Bisakah sebuah jembatan membangun dirinya sendiri?
Saat Imam Abu Hanifah masih muda, datang seorang saudagar majusi mengunjungi kota Basrah untuk berdagang. Si pedagang gemar memprovokasi orang-orang muslim dengan ucapannya, “Aku menyembah api. Api itu nampak, maka aku percaya padanya. Tampakkanlah kepadaku Allah yang kalian sembah itu. Kalian jelas tidak dapat melakukannya karena Dia tidak ada. Bawalah ulama-ulama kalian ke sini dan aku akan membuktikan bahwa Dia tidak ada.” Â
Beberapa masyarakat muslim di wilayah itu menantang si pedagang dengan berkata, “Jika Anda bisa membuat Abu Hanifah sepakat dengan ucapan Anda atau Anda berhasil mematahkan argumen-argumen Beliau, maka kami akan membawakan ulama-ulama ternama ke sini untuk beradu argumen dengan Anda.”
Melihat Abu Hanifa yang masih begitu muda, orang majusi itu meremehkannya dengan berkata: “Seorang anak kecil ini?! Aku tidak akan membuang waktuku dengan mendebat anak kecil!”
Akan tetapi, disebabkan oleh dorongan masyarakat di sana maka si majusi dan Abu Hanifah memutuskan untuk berdebat di masjid esok hari selanjutnya.
Ternyata Abu Hanifah datang terlambat hari itu, sehingga si majusi mengolok-oloknya: “Lihatlah, dimana anak kecil kemarin? dia takut untuk datang ke sini. Aku tidak ingin berdebat dengan anak-anak. Cepat panggil ulama-ulama besar kalian ke sini!”
Semua yang hadir sedikit panik dan khawatir. Tiba-tiba, Abu Hanifah akhirnya datang dengan pakaian yang basah kuyup karena keringatnya.
“Saya mohon maaf karena terlambat! Saya tadi sedang berada di seberang sungai. Tidak ada perahu yang bisa saya pakai untuk menyeberanginya. Maka saya perintahkan pepohonan di tepi sungai untuk berubah menjadi sebuah perahu agar saya dapat menyeberang. Pohon-pohon itu menuruti perintah saya, berubah menjadi perahu, dan saya akhirnya bisa datang ke tempat ini. Itulah mengapa saya terlambat. Saya mohon maaf!”
Sambil tertawa terbahak-bahak, si majusi berucap: “Apakah kalian mendengar apa yang anak kurang waras ini kisahkan kepada kita? Bagaimana mungkin pohon terangkai menjadi sebuah perahu dengan sendirinya?”
Mendengar pendapat orang itu, Abu Hanifah menjawab: “Anda berasumsi bahwa sebuah perahu tidak mungkin dapat dibuat tanpa ada pembuatnya. Lalu, bagaimana mungkin Anda percaya bahwa seluruh semesta bisa eksis tanpa ada pembuatnya?
Masyarakat yang hadir sepakat dengan yang Abu Hanifah jelaskan. Hanya saja, si majusi masih berargumen:
“Lalu, mengapa Allah tidak dapat dilihat? Semua benda yang eksis pasti terlihat.”
Abu Hanifah lalu menanyai orang itu: “Apakah Anda mempunyai akal?”
“Sudah pasti punya,” jawabnya.Â
“Kalau begitu tunjukkanlah pada kami!” desak Abu Hanifah.
Seketika dia terpaksa mengakui, “Aku tidak bisa menunjukkannya.”
Balas Abu Hanifah: “Mungkin Anda tidak mempunyainya! Ya, beberapa entitas seperti ruh dan akal tidak bisa kita lihat, tetapi eksistensinya dapat kita rasakan, artinya tidak semua entitas itu harus dapat dilihat oleh mata manusia.”
Demi menunjukkan kesepahaman mereka dengan penjelasan Abu Hanifah, masyarakat yang hadir menyorakan syahadat dengan lantang.
Sedang lelaki majusi tadi menjadi semakin marah. Dia bertanya: “Allah sedang apa saat ini?”
“Turunlah dari mimbar dan saya akan menjawab pernyataan Anda setelah saya naik ke sana,” balas Abu Hanifah.
Ketika Beliau sampai di mimbar, Abu Hanifah menjelaskan: “Tepat saat ini Allah sedang membuat seorang bodoh sepertimu turun dari mimbar lalu menaikkan anak kecil sepertiku untuk memberi pelajaran kepada semua orang.”
Menyadari kecerdasan Abu Hanifah, saudagar itupun menyerah.
Dia berterima kasih kepada Abu Hanifah dan masuk Islam saat itu juga yang disaksikan oleh semua orang yang hadir.
Apakah Alam Semesta Tercipta dengan Sendirinya, secara Kebetulan?
Ada sistem dan keteraturan dalam tubuh manusia sehingga tidak satupun sel yang dapat bertindak dengan sendirinya. Sistem seperti ini memperlihatkan kesinambungan dan kolaborasi yang sungguh sempurna. Seolah-olah setiap sel memiliki fungsi seperti makhluk yang bernyawa dan cerdas.
Mari kita amati satu buah sel saja sebagai contoh. Jika kita tidak setuju bahwa sel adalah pelayan Al-Qawiy (Yang Maha Kuat), dengan kata lain, sama saja dengan kita setuju dengan pernyataan ini: Setiap sel makhluk hidup dapat melihat dan sadar terhadap tubuh tempatnya menetap dan paham dengan segala aturan dan bahan pembuat tubuh tersebut.
Jika kita amati sistem pencernaan, misal, nampak semua organ dari mulut hingga usus besar bekerja dalam harmoni yang sempurna. Ditambah lagi, berdasarkan hubungannya dengan semesta, sistem tersebut bahkan memiliki mata yang dapat melihat seluruh semesta dan akal yang paham akan struktur, tugas, dan keseimbangan seluruh tubuh.
Jadi bisa dikatakan bahwa, berdasarkan perhitungan ini, sebuah sel harus memiliki akal setingkat jenius dan kekuatan setingkat Tuhan.
Maka, manusia yang menolak adanya Pencipta Tunggal akan jatuh ke dalam situasi bahwa dirinya -diharuskan- menerima eksistensi tuhan yang banyaknya sejumlah seluruh sel di semesta.
Sungguh tubuh manusia itu seperti istana dengan seribu kubah, setiap kubahnya ditopang oleh ratusan batu yang saling mendukung.
Tubuh kita mempunyai kualitas yang ribuan kali lebih menakjubkan daripada sebuah istana termegah sekalipun, seolah-olah ia diperbaharui secara terus-menerus. Jika kita beranggapan bahwa sel-sel yang menyusun tubuh manusia bukanlah pelayan dari Zat Yang Tanpa Batas, maka sebuah sel harus menguasai sel-sel lain dan selalu mengikat mereka. Dengan kata lain, setiap sel harus memerintah sel-sel lain untuk memastikan sel-sel itu berpindah ke tempat yang tepat, serta, di saat yang sama sel itu yang memerintah juga ikut berpindah ke tempat yang menurut sel lain adalah tempat yang tepat.
Jelas hal seperti ini tidak akan pernah terjadi, sebab masing-masing sel akan bergerak berdasarkan pemikiran yang berbeda-beda.
Kisah jembatan yang terbangun sendirinya mana ya?
memang kisah seperti itu tidak akan pernah ada ka