhasilan, maka nilai keberhasilan itu tidak akan pernah berlangsung lama.

Dalam kesempatan ini, perlu saya sampaikan berbagai cara berdakwah, meski sesungguhnya tata cara berdakwah tidak hanya terbatas seperti apa yang saya sampaikan saja. Sebab, apa yang saya sampaikan di sini hanyalah bagian-bagian terpentingnya saja. Sedangkan secara lengkap dapat ditemukan di dalam firman Allah Swt. dan sabda Rasulullah Saw., yang memberi penjelasan tentang cara berdakwah secara lebih luas serta komprehensif.

Setiap da’i yang menegakkan amar ma’ruf nahi munkar, disyaratkan harus mempunyai ilmu pengetahuan yang luas. Sebab, hubungan antara ilmu pengetahuan dengan cara berdakwah sangat erat. Terutama, mempunyai pengetahuan tentang ilmu agamanya, sehingga ia dapat menerangkan seputar ajaran agamanya itu dengan gamblang dan jelas. Kalau tidak, maka dakwah yang ia sampaikan tidak akan berguna, bahkan akan menjadikan orang lain lari (menjauh) dari ajaran agama yang disampaikannya. Yang demikian itu tidak lain karena da’i-nya tidak menguasai ilmu pengetahuan untuk menerangkan materi dakwahnya secara baik dan tepat sasaran.

Saya akan terangkan sedikit saja tentang ilmu ini, terutama yang terkait dengan dakwah. Juga akan dijelaskan cara pengamalannya. Sebenarnya ilmu di alam semesta ini laksana mihrab bagi Nabi Allah Adam as. Setelah itu, tugas berdakwah dilanjutkan oleh para Nabi dan Rasul setelah beliau. Jika demikian, apakah makna ilmu yang sesungguhnya? Arti ilmu adalah pengenalan seseorang kepada Sang Maha Pencipta, kemudian mengenalkan Sang Pencipta kepada orang lain. Dan hendaknya mereka meyakini bahwa Tuhan kita mempunyai sifat-sifat dan nama-nama yang Mahamulia. Berikutnya, hendaklah ia mengenal Tuhan-nya dengan sebenar-benar pengenalan. Adapun ungkapan, “Siapa yang mengenal dirinya, maka ia mengenal Tuhannya,” sebenarnya ucapan sebenar ini sangat dalam artinya, bahkan hampir sama derajatnya dengan sabda Nabi, meskipun sebenarnya ia bukan termasuk jajaran di dalam sabda Nabi. Akan tetapi, Al-Qur’an mendukungnya, sebagaimana telah disebutkan oleh Allah Swt. di dalam firman-Nya berikut ini: “Dan janganlah engkau seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik,” (QS al-Hasyr [59]: 19).

Jika kalian melalaikan Allah, maka pasti Allah akan melalaikan kalian. Jika kalian telah dilalaikan oleh Allah, maka sudah tentu kalian akan jauh dari sisi-Nya. Sehingga kalian akan menjadi orang yang terasing, bahkan kalian tidak akan ingat kepada diri kalian sendiri. Siapa saja yang telah masuk ke dalam lingkaran setan, maka ia akan sangat berat untuk bisa melepaskan dirinya dari lingkaran itu. Bahkan ia akan menjauh dari ajaran Al-Qur’an dan sunnah-sunnah Nabi-Nya.

Janganlah kalian melupakan Allah Swt. sedetik pun, agar kalian tidak dilupakan oleh-Nya kapan saja. Sebab, jika kalian telah lalai dari mengingat Allah, maka kalian akan menjauh dari sisi-Nya. Berapa banyak orang yang rajin membicarakan Al-Qur’an dan ajaran Islam, akan tetapi ia justru menunggu orang lain yang mengerjakannya? Bahkan, ada sekelompok orang yang justru melupakan ajaran Islam dengan menghinakannya di rumahnya sendiri. Berapa banyak orang yang mengelu-elukan ajaran Al-Qur’an dan al-Sunnah, akan tetapi mereka justru melupakan diri mereka sendiri? Sehingga mereka tidak pernah mengamalkan ajaran Al-Qur’an dan Al-Sunnah.

Perumpamaan kita di dalam kehidupan ini sama dengan seseorang yang tengah mendaki ke sebuah bukit yang tinggi. Kalau kita tidak berhati-hati menempatkan telapak kaki kita di posisi yang sebenarnya, maka sudah tentu kita akan terpeleset atau bahkan bisa terjatuh ke jurang, yang itu bisa menyebabkan kebinasaan diri kita. Berapa banyak orang yang lalai terhadap dirinya sendiri? Terutama pada saat mereka berada di tempat-tempat suci, seperti di tempat ibadah, di masjid, di Ka’bah, di Raudah, dan lain sebagainya. Sungguh amat mengherankan betapa banyak di antara mereka yang melalaikan dirinya sendiri di tempat-tempat yang suci seperti itu. Sungguh, alangkah meruginya orang-orang yang seperti itu.

Setiap ilmu pasti mempunyai tujuan tersendiri, yaitu mendorong seseorang untuk mengenal dan mencintai Tuhannya. Karena, jika ilmu tidak mendorong seseorang (pemiliknya) untuk mencintai Tuhannya, maka ilmu itu tidak berguna baginya. Sebab, ilmu harus menjadi sumber kehidupan bagi jiwa dan perasaannya. Jika seseorang telah kehilangan sentuhan dari perasaannya, maka ilmu yang tersedia pada dirinya sama sekali tidak berguna bagi dirinya. Adapun ilmu yang sangat dianjurkan oleh Al-Qur’an dan al-Sunnah untuk menuntutnya adalah ilmu yang dapat mengenalkan seseorang kepada Tuhannya. Selain itu, Al-Qur’an dan al-Sunnah tidak menganjurkan untuk mengetahuinya (tidak mewajibkan untuk menuntut ilmu tersebut).

Sehubungan dengan pembahasan kita kali ini, maka kita perlu memahami seputar berbagai ayat dan hadis yang menganjurkan manusia untuk mencari ilmu pengetahuan. Sebagaimana yang telah disebutkan oleh Allah ‘Azza wa Jalla di dalam firman-Nya berikut ini: “Katakanlah, ‘Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui? Sesungguhnya orang-orang yang mau menggunakan akalnyalah yang dapat menerima pelajaran,” (QS al-Zumar [39]: 9).

Firman Allah Swt. di atas mengisyaratkan kepada kita bahwa ilmu yang membawa manusia untuk mengenal Tuhannya dengan ilmu yang menghalangi manusia dari mengenal Tuhannya tidaklah sama. Orang yang membolak-balikkan halaman-halaman buku tanpa berusaha memahami isinya laksana seekor binatang pengerat yang mencari rahasia di balik tumpukan suatu benda. Sehingga ia tidak akan sempat memetik segaris pun manfaat dari sejumlah buku yang dipegangnya. Menurut bahasa Al-Qur’an, ia bagai seekor keledai yang memikul sejumlah buku. Dengan kata lain, buku-buku yang meski mengandung banyak sekali ilmu pengetahuan itu pun menjadi tidak berguna bagi seekor keledai. Akan tetapi, berbeda jauh dengan seorang yang rajin membaca ilmu pengetahuan, dan ilmu itu menyebabkan ia mengenal Allah. Sebagaimana Allah ‘Azza wa Jalla telah berfirman: “Sesungguhnya mereka yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah para ulama” (QS. Fâthir [35]: 28).

Jelas sekali bahwa firman Allah Swt. di atas memuji orang-orang yang berilmu, yang dengan ilmunya mereka dapat mengenal Allah dengan baik. Sehingga mereka selalu bertata-krama dan bersikap khusyu’ terhadap Tuhannya. Firman Allah di atas didukung oleh sabda Rasulullah Saw. berikut ini: “Sesungguhnya para ulama itu adalah para pewaris para Nabi.”

Menurut hadis di atas, dapat kita simpulkan bahwa ada sekelompok manusia yang mengenal Allah melalui ilmu pengetahuan yang dimiliki. Mereka itu adalah para Nabi. Sedangkan kita –sebagai umat beliau– tidak sampai pada tingkatan seperti mereka. Kita dapat mengenal Allah ‘Azza wa Jalla melalui perantaraan cahaya yang keluar dari lisan para Nabi dan Rasul. Sebab, tidak seorang pun mampu mencapai pengenalan diri kepada Tuhannya, kecuali melalui sabda-sabda yang meluncur melalui lisan para Nabi dan Rasul.

Adakalanya sebagian orang dapat mengenal Allah melalui usaha maupun jerih payahnya sendiri. Akan tetapi, untuk lebih mengenal Allah dengan jelas dan gamblang tidak dapat ditembus oleh seorang pun, kecuali melalui petunjuk-petunjuk dari para Nabi dan Rasul. Sebab, mereka adalah para pihak yang telah mendapatkan warisan pengetahuan langsung dari sisi Allah Yang Maha Mengetahui.

Strata selanjutnya (setelah mereka) adalah para hamba Allah yang shalih, yang oleh Al-Qur’an diisyaratkan bahwa mereka itu merupakan pewaris isi bumi. Hubungan antara sabda Rasulullah dan firman Allah di atas sangat terkait erat, karena hamba-hamba Allah yang shalih adalah orang-orang yang paling pantas menjadi khalifah Allah di muka bumi. Mereka adalah para ulama, dan mereka merupakan pewaris para Nabi, bukan yang lain. Sebab, para Nabi adalah penyampai pilihan atas firman-firman Allah.

Demikian pula halnya dengan para ulama. Karena, para ulama adalah pewaris para Nabi, mereka akan mendalami firman Allah dan menyampaikannya kepada orang lain. Adapun kebangkitan seorang hamba itu dimulai dari keberhasilan pemilik ilmu dalam mendalami dan memahami apa yang terkandung di dalam Al-Qur’an dan Al-Sunnah.

Referensi :

[1] Diriwayatkan oleh Imam Bukhari, pada pembahasan mengenai al-‘Ilmu, hadis nomor 10. Juga oleh Imam al-Tirmidzi, pada pembahasan yang sama, al-‘Ilmu, hadis nomor 19
[2] Diriwayatkan oleh Imam al-Tirmidzi, pada pembahasan mengenai al-‘Ilmu, hadis nomor 19.
[3] Diriwayatkan oleh Imam al-Tirmidzi, pada pembahasan mengenai al-‘Ilmu, hadis nomor 1. Juga oleh Imam Abu Dawud, juga pada pembahasan yang sama, mengenai al-‘Ilmu, hadis nomor 9. Diriwayatkan pula oleh Imam Ibnu Majah di dalam Muqaddimah kitab miliknya, halaman 24. Dan pula dirujuk dalam kitab Majma’ al-Zawâid, karya Imam al-Haitsami, Jilid 1, halaman 163.

DELINKUENSI REMAJA, TANGGUNG JAWAB SIAPA?

DELINKUENSI REMAJA, TANGGUNG JAWAB SIAPA?

Bagi pembaca berusia 40 hingga 60 tahun, besar kemungkinan memiliki anak remaja. Kadang kita terkaget-kaget dengan kenakalan remaja zaman ini, yang tak pernah terbayangkan oleh generasi yang lahir 40 atau 60 tahun lalu. Jika anak kecil berbuat nakal, sejatinya mereka hanya memiliki banyak akal. Namun, kenakalan remaja berbeda karena berdampak tidak hanya pada dirinya, tetapi juga pada lingkungan sekitar.

Sering kali, kita terjebak dalam pikiran negatif yang menghakimi kenakalan remaja hanya pada individunya, seolah merekalah satu-satunya yang paling bertanggung jawab atas segala kekacauan. Namun, apakah benar demikian? Apakah remaja yang bangga menjadi begal atau merasa keren dengan kenakalannya harus memikul tanggung jawab sendirian?

Pemuda dan Potensinya

Menurut World Health Organization (WHO), remaja adalah mereka yang berusia 10 hingga 19 tahun. Sementara itu, Peraturan Kesehatan RI Nomor 25 Tahun 2014 mendefinisikan remaja dalam rentang usia 10-18 tahun, sedangkan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana (BKKBN) menetapkan rentang usia remaja adalah 10-24 tahun bagi yang belum menikah. Kementerian Pemuda dan Olahraga menetapkan rentang yang lebih panjang, yakni 16 hingga 30 tahun. Dalam Islam, usia 15 tahun bagi laki-laki dan 9 tahun bagi perempuan menandai jatuhnya kewajiban syariat, meski belum menunjukkan tanda-tanda baligh.

Bung Karno pernah menyampaikan, “Beri aku 1.000 orang tua, niscaya akan kucabut Semeru dari akarnya. Beri aku 10 pemuda, niscaya akan kuguncang dunia.” Meski terkesan hiperbolik, pernyataan ini mengandung pesan bahwa masa depan bangsa bergantung pada pemudanya. Dengan makna serupa, Sayidina Ali juga berkata, “Pemuda hari ini adalah pemimpin masa depan.”

Jika kita melihat sejarah, banyak pemuda yang berperan penting dalam memajukan peradaban. Sultan Muhammad al-Fatih, misalnya, naik tahta pada usia 12 tahun dan pada usia 21 tahun berhasil menaklukkan Konstantinopel. Lalu ada Abdurrahman Ad-Dakhil yang menjadikan Andalusia sebagai pusat peradaban dunia di masa remajanya. Salahuddin al-Ayubi pun dikenal sebagai pemimpin muda yang berhasil menyatukan umat Islam, menghidupkan semangat persatuan dan perjuangan di kalangan umat.

Nama-nama pemuda seperti mereka bersinar di zamannya, tidak hanya menerangi satu sudut kecil peradaban, tetapi menyinari setiap sisi dari bangunan besar peradaban. Dari sejarah ini, kita bisa melihat sulitnya menemukan delinkuensi atau kenakalan remaja dalam setiap episode kehidupan mereka. Apakah cahaya serupa bisa bersinar dari remaja yang nakal di abad ini?

Peran Sentral Pendidikan

Jika remaja adalah mereka yang berusia 12 hingga 30 tahun, maka sebagian besar dari mereka masih berada dalam usia belajar. Faktanya, banyak remaja yang melakukan kenakalan adalah mereka yang masih duduk di bangku sekolah. Karena itu, menghakimi individu atau menumpuk tanggung jawab hanya pada pelaku kenakalan menjadi kurang bijak.

Jika pendidikan berjalan pada haluan yang benar, cerita kenakalan remaja seharusnya tak perlu terjadi. Pendidikan seharusnya mampu melahirkan insan kamil, manusia sejati dengan jiwa kemanusiaan. Mari kita bebaskan diri dari prasangka dan sikap menghakimi. Kita perlu menyadari bahwa selalu ada tanggung jawab kita dalam kekacauan yang dilakukan orang lain, karena sejatinya kita terikat dalam berbagai ikatan: Unity of God, Unity of Cosmos, Unity of Ecosystem, Unity of Mankind, Unity of People, Unity of Family, hingga ikatan terkecil yaitu Unity of Self.

Jauh sebelum ini, Ki Hajar Dewantara mengajarkan bahwa pendidikan adalah tanggung jawab bersama dengan konsep tripusat pendidikan: Lembaga pendidikan, orang tua, dan masyarakat. Lalu, bagaimana peran ketiga elemen ini?

Peran Lembaga Pendidikan

KH Imam Zarkasih pernah memberikan nasihat kuat, “Metode lebih penting daripada materi (bahan ajar),” yang kemudian ditambahkan oleh KH Hasan Abdullah Sahal, “Guru lebih penting dari metode, dan yang terpenting dari segalanya adalah jiwa sang guru.” Nasihat ini tepat, mengingat peran sentral pendidikan dipegang oleh guru. Sayangnya, masih banyak guru yang tak sadar akan besarnya peran mereka sehingga hanya mencukupkan diri pada proses transfer pengetahuan.

Muhammad Fethullah Gulen, tokoh asal Turki yang fokus pada pembinaan generasi muda, merumuskan kriteria guru ideal yang mampu menempati hati siswanya. Menurutnya, guru adalah generasi Rabbani, penerus tugas mulia para Nabi. Mereka konsisten dalam kebenaran dan menghidupkan nilai-nilai luhur. Mengajar adalah tugas besar yang tak dapat dipikul oleh mereka yang terjerat urusan duniawi.

Guru adalah rajul al-Qolb (kesatria hati), yang berpikir, melihat, dan bertindak dengan komponen hati. Kehadirannya adalah rahmat; kata-katanya menyejukkan. Ia mengajarkan rahasia penciptaan dari dalam diri manusia, menunjukkan tujuan hakiki dari penciptaan. Cita-cita tertinggi dari guru Rabbani adalah menghantarkan setiap jiwa menuju keabadian, menghadirkan hikmah dalam jiwa manusia, dan menuntun setiap insan mendekat kepada Tuhan.

Guru adalah arsitek rohani yang mendesain masa depan murid dengan teliti, sosok yang menginspirasi hingga ke dalam relung hati. Ia adalah pribadi yang tak segan menggenggam tangan generasi muda, bagaikan tukang kebun yang menanam benih-benih kemanusiaan sejati. Guru adalah pemandu berpengalaman yang membantu peserta didik keluar dari jalan panjang yang membingungkan. Mereka menghidupi anak didiknya tanpa mengharap pamrih, karena mereka tahu:

“Kita adalah hasil dari apa yang telah ditanam oleh para pendahulu; sementara generasi sesudah kita kelak adalah buah dari jerih payah kita saat ini.”

Referensi

Majalah Mata Air Anakku Banyak (N)Akal vol. 6 No 22

Dina Rahmawati, (2021).  Memahami Pengertian Remaja dan Perkembangannya, SehatQ. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. https://www.sehatq.com/artikel/memahami-pengertian-remaja-dan-tahap-perkembangannya. Di akses pada Kamis, 18 Juli 2023. Pukul 13.42

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2009 tentang Kepemudaan pasal 1 ayat 1

Salim Bin Sumair Al Hadhrami, Safinatun Najah, (Lebanon: Darul Minhaj, 2009) hal. 17

Nur Dinah Fauziah , Muhammad Mujtaba Mitra Zuana. Jurnal Syariah dan Hukum Islam Al-Adalah, Peradaban Islam di Andalusia. Vol.1,No.1, Maret 2016- hal 80-91

AM Ash-Shallabi , Salahuddin al-Ayubi: Pahlawan Islam Pembebas Baitul Maqdis. (Kairo: Darul Ibnu Jauzi. 2007) hal.303

Syair bijak di atas, dipopulerkan pertama kali oleh K.H Imam Zarkasih yang pada awalnya hanya sebatas “ At-thariqah ahammu mina-l-maddah” lalu kemudian dilanjutkan oleh K.H. Hasan Abdullah Sahal sehingga menjadi kata mutiara yang seperti di atas. Lihat Binhadjid : Pondok Moderen Gontor “Interpretasi Makna Atariqoh Ahammu Minal Maadah” https://gontor.ac.id/interpretasi-makna-at-toriqoh-ahammu-min-al-maddah/ (dilihat pada Rabu, 28 Juni 2023. Pukul 22.43

Rabbani secara bahasa berarti orang yang memiliki sifat yang sangat sesuai dengan apa yang Allah harapkan. Secara istilah Ali bin Abi Thalib ra., mendefinisikan “rabbani” sebagai: Generasi yang memberikan santapan rohani bagi manusia dengan ilmu (hikmah) dan mendidik mereka atas dasar ilmu. Sementara Ibnu Abbas ra. Dan Ibnu Zubair ra. mengatakan: Rabbaniyun adalah orang yang berilmu dan mengajarkan ilmunya

Fethullah Gulen, Generasi Rabbani, Para Arsitek Rohani. Majalah Mata Air, Vol. 6 No. 21 Tahun 2019, hlm 4

Kata mutiara ini dikutip dari buku M. Fethullah Gulen, Dari Benih ke Pohon Cedar, (Jakarta: Republika Penerbit, 2018), hlm 1. Buku ini merupakan terjemahan dari Cekirdekten Cinara (Bir Baska Acidan Aile Egitimi), Izmir: Nil Yayinlari, 2002

 Lihat Majalah Mata Air, pada artikel berjudul Rasa Tanggung Jawab. 

Lihat Majalah Mata Air, Pada artikel Bagaimana Mau Tak Peduli

GURU SEJATI DALAM SOROTAN ZAMAN

GURU SEJATI DALAM SOROTAN ZAMAN

Bagi mereka yang memperhatikan perkembangan zaman dengan hati dan pikiran, tentu risau melihat banyaknya sosok yang disebut “guru” justru terjerat dalam berbagai masalah sosial hingga amoral. Di masa lalu, kata “guru” begitu sakral, berakar dari bahasa Sanskerta yang memiliki makna mendalam. Kata “guru” berasal dari gabungan dua kata: gu dan ru. Gu berarti kegelapan, kejumudan, dan kelemahan, sedangkan ru bermakna cahaya, penyibak, pengungkap, dan pembebas. Maka, seorang guru adalah sosok yang menyibak kegelapan dengan cahaya ilmu. Sayangnya, kesakralan sosok guru kini terkikis oleh perilaku yang jauh dari moral.

Dalam terminologi Jawa, kata guru dikaitkan dengan istilah digugu lan ditiru — sosok yang dapat dijadikan teladan dalam gerak-gerik, perilaku, dan sopan santun. Namun, dalam dekade terakhir, kata “guru” kerap disandingkan dengan istilah-istilah yang merendahkan. Kini, kita tak lagi asing mendengar istilah seperti “guru cabul,” “guru gabut,” dan “guru tanpa prestasi.” Sementara itu, jarang terdengar lagi istilah “guru berprestasi,” “guru teladan,” atau “guru inspiratif.” Media sosial dan massa lebih gemar membahas perilaku negatif para guru daripada menyoroti guru-guru inspiratif. Apakah benar bahwa guru sejati kini telah menjadi langka sehingga sulit menjadi tajuk utama media?

Memahami Makna Guru

Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan guru sebagai seseorang yang profesinya mendidik atau mengajar. Dalam pengertian undang-undang, guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik. Dengan demikian, guru adalah orang yang berprofesi sebagai pendidik, yang bertugas mendidik, mengarahkan, mengajar, dan membimbing peserta didik.

Dalam bahasa Arab, kata “guru” memiliki beberapa padanan kata yang berbeda seperti mu’alim, mu’addib, murabbi, mursyid, dan ustadz. Meski memiliki kemiripan makna, istilah-istilah ini memiliki titik tekan yang berbeda. Mu’alim berarti orang yang mengajar dan memiliki ilmu pengetahuan luas. Murabbi adalah orang yang memelihara dan menjaga murid agar mencapai pertumbuhan moral dan intelektual. Mudarris adalah sosok yang meninggalkan bekas positif dalam hati peserta didiknya, baik dalam perilaku maupun ilmu. Mu’addib adalah orang yang melatih adab, sedangkan mursyid adalah sosok yang memberi petunjuk, mengarahkan, dan membimbing murid menuju keinsyafan serta kedewasaan berpikir.

Guru sebagai Pewaris Warisan Para Nabi

Nabi Muhammad SAW, sebagaimana nabi lainnya, diutus untuk membimbing kaum jahiliyah yang tidak memiliki harapan dan terombang-ambing dalam kebingungan. Nabi datang dengan keteguhan hati dan kelapangan dada, membimbing mereka menuju keluhuran, dan mengangkat derajat mereka dari keterbelakangan menjadi umat yang memimpin peradaban. Nabi tidak hanya mengeja hakikat iman, penciptaan, dan keberadaan, tetapi juga menekankan pentingnya pena, buku, dan membaca. Amanah pertama yang beliau terima adalah perintah “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan.”

Nabi Muhammad SAW adalah guru sejati yang menguasai semua kompetensi hakiki seorang pendidik. Sebelum metodologi mengajar dirumuskan, Rasulullah telah mempraktikkannya, menjadikan muridnya tidak hanya cerdas, tetapi juga luhur. Kurikulum yang diterapkannya mampu mengubah pribadi bengis menjadi pribadi yang penuh kasih sayang, jauh sebelum ada standar kompetensi guru masa kini.

Pada awal masa kenabiannya, Rasulullah mengenalkan dirinya sebagai Muallim (guru), karena tugas utama sang Nabi adalah mengajar dan membangun peradaban melalui iman. Pendidikan adalah profesi yang diamanahkan kepada para Nabi karena tujuannya selaras dengan hakikat penciptaan alam semesta: mengenalkan manusia kepada Tuhan dan mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Walaupun para Nabi telah tiada, kewajiban mendidik tetap relevan, karena kematangan manusia membutuhkan proses panjang.

Kompetensi Guru Sejati

Profesi guru melibatkan hampir semua aspek kehidupan. Guru sejati menyerahkan waktu, pikiran, tenaga, bahkan terkadang jiwa dan hartanya untuk memastikan generasi tumbuh sebagaimana mestinya. Jika pandai besi harus serius menempa pedang, maka guru harus lebih sungguh-sungguh dalam menempa pribadi. Imam Al-Ghazali menyatakan bahwa seorang guru harus hidup sesuai dengan apa yang diajarkannya. Ia menggambarkan guru sebagai tongkat, dan murid sebagai bayangannya — bayangan tidak akan lurus dari tongkat yang bengkok. Al-Ghazali juga menekankan pentingnya kasih sayang, kezuhudan, menghindari dosa, serta kebijaksanaan dalam mengajar.

Muhammad Fethullah Gulen, ulama kharismatik masa ini, menjelaskan bahwa guru ideal harus terus menambah wawasan dan menyesuaikan diri dengan perkembangan ilmu. Pertama, guru harus membekali diri dengan ilmu yang luas. Kedua, hati guru harus selaras dengan Al-Qur’an, sumber ilmu bagi orang beriman. Ketiga, metode yang digunakan harus sesuai dengan syariat. Keempat, guru perlu menjaga keikhlasan, hanya mengharapkan ganjaran dari Allah. Kelima, guru harus melakukan apa yang diajarkannya, karena tidak boleh ada pertentangan antara ucapan dan batin seorang pendidik.

Fethullah Gulen juga menegaskan bahwa guru teladan adalah sosok yang hatinya penuh kasih sayang, rela berkorban untuk memastikan generasi berkembang sebagaimana mestinya. Mereka selalu memanjatkan doa untuk muridnya, toleran, empati, lapang dada, dan memiliki kesucian hati tanpa prasangka, kebencian, atau iri. Guru teladan menjalankan amanah dengan penuh kerinduan, mengutamakan pendidikan generasi di atas kepentingan pribadinya.

Guru Sejati di Tengah Keramaian Zaman

Guru sejati tidak pernah hilang, meski terkadang tersembunyi dari keramaian zaman. Jika kita masih melihat generasi yang tumbuh, maka itu adalah tanda bahwa guru sejati masih ada. Guru sejati ibarat tanah yang, meski jarang dipuji, konsisten menumbuhkan bunga-bunga indah.

Terima kasih kepada para guru sejati, yang dedikasinya akan terus hidup abadi di dalam hati. “Jadilah tanah, agar kamu menumbuhkan mawar; tak ada selain tanah yang mampu menumbuhkan mawar.”

 

Referensi

Fakhrul Rijal. Guru Profesional Dalam Konsep Kurikulum 2013. Jurnal Mudarrisuna: Media Kajian Pendidikan Agama Islam. Vol 8, No. 2 (2018). Hal 330. Lihat juga Amka Abdul Aziz, Guru Profesional Berkarakter, (Klaten: CempakaPutih, 2012), hlm. 1.

Badan Pengembang dan Pembinaan Bahasa. KBBI Online. https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/guru. Diakses pada 22 Agustus 2023. Pukul 09.52

Undang-undang No. 14. Tahun 2005. Lihat https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/40266/uu-no-14-tahun-2005.  Di akses pada 28 Agustus 2023 pukul 10.29

 Samsul Nizar, Fisafat Pendidikan Islam ( Jakarta : Ciputat Pers, 2002) , h. 43

Adib Bisri dan Munawwair A. Fatah, Kamus Bahasa Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progresif, 2012), h. 229, dan lihat Ramayulis dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2009), h.139

Al-Mu‟jam al-Wasit, Kamus Arab, (Jakarta: Matha Angkasa, tt), hlm. 1

QS Al-a’laq ayat 1-5

 Hadits Ibnu Majah No 229

Mokhamad Ali Musyaffa, Hakikat Tujuan Pendidikan Islam Perspektif Imam al-Ghazali. Dar al-Ilmi: Jurnal Studi Keagamaan Pendidikan dan Humaniora. Vol 9 No. 1 (April 2022). Hal 22. Lihat juga al-Ghazali Ihya Ulumuddin ilid I, Alih bahasa Moh. Zuhri (Semarang: CV. Asy-Syifa’, 1993) hal 42

Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin Juz I, terj. Ismail Yakub, (Jakarta: CV. Faizan, 1994) hlm. 58

Abu Yahya Al Nawawi, Al Tibyan fi Adab H m l t Al Qur’ n, (Damaskus; Dar Al Bayan, 1985), h23

Lihat buku Dakwah: Jalan terbaik dalam berpikir dan menyikapi hidup. Bagian kedua dan bagian ketiga.

Syekh Sadi dalam karyanya Gulistan.

 

MENYULAM PENDIDIKAN DENGAN BENANG SPIRITUAL

MENYULAM PENDIDIKAN DENGAN BENANG SPIRITUAL

Ditulis Oleh : Ikhsannudin Nur Amri

Ilmu adalah sebuah kata yang memiliki marwah luar biasa. Kebersihan dan kelapangan hati sebagai wadah pengetahuan sangat penting untuk menjaga kesucian ilmu. Kebersihan ini bukan hanya mencakup aspek fisik, tetapi juga kebersihan hati dan jiwa, yang menjadi tanda penghormatan terhadap ilmu. Tumpuan ilmu tidak hanya terletak pada intelektualitas, tetapi juga pada kelapangan jiwa yang mampu menerima pengetahuan. Ilmu yang sejati selalu mengarah pada hakikat hidup, pemahaman, pencerahan, dan kedekatan dengan Sang Pencipta.[1]

Ya, konsep sulaman pendidikan tidak hanya tentang pengetahuan dunia, tetapi juga tentang keberlanjutan suburnya jiwa. Apabila hati dan jiwa tidak andil dalam pemahaman ilmu, maka kebodohanlah yang diperoleh dari hasil ilmu itu. Oleh karena itu, kendati akal dan pikiran, pendidikan juga harus mengarah pada terpenuhinya hasrat jiwa, menuntun pada tujuan yang utama, yakni mengenal dan mendekatkan diri pada-Nya.[2] Seperti alunan orkestra yang menyejukkan, integrasi ilmu duniawi dan spiritual berharmoni. Keduanya tidak dapat dipisahkan dan senantiasa beriringan.

Namun, di dunia modern ini, ilmu pengetahuan dan spiritualitas seringkali dipisahkan. Terutama pendidikan yang bertumpu pada rasionalitas dan empirisme murni yang sering mengesampingkan ajaran agama dan etika. Ketika hal ini terjadi terus-menerus dan berlangsung lama, generasi selanjutnya tidak akan merasakan harmoni yang luar biasa ini. Parameter majunya sebuah negara dilihat dari penguasaan ilmu pengetahuan, teknologi dan kekayaan. Sangat disayangkan apabila negara-negara Islam tidak terdapat dalam jajarannya. Sebab, negara-negara mayoritas Islam tidak mengenal bahkan tidak maksimal diperkenalkan kepada ajaran sejati mereka sehingga tidak mengikuti perintah agamanya untuk membanca dan bekerja.[3]

Kemudian, pendidikan agama dihadirkan sebagai salah satu syarat terlengkapinya pendidikan karakter, tetapi seolah hanya formalitas saja sehingga kebutaan menerpa. Apa sebenarnya tujuan menempuh pendidikan di dunia? Jawabannya sudah ada di depan mata. Tidak hanya mencapai kemajuan material dari hasil mengeksploitasi alam saja, tetapi juga sebagai jalan untuk memahami esensi ke-Illahian yang hadir pada setiap aspek kehidupan. Hal ini akan sangat sulit terealisasi apabila tidak ada minat yang utuh terhadap pendidikan agama. Selain sebab diatas, masih ada faktor lain sehingga minat ini mengikis setiap waktunya. Sudah semestinya situsasi ini menjadi derita untuk kita semua.

Problematika Pendidikan Agama

Peran pendidik mengambil bagian besar atas masalah ini. Pendidikan agama adalah pendidikan yang mengajarkan peserta didik sikap serta keterampilan untuk menerapkan ajaran Islam pada setiap aspek yang bertujuan untuk meningkatkan spiritual, pemahaman, pengalaman, dan penghayatan peserta didik tentang agama sehingga memiliki karakter taat dan berbudi pekerti luhur dalam diri mereka.[4] Dalam pendidikan akhlak, disiplin menjadi hal yang paling utama. Hal seperti ini harus menjadi identitas pada setiap pendidik. Konsep siswa dalam memperhatikan gurunya adalah melihat, memproses, dan melakukan. Siklus ini terlahir secara alamiah selama tumbuh kembang mereka. Interpretasi dari seorang guru sangat penting dalam memperkenalkan seribu satu kebaikan sebuah agama.

Selanjutnya, dalam pendidikan dan pengajaran ada dua prinsip penting yang tidak boleh diabaikan. Pertama adalah motivasi dan peringatan. Kedua adalah insentif dan peneguran.[5] Namun, sebagai seorang guru harus berhati-hati dalam menggunakan metode ini. Alih-alih membenahi, bisa saja memperkeruh keadaan. Sampaikan nasihat dan kritik dengan lembut, jangan sampai apa yang disampaikan merendahkan martabat siswa. Ini akan menjadi teladan akhlak bagaimana seorang guru, terutama guru agama dalam bersikap. Namun, jika seorang guru tidak memahami dasar-dasar ini, tentu akan menjadi masalah selanjutnya. Seorang guru agama yang tidak kompeten, terlebih bukan ahli di bidangnya, akan menurunkan kualitas pendidikan spiritual. Sedangkan guru pendidikan agama memiliki tugas yang lebih penting dibandingkan pelajaran umum lainnya dari segi hasil. Kasus seperti ini banyak ditemukan di sekolah-sekolah umum.[6]

Tidak hanya tahu mengenai tanggungannya sendiri, seorang guru harus memahami bagaimana situasi siswa. Pendidikan agama memerlukan penerimaan ruhaniah secara utuh, bukan berarti pembelajaran harus berjalan kaku dan monoton. Model pembelajaran harus bervariasi tentunya. Hanya saja, alokasi waktu dan suasana yang mendukung untuk menempatkan pelajaran agama memerlukan perencenaan ketika bersanding dengan pelajaran lainnya. Sedangkan kebanyakan sekolah umum menempatkan pelajaran ini pada waktu-waktu krusial[7] seperti di akhir jam sekolah.[8] Konsentrasi siswa tidak maksimal pada waktu ini. Sehingga pada poin ini, pendidik harus memahami bagaimana situasi siswa. Secara psikologis, perkembangan emosional siswa lebih dulu daripada perkembangan mental.[9] Memahami emosional siswa adalah hal yang penting untuk menargetkan kapan siswa dapat menyerap materi agama secara maksimal.

Selain itu, guru pertama, yaitu orang tua, berperan penting terhadap pengenalan pembelajaran agama terhadap siswa. Penanaman karakter dimulai dari sini. Pola fikir orang tua yang senantiasa mendampingi dalam setiap perkembangan anak akan memberikan dampak luar biasa terhadap cara berpikir anak. Oleh karena itu, setelah menjadi orang tua seharusnya sudah mempersiapkan ilmu dalam menjalankan peran. Karena sebagai amanah, anak harus dibesarkan dan dididik sesuai dengan kaidah agama. Seperti Luqman dalam mendidik anaknya untuk tidak menyekutukan dan tetap di jalan Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam ayat berikut:

 وَاِذْ قَالَ لُقْمٰنُ لِابْنِهٖ وَهُوَ يَعِظُهٗ يٰبُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللّٰهِۗ اِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيْمٌ

Artinya:

“(Ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, saat dia menasihatinya, ‘Wahai anakku, janganlah mempersekutukan Allah! Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) itu benar-benar kezaliman yang besar.’”.[10]

Karena sejatinya apa yang orang tua telah persiapkan, kelak akan menjadi kesan pertama tentang ilmu apa yang orang tua berikan kepada anaknya.

Apa yang harus kita lakukan?

Pertanyaan ini sudah memiliki jawaban. Pembenahan terhadap sistem pendidikan harus lebih ditingkatkan. Metode penyampaian dan pendidikan agama setidaknya selaras dengan situasi dan suasana siswa. Serabut generasi terdahulu akan senantiasa mengakar dan berkontribusi terhadap pembentukan fondasi generasi yang baru. Ya, yang membentuk fondasi generasi yang baru adalah generasi sebelumnya. Maka pilihlah sistem generasi terbaik diantara generasi terdahulu, yaitu sistem Baginda Nabi Muhammad SAW yang merupakan generasi terbaik sepanjang masa.

Seperti yang dikatakan oleh seorang cendekiawan mulia, “Menanamkan cahaya iman kepada generasi baru dan membantu agar iman itu mengakar kuat dalam dada mereka adalah hal teristimewa yang amat penting.”[11] Dari kutipan ini, urgensi pengenalan iman kepada anak usia dini harus dilakukan untuk meluruskan niat dari pendidikan. Penderitaan tentang tujuan yang menyimpang dari hakikatnya seharusnya melekat pada pundak para guru sebagai pengemban profesi kenabian.

[1] Şükran Vahide, Biografi Intelektual Bediuzzaman Said Nursi, terj. Sugeng Haryanto, Sukono, h. 122

[2] Ibid

[3] Vehbi Yıldız, Generasi Ilmu dan Irfan, terj. Ahmaf Gani & Imas Walijah, h.24-25.

[4] Suprapto, “Kebutuhan Guru Pendidikan Agama Islam di Sekolah,” Jurnal Penelitian Pendidikan Agama dan Keagamaan, Vol. 16, No. 2 (2018)

[5] Vehbi Yıldız, Generasi Ilmu dan Irfan, terj. Ahmaf Gani & Imas Walijah, h.48

[6] Mu’allimah, Problematika pembelajaran pendidikan agama Islam di SMA Negeri 3 Medan, (Thesis UIN Sumatera Utara, 2014)

[7] Waktu krusial adalah momen yang dapat menentukan hasil atau arah suatu situasi

[8] Tsalitsa, A., dkk, Problematika Pendidikan Agama Islam di Sekolah Umum Tingkat SMA, Jurnal Ilmu Pendidikan. 2020, Vol. 04, No. 1.

[9] Vehbi Yıldız, Generasi Ilmu dan Irfan, terj. Ahmaf Gani & Imas Walijah, h. 104.

[10] Q.S Luqman (31) ayat 13

[11] Muhammad Fethullah Gulen, “Mewujudkan Cita-Cita”, Majalah Mata Air, Vol. 8, No. 29, Januari-Maret 2021, hal. 5.