Bagi mereka yang memperhatikan perkembangan zaman dengan hati dan pikiran, tentu risau melihat banyaknya sosok yang disebut “guru” justru terjerat dalam berbagai masalah sosial hingga amoral. Di masa lalu, kata “guru” begitu sakral, berakar dari bahasa Sanskerta yang memiliki makna mendalam. Kata “guru” berasal dari gabungan dua kata: gu dan ru. Gu berarti kegelapan, kejumudan, dan kelemahan, sedangkan ru bermakna cahaya, penyibak, pengungkap, dan pembebas. Maka, seorang guru adalah sosok yang menyibak kegelapan dengan cahaya ilmu. Sayangnya, kesakralan sosok guru kini terkikis oleh perilaku yang jauh dari moral.
Dalam terminologi Jawa, kata guru dikaitkan dengan istilah digugu lan ditiru — sosok yang dapat dijadikan teladan dalam gerak-gerik, perilaku, dan sopan santun. Namun, dalam dekade terakhir, kata “guru” kerap disandingkan dengan istilah-istilah yang merendahkan. Kini, kita tak lagi asing mendengar istilah seperti “guru cabul,” “guru gabut,” dan “guru tanpa prestasi.” Sementara itu, jarang terdengar lagi istilah “guru berprestasi,” “guru teladan,” atau “guru inspiratif.” Media sosial dan massa lebih gemar membahas perilaku negatif para guru daripada menyoroti guru-guru inspiratif. Apakah benar bahwa guru sejati kini telah menjadi langka sehingga sulit menjadi tajuk utama media?
Memahami Makna Guru
Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan guru sebagai seseorang yang profesinya mendidik atau mengajar. Dalam pengertian undang-undang, guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik. Dengan demikian, guru adalah orang yang berprofesi sebagai pendidik, yang bertugas mendidik, mengarahkan, mengajar, dan membimbing peserta didik.
Dalam bahasa Arab, kata “guru” memiliki beberapa padanan kata yang berbeda seperti mu’alim, mu’addib, murabbi, mursyid, dan ustadz. Meski memiliki kemiripan makna, istilah-istilah ini memiliki titik tekan yang berbeda. Mu’alim berarti orang yang mengajar dan memiliki ilmu pengetahuan luas. Murabbi adalah orang yang memelihara dan menjaga murid agar mencapai pertumbuhan moral dan intelektual. Mudarris adalah sosok yang meninggalkan bekas positif dalam hati peserta didiknya, baik dalam perilaku maupun ilmu. Mu’addib adalah orang yang melatih adab, sedangkan mursyid adalah sosok yang memberi petunjuk, mengarahkan, dan membimbing murid menuju keinsyafan serta kedewasaan berpikir.
Guru sebagai Pewaris Warisan Para Nabi
Nabi Muhammad SAW, sebagaimana nabi lainnya, diutus untuk membimbing kaum jahiliyah yang tidak memiliki harapan dan terombang-ambing dalam kebingungan. Nabi datang dengan keteguhan hati dan kelapangan dada, membimbing mereka menuju keluhuran, dan mengangkat derajat mereka dari keterbelakangan menjadi umat yang memimpin peradaban. Nabi tidak hanya mengeja hakikat iman, penciptaan, dan keberadaan, tetapi juga menekankan pentingnya pena, buku, dan membaca. Amanah pertama yang beliau terima adalah perintah “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan.”
Nabi Muhammad SAW adalah guru sejati yang menguasai semua kompetensi hakiki seorang pendidik. Sebelum metodologi mengajar dirumuskan, Rasulullah telah mempraktikkannya, menjadikan muridnya tidak hanya cerdas, tetapi juga luhur. Kurikulum yang diterapkannya mampu mengubah pribadi bengis menjadi pribadi yang penuh kasih sayang, jauh sebelum ada standar kompetensi guru masa kini.
Pada awal masa kenabiannya, Rasulullah mengenalkan dirinya sebagai Muallim (guru), karena tugas utama sang Nabi adalah mengajar dan membangun peradaban melalui iman. Pendidikan adalah profesi yang diamanahkan kepada para Nabi karena tujuannya selaras dengan hakikat penciptaan alam semesta: mengenalkan manusia kepada Tuhan dan mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Walaupun para Nabi telah tiada, kewajiban mendidik tetap relevan, karena kematangan manusia membutuhkan proses panjang.
Kompetensi Guru Sejati
Profesi guru melibatkan hampir semua aspek kehidupan. Guru sejati menyerahkan waktu, pikiran, tenaga, bahkan terkadang jiwa dan hartanya untuk memastikan generasi tumbuh sebagaimana mestinya. Jika pandai besi harus serius menempa pedang, maka guru harus lebih sungguh-sungguh dalam menempa pribadi. Imam Al-Ghazali menyatakan bahwa seorang guru harus hidup sesuai dengan apa yang diajarkannya. Ia menggambarkan guru sebagai tongkat, dan murid sebagai bayangannya — bayangan tidak akan lurus dari tongkat yang bengkok. Al-Ghazali juga menekankan pentingnya kasih sayang, kezuhudan, menghindari dosa, serta kebijaksanaan dalam mengajar.
Muhammad Fethullah Gulen, ulama kharismatik masa ini, menjelaskan bahwa guru ideal harus terus menambah wawasan dan menyesuaikan diri dengan perkembangan ilmu. Pertama, guru harus membekali diri dengan ilmu yang luas. Kedua, hati guru harus selaras dengan Al-Qur’an, sumber ilmu bagi orang beriman. Ketiga, metode yang digunakan harus sesuai dengan syariat. Keempat, guru perlu menjaga keikhlasan, hanya mengharapkan ganjaran dari Allah. Kelima, guru harus melakukan apa yang diajarkannya, karena tidak boleh ada pertentangan antara ucapan dan batin seorang pendidik.
Fethullah Gulen juga menegaskan bahwa guru teladan adalah sosok yang hatinya penuh kasih sayang, rela berkorban untuk memastikan generasi berkembang sebagaimana mestinya. Mereka selalu memanjatkan doa untuk muridnya, toleran, empati, lapang dada, dan memiliki kesucian hati tanpa prasangka, kebencian, atau iri. Guru teladan menjalankan amanah dengan penuh kerinduan, mengutamakan pendidikan generasi di atas kepentingan pribadinya.
Guru Sejati di Tengah Keramaian Zaman
Guru sejati tidak pernah hilang, meski terkadang tersembunyi dari keramaian zaman. Jika kita masih melihat generasi yang tumbuh, maka itu adalah tanda bahwa guru sejati masih ada. Guru sejati ibarat tanah yang, meski jarang dipuji, konsisten menumbuhkan bunga-bunga indah.
Terima kasih kepada para guru sejati, yang dedikasinya akan terus hidup abadi di dalam hati. “Jadilah tanah, agar kamu menumbuhkan mawar; tak ada selain tanah yang mampu menumbuhkan mawar.”
Referensi
Fakhrul Rijal. Guru Profesional Dalam Konsep Kurikulum 2013. Jurnal Mudarrisuna: Media Kajian Pendidikan Agama Islam. Vol 8, No. 2 (2018). Hal 330. Lihat juga Amka Abdul Aziz, Guru Profesional Berkarakter, (Klaten: CempakaPutih, 2012), hlm. 1.
Badan Pengembang dan Pembinaan Bahasa. KBBI Online. https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/guru. Diakses pada 22 Agustus 2023. Pukul 09.52
Undang-undang No. 14. Tahun 2005. Lihat https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/40266/uu-no-14-tahun-2005. Di akses pada 28 Agustus 2023 pukul 10.29
Samsul Nizar, Fisafat Pendidikan Islam ( Jakarta : Ciputat Pers, 2002) , h. 43
Adib Bisri dan Munawwair A. Fatah, Kamus Bahasa Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progresif, 2012), h. 229, dan lihat Ramayulis dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2009), h.139
Al-Mu‟jam al-Wasit, Kamus Arab, (Jakarta: Matha Angkasa, tt), hlm. 1
QS Al-a’laq ayat 1-5
Hadits Ibnu Majah No 229
Mokhamad Ali Musyaffa, Hakikat Tujuan Pendidikan Islam Perspektif Imam al-Ghazali. Dar al-Ilmi: Jurnal Studi Keagamaan Pendidikan dan Humaniora. Vol 9 No. 1 (April 2022). Hal 22. Lihat juga al-Ghazali Ihya Ulumuddin ilid I, Alih bahasa Moh. Zuhri (Semarang: CV. Asy-Syifa’, 1993) hal 42
Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin Juz I, terj. Ismail Yakub, (Jakarta: CV. Faizan, 1994) hlm. 58
Abu Yahya Al Nawawi, Al Tibyan fi Adab H m l t Al Qur’ n, (Damaskus; Dar Al Bayan, 1985), h23
Lihat buku Dakwah: Jalan terbaik dalam berpikir dan menyikapi hidup. Bagian kedua dan bagian ketiga.
Syekh Sadi dalam karyanya Gulistan.