Seseorang yang sifat kemanusiaannya belum padam, belum hilang hati nuraninya, yang masih memiliki hati di dadanya, apa saja yang ia gunakan, ia rasakan, ia lihat, dan ia peroleh, maka ia pasti akan memikirkan orang lain agar dapat memperoleh manfaat dari hal-hal berguna yang indah dan berharga. Jika ia pergi dan melihat surga, ia pun mengundang orang lain ke sana, dan meyakinkan orang lain. Itulah yang menjadi masalah utamanya. Jika ia melihat taqdir, melihat pena taqdir, buku catatan nasib, tentang pena, tentang buku catatan, membujuk orang-orang adalah menjadi masalah penting baginya. Entah dia mendengar ayat-ayat Allah dari bahasa alam semesta, jika dia melihat-Nya dengan pandangan dan pemahamannya yang khas, menunjukkan-Nya, memperdengarkan kepada mereka yang perlu mendengarkan-Nya adalah menjadi tugas penting baginya. Ini untuk manusia yang hati nuraninya belum pudar, yang memiliki suara dalam hatinya. Inilah keprihatinan dan masalahnya Rasulullah Saw. Beliau percaya seperti beliau melihat Allah, beliau melihat surga dan beliau percaya. Takdir beliau melihat pena takdir dan beliau percaya, beliau berbicara dengan malaikat secara lisan hal, melihat mereka dan percaya. Beliau melihat, mendengar, percaya dengan diri beliau sendiri bahwa kitab yang turun kepada beliau berasal dari Allah dan kemudian beliau meninggalkan surga, beliau meninggalkan bidadari-bidadari, beliau meninggalkan para pelayan surga dan kembali ke dunia manusia untuk memberitahu dan membawa mereka semua keindahan itu. Ketika beliau mencapai puncak tertinggi di sana, beliau kembali berada di antara orang-orang untuk memegang tangan mereka dan menaikkan mereka ke surga yang telah beliau saksikan sebelumnya.
Dalam hal ini, Rasulullah Saw sangat menderita, karena manusia menolak untuk memahami apa yang beliau katakan, mereka lari dari beliau dan menghindar untuk mendengarkan kebenaran-kebenaran yang agung itu. Hati beliau dalam penderitaan dan kekhawatiran.
فَلَعَلَّكَ بَاخِعٌ نَّفْسَكَ عَلٰٓى اٰثَارِهِمْ
Maka barangkali engkau (Muhammad) akan mencelakakan dirimu karena bersedih hati setelah mereka berpaling (Al-Kahfi; 6)
Beginilah Al-Quran menggambarkan kondisi Rasulullah SAW dalam penderitaan. Setelah melihat Allah dengan segala bukti, mendengarkan Dia dari alam semesta, setelah masuk ke jiwa dan memahami-Nya di sana, dan mendengarkan suara-Nya dalam hati nuraninya. Masalah penting bagi seseorang adalah memperdengarkan suara ini kepada siapa saja yang belum mendengarkannya, untuk bahwa mereka berada di jalan yang benar, mencerahkan mereka dengan cahaya ini, untuk memastikan yang mengarahkan mereka ke surga Darussalam dalam keadaan aman. Ini adalah masalah manusia yang sebenarnya.
Suatu ketika Umar ra. berada di samping seseorang sedang menangis tersedu-sedu. Ketika sang khalifah lewat di depan sebuah biara dan melihat seorang pendeta yang mengeluarkan kepalanya dari kanopi. Pendeta malang ini telah hidup zuhud mengabdikan dirinya, tidak makan tidak minum dan lelah. Ketika melihat ini, Umar ra. tidak bisa menahan isaknya dan mulai menangis. “Wahai Khalifah Nabi Allah, dia orang Kristen” kata mereka. “Karena itulah aku menangis” kata Umar. “Dia telah mengubah dunia menjadi neraka bagi dirinya sendiri, tidak ada penderitaan yang belum ia derita, tetapi dia ketinggalan kapal. Dia tidak dapat menemukan utusan Allah; dia akan pergi ke neraka, karena itu aku menangis sedih.”
Rasulullah Saw juga menderita dan berlutut di ujung kepala anak yahudi sesaat sebelum ia meninggal. Anak yahudi yang beliau layani ketika ia menghembuskan nafas-nafas terakhirnya. Jika ia memanfaatkan saat-saat terakhir hidupnya dengan benar, ia akan masuk surga Darussalam dan di sana ia akan melayani nabi dari semua nabi. Jika tidak ia memanfaatkannya, ia akan masuk neraka. Rasulullah Saw memberikan pandangan yang penuh kasih sayang kepada anak itu dan semanis katanya: أ سلم يا ولد “Jadilah seorang muslim nak”. Anak itu sudah melekatkan hatinya pada Rasulullah, tetapi karena keganasan ayahnya dan takut pada ibunya, ia tidak bisa mengikuti ajakan Rasulullah Saw. Dapat terlihat bagaimana menderita Rasulullah dari raut wajahnya, dalam menghadapi kemungkinan penolakan dari anak itu, jika saja tiba-tiba ia katakan “aku tidak mau”. Melihat Rasulullah begitu menderita, anak itu mengalihkan pandangannya dari Rasulullah dan memandang ayahnya yang non-muslim. Ayahnya berkata; أ طع أبا القا سم “Anakku sayang! Taatilah Abu Qasim!” Dalam hembusan nafas terakhirnya, saat bernafas yang terakhir kalinya, seolah-olah dia menggambarkan spiral ke atas yang bercahaya dan ruhnya naik ke dalamnya sambil mengatakan: لَا إِلَٰهَ إِلَّا ٱللَّٰهُ مُحَمَّدٌ رَسُولُ ٱللَّٰهِ. Rasulullah Saw pun pulang kembali ke rumah, beliau merasakan seolah-olah baru saja menaklukkan dunia, tidak bisa dibayangkan bagaimana hati beliau begitu senang dan gembira.
Begitu pula ketika Nabi di hadapan Abu Quhafa, beliau dalam penderitaan dan kekhawatiran. Sampai hari penaklukan Mekkah, Abu Quhafa masih menutup dirinya dari makna hakiki Ilahi. Kilau kenabian pertama sekali menyala di rumahnya, dan cucunya adalah istri Rasulullah. Putranya, Abu Bakar telah menjadi lukisan kebanggaan yang akan terus berada dalam ingatan umat manusia sampai hari kiamat. Namun sayang sekali, Abu Quhafa tidak bisa melihat cahaya ini sampai penaklukan kota Mekkah. Dia tidak bisa melihat cahaya di rumahnya sendiri, dia tidak bisa melihat cahaya Rasulullah Saw. yang memancar di jalan-jalannya. Pada hari itu, ketika Mekkah ditaklukan, bongkahan es yang ada dalam diri Abu Quhafah mencair dan terjadilah juga penaklukan dalam dirinya. Ini adalah sumber kegembiraan bagi putranya. Sang anak pun memegang tangan ayahnya dan membawanya ke hadapan Rasulullah; Ia adalah ayah dari mertuanya, ayah dari ayah istrinya, ayah dari sahabat setianya, ayah sahabatnya di Raudhah. Rasulullah berkata: “Kamu telah menyusahkan orang tua, saya akan mengunjungi dan mentalqinnya…” Abu Bakar menjawab: “Tidak wahai Rasulullah, dia seharusnya datang dan bersimpuh di hadapanmu.” Sang ayah yang sudah tua renta pun ada di sana, beliau pun mengucapkan kalimat yang memiliki kekuatan paling besar: لَا إِلَٰهَ إِلَّا ٱللَّٰهُ مُحَمَّدٌ رَسُولُ ٱللَّٰهِ
Lihatlah, satu-satunya putra Abu Quhafa, Abu Bakar, yang bergeser ke samping dan menangis terisak-isak. “Kenapa Anda menangis wahai Abu Bakar?” “Ayahku datang dan menyerah kepadamu, dan mendapat hidayah. Saya akan sangat menginginkan melihat Abu Thalib di posisi ayah saya wahai Rasulullah! Karena itulah aku menangis. Sedekat mana ayah saya dengan saya, segitulah dekat ia (Abu Thalib) dengan anda.” Dekat tetapi dia juga telah ketinggalan kapal dan dia tidak bisa mengucapkan kalimat suci itu.
Hakikat kalimat “La Ilaha Illallah” yang coba dijelaskan oleh alam semesta dengan bahana gemuruhnya, yang terus-menerus digelombangkan oleh manusia bagai ombak lautan yang dalam dengan penuh kesenyapan merupakan hakikat agung dimana ragat raya tunduk di hadapannya. Setiap hakikat kebenaran yang ia ciptakan dalam kalbu setiap individu, beginilah antusiasmenya, menjadi sangat antusias. Di hadapan orang yang tidak beriman, hatinya akan sangat hancur.
Jalan-jalan penuh dengan orang-orang yang tidak beriman. Banyak asrama pelajar yang akan dipenuhi oleh orang-orang yang tidak beriman. Jika kita tidak sedih melihat orang-orang yang tidak beriman dengan gambaran yang mengerikan ini, berarti hati kita telah padam, hati nurani dalam diri manusia itu sudah tidak ada lagi. Semoga Allah menganugerahkan kita hati nurani, kesadaran dan pemahaman. Semoga Allah memberikan kesempatan kepada kita untuk menjelaskan dan menerangkan kebenaran yang kita yakini dengan sepenuh hati kepada orang lain.