Hakikat Iman, Apa itu Iman?
Iman secara bahasa berarti percaya atau yakin. Adapun secara istilah berarti percaya pada sesuatu tanpa ragu-ragu, memberikan keyakinan, menjamin keselamatan dan keamanan orang lain, serta dapat dipercaya, dapat diandalkan, dan jujur.
Dalam konteks agama, iman bermakna keyakinan dengan sepenuh hati atas keesaan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan kenabian Rasulullah Shallalahu ‘alaihi wa Sallam, beserta risalah yang beliau bawa.
Tingkatan Iman
Ulama membagi iman dalam dua tingkatan, yaitu iman ijmali dan iman tafsili. Iman ijmali bermakna mengimani Allah secara garis besar melalui risalah kenabian. Dengan kata lain, ucapan syahadat, “Tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah”, merupakan bentuk iman ijmali.
Iman ijmali yang merupakan rukun Islam pertama tak lain adalah tingkatan pertama keimanan seorang hamba. Perlu dicatat bahwa seseorang memang telah dianggap sebagai mukmin jika sekadar beriman secara ijmali. Kendati demikian, ia diwajibkan mempelajari dan mengamalkan pilar keimanan lainnya beserta syariat agama.
Di sisi lain, iman tafsili, beriman secara komprehensif, bermakna mengimani Allah beserta rukun iman lainnya secara mendalam. Termasuk pula semua ajaran Rasulullah. Iman tafsili terwujud dalam rukun iman dan rukun Islam. Dalam cakupan yang lebih luas, seseorang yang beriman kepada Allah secara tafsili akan berusaha melaksanakan perintah-Nya, seperti shalat fardu, puasa, sedekah, dan haji sekaligus menjauhi larangan-Nya seperti minum minuman keras, berjudi, dan bermaksiat.
Seorang hamba, tanpa terkecuali, harus mengamalkan iman tafsili dalam kehidupan kesehariannya. Seorang kafir akan mudah mengusik keimanan seseorang melalui tingkat keimanan pertama, yang beriman hanya dalam lisannya.
Seseorang yang wafat dalam kondisi kalbu penuh dengan iman akan memasuki surga-Nya. Kendati demikian, keimanan seorang Muslim dapat menjadi lebih tinggi derajatnya dengan keyakinan yang komprehensif (iman tafsili) yang dibangun di atas fondasi yang kuat.
Ustadz Said Nursi menggambarkan tingkat keimanan seseorang dalam satu cerita berikut:
Mari kita misalkan ada beragam jenis barang-barang antik milik seorang raja atau sultan yang diperjualbelikan di suatu pasar.
Keaslian barang, bahwa barang tersebut adalah milik seorang raja atau sultan, dapat diketahui melalui dua cara.
Yang pertama, percaya secara lugu, berdasarkan penalaran umum, dari perkataan yang ada di khalayak ramai, seperti, “Beragam barang dengan kualitas baik dan jumlah yang banyak seperti ini sudah sewajarnya milik seorang sultan. Tak ada yang lain.”
Akan tetapi, penalaran seperti demikian tidak mampu menghindarkan seseorang dari keraguan.
Misalkan saja ada orang lain lagi yang datang kemudian berkata, “Barang ini sepertinya bukan hanya milik sang sultan, melainkan milik si fulan atau si fulan.” Lantas orang yang berpikir demikian mulai ragu dan akhirnya beralih percaya kepada pemikiran yang baru.
Yang kedua, melalui penalaran secara komprehensif. Seseorang akan memeriksa secara teliti setiap label yang ada di setiap barang, yang dapat membedakan barang asli milik sultan atau milik orang lain. Dengan seperti ini tidak akan ada keraguan dan ketidakpastian sedikitpun.
Tiada seorangpun yang mampu menipu orang yang memiliki level kepercayaan seperti ini.
Seumpama ada lagi seseorang yang datang dan berkata, “Barang ini sebenarnya milik sang sultan dari istana ini dan itu.” Dia pun langsung mampu menimpali, “Anda tidak benar. Barang ini bukanlah miliknya, melainkan milik orang lain.”
Demikianlah betapa jelasnya perbedaan antara iman ijmali (tingkat dasar) dengan iman tafsili (tingkat komprehensif).
Seseorang dengan iman tingkat dasar mungkin akan berpikiran, “Allah-lah yang menciptakan alam semesta beserta isinya, tiada yang lain.”
Namun, orang tersebut tidak terjamin akan terhindar dari segala bentuk keraguan. Adapun jika didatangi orang lain lagi dan dia berkata bahwa, “tidak, Allah tidak menciptakan alam semesta.” dan dijelaskan lebih lanjut dengan pemikiran seperti itu, orang dengan keimanan tingkat dasar ini akan mudah percaya dan menjadi kafir.
Sementara orang dengan tingkat keimanan komprehensif (iman tafsili) tentu akan mentafakuri Allah beserta ciptaan-Nya. Ia akan membuktikan dengan akal dan kalbu bahwa segalanya merupakan ciptaan-Nya. Demikian kuat keimanannya hingga tidak ada keraguan sedikitpun dalam relung kalbunya. Imannya tak akan goyah bahkan di hadapan seorang filsuf ateis durjana.
Pembahasan tingkatan iman yang komprehensif, jd bahan introspeksi diri selama ini