Apakah Tugas Seorang Anak terhadap Orangtuanya?
Kita dapat melihat dalam Al-Qur’an dan hadits Nabi bagaimana Islam sangat memperhatikan pentingnya perlakuan baik terhadap orang tua. Hal ini mendorong kita untuk memperhatikan tentang apa yang dapat kita perbuat untuk mereka secara nyata.
Dapat dikatakan bahwa tanggung jawab seorang anak terhadap orang tuanya dapat dikelompokkan menjadi dua tahap: tanggung jawab terhadap orang tua selama mereka masih hidup dan tanggung jawab terhadap orangtua setelah mereka sudah meninggal.
A. Tanggung jawab utama seorang anak terhadap orang tua ketika mereka masih hidup:
-
- Mengunjungi mereka;
- Memenuhi kebutuhan dan melayani mereka;
- Mematuhi kata-kata mereka, selama mereka tidak menyuruh kita melakukan dosa atau melakukan tindakan yang mengarah kepada suatu dosa;
- Memperlakukan mereka dengan cinta, kasih sayang dan kelembutan;
- Menghormati mereka;
- Tidak mengganggu tidur mereka atau membangunkan mereka sembarangan;
- Meminta izin sebelum memasuki kamar mereka;
- Berusaha terus menuntun orang tua tetap dalam jalan kebenaran;
B. Tanggung jawab utama kita terhadap orang tua setelah mereka meninggal:
-
- Memenuhi wasiat mereka;
- Bberdoa untuk mereka dan meminta Allah untuk mengampuni mereka;
- Menyumbangkan amal atas nama mereka;
- Melakukan ibadah yang tidak bisa mereka lakukan, seperti pergi haji (ziarah);
- Mengunjungi kerabat mereka;
- Mengunjungi kuburan mereka.
Melawan atau memberontak orang tua termasuk salah satu dosa besar, dan tentu saja salah satu perbuatan yang tidak disukai oleh Allah SWT. Dengan memutus hubungan dengan orang tua, seseorang sudah termasuk melakukan perbuatan yang merupakan ciri orang yang dikutuk Allah SWT (hipokrit), bukan seorang muslim. Sebagaimana gambaran karakteristik orang-orang yang dikutuk Allah SWT dalam Ayat 22 dan 23 surat Muhammad, Al-Qur’an menyebutkan bahwa salah satunya adalah mereka yang memutus hubungan kekeluargaan mereka.
Jika seseorang memutus hubungan dengan orang tua dan kerabatnya, dia akan kehilangan rahmat dan berkah Allah dan doanya mungkin tidak bisa dikabulkan, dan akhirnya dia tidak berhak atas surga-Nya. Untuk alasan ini, siapa pun yang berusaha untuk mencapai keberkahan dan kebahagiaan baik di dunia dan di akhirat, maka mereka yang utama adalah harus berusaha untuk mendapatkan ridha dari orang tuanya.
Perlu dicatat bahwa ketika mereka membesarkan kita, mereka tidak merawat kita hanya satu hari saja dalam setahun, tidak seperti “hari anak”. Sebaliknya, mereka merawat dan mendidik dengan penuh pengorbanan siang dan malam dan bahkan sampai kita bisa mandiri. Oleh karena itu, tugas kita adalah bersungguh-sungguh dalam memenuhi amanah agama kita, yang ada dipundak, untuk orang tua dan berusaha untuk mendapatkan ridha mereka. [1]
Apapun yang Engkau Perbuat, Tidak Ada yang Sepadan dengan Rasa Sakit yang Diderita Ibumu Saat Melahirkanmu
Muadz bin Jabal, salah seorang sahabat Nabi, seorang beruntung yang berkesempatan langsung menghadiri jamuan spiritual Nabi.
Kala itu, seseorang bertanya kepadanya, “Seberapa banyak seseorang berhutang budi kepada orang tuanya?”
Dia menjawab, “Kamu tidak akan dapat melunasi hutangmu kepada orang tuamu bahkan jika kamu menghabiskan semua kekayaanmu”
Said ibn Abu Burda meriwayatkan sebuah cerita yang didengar oleh ayahnya Abu Burda dari ibn Umar.
Suatu hari ibn Umar melihat seorang pria dari Yaman yang sedang mengelilingi Ka’bah sambil menggendong ibunya di punggungnya.
“Saya adalah unta rendahan untuk ibu saya,” gumam pria itu.
“Apakah saya sudah melunasi hutang budi saya kepada ibu saya dengan melakukannya?” tanyanya pada bin Umar.
“Tidak, tidak sedikit pun. Dengan apa yang kamu lakukan, kamu tidak dapat membalas rasa sakit yang diderita ibumu saat melahirkanmu,” jawab ibn Umar.
Seorang pria bertanya kepada Umar, khalifah kedua, yang terkenal karena keadilannya: “Saya memiliki seorang ibu yang tidak mampu merawat dirinya sendiri. Saya menggendongnya di punggung saya dan saya membantunya mengambil wudhu. Selama melakukan semua ini, saya tidak pernah mengeluh atau mencelanya. Apakah saya sudah melunasi hutang budi saya kepada ibu saya?
“Tidak,” jawab Umar.
“Saya sudah menjadikan diri saya seperti binatang pelana untuknya. Saya mendedikasikan diri untuk merawatnya. Bagaimana mungkin saya masih belum melunasi hutang saya kepada ibu saya?” tanya pria itu dengan heran.
Kemudian Umar membuat pernyataan yang luar biasa ini: “Ibumu telah melakukan semua itu untukmu. Saat itu, dia melakukannya agar Engkau hidup dan tumbuh dewasa. Tapi saat Engkau merawat ibumu sekarang, engkau sedang menunggu kematiannya.”
Kala itu, Umar melihat seorang laki-laki yang sedang mengelilingi Ka’bah dengan menggendong ibunya.
Sambil menggendong ibunya, dia berkata: “Saat ini saya menggendong ibu saya di punggung saya. Tapi sebenarnya, beliaulah yang menjadi seorang pengangkat (portir). Beliau sudah menyusui saya dan memberi saya makanan yang melimpah.”
Melihat peristiwa ini, Umar berkomentar: “Melihat pengorbanan pria ini, saya lebih menyadari bahwa ibu saya memiliki hak yang sangat banyak atas saya. Melakukan perbuatan seperti orang ini akan lebih baik bagi saya daripada memiliki unta merah (jenis unta yang paling berharga).”
Dengan berucap demikian, Umar sedang mengungkapkan kerinduannya. Dia menunjukkan bahwa Beliau akan bersemangat untuk menggendong ibunya di punggungnya jika dia masih hidup. Untuk membuat analogi, dia mengatakan dia lebih suka menggendong ibunya daripada memiliki kendaraan yang mewah.
Abu Nawfal meriwayatkan:
Suatu hari seorang pria mengunjungi Umar dan berkata bahwa dia telah melakukan pembunuhan.
“Kasihan. Sayang sekali. Apakah Engkau melakukan pembunuhan itu dengan sengaja atau tidak sengaja?” tanya Umar.
Ketika pria itu mengatakan bahwa itu adalah sebuah kecelakaan. Kemudian Umar bertanya apakah orang tuanya masih hidup. Pria itu menjawab bahwa ayahnya masih hidup. Dan Umar memberinya nasihat berikut: “Segeralah pergilah ke ayahmu, rawat dan layani dia. Lakukan semua yang bisa Anda lakukan untuk mendapatkan ridhanya.”
Kemudian, Umar berkomentar: “Demi Allah, jika ibunya masih hidup dan jika dia merawat dan melayaninya, ini akan menjadi harapan bahwa api Neraka tidak akan pernah menyiksanya.”
Abdullah bin Abbas pernah berkata, “Saya tidak pernah tahu, bahwa ada perbuatan yang lebih baik untuk mendekatkan diri kepada Allah daripada bersikap baik kepada ibu dan mendapatkan ridhanya.”
Perbuatan baik terhadap orang tua layaknya sebuah gunung yang dapat membawa kita ke surga. Seorang mukmin harus berusaha keras untuk memenangkan hati orang tuanya, agar dia berhak akan surga dan dimudahkan dalam meraihnya. Jika mereka tidak berkenan dengan kita, semakin besar kemungkinan untuk tidak dapat meraih surga-Nya.
Sebenarnya, mendapatkan ridha orang tua sama dengan mendapatkan keridhaan Allah. Mematahkan hati mereka berarti menghina Allah SWT. Seorang anak yang menyakiti perasaan orang tuanya akan ditolak masuk surga.
Aishah, ibu semua kaum mukminin, semoga rahmat Allah SWT terus tercurahkan kepadanya, mengisahkan: Dalam mimpinya, Nabi Yang Paling Mulia masuk surga dan mendengar seseorang membaca Al-Qur’an. “Siapa ini?” dia bertanya kepada orang-orang di surga. “Ini Haritha ibn an-Numan,” jawab mereka. Beliau adalah salah satu kaum Ansar yang telah berjuang di semua pertempuran termasuk Badar, Uhud, dan Khandaq. Beliau adalah Sahabat yang dihormati, yang dikenal karena kebajikannya. Nabi kita telah memberikan penjelasan tentang sebab Beliau berhak akan surga-Nya, meskipun dia memiliki begitu banyak keutamaan lainnya:
“Itu karena kebaikannya kepada orang tua.”
Setelah mengulangi kalimat ini selama tiga kali, Beliau menambahkan: “Haritha adalah yang paling baik terhadap seorang ibu.”
Ini adalah pelajaran dari Nabi, yang menggugah pikiran kita tentang bagaimana menemukan jalan menuju surga. Untuk mendapatkan kembali surga kita yang hilang, kita harus mengulurkan tangan kita kepada orang tua kita dengan kebaikan, dan kita sangat dekat dengan mereka sehingga mereka berkenan membawa kita ke surga.