Atas nama kebenaran, seseorang juga akan menyampaikan apa yang telah diketahui dan diperolehnya kepada orang lain. Dan mencoba memastikan bahwa mereka juga mendapat faedah sebagaimna ia mendapatkannya. Beginilah seharusnya sifat kemanusian. Kata Insan (manusia) berasal dari kata “uns” yang berarti makhluk yang mampu bergaul dengan baik dengan orang lain, berdamai dengan mereka, berkemanusian, memelihara cinta dan kasih sayang, dan makhluk yang bersosial. Insan, melihat alam semesta dalam perspektif persaudaraan. Mereka memandang satu sama lain seperti anak-anak yang tumbuh dirawat di bawah perlindungan orang tua di rumah. Jika seseorang memahami makna kemanusiaan, dia tidak hanya berhubungan dengan manusia lain, tetapi dia juga menjalin hubungan dengan hewan, pohon, hingga rumput, gunung, batu, semuanya dilihat dalam pandangan penciptaan makhluk Allah SWT. “Tuhanku Pencipta gunung-gunung, sungai-sungai, pohon-pohon, rerumputan, dedaunan, makanan, buah-buahan, makhluk-makkhluk yang tidur nyenyak dan orang-orang yang bekerjasama denganku untuk memahami makna alam semesta, Pencipta manusia”. Jika seseorang melihat alam semesta atas nama Allah, maka dia akan memiliki relevansi seperti ini.
Sementara kufur, karena memutuskan hubungan dengan Allah, ia ibarat menabur benih asing di antara makhluk lainnya, mengubahnya menjadi musuh satu sama lain. Suatu pohon, yang terikat dengan kuat pada akarnya, dahan dengan daunnya, buah dengan tangkainya, beginilah perumpamaan manusia yang seharusnya bisa membangun ikatan kasih sayang. Tetapi jika akarnya dipotong dari tempat ia bertahan, jika Allah dikeluarkan dari hati mereka, jika hati membangkang kepada Allah, maka tidak akan ada cinta dan kasih sayang di antara sesama manusia. Bom-bom akan meledak, orang-orang akan saling membunuh, yang kuat akan menindas yang lemah, tangisan dan rintihan orang-orang lemah akan menjadi melodi dan kesenangan bagi mereka.
Karena alasan inilah, seorang muslim harus menjadi pelayan (pendakwah) setelah dia mempelajarinya dari Allah dan Nabi SAW. Lalu mencoba menyebarkan pemahaman tentang persaudaraan ini di muka bumi.
Dan alasan inilah para nabi dan sahabat mereka paling menderita dalam masalah ini. Lingkaran cahaya yang berkembang di sekitar Rasulullah SAW, menelan semua kezaliman dan semua kegelapan. Nabi Muhammad SAW telah mencapai posisi itu hingga 3/4 dunia mengatakan apa yang dia katakan dan bergabung dengannya, mereka membaiatnya dan tunduk padanya. Allah telah menganugerahi mereka hari-hari yang diberkati itu. Kami memohon darinya hal yang sama. Ini semua tergantung bagaimana kita berusaha untuk mendapatkannya.
Untuk tujuan ini, Rasulullah SAW telah mengirim muridnya yang mulia yaitu Mus’ab ke Madinah. Mus’ab berasal dari salah satu anggota keluarga ternama di kota Mekah. Bahkan dia biasanya memakan makanannya sendiri dan tidak suka duduk di meja yang sama dengan orang lain. Allah telah memperkenalkan dia kepada Rasulullah SAW pada usia 17-18 tahun, yaitu di puncak hidupnya. Tiba-tiba, hatinya menjadi luluh. Mus’ab yang kasar, keras, dan yang tidak bersosial dengan orang lain tiba-tiba berubah menjadi seperti malaikat. Setelah dia mulai mengikuti majelis Rasulullah dia terus maju. Tidak ada lagi Mus’ab yang dilihat orang dari balik tirai. Tidak ada lagi wanita yang melambaikan serbet mereka, dan tidak ada lagi Mus’ab yang bangga dan bisa membeli setengah dari Mekah dengan hartanya. Berbalut mentel kambing ia berdiri diam dan ia mendengar dengan khusyu pada Rasulullah yang sedang berbicara tentang alam semesta. Dia mendengarkan Rasulullah, yang merupakan burung Bulbul alam semesta. Utusan Allah yang membelah bulan dengan mengangkat jarinya, dengan jari tersebut menunjuk ke arahnya dan berkata “lihat ini”! Saat Mus’ab berkeliling di jalan-jalan Mekah, jendela-jendela terbuka dan semua orang akan melihatnya. Dia bisa membeli setengah dari Mekah dengan hartanya. Ketika dia berumur 18 tahun yang merupakan periode paling matang, dia telah menyerahkan dirinya kepada Allah dan menerima Islam.
Mayoritas orang yang menempuh jalan kebenaran mempunyai usia yang hampir sama. Mus’ab pergi ke Madinah dan ia membimbing orang-orang menuju kepada kebenaran. Mereka tidak lama melihat keadaan Mus’ab yang seperti ini. Di Perang Uhud, dia melakukan tugas terakhirnya dan pergi ke hadapan Allah. Mungkin dia belum berusia 25 tahun, dia telah syahid dan menghadap Allah SWT. “Pedang berputar di kepalaku, pisau diasah dengan kebencian.” “Tetapi aku dengan satu pengawas berdakwah tentang Allah yang aku imani di Madinah.” “Saya mencoba untuk menceritakan tentang Allah, yang tanpa-Nya hati manusia menjadi hancur berkeping.” “Saya mencoba untuk menceritakan Allah yang dengannya kedamaian dan ketenangan dapat dicapai.”
As’ad ibn Zurarah adalah salah satu dari mereka yang menanggung banyak penderitaan dan tidak sempat melihat kejayaan islam. Dia tidak sempat melihat perang badar ataupun Uhud. Ketika Rasulullah hijrah ke Madinah, dia sudah lebih dulu hijrah kepada Allah SWT. Tapi dia telah melindungi Mus’ab, saat itu ia hampir menjulurkan kepalanya sebagai perisai ke arah pedang yang dihunus kepada Mus’ab, karena Mus’ab saat itu sedang menjelaskan tentang Allah dan Rasulullah. Madinah tiba-tiba tergoncang, di setiap jalan kota Madinah semua orang dari yang besar hingga anak kecil mengatakan Allah, dan mengatakan bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Jalan yang gelap itu, bahkan jika anda pergi hari ini akan terlihat terang benderang di malam hari. Mereka telah diterangi dengan cahaya Muhammad SAW. Bahkan jika tidak ada fajar atau bulan di malam hari, cakrawala kota Madinah berkilauan. Seolah-olah semua bintang dunia sedang melihat ke sana. Mereka mencari di sana, karena bintang dari semua bintang SAW ada di sana. Semua orang datang ke Mus’ab dengan kemarahan. Mereka yang menceritakan kebenaran, mereka yang melindungi kebenaran harus memperhatikan dengan cermat penjelasan ini. Mereka perlu menyadari tanggung jawab untuk berdakwah, dan menceritakan tentang Allah dalam kondisi apapun.
Usaid bin Hudhair, pemuda terhormat suku Esyhel, segera menghunus pedangnya di hadapan Mus’ab; “Aku tidak bisa membiarkanmu menyebarkan perpecahan di dalam kaumku, aku akan tusuk kamu dengan tombakku ini.” Pelindung menceritakan tentang perilaku Mus’ab pada kondisi itu: “Duduklah disampingku, dengarkan kata-kata yang akan kuucapkan! Jika anda tidak setuju dengan apa yang kukatakan, silakan lakukan apa yang anda inginkan. Tetapi jika saya benar, tidak ada maknanya untuk berdebat di sini dengan sia-sia.” Mus’ab telah mendudukkannya dengan manis di sampingnya. As’ad ibn Zurarah menyampaikan kepada kami: “Wallahi, ia memulai membaca: “Haa Mim. Demi Kitab (Al-Qur’an) yang jelas. Sesungguhnya Kami menurunkannya pada malam yang diberkahi, sungguh, Kamilah yang memberi peringatan.” (Ad-Dukhan – 44). Saat Mus’ab terus membaca ayat-ayat tersebut, wajah Usayd bin Hudhair mulai berubah. Orang yang datang ke sana dengan sikap kasar, liar bak hewan tiba-tiba berubah menjadi malaikat. Wajahnya dan sikapnya tiba-tiba berubah menjadi malaikat. Di wajahnya sudah mulai terpancar cahaya Rasulullah. Setelah ia mendengarkan Al-Qur’an dan penjelasan Mus’ab, ia bertanya: “Apa yang kamu ingin aku katakan?” Allah menginginkan dari semua orang untuk mengucapkan kalimat ini:
لَا إِلَٰهَ إِلَّا ٱللَّٰهُ مُحَمَّدٌ رَسُولُ ٱللَّٰهِ
Penawar hati yang hancur, obat hati bagi yang jauh dari pada keyakinan kepada Allah SWT. Begitu dia bangun, Usayd memutuskan untuk pergi menemui putra pamannya Sa’ad bin Mu’adz. “Demi Allah, jika saja Sa’ad bin Mu’adz datang, -ia yang akan menjadi pahlawan dalam pertempuran Perang Khandaq, Uhud dan Badar,- jika saja Sa’ad bin Mu’adz datang ia yang akan menyelesaikan permasalahan orang Anshar dan Esyhel.” Dan benar, Sa’ad bin Mu’adz juga datang dengan pedangnya. Dia juga mengancam Mus’ab, entah sudah berapa kali dia menghujamkan pedangnya ke kepala Mus’ab. Tetapi Mus’ab yang manis, Mus’ab yang terkasih, Mus’ab yang ahli di surga menjawabnya: “Duduk dan dengarkanlah terlebih dahulu, setelah itu silakan katakan apapun yang kamu mau!”
Wahai semua yang menceritakan tentang hakikat kebenaran, dengarkanlah dengan baik! Mereka semua perlu menyadari pentingnya menjalankan dakwah dalam kondisi apapun. Saya sendiri juga akan mendengarkan. Duduklah, saudaraku! Saudaraku yang terluka! Saudaraku, yang hatinya telah terkoyak! Saudaraku yang tidak percaya pada Allah! Saudaraku yang gelisah! Duduk dan biarkan aku menjelaskannya. Jika kamu tidak menerimanya silakan setelah itu lakukan apapun yang kamu mau!” Mus’ab membacakan ayat-ayat dari Al-Qur’an kepadanya. Hatinya mulai luluh. Sa’ad bin Mu’adz, ia hampir saja mencium tangan dan kaki Mus’ab. Beberapa saat kemudian, cahaya Al-Qur’an dan iman juga mulai muncul di wajahnya. Dia juga berkata dengan sepenuh hati bahwa لَا إِلَٰهَ إِلَّا ٱللَّٰهُ مُحَمَّدٌ رَسُولُ ٱللَّٰه “Tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Utusan Allah.”
Dalam seminggu Mus’ab berhasil meyakinkan suku Esyhel. Sebuah kelompok bernama Anshar telah muncul. Mereka menyambut Rasulullah pada tahun berikutnya dengan 70 orang di ‘Aqabah. 70 orang berjabat tangan dengan Rasulullah. Mereka menjanjikan kepadanya dalam perjuangan untuk hidup dan mati. “Kami akan mati, tapi kami tidak akan mundur”. “Kami akan melindungi Anda dan tidak akan meninggalkan yang haq”. “Kami akan menjadi pelayan Al-quran dan agama islam, dan kami tidak akan menahan diri untuk memenuhi janji ini” kata mereka. Dan benar, mereka memenuhi janji mereka. Kami juga mengatakan “ya” dalam “Qalu bala” (langkah awal dalam penciptaan manusia). Kami juga telah mengatakan dari bagian terkecil dari tubuh kami dan jiwa kami. Kami membenarkan perkataan kami dengan datang ke masjid. Semoga Allah menganugerahkan juga kepada kita untuk berada di jalan yang sama, memenuhi janji yang sama hingga nafas terakhir. Dan menganugerahi hati kita dengan antusiasme dan cinta untuk berdakwah, menceritakan tentang Allah SWT dalam suasana kebebasan yang luas ini. Semoga Allah SWT memberkati semua orang untuk menceritakan dan menjelaskan hakikat kebenaran ini di manapun ia berada dan sesuai dengan kemampuan dan sarana yang mereka miliki.