Karya Pembaca: Rio A.
Apa itu kecerdasaan?
Bagaimana seseorang bisa dikatakan cerdas?
Apakah kecerdasaan adalah sebuah anugrah? sebuah kualitas yang memang nilainya tetap.
Atau, kecerdasaan adalah buah dari usaha seseorang dalam mempelajari sesuatu?
Dua pandangan ini sah-sah saja untuk dimiliki. Tetapi, tahukah anda kalau cara pandang kita terhadap kecerdasan mampu berimplikasi pada cara pandang kita terhadap hal lain?
Ada dua teori dalam memandang kecerdasan, teori kecerdasan tetap dan teori kecerdasan berubah. Teori kecerdasaan tetap dapat disebut juga dengan teori kecerdasaan entitas. Dikatakan entitas karena teori ini memandang kecerdasaan sebagai suatu entitas dalam diri kita yang tidak bisa diubah. Teori kecerdasaan berubah dapat disebut juga sebagai teori kecerdasaan inkremental. Dikatakan inkremental karena teori ini memandang kecerdasaan sebagai suatu kualitas yang dapat ditingkatkan melalui proses belajar. Lantas, bagaimana teori yang dipercayai seseorang tentang kecerdasan mampu mempengaruhi pandangannya terhadap hal lain?
Dalam buku berjudul Self Theories yang ditulis oleh Carol S. Dweck, guru besar psikologi Universitas Stanford, Profesor Dweck melakukan penelitian-penelitian tentang teori kecerdasaan. Hasil dari penelitian tersebut sangat menarik. Anak-anak sekolah dasar yang teori kecerdasan entitas lebih cepat menyerah ketika menghadapi soal sulit ketimbang anak-anak teori kecerdasan inkremental.
Kenapa bisa demikian?
Saat anak-anak teori kecerdasaan entitas menjumpai soal sulit, mereka memandang soal-soal yang diberikan sebagai penilai kepintaran mereka. Artinya, kalau mereka tidak bisa menjawab soal yang diberikan, mereka berasumsi bahwa mereka tidak cukup pintar. Sebaliknya, anak-anak teori inkremental sangat suka dengan soal-soal sulit yang diberikan oleh peneliti. Mereka memandang soal sulit sebagai sarana untuk memperoleh pengetahuan baru. Pola-pola ini tidak hanya ditemui pada siswa sekolah dasar saja, tetapi penelitian yang dilakukan kepada mahasiswa juga menunjukan pola yang sama.
Jadi, anak-anak yang percaya bahwa kecerdasan adalah suatu entitas yang tetap akan lebih mudah menyerah daripada anak-anak yang percaya bahwa kecerdasan adalah hal yang dapat ditingkatkan melalui belajar.
Apakah kita bisa melihat fenomena “menyerahnya” anak-anak teori entitas karena persoalan yang sulit di luar penelitian?
Tentu.
Pernah dengar cerita kolega atau saudara anda yang mengatakan bahwa seseorang dulunya brilian di kelas, tetapi prestasinya menurun setelah naik ke kelas yang lebih tinggi?
Misalnya, transisi dari sekolah dasar ke sekolah menengah. Pada sekolah dasar, tingkat kesulitan soal atau pekerjaan dijaga minimal agar dapat memastikan pekerjaan tersebut dapat diselesaikan oleh siswa, dan siswa memperoleh banyak kesuksesan. Lebih tepatnya, kesuksesan yang mudah. Ketika mendapat kesuksesan yang mudah, baik anak teori entitas dan teori inkremental tidak terdapat perbedaan performa yang signifikan. Tetapi, saat transisi dari sekolah dasar ke sekolah menengah, soal-soal dan pekerjaan menjadi lebih sulit serta instruksi menjadi lebih umum. Anak-anak teori entitas yang tidak adaptif akan kaget dan percaya bahwa mereka memang tidak cukup cerdas. Anak-anak teori inkremental akan menganggap bahwa transisi tersebut memang bagian dari proses belajarnya. Selanjutnya bisa diduga, setelah transisi, prestasi anak-anak teori entitas menurun dan prestasi anak-anak teori inkremental cenderung tetap.
Saya pernah membaca cuitan seseorang di internet yang isinya kurang lebih, “Apakah benar? Saat masa SMA, perempuan yang ambisius. Tetapi waktu kuliah malah
sebaliknya?”.
Di Kamus Besar bahasa Indonesia, ambisius memiliki arti berkeinginan keras mencapai sesuatu. Mungkin yang dirujuk penulis cuitan tersebut adalah perbedaan prestasi antara masa SMA dan kuliah berdasarkan gender tertentu. Saya tidak terlalu yakin dengan hal tersebut, tentu terdapat perbedaan kasus di setiap tempat. Hal yang saya ketahui, Profesor Dweck memiliki istilah “Paradoks Gadis-gadis Pintar”. Singkatnya, paradoks tersebut berbicara tentang menurunnya prestasi gadis-gadis yang dulunya dicap pintar di bangku kuliah.
Adakah penjelasan mengenai hal tersebut?
Anak-anak yang sering dipuji karena kepintaranya, bukan kerja kerasnya, akan membentuk pola pandangan kecerdasaan teori entitas. Seiring berjalannya waktu, anakanak akan mendambakan pujian akan kepintarannya. Mereka akan memandang soalsoal yang mereka kerjakan sebagai pengukur kecerdasan mereka.
Bagaimana agar kita “tidak pernah” gagal mengerjakan soal?
Sederhana.
Kerjakan soal mudah, atau dengan kata lain, hindari soal-soal sulit. Menghindari soal-soal sulit menurunkan kemungkinan anak-anak untuk belajar hal baru. Maksudnya, kalau kita hanya melakukan apa yang kita bisa lakukan, bagaimana kita bisa belajar hal baru lebih banyak?
Fenomena ini, ditambah pandangan masyarakat bahwa laki-laki lebih baik di bidang STEM (Science, Technology, Engineering, and Mathematics) menggiring “gadis-gadis pintar” untuk memilih bidang lain. Hal ini agar mereka dapat menghindari kegagalan. Kalau mereka memasuki bidang STEM pun, kegagalan akan membuat, kepercayaan diri mereka akan lebih cepat hilang dan mereka akan mempertanyakan kecerdasan mereka. Stigma masyarakat tentang dominasi laki-laki menjadi katalis menurunnya performa mereka saat menjumpai kegagalan.
Pandangan tentang teori kecerdasaan mempengaruhi seberapa cepat seseorang melabeli orang lain. Orang teori entitas melabeli orang lain lebih cepat daripada orang teori inkremental. Label di sini tidak hanya label negatif, tetapi berlaku juga pada label positif. Dari argumen-argumen pada paragraf sebelumnya, dapat dipahami kenapa fenomena tersebut dapat muncul. Ketika seseorang percaya bahwa kita memiliki sebuah kualitas yang berada di dalam diri kita yang tidak dapat diubah, maka kita hari ini adalah kita besok (dan kemarin). Satu cuplikan dapat digunakan untuk memprediksi bagaimana seseorang berperilaku ke depannya. Itulah mengapa orang teori entitas cenderung melabeli orang lebih cepat. Hasil penelitian konsisten dengan hal tersebut. Orang-orang teori inkremental, sebaliknya, melabeli orang lain relatif lebih lambat. Sangat mengesankan bagaimana cara pandang seseorang mengenai kecerdasan mampu mempengaruhi seberapa cepat penilaian seseorang kepada orang lain.
Dua pandangan teori kecerdasan , baik kecerdasan tetap maupun berubah, wajar dimiliki seseorang. Tetapi, dari hasil penelitian, pandangan bahwa kecerdasan manusia dapat dikembangkan melalui proses belajar atau kerja keras adalah pandangan yang lebih baik. Kita mungkin diberi anugrah otak yang cemerlang, tetapi, sebagian orang lupa bahwa kita juga diberi anugerah untuk berusaha. Tuhan tidak akan mengubah nasib seseorang, sebelum dia mengubah nasibnya sendiri.
Referensi:
Dweck, Carol S. (2000). “Self Theories”.
Artikel ini sudah dimuat dalam Buletin Yayasan RUBIC bulan Februari 2022