Badiuzzaman mengatakan bahwasanya hizmet tak sekedar melakukan perbaikan kecil dan parsial. Sebaliknya, hizmet melakukan perbaikan pada benteng yang melingkupi Islam dimana benteng ini mengalami pengeroposan. Pada prinsipnya, ia disebut memperbaiki kemanusiaan.
Apa benteng ini bisa disebut benteng kemanusiaan?
Ya, pada prinsipnya ia adalah benteng kemanusiaan.
Kini, sistem yang dirindukan umat manusia sedang tidur lelap ketika penindasan terjadi di muka bumi. Sistem ramah manusia yang dilukis para utopis, dimana dunia berdasar pada hukum dan melindungi hak manusia. Pada sistem ini, kemanusiaan memiliki posisi mulia. Demikian juga para wanita.
Dunia di mana orang-orang akan bergumam: “Di sinilah saya akan meraih ketenteraman…”
Itulah dunia yang diimpikan.
Maka masalah kemanusiaan pada hari ini adalah tidak adanya dunia yang seperti itu. Bumi kini alpa akan kehadirannya. Karena ia alpa, manusia pun saling menyembelih sesamanya.
Mereka menyusun rencana untuk menghabisi sesamanya: “Ditebas dibagian mana bagusnya?
Apa kita babat tenggorokannya, atau lengannya, atau kakinya, atau kita cungkil matanya…?
Atau kita hujani telinganya dengan peluru..” dan rencana setan lain semacamnya.
Atau pemikiran seperti:”Bagaimana kalau kita gantung?
50.000 orang itu kita hukum gantung?”
Bukankah dulu saat 15.000 orang digantung, masyarakat berhasil diselimuti rasa takut? Jika kini 50 ribu orang digantung, masyarakat akan tunduk pada Firaun, Amenophis, dan Ramses abad ini! Apabila demikian, rencana-rencana setan itu akan selalu bergaung di masa ini.
Kini sebagian sisinya menatap wajah dunia Islam -disini saya menyebut dunia Islam secara umum-. Teleskopnya sedang diarahkan ke wajah dunia Islam. Mereka menyaksikannya, membaca, dan memahaminya.
Saat mereka beropini, pasti mereka berkata: “Mengapa dunia Islam akan memikirkannya?”
Dari sini, pada prinsipnya masalah dunia Islam adalah masalah seputar iman. Karena itu Sang Juru Bicara abad ini, Badiuzzaman Said Nursi mengerahkan semua dayanya untuk meletakkan hakikat iman dalam diri manusia. Beliau senantiasa melakukan fortifikasi pada isu ini. Beliau mengulang penjelasan isu yang sama dengan puluhan cara berbeda. Teknik ini disebut al Quran sebagai tasrif yaitu menjelaskan hal yang sama dengan versi berbeda. Ia menjelaskan iman kepada Allah dengan uslub tertentu. Di tempat lain, dijelaskan dengan jalan lain. Sebab manusia memiliki latar belakang bakat, kemampuan, pendidikan, profesi, watak & kecondongan yang berbeda-beda. Manusia memahami sesuatu dengan jalan berbeda-beda. Ada yang memahami Hijaz, ada yang memahami Usyak. Sisanya paham Saba, Huzzam, atau Segah (nama-nama tadi adalah nama ragam nada pada azan). Itulah pentingnya tasrif: menjelaskan sebuah persoalan dengan berbagai versi. Sebagaimana Azan dikumandangkan dengan nada berbeda, sesuai waktunya.
Dengan demikian semua orang bisa memahami lalu mengucap kalimat iman. “Aku beriman kepada Allah, malaikat, para nabi, kitab-kitabNya, akhirat, serta beriman bahwasanya takdir baik dan takdir buruk itu asalnya dari Allah. Aku mengimani kebangkitan setelah kematian adalah benar, Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah. Dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan RasulNya…”
Inilah rukun iman.
Namun, Ustaz fokus pada empat pilar iman dimana semua agama samawi sepakat: tauhid, kenabian, kebangkitan, dan keadilan.
Imam Ghazali menyebut ada 3 pilar iman, dengan menggabungkan dua pilarnya jadi satu. Beliau juga menyusun banyak penjelasan untuk menerangkan urgensinya. Kehilangan terbesar bagi kemanusiaan adalah hilangnya iman: Manusia tidak mengimani Allah Subhanahu Wa Ta’ala sebagaimana mestinya; Manusia tidak mengimani para Nabi sebagaimana mestinya; Manusia tak memiliki mahabbatullah dengan kadar melebihi cintanya pada hal yang dicintainya.
Seperti Sayyidina Umar radhiyallahu anhu yang merevisi ungkapan cintanya pada Nabi: “Aku mencintaimu Ya Rasulullah, lebih dari cintaku pada diriku sendiri”.
PR utamanya adalah bagaimana kita bisa mengungkapkan perasaan ini dengan lebih tulus lagi! Disinilah Bediuzaman memfokuskan usahanya, yaitu fokus pada masalah iman. Jika benteng iman diperbaiki, maka benteng kemanusiaan akan pulih kembali. Apa yang diperintahkan oleh Islam…?
Ketika ditanya apa itu Akhlak Agung Islamiyah?
Mari mengecek referensi kitab-kitab akhlak Islam. Maka Anda akan menyaksikan bagaimana manusia ini hidup layaknya malaikat.
Orang akan pangling melihat imam masjid dan berujar: “Apakah dia ini Jibril, Mikail, atau Israfil?” Masyarakatnya akan terenovasi ke level tersebut saat kata “bohong” terucap, mereka akan bingung memahaminya. Sebab kata itu terhapus dalam perbendaharaan kata dii kamusnya. Kebohongan akan ditelan oleh air terjun kebohongan, ia tak akan pernah kembali. Kata “fitnah”, pun akan terhapus. Sehingga mereka akan bingung memahaminya saat ia terucap. Demikian juga dengan istilah “pembunuhan karakter”, semua akhlak tercela ini, yang Imam Ghazali sebut sebagai “Muhlikat”, akan terhapus dari memori umat manusia.
Orang-orang untuk mengingat makna dari istilah itu akan saling bertanya. Apa itu “marah”, apa itu “benci”, apa itu “dendam”, apa itu “dengki”, apa itu “terlaknat”. Khususnya rasa dengki yang mewabah di zaman ini: “Kamu berhasil sukses, sedangkan aku gagal. Karena itu saya harus menghabisimu”. Akhlak terlaknat itu sayangnya sedang mewabah di masa ini.
Menghadapi dunia seperti ini, Anda membangun dinding blokade dengan pondasi iman. Jika keseimbangannya Anda susun sesuai standar Islam, jika Anda bangun ia dengan kokoh dan tak mudah roboh. Sebagaimana Badiuzzaman mengerahkan semua usahanya untuk fokus pada masalah itu. Ya, Anda akan menyelesaikan pembangunan dunia yang tak mampu dibangun oleh kaum utopis. Singkatnya, Orang-orang cerdik cendekia akan terkejut melihat keberhasilan Anda. Anda membangun “Negara Matahari” yang diimpikan Campanella, negara yang hanya ada dalam khayalan. Anda akan membangun masa jaya Usmani. Mungkin bukan di masa jaya, tapi tepatnya di masa saat matahari Usmani akan tenggelam. Masa ketika matahari tergelincir akan terbenam, udara mulai sejuk, yaitu setelah waktu ashar. Masa itu dapat kita sangsikan, karena kemantapannya perlahan mulai pudar, mulai luntur. Pada masa senjanya Usmani saja sang cendekia berujar: “Sia-sia saya menulis Negara Matahari. Ternyata ia ada dan nyata di sini!” Bayangkanlah! Anda seakan merangkum Kitab Şecere-i Numâniye tulisan Muhyiddin Ibn Arabi yang membahas Usmani.
Saat Anda membangun pondasi dunia yang didambakan tersebut, Anda akan jadi sumber harapan bagi umat manusia. Anda akan jadi representasi dari nilai kemanusiaan, umat manusia akan banyak belajar dari Anda. Misalnya, bagaimana menghargai orang lain serta bagaimana menegakkan hukum dan keadilan. Dengannya, mereka akan membangun dunia yang sanggup menghembuskan angin ketenteraman. Dari sini, Anda tidak hanya membangun kebaikan yang eksklusif untuk dunia Anda sendiri. Di waktu yang sama, ia akan bermanfaat bagi seluruh penjuru dunia. Demikian strategisnya prasasti yang Anda bangun, ia akan terlihat dari segala penjuru.
Dilihat dari manapun, Prasasti tersebut akan jadi dambaan semua orang:”Menakjubkan sekali!” Sebenarnya umat manusia di masa ini kehilangan pondasi itu. Umat manusia membutuhkan pembentukan (taassus) pondasi itu. Saya gunakan kata taassus karena ia berasal dari istilah takalluf (pelaksanaan kewajiban), dimana dibutuhkan banyak usaha keras dan melewati berbagai kesulitan untuk bisa meraihnya.