Ramah-Tamah Bersama Para Pemuda (Bagian 1)


“Ramah-Tamah Bersama Para Pemuda (Bagian 1)”

Wejangan kepada 200 Mahasiswa yang Berkunjung

Kurasa pesan-pesan berikut yang dianjurkan sebagai resep oleh Ustaz Nursi amatlah penting. Tolong-menolong adalah kaidah untuk meringankan beban kerja. Ringkasan resepnya adalah manajemen waktu, distribusi tugas, dan yang terakhir adalah tolong-menolong untuk meringankan beban. Saya rasa sebagaimana “bastha zamaan”, resep tersebut adalah sarana mengerjakan banyak pekerjaan di waktu yang singkat.

Waktu harus dikelola dengan sangat baik. Apapun yang akan dikerjakan dan direncanakan adalah untuk kehidupan kita. Untuk itu, waktu harus dikelola dengan sangat baik. Misalnya, berapakah waktu yang akan dialokasikan untuk tinggal di rumah, untuk melayani ayah ibu, berapa alokasi waktu untuk tidur, untuk berjaga, untuk menelaah buku, serta kegiatan lainnya. Maka rekan-rekan yang mengaitkan hatinya pada hal penting seperti khidmat tidak sepatutnya sibuk dengan aktualita. Kita harus berdiri jauh dari hal-hal yang tidak berhubungan secara langsung dengan kita. Hal tersebut harus menjadi garis batas kita. Semua pekerjaan kita dari awal secara rapi harus direalisasikan di dalam perencanaan yang jelas.

Kemudian, kita juga menyebut distribusi tugas. Apa saja yang bisa ia kerjakan, apapun kecenderungannya, apapun yang ditunjuk oleh kompas kalbu dan jiwanya, saya rasa ia harus mengambil jalan itu. Jika tidak, dia akan berjalan di gang yang tidak disenangi, itu akan korbankan banyak waktunya. Saya menyaksikan bagaimana teman-teman kita menyelesaikan doktoralnya dalam 10-15 tahun. Betul-betul menghabiskan umur! Pelajaran yang bisa selesai 10 bulan dikelola 4 tahun. Selama 4 tahun mereka menyibukkan orang. Seandainya dibuat seringkas mungkin, jika disiplin dasar dapat diberikan dengan baik.

Di matematika ada rumus singkat, andai pembuatan rumus singkat pembelajaran diberikan pada mereka, pembelajaran di SMA yang 4 tahun dan SMP 3 tahun dapat diringkas total selama 2-3 tahun saja. Demikian juga pembelajaran di tingkat Universitas, jika dilihat ia bisa diringkas dalam 2-3 tahun saja. Dengannya maka manusia bisa bermanfaat bagi bangsa dan negaranya di usia paling produktifnya.

Satu lagi yang ingin kubahas lebih dalam adalah disiplin ketiga. Saya rasa ia adalah prinsip terpenting, yaitu “prinsip meringankan beban lewat tolong menolong.” Ta’awun dalam ilmu sharaf dari asalnya dijelaskan sebagai musyarakatun baynal isnayn fashaa’idan. Artinya, dua orang atau lebih bersama-sama mencari solusi dari suatu permasalahan Secara prinsip dapat dikatakan “berunding dengan pemikiran kolektif.” Misal, ada teman yang sedang doktoral. Di sisi lain, ada teman yang menguasai buku-buku referensi. Di situ yang menguasai buku-buku referensi harus membantu teman yang menempuh doktoral tersebut. Contoh lain, ada yang ahli membuat komposisi. Saat memegang pena, not demi not lancar ditulisnya. Kalau Anda lihat, Anda mengira komposisi itu ditulis oleh Ferdowsi, penyair terkenal dari Iran. Itulah bakatnya, maka di bidang komposisi ia harus membantu saudara-saudara dan rekan-rekannya. Dengan demikian, di waktu singkat tetesan air pun akan sanggup mencairkan batuan marmer. Syair ini terinspirasi dari pepatah Turki, “Bukanlah aliran air yang mengikis marmer, melainkan kontinuitasnya.”

Nasihat berikutnya saya peruntukkan kepada mereka yang menyerahkan dirinya untuk belajar. Ada beberapa yang tinggal bersama ayahnya, membantu pekerjaan keluarga. Ada yang masuk ke bidang politik, dia pun membuat beragam pengabdian yang cocok dengan kondisinya. Tetapi, karena umumnya teman-teman kita adalah manusia yang memiliki idealisme, sekali lagi mengutip istilah yang digunakan Ustaz Said Nursi, “Jika orang tak punya idealisme atau lupa maka pikirannya berputar-putar di sekitaran keakuannya.” Cita-cita yang sangat agung, Ustaz menyebutnya dengan istilah “Gaye-i Hayal.” Kita sebut dengan istilah “idealisme,” sedangkan penyair Ziya Gokalp menyebutnya “mefkure”. Mengaitkan kalbu dengan cita-cita agung, dan selalu menjadikannya sebagai tujuan Cita-cita yang demikian haruslah dimiliki.

Jika seseorang mempunya cita-cita yang agung, maka hatinya tak akan tertarik dengan hal remeh dan tak bernilai. Cita-cita agung akan menjadi “”Leyla”, sedangkan dirinya akan menjadi “Majnun”. Pada waktu melihat Leyla jika bisa ia tak boleh mengenalinya, sehingga ia selalu mencari Leyla. Ia senantiasa dalam keadaan mabuk dan ekstase sehingga tak bisa mengenali Leyla. Karenanya, teman-teman yang mau cita-cita agung harus menganggap hal lain sebagai hal rendahan. Tidak boleh terlalu dekat dengannya karena hal rendahan itu bisa menyebabkan kekacauan. Karenanya Ustaz menyebutkan “Jika orang tak punya idealisme atau lupa,” isytiqaq terlupa dari kata tanaa siy, digunakan dalam istilah lama kedokteran, “tamaarudh,” artinya pura-pura sakit. Kalau disini artinya walau tidak lupa, tetapi dia pura-pura lupa. Ketika pikiran berputar di sekitaran keakuan, maka akal berubah menjadi egosentris. Tanpa disadari si manusia pun menjadi egois, egosentris, dan narsistik. Karenanya, untuk Allah kita harus meletakkan keinginan kita demi hal-hal yang sangat agung.

Misalnya, apa yang harus kukerjakan demi meraih keridaanNya? Bagaimana aku bisa membuat Sayyidul Anam SAW bahagia? Seandainya beliau hadir dan bertahta di kalbuku, menerangi malam-malamku, andai hal itu terjadi setiap malam! Jika hati manusia terkekang oleh hal agung itu, ia akan menjadi pencinta, ia tak akan terpikir hal lain. Ia masuk ke saf Abu Bakar, Umar, Usman, Ali, saf ratusan tokoh lainnya Radiyallau anhum, saf Mus’ab.

Aku membaca di kitab bahwa lengannya (Mus’ab) terputus, tetapi ada satu Ustaz dalam khutbahnya, Aku menaruh hormat kepadanya, ia berkata, “Mus’ab menerima sabetan di lehernya, ia pun tumbang.” Wajahnya menempel tanah supaya tak ada yang tahu ini wajah siapa. Jika malaikat bertanya, “Saat lehermu masih utuh bagaimana bisa mereka menyentuh Rasulullah!” Saat itu seolah Mus’ab berkata, “Ya Allah, aku malu untuk hadir di hadapanMu!” Demikianlah keterkaitan hatinya kepada Rasulullah SAW. Itu adalah tapak kaki yang dilangkahkan menujuNya. Jika kamu melangkah sekali, Dia akan mendekatimu sepuluh langkah. Pernyataan ini terdapat di Hadis Kudsi[1], “Jika hambaKu mendekat kepadaKu sejengkal, Aku mendekat kepadanya sehasta. Jika hambaKu mendekat kepadaKu sejengkal, Aku mendekat kepadanya sedepa..” Karena itu penyerupaan, kami anggap makruh, jadi kami memilih mengartikannya “Allah membalas setimpal.”


 

[1] عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ – رضى الله عنه – قَالَ قَالَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – « يَقُولُ اللَّهُ تَعَالَى أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِى بِى ، وَأَنَا مَعَهُ إِذَا ذَكَرَنِى ، فَإِنْ ذَكَرَنِى فِى نَفْسِهِ ذَكَرْتُهُ فِى نَفْسِى ، وَإِنْ ذَكَرَنِى فِى مَلأٍ ذَكَرْتُهُ فِى مَلأٍ خَيْرٍ مِنْهُمْ ، وَإِنْ تَقَرَّبَ إِلَىَّ بِشِبْرٍ تَقَرَّبْتُ إِلَيْهِ ذِرَاعًا ، وَإِنْ تَقَرَّبَ إِلَىَّ ذِرَاعًا تَقَرَّبْتُ إِلَيْهِ بَاعًا ، وَإِنْ أَتَانِى يَمْشِى أَتَيْتُهُ هَرْوَلَةً »

Dari Abu Hurairah –radhiyallahu ‘anhu-, ia berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah Ta’ala berfirman: Aku sesuai persangkaan hamba-Ku. Aku bersamanya ketika ia mengingat-Ku. Jika ia mengingat-Ku saat bersendirian, Aku akan mengingatnya dalam diri-Ku. Jika ia mengingat-Ku di suatu kumpulan, Aku akan mengingatnya di kumpulan yang lebih baik daripada pada itu (kumpulan malaikat). Jika ia mendekat kepada-Ku sejengkal, Aku mendekat kepadanya sehasta. Jika ia mendekat kepada-Ku sehasta, Aku mendekat kepadanya sedepa. Jika ia datang kepada-Ku dengan berjalan (biasa), maka Aku mendatanginya dengan berjalan cepat.” (HR. Bukhari no. 6970 dan Muslim no. 2675).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *