Ilmu-ilmu yang tidak diinternalisasi ke dalam jiwa tak ubahnya beban di punggung para pemiliknya. Pengetahuan yang tidak menuntun manusia pada tujuan-tujuan luhur juga merupakan pengkhianatan terhadap pikiran dan kalbu. Ya, sintesis kalimat ini sesuai dengan ayat Al-Qur’an:
مَثَلُ الَّذِينَ حُمِّلُوا التَّوْرَاةَ ثُمَّ لَمْ يَحْمِلُوهَا كَمَثَلِ الْحِمَارِ يَحْمِلُ أَسْفَارًا بِئْسَ مَثَلُ الْقَوْمِ الَّذِينَ كَذَّبُوا بِآيَاتِ اللهِ وَاللهُ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
Artinya: “Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan kepadanya Taurat, kemudian mereka tiada memikulnya adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal. Amatlah buruknya perumpamaan kaum yang mendustakan ayat-ayat Allahﷻ itu. Dan Allahﷻ tiada memberi petunjuk kepada kaum yang zalim.”
Permasalahan utamanya bukan sekedar membolak-balik halaman buku, tetapi bagaimana kita bisa menjelma sebagai buku itu sendiri, mendalami isinya, serta menjadikan buku sebagai dinamika tersendiri.
Ilmu yang tidak mendekatkan manusia kepada Allahﷻ, bukanlah ilmu melainkan sebuah musibah buruk yang berasal dari kebodohan. Seorang manusia dalam setiap proses membaca dan berpikir haruslah mampu merasakan bahwa dirinya selangkah lebih dekat dengan Sang Pencipta. Jauh di dalam hati sanubarinya ia harus mampu mendengar bahwa dirinya semakin melepaskan diri dari jasmaniyahnya. Ia harus merasa seakan sedang berdiri di belakang Rasulullahﷺ dalam posisi siap sedia untuk menyembah Allahﷻ. Ketika ilmu tidak bertransformasi menjadi amal, ia layaknya beban di punggung pemiliknya. Sâdî-i Şirazî berkata: “Apabila ilmu seseorang tak bertransformasi menjadi amal, sesungguhnya ia adalah sebenar-benarnya orang jahil.”. Apabila ilmu tidak beralih menjadi aksi nyata, tidak sanggup merapikan susunan lahir dan batin kita, tidak mewarnai dunia kalbu serta ibadah dan ketaatan kita, tidak menyetel lanskap ukhrawi dan malakuti kita, menurutku ilmu itu tak lebih dari sekedar beban bagi pemiliknya. Allahﷻ akan mempertanyakan mengapa Anda sibuk dengan hal-hal yang kurang urgen. Dia akan bertanya: “Mengapa kamu terlalu fokus dengan hal-hal yang tak ada maknanya?”.“Mengapa kamu kerja sampai nyut-nyutan untuk sesuatu yang tak ada gunanya”?.“Mengapa kamu menekuni urusan ini?.
Untuk itu, yang sejati adalah transformasi ilmu menjadi makrifat, sesuatu yang bisa Anda sebut sebagai kultur nurani, transformasi makrifat menuju mahabbah, transformasi mahabbah menjadi aşk u iştiyak (rasa cinta dan semangat yang membuncah). Hendaknya pemikiran seperti ini senantiasa menghiasi keseharian seorang manusia.
Ya, seseorang yang mengatur dirinya dengan program tersebut akan bertransformasi menjadi monumen kasih sayang. Ia akan mencintai cinta dan membenci kebencian. Ia akan melakukan apapun demi perdamaian, Namun, ia serius dalam menentang kebencian dan permusuhan. Ia mengusir kebencian dan permusuhan dari tujuh pintu. Ia jatuh cinta pada kasih sayang. Demikian cintanya ia pada cinta, ia sampai tak mengenali kekasih yang dicintainya.
Terdapat manqobah yang Anda kenal: Majnun jatuh cinta pada Leyla. Namun, ketika berjumpa ia tak menunjukkan perhatian. Karena ia jatuh cinta pada cinta, demikian juga cintanya Ferhat. Jatuh cinta pada cinta…. Jatuh cinta pada mahabbah. Ya, demikianlah mencintai cinta dan membenci kebencian.
Kita diperbolehkan membenci beberapa hal. Manusia boleh saja membenci sifat-sifat kafir. Manusia boleh membenci sifat-sifat seperti al ilhad, kebencian, hasad, cemburu, serta black campaign kepada sesama. Namun, kebencian ini tak boleh merembet kepada individunya. Pada prinsipnya, yang harus dibenci adalah sifat-sifatnya. Semangatnya harus digunakan untuk memisahkan sifat-sifat itu dari individunya.
Apabila perasaan tersebut mendatangkan tegangan metafisik yang serius…. Maka ia harus digunakan untuk menyelamatkan manusia yang hampir tenggelam ke dalam sifat-sifat jahat, fasik, dan sifat-sifat setan ; Karena benci, permusuhan, pengrusakan, dan hasad adalah sifat-sifat setan. Orang-orang ini tenggelam tanpa sadar. Bahkan jika ia terlihat sanggup berdiri, tetapi tanpa disadari ia tenggelam. Tergantung dari tingkat maksiat yang dilakukannya, ia akan memiliki penampilan maknawi terkadang serupa dengan kera, gorilla, atau dubb. Kuatir tidak sopan, saya menyebutnya dengan bahasa arab ; terkadang berupa dzi’b, ia juga dibahas di Al-Qur’an (QS 16:17), artinya serigala. Setiap hewan ini memiliki karakteristik tersendiri. Ada yang menggigit, mengoyak, mengimiatsi, ada yang mencekik, dan ada yang meracuni seperti ular. Itulah sifat-sifat tak bermoral, sifat-sifatnya setan.
Ketika melihat sifat-sifat itu pada diri seseorang tak bisa dipungkiri bahwa rasa benci akan segera muncul. Namun, rasa benci itu tak boleh ditujukan kepada individunya. Kita bahkan harus mengerahkan upaya untuk menyelamatkan individu tersebut supaya selamat dari ketenggelamannya. Hendaknya kita menggunakan semua daya upaya untuk tujuan ini. Inilah akhlak kita secara umum. Seperti inilah kita mengenal Rasulullah dan Khulafaur Rasyidin. Kita mengutuk kebencian, permusuhan, dan pengrusakan. Semoga Allahﷻ menganugerahi orang-orang yang bertindak seperti ini dengan perasaan pengertian, kemanusiaan, iman yang hakiki, saling mencintai, saling merangkul dan memahami!. Semoga Allahﷻ menyelamatkan mereka dari sifat-sifat hewani serta dari penampilan maknawi layaknya binatang meski secara fisik terlihat seperti manusia.
Penyerupaan ini, yaitu menjadi qirodah (kera) dan khanazir (babi) dalam QS 59:60, dipahami penafsir dalam 2 bentuk. Sebagian penafsir berkata bahwa beberapa orang dikutuk menjadi kera dan babi dalam bentuknya yang hakiki sebagai hukuman atas pembangkangannya kepada Allahﷻ. Namun, sebagian muhaqqiq berkata bahwa mereka tidak dikutuk menjadi hewan dalam bentuk jasmani, melainkan dalam bentuk maknawinya saja.
Orang-orang yang menekuni urusan ini mengatakan bahwa mereka mengalami deformasi, degenerasi, pertumbuhan ke bawah. Karena kondisi tersebut tidak cocok dengan tabiat manusia, maka masa hidup mereka memendek untuk kemudian mati. Mereka memberontak kepada nabi, menolak pesannya yang bercahaya, menampiknya dengan punggung tangannya, mereka menuruti nafsunya, mengikuti jejak langkah setan, sehingga Allah pun menghukumnya. Sebagai contoh, pada zaman Nabi Musa dan Nabi Daud, beliau-beliau mendoakan sesuatu untuk mereka dan hal itu terjadi, dan beliau mengutukkan sesuatu dan hal itu pun terjadi.
Penafsiran lainnya adalah: “Mereka mengalami perubahan maknawi: akhlaknya, karakternya, sikap, dan perilakunya menjadi sama persis dengan hewan-hewan tersebut.”. Mereka meneteskan air liur, menunjukkan taring, serta mencoba menghancurkan sesuatu yang dibangun berabad-abad lamanya. Dalam 40-50 tahun terakhir mereka berusaha merusak sistem yang sedang dibangun. Demi melakukan pengrusakan, mereka gunakan semua daya dan upaya. Mereka mengkampanyekan pelumatan, hafizanallah. Dengan demikian, secara maknawi mereka hidup seperti gorilla, beruang, dan serigala.
Allah ta’ala bisa saja menuangkan mereka ke dalam hidayah sekali lagi. Sebagaimana Dia menciptakan mereka dalam bentuk yang cocok untuk menjadi ahsani taqwim, dengan menyematkan karakter khas dari ahsani taqwim Dia bisa mengembalikan mereka ke bentuk asalnya. Jika seandainya sedari awal mereka berpikir demikian dan berlari di atas peta rencana demikian, nasib mereka ada di tangan Allahﷻ, Allahﷻ akan memudahkan mereka untuk bertobat.
Meskipun di satu sisi bertobat di saat sekarat bisa tidak diterima karena diucapkan dalam keadaan haalat yais. Firman Allahﷻ : “Dan tidak (pula diterima tobat) dari orang-orang yang meninggal sedang mereka di dalam kekafiran QS 4: 18). Maka dari itu, sebelum terjadi, Allah akan membuatnya berikrar: Saya beriman kepada Allahﷻ, Rasul-Nya, dan Hari Akhir. Demikianlah, nasibnya ada di “tangan” Allahﷻ. Rahmat-Nya telah melingkupi marah-Nya.
Kembali ke pembahasan, profesi kita adalah mencintai cinta dan membenci kebencian ; Syiar kita adalah mengusir kebencian dari tujuh pintu. Tidak memelihara rasa benci, permusuhan, dan dendam kepada siapapun, mempermalukan orang, mengecam, merendahkan, mengusir, mengancam, memisahkan, abai terhadap ibadah ; Hidupnya tidak terikat pemikiran setan seperti menghabisi hidup orang lain ; Itulah pemikiran setan. Pemikiran : ”Kami akan menghabisi mereka. Kami adalah pedang-pedang terasah, akan kami hancurkan mereka!” adalah gaya pemikiran setan.
Mereka yang diam saja dihadapan pemikiran ini merupakan setan-setan yang bisu. Seseorang yang tak mampu bereaksi “Ini sudah berlebihan..” layaknya intelektual…, perlahan bisa mengalami deformasi yang serius hingga akhirnya menjadi setan bisu yang tak bersuara menghadapi kondisi negatif, hafizanallah.
Seorang intelektual, barangkali yang terbersit adalah sosok seperti Emile Zola. Padahal ada banyak intelektual kita, misalnya Muhammad al Fatih dalam peristiwa potong tangan dalam manqobah, sekali lagi dalam manqobah…. Ini karena orang-orang mengkritik semua hal dan berkata: “Tidak ada peristiwa seperti itu”. Lalu apakah peristiwa ini nyata ataukah hanya kisah dalam manqobah?. Dalam manqobah disebutkan bahwa Hızır Çelebi, qadi-nya sultan, menjatuhi hukuman potong tangan untuk Sultan Muhammad al Fatih. Mendengar putusan itu, Sultan Al Fatih menerimanya dengan lapang dada. Kemudian ia mengeluarkan sesuatu seperti gada dari bawah kursinya dan berkata. “Tuan Hakim! Jika Anda memutuskan perkara tanpa memperhatikan hukum ilahi, sungguh aku akan menghancurkanmu hingga berkeping-keping”. Tak kalah dengan Sultan Al Fatih, Hızır Çelebi juga mengeluarkan belati dari balik lengannya dan berkata: “Wahai Sultanku! Andaikata Anda tak menerima putusanku yang berdasar pada hukum Allah, maka aku tak segan untuk menusukmu dengan belati ini!”.
Jadi, yang penting bukanlah peristiwa itu benar terjadi atau tidak. Lebih dari itu, Ini adalah ekspresi dari respek kepada kebenaran, keadilan, berlaku adil, menjadi orang yang penuh pengertian, -dengan kata lain- menjadi orang yang penuh cinta dan kasih sayang, serta menjadi orang bersikap dan berperilaku untuk mendekatkan diri kepada Allahﷻ dalam setiap tindakannya, semoga Allahﷻ berkenan mewujudkannya!.
Terdapat cinta hakiki dan cinta relatif. Cinta sejati terdapat pada mereka yang berbagi perasaan dan pemikiran yang sama…. Seperti disampaikan Rumi: “Mereka yang bisa saling memahami bukanlah orang yang berbicara dalam bahasa yang sama, melainkan mereka yang berbagi perasaan yang sama!”. Terdapat beragam level cinta. Teruntuk insan yang menempati saf awal kadar cintanya akan berbeda. Demikian juga kepada insan yang berada di saf kedua, ketiga, dan generasi setelah mereka, hingga mereka yang hanya berdiri di pinggiran serambi. Kita pancarkan cinta untuk mereka sama, namun cinta hakiki diperuntukkan untuk kelompok insan khusus, sedangkan cinta relatif diperuntukkan untuk insan lainnya. Kita secara mutlak berkewajiban membangun hubungan dan kedekatan kepada semua kelompok insan.
Kadar iman seseorang tergantung pada derajat cinta dan kasih sayang kepada sesama makhluk. Dapat dikatakan bahwa iman dan kasih sayang itu paralel. Orang yang penuh kebencian dan permusuhan, orang yang membenci mukminin, sekadar itu juga derajat keimanannya. Jika kita melihat mereka dengan pandangan Ahlul Iman, maka kita melihatnya sesuai prinsip حُسْنُ الظَّنِّ مِنْ حُسْنِ الْعِبَادَةِ “husnuzan adalah bagian dari husnul ibadah!”. Untuk itu, seringkali kita tertipu.
Barangkali jika kita bergerak sesuai kriteria yang dipandu oleh Al-Ustaz Said Nursi, barangkali kita bisa mengurangi probabilitas untuk tertipu : “Husnuzan sambil tetap waspada”. Kita membiarkan wilayah “kehati-hatian” tetap terbuka. Ketika ada orang yang berniat menusuk, kita tak serta merta menyodorkan dada. Kita harus berhati-hati dan mengambil antisipasi. Kita harus bertindak dalam lingkaran kewaspadaan yang di satu sisi merupakan langkah pertama dalam tasawuf. Karena ia digunakan dalam tafaul, artinya kita harus waspada sekali lagi, dan waspada sekali lagi…. Jika perlu kita mencubit diri sendiri supaya tak sempat menguap, tak sempat mengantuk. Dengan apa? Dengan makrifat dan irfan, dengan menguji dalil, muzakarah, dan muthalaah…. Demikianlah cara kita mencubit diri sehingga kesadaran kita selalu ada di level puncak. Mata senantiasa terjaga. Dalam hadis ia disebut “uyun sahira”. Mereka yang matanya tak terpejam saat piket di pos penjagaan akan mendapat pahala seperti beribadah semalam suntuk.
Ya, iman merupakan sesuatu yang sangat penting. Ketika kita membangun sesuatu di atas pondasi yang kokoh, berkat izin dari Allahﷻ akan diraih imani billah, lalu makrifatullah, lalu mahabbatullah, hingga datanglah kenikmatan ruhani. Demikian lezatnya nikmat ruhani itu, nikmat lain seperti makan, minum, dan nikmat jasmani lainnya ibarat tetesan air di hadapan samudera. Setelah itu terdapat derajat “kecintaan bertemu Allahﷻ”, Itu adalah jalannya sosok-sosok agung. Lalu karena derajat itu adalah jalannya fulan dan fulanah, astagfirullah, maafkan saya, mereka tidak layak disebut fulan dan fulanah, Lalu apakah kita bisa berkata: ”Derajat tersebut hanya untuk sosok agung. Kita cukup jalan yang biasa saja”. Oo tidak bisa. Cita-cita kita untuk mencapai derajat maknawi harus setinggi langit. Untuk itu, Rasulullahﷺ pernah bersabda: “Di akhirat nanti mintalah surga firdaus kepada Allahﷻ. Karena itu adalah surga di level puncak”. Siapa tahu, mungkin dengan cara ini kita bisa menikmati Jamaliah-Nya dari lereng-lereng jumat di surga firdaus. Barangkali jawaban “Aku meridai kalian!” di puncak Ridwan juga akan terdengar di sana. Untuk itu, saat menginginkan sesuatu, inginkanlah cita-cita yang agung. Jangan inginkan cita-cita yang sederhana.
Ya, imani billah, makrifatullah, mahabbatullah, lalu zawq ruhani datang dengan sendirinya. Zawq Ruhani otomatis diraih. Apabila Anda menekuni tugas ini demi zawq ruhani semata, menurutku Anda mencita-citakan sesuatu yang remeh. Jika Anda tetap menginginkan sesuatu, pintalah: “Ya Allah, hamba ingin tulus dalam semua perbuatan hamba, demi meraih ridha-Mu dan berada di sisi-Mu dengan cinta dan pengabdian yang murni.”
Gunakanlah semua upaya untuk meraihnya!
Kembali ke pembahasan. Iman dan mahabbah ibarat saudara kembar. Terkadang mereka mendukung satu sama lain, kadang mereka timbul sebagai hubungan sebab akibat.
Seperti yang Anda ketahui, saya mengidap puluhan penyakit. Namun, kita lihat Rasulullahﷺ, Sayidina Abu Bakar, Umar, Usman, dan Ali, mereka tak berhenti mengabdi hingga detik-detik akhir kehidupannya.
Saya akan bercerita sesuatu yang saya ceritakan kepada teman-teman dekat anggota halakah tafsir hadis sebuah peristiwa yang baru terjadi. Secara pribadi, saya tak pernah bertemu mereka, sosok-sosok al allamah di periode terakhir : Husrev Efendi, Aslen Arnavut, Mehmet Akif. Mereka adalah cendekiawan besar di Istanbul. Anda mengenal Ömer Nasuhi Hoca?. Banyak teman-teman kita yang mengkaji kitabnya, Istılâhât-ı Fıkhiyye Kamusu, yang berkata: “Karyanya yang tebalnya berjilid-jilid ini seperti sudah cukup menjadi bukti bahwa beliau adalah seorang mujaddid”. Beliau sekampung dengan saya di Erzurum, dari desa Ova. Husrev Hoja berkata: “Diamlah wahai orang bodoh! Kamu hanya mengulik buku seperti orang yang mengaku dirinya akademisi. Kutip dari sini, kutip dari sana, kamu rangkum menjadi buku. Itu bukanlah ilmu!.” Seperti disebut Imam Ghazali: “Catatanmu di buku tulis tak bisa disebut sebagai ilmu!”. Ilmu harus dicerna oleh saraf, seperti yang kalian rasakan ketika hari ini membaca ihya. Ömer Nasuhi Hoca dengan mudah memilih hadis dengan tepat sesuai tempat, kapan harus menggunakan kata mutiara, dan bagaimana menganalisis masalah.
Demikian juga Husrev Efendi. Beliau tak pernah menunda 1 menit pun pengajaran kepada murid-muridnya. Saya tak hafal umurnya. Mahmud Bayram Hoja adalah salah satu muridnya. Aku beruntung bisa berjumpa dengannya, beliau adalah penceramah masyhur sekaligus imam Masjid al Fatih. Beliau juga salah satu murid Salih Efendi. Yaşar Tunagür Hoja, sosok yang amat kuhormati, mantan Wamenag yang pengabdiannya tak kalah dengan 20 Menag, semoga ruhnya terpuji di sisi Allahﷺ, beliau juga murid Husrev Efendi.
Husrev Hoja tak pernah meninggalkan pengajaran. Seingatku, beliau mengijazahi kitabnya Imam Taftazani berjudul Tavzih sebanyak 30 kali. Beliau mengkhatamkan pengajaran Tavzih sebanyak 30 kali, Sebuah kitab masyhur yang membahas ushul. Beliau selalu mengajar. Suatu hari, beliau sakit. Kali ini para santri membentuk halakah di sekitar tempat tidurnya. Beliau pun mengajar dengan kitab di tangannya. Namun, terkadang tangannya tak kuat memegang buku sehingga beberapa kali terjatuh. Husrev Hoja menangis dan berkata: “Ya Rabbi, kini memegang kitab pun aku sudah tak kuat!”. Meskipun demikian, beliau terus berusaha mengajar semampunya.
Sebagaimana Sayidina Abu Bakar menggantikan Rasulullahﷺ mengimami salat di saat beliau tak sanggup berdiri, maka sebelum nyawa tersisa di kerongkongan marilah kita tunaikan tugas kita semaksimal mungkin. Ada puluhan penyakitku, tetapi jika aku berhenti melakukan tugas pengabdian itu seperti pembangkangan kepada Rasulullahﷺ, itu seperti pembangkangan kepada sosok-sosok agung lainnya.
Dan suatu hari saat kitab jatuh dari pegangan tangannya, ruh Husrev Efendi benar-benar berpisah dari jasadnya, semoga posisinya terpuji di sisi Allahﷻ. Semoga Allahﷻ membangkitkannya di samping Sang Cahaya Abadi.
Di satu sisi, terdapat kegilaan dalam menunaikan tugas sebagai guru. Mengajar artinya menjelaskan sesuatu kepada umat manusia. Di sisi lain, betapa luas ufuk taslimiyahnya…. Aku menyimak kisah ini 50 tahun yang lalu. Aku mendengar dari muridnya 55 tahun yang lalu…. Aku tak bertemu langsung dengan sosoknya. Cerita ini kudengar dari muridnya. Namun, sampai sekarang aku tak bisa mencernanya! .
Yaşar Tunagür Hoja berkata: “Kami berangkat ke rumah Husrev Efendi, tempat beliau mengajar. Suatu hari, ketika masuk kami melihat sesuatu di depan pintu, terdapat air mendidih di dalam kuali dengan api menyala di bawahnya. Juga ada peti mati dan meja pemulasaraan. Husrev Hoja mengajar seperti biasa. Kami pun tak berkomentar. Sebelum pulang, kami bertanya: “Guruku, untuk apakah alat-alat ini?”. Beliau menjawab: “Putriku yang sedang kuliah kemarin meninggal. Air panas, peti mati, dan meja itu untuk memulasarakan jenazahnya!”
Demikianlah ketika seseorang jatuh cinta pada tugasnya!. Demikianlah bersikap bijaksana dalam membimbing manusia menuju makrifat. Inilah majnun kepada tugas. Ketika mereka bersikap demikian, demikian pula sikap Anda meski dalam cakupan yang lebih kecil, sebagai respek saya kepada Anda, meski sakit saya merasa wajib untuk menemui Anda.
Barangkali pada suatu hari di sini, bisa jadi itu hari ini atau besok, saya merasa akan wafat ketika berdiskusi dengan Anda. Dan sebenarnya inilah kondisi yang saya harapkan. Saya senantiasa berdoa: “Ya Allah, ambillah nyawaku dalam kondisi saat aku dekat denganmu, yaitu ketika sujud”. Perasaan ini baru pertama kali saya bahas kepada Anda.
Saya berharap wafat ketika bersujud, atau ketika mendiskusikan sesuatu di sini. Namun, apa manfaat mati dalam keadaan itu?. Apa boleh buat, sepertinya itu saja taraf yang bisa kulakukan. Apa yang sekiranya kalian harapkan dari Qitmir? Qitmir, seperti halnya qitmir-nya para ashabul kahfi.
Aku tak pernah menganggap diriku seperti manusia yang baik. Orang-orang bisa saja berkata: “dia maksum dan maksun”. Namun, aku takut seperti takutnya Aswad bin Yazid an Nakhai, hafizanallah. Aku takut wafat seperti Bal’am bin Baura. Sebelum tidur, aku selalu berdoa: “Ya Allah, jangan sampai aku mati dalam keadaan kafir!”. Entah doa apa saja yang kubaca hingga akhirnya hanyut dalam tidur. Aku berdoa lagi dan lagi: “Ya Allah, janganlah Engkau wafatkan aku sebagai orang kafir“. Aku sangat takut mati dalam keadaan kafir. Kekhawatiran yang serupa dengan yang dirasakan Aswad bin Yazid an Nakhai.
Puluhan kali Anda menyimak bahwa Ummul Mukminin Aisyah berdiri sejam lamanya, dan berkali-kali mengulang bacaan ayat: Dan jelaslah bagi mereka kejahatan apa yang telah mereka kerjakan dan mereka diliputi oleh apa yang dahulu mereka selalu memperolok-olokkannya (QS 39:48). Mengulangnya layaknya wirid. Jika saya yang mempraktikkannya barangkali Anda akan menyebutnya sebagai gumaman. Namun, karena ia adalah sultannya para wanita, kita menyebutnya sebagai wiridan. Pada usianya yang ke-14 atau 15, ia bermukim di rumah yang dihujani oleh wahyu. Beliau bahkan tak melihat dosa dalam mimpinya. Entah mengapa beliau tetap menangis, tak mampu aku memahaminya. Jika beliau menangis, barangkali yang layak kita lakukan berkat perasaan ini adalah menghentikan detak jantung.
Celakalah orang-orang malang yang merasa dirinya tak berdosa dan yang merasa bahwa kezaliman yang dilakukan hanyalah bagian dari pekerjaan. Celakalah mereka yang menyiarkan penghancuran peradaban 1400 tahun yang dibangun 100 tahun terakhir, serta yang melakukan semua kejahatan dengan uang negara karena bersemboyan: “Uang negara ada sebanyak lautan, mereka yang tak memakannya bodoh seperti babi”. Jika Allahﷻ menakdirkan untuk mengangkat mereka, maka terjadilah, semoga Allahﷻ memberi mereka akal dan kemampuan berpikir. Jika tidak, semoga Allahﷻ menjaga umat manusia, kaum muslimin, dan dunia islam dari para pendosa dan penjahat itu.
Namun, bagaimanapun seperti segala sesuatu mereka pun tak kekal. Ada syair Gönenli Mehmet Efendi: “Ketika rantai arloji sampai diujung, ia tak mampu lagi berdetak. Sekarang jam tidak pakai rantai. “Ketika pegas arloji rusak, maka ia tak lagi berdetak. Arloji berpegas pun sekarang sudah tidak musim. “Ketika baterai habis, ia tak lagi bisa berdetak”. “Saat waktunya tiba, mereka berkata kepada roh: ‘Ayo keluar, keluar!’ / Andai kau menghamba kepada Sang Haq / Karena di akhirat suaramu takkan didengar . Wassalam…