Sebuah kisah dari sosok, seorang sahabat, teladan umat Islam, Ka’b bin Malik tentang kejujurannya yang sudah menyelamatkannya.
Ka’b bin Malik: “Kejujuranku Menyelamatkanku”
Dalam setiap diskusi membahas tentang kejujuran, sosok Ka’b ibn Malik selalu menjadi rujukan karena kisahnya ini.
Beliau adalah sahabat yang sangat ahli dalam menggunakan pedang dan kata-kata.
Beliau adalah seorang penyair.
Melalui syair-syairnya, Ka’b ibn Malik dapat melemahkan semangat orang-orang kafir. Beliau telah bersumpah setia kepada Rasulullah di Aqabah. Oleh karena itu, dia termasuk orang-orang pertama yang beriman di Madinah. Namun, dia tidak bisa mengikuti perang Tabuk. Mari kita dengarkan saat dia menceritakan kisahnya sendiri:
“Panggilan untuk berjihad dalam perang itu ditujukan untuk semua orang, karena perang itu diprediksi akan berlangsung secara sengit. Namun, prediksi keberlangsungan perang ini bukanlah ketetapan dari Allah SWT dan bahkan, pertarungan secara langsung tidak terjadi dalam perang itu. Hasil dari peperangannya mungkin atau juga mungkin tidak diilhamkan kepada Rasulullah SAW. Namun, Beliau sangat memberikan perhatian kepada kesiapan pasukan perang tersebut.
Seperti yang lain, saya juga melakukan persiapan. Bahkan, saya tidak pernah bersiap lebih baik dibandingkan perang-perang sebelumnya. Rasulullah SAW memberi sinyal kepada pasukan muslim untuk mulai berangkat.
Saya tidak mengikuti mereka dan berpikir, ‘Saya dapat mengejar mereka bagaimanapun juga.’
Saya tidak memiliki kegiatan lain yang khusus. Tapi karena kepercayaan diri saya, saya tertinggal. Sehingga saya menunda keberangkatan ke hari berikutnya, namun, banyak hari pun berlalu.
Saya tidak mungkin lagi mengejar Rasulullah.
Saya tidak bisa melakukan apapun selain menunggu mereka kembali. Tapi penantian ini terasa begitu lama bagi saya.
Akhirnya, kabar kembalinya Rasulullah SAW pun datang juga. Madinah akan segera hidup sebelum Beliau kembali. Kegembiraan akan kembalinya Rasulullah terlihat di wajah semua orang…
Akhirnya, harapan mereka terkabul, dan pasukan tiba di Madinah.
Seperti biasa, Rasulullah SAW pergi ke masjid dan melakukan shalat dua rakaat dan mulai menyapa orang-orang. Kemudian semua orang datang ke masjid secara berkelompok dan mengunjungi Beliau.
Mereka yang tidak bisa mengikuti peperangan menyampaikan permintaan maaf mereka. Sebagian besar orang yang tidak ikut berperang telah menyebutkan alasan mereka, dan Rasulullah telah menerima alasan mereka.
Saya bisa melakukan hal yang sama karena saya memiliki kemampuan khusus untuk membujuk orang dan menggunakan bahasa dan retorika.
Tapi bagaimana saya bisa berbohong kepada Rasulullah, karena saya tidak punya alasan.
Saya tidak melakukannya; saya tidak bisa.
Saat kami bertemu, Rasulullah menyapa saya dengan senyum masam yang menusuk hati saya.
“Di mana dirimu?” beliau bertanya.
Saya menjelaskan cerita saya apa adanya.
Beliau memalingkan wajahnya dari saya dan berkata tanpa suara,
‘Pergi.’
Saya pun pergi.
Orang-orang mengerumuni saya, berkata, ‘Beri alasan dan bebaslah.’ Mereka membujuk saya.
Tapi saya sadar dan bertanya, ‘Apakah ada orang lain seperti saya?’
‘Ya,’ jawab mereka, dan menyebutkan nama dua orang.
Keduanya adalah sahabat terkemuka yang pernah berpartisipasi dalam Perang Badar yaitu Murarah bin Rabi dan Hilal bin Umayyah. Mereka tidak menyebutkan alasan apapun, tetapi mengatakan yang sebenarnya.
Mereka seperti saya.
Saya bisa mengikuti cara mereka. Saya memutuskan untuk seperti mereka dan menghindari menyampaikan alasan apapun.
Sebuah perintah dikeluarkan perihal kami bertiga. Perintahnya adalah melarang siapapun berbicara atau bertemu dengan kami.
Dua orang yang lain tinggal di rumah, menangisi dosa-dosa mereka. Saya lebih muda dan lebih kuat. Jadi saya bisa berjalan di jalan-jalan dan pasar dan saya bisa pergi ke masjid pada waktu salat.
Tapi tidak ada yang berbicara kepada saya. Saya menghabiskan sebagian besar waktu di masjid.
Saya akan menunggu dengan sungguh-sungguh senyum dari Rasulullah.
Yang membuat saya cemas, setiap hari saya pulang ke rumah dengan kekecewaan.
Meskipun selalu ada senyum di wajahnya, Rasulullah tidak pernah menatap saya dan tersenyum pada saya.
Saya selalu menyambutnya dan menunggu dengan seksama jawaban darinya.
Tapi bibir Beliau tetap tertutup untuk saya.
Saya juga terkadang mencuri-curi pandang kepada Beliau saat berdoa. Beliau melihat kearah saya ketika saya mulai melakukan shalat, tapi Beliau mengalihkan pandangannya dari saya selepas shalat.
Selama lima hari saya dalam keadaan seperti ini. Semua orang di sekitar tempat saya tinggal mulai tampak begitu asing sehingga terasa seperti tinggal di negara asing.
Suatu hari, saya melewati pagar dan masuk ke kebun Abu Qatadah —Beliau adalah putra paman saya dan kami sangat dekat— dan pergi menemuinya.
Saya mengucapkan salam kepadanya. Demi Allah, dia tidak membalas salam saya.
Saya berkata: ‘Wahai Abu Qatadah, saya memohon padamu demi Allah! Tahukah kamu bahwa saya mencintai Allah dan Rasul-Nya?”
Dia diam.
Saya mengulangi pertanyaan saya tiga kali. Akhirnya, dia berkata, ‘Allah dan Rasul-Nya lebih tahu,’ dan pergi.
Seluruh dunia tampak terbalik.
Saya tidak pernah menyangka akan mendengar hal ini dari Abu Qatadah.
Mataku berlinang air mata dan menangis.
Suatu hari, saya sedang berjalan-jalan di Madinah, dan saya mendengar seseorang mencari saya. Dia datang kepada saya dan menyerahkan surat kepada saya..
Itu dari raja Ghassan. Raja mengundang saya ke negaranya.
Surat itu tertulis: ‘Saya telah diberitahu bahwa sahabatmu (Rasulullah SAW) telah memperlakukanmu dengan kasar. Bagaimanapun, Allah tidak membuatmu tinggal di tempat di mana kamu merasa rendah diri dan kehilangan hakmu. Jadi, bergabunglah dengan kami, dan kami akan menghiburmu.’
Ketika saya membacanya, saya berkata pada diri sendiri, ‘Ini juga adalah ujian,’ dan saya membawa surat itu ke perapian dan membakarnya.
Pada hari ke 40 dari 50 hari yang berlalu.
Seorang utusan Rasulullah datang kepada saya dan berkata, ‘Rasulullah memerintahkanmu untuk menjauhi istrimu.’
Saya berkata, ‘Haruskah saya menceraikannya; atau apa yang harus saya lakukan?”
Dia berkata, “Tidak, jauhi saja dia dan jangan bergaul dengannya.”
Saya berkata kepada istri saya, ‘Pergilah ke orang tuamu dan tinggal bersama mereka sampai Allah memberikan keputusan-Nya dalam masalah ini.’
Sementara itu, istri Hilal telah meminta izin untuk melayani Hilal. Hilal adalah seorang lelaki tua tak berdaya yang tidak memiliki pelayan untuk merawatnya. Rasulullah memberikan izin kepadanya.
Beberapa orang menyarankan agar saya meminta izin dengan cara yang sama.
Tapi saya tidak mau melakukannya. Saya tidak tahu bagaimana reaksi Rasulullah jika saya melakukan itu.
Kami terus berada dalam kondisi tersebut selama 10 malam, hingga periode 50 malam selesai.
Jiwa saya terasa sesak dan bumi tampak sempit bagi saya, padahal ia begitu lapang.
Setelah menyelesaikan salat Subuh pada pagi kelima puluh, saya mendengar seseorang memanggil nama saya. ‘Wahai Ka’b, berbahagialah (dengan menerima kabar baik)’ katanya.
Mengetahui bahwa telah datang pengampunan-Nya, saya pun tersungkur dalam sujud di hadapan Allah.
Rasulullah telah mengumumkan penerimaan taubat kami oleh Allah setelah salat Subuh.
Saya berlari ke masjid.
Semua orang mengucapkan selamat kepada saya.
Talhah dengan cepat mendatangi saya, menjabat tangan saya dan memberi selamat kepada saya. Seolah-olah saya berada di hari Aqaba.
Saya pergi ke hadapan Rasulullah dan memegang tangannya. Beliau juga meraih tangan saya.
Rasulullah berkata, ‘Allah memaafkanmu.’ Kemudian, beliau membacakan ayat berikut:
Dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan taubat) mereka, hingga apabila bumi telah menjadi sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas dan jiwa mereka pun telah sempit (pula terasa) oleh mereka, serta mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah, melainkan kepada-Nya saja. Kemudian Allah menerima taubat mereka agar mereka tetap dalam taubatnya. Sesungguhnya Allah-lah Yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. (Q.S. At-Taubah 9:118).
Setelah ayat ini turun, Ka’b ibn Malik berkata kepada Rasulullah SAW: “Saya berjanji untuk berkata benar selama hidup saya.”