Kita tidak mampu membaca seperti dulu kala. Kita tidak mampu membaca buku-buku itu (Risalah Nur).

Menurut saya, membaca buku-buku itu, meskipun mengulang apa yang sudah kita ketahui, di satu sisi, hal tersebut menunjukkan adanya hubungan, antara memahami apa yang seharusnya dibaca, setelah Al-Quran dan Sunnah, dengan apa yang seharusnya dipahami dan hubungan antara pendekatkan diri kita dengan ruh dan sosok yang ada di balik tugas mulia tersebut bersama dengan wasilah tersebut kita juga mendekatkan diri kepada Nabi Muhammad SAW dan Allah SWT. Jika memang untuk meraih hubungan tersebut harus menempuh jalan ini, namun terutama diri kita seolah-olah telah menghancurkan jembatan tersebut.

Maksudnya, jika setiap pagi kita tidak membaca buku-buku dengan rasa cinta yang mendalam, meski kita memiliki kesempatan, namun kita tidak membacanya dengan benar, kita tidak mengulas lebih dalam Risalah Nur dari beberapa sudut pandang yang berbeda, hanya disertai dengan sedikit pengkajian, jika kita tidak mencari tahu hubungan peristiwa yang terjadi dengan masa sekarang, jika kita tidak menelaah lebih dalam apa yang disampaikan dari mana dan ke arah mana arah bacaan, jika tidak demikian maka kita anggap buku-buku (Risalah Nur) itu seperti setumpuk buku usang, layaknya buku yang dijual di toko buku bekas. Dengan sudut pandang ini, kita akan terhalangi dari Risalah Nur dan keberkahan yang ada di dalamnya.

Tawajjuh itu sangat penting, seperti halnya bunga yang mengarah ke matahari demi keberlangsungan hidupnya. Demikian juga dengan kehidupan kita, bertawajjuh kepada beberapa unsur seperti sumber cahaya ini sangat penting bagi keberlangsungan hidup kita.

Meskipun topik itu sudah kita ketahui, mungkin saja kalian sudah pernah membaca 100 kali Kalimat Pertama atau Kalimat Ke-2 atau Kalimat Ke-17 membaca dari sudut pandang yang berbeda, mengulasnya dengan perasaan yang beragam, sekali lagi meninjaunya lebih dalam, meniti lebih jauh mutiara yang berada di dalamnya.

Hal itu bisa mengungkapkan hubungan kita dengannya, menjadi wasilah saling bertawajjuh yakni kedekatan yang dibalas dengan kedekatan. Kedekatan ini bisa dalam bentuk kedekatan Ilahi, dalam bentuk kedekatan Nabawi, atau kedekatan dengan Ustad. Ini merupakan salah satu sudut pandang dari permasalah di atas. Hal ini layaknya diet yang disarankan dokter, namun terkadang orang-orang tidak memperhatikan saran tersebut dengan baik namun bagaimanapun keberlangsungan hidup kita berhubungan dengan hal tersebut. Meski susah, namun kita semua harus berusaha dan melanjutkan aktivitas ini.

Salah satu dari permasalahan ini ialah nutrisi yang kita tidak ketahui rahasianya. Sedangkan masalah yang kedua adalah nutrisi yang kita ketahui rahasianya secara langsung. Dalam hal ini apakah kita bisa bertahan dengan berbagai kecerobohan dan kelalaian, dan juga beberapa hal yang dapat merubah kita ke arah yang lebih buruk. Apakah kita sudah menyiapkan hal yang diperlukan untuk menghadapi ini semua?

Seperti contoh, apakah kita sudah memiliki kehidupan tafakkur yang seharusnya? Apakah kita bisa konsisten menemukan setiap solusi dengan bertafakkur, untuk meniti jalan agar meraih kedekatan Allah SWT dari semua jenis tafakkur?

Yang mana Ustadz Nursi menyatakan bahwa hal ini merupakan salah satu dari dua jalan yang sangat penting untuk meraih keihklasan. Beliau menyebutnya optimalisasi cakrawala berpikir, saya sudah pernah membahasnya di berbagai diskusi, saya berusaha mengarahkannya ke dalam topik tersebut. Dalam setiap aktivitas tanpa harus bersikap gegabah, berusaha memusatkan setiap permasalahan untuk membahas Allah Swt menjalin perbincangan dalam lingkup-Nya, dalam setiap waktu, tapi tanpa berlebihan karena kelebihan bahkan satu kosa kata saja pun masuk kategori israf.

Dalam hal mengambil wudhu, meski sedang berada di pinggir samudera, ajaran Islam tetap mengharamkan untuk menggunakan air di luar kebutuhan seperti haramnya penggunaan air itu. Artinya bahwa penggunaan satu kata pun yang berlebih untuk sesuatu yang ingin kita sampaikan, juga tergolong israf yang dilarang.

Karena itu, ketika saya menjelaskan sesuatu kepada kalian saya harus sangat sensitif dalam penggunaan jumlah kata. Jika saya tidak menjaga prinsip dengan berlebihan dalam berbicara meski hanya dua kosa kata, bisa jadi saya akan dihisab karena hal itu.

Selain itu, untuk melawan sikap pemborosan dan ketidakpekaan menurut pengamatan saya, meski Risalah Nur telah banyak sekali mengumpulkan argumen, meskipun selalu mendorong untuk berhemat dan terus menerus menekankan hal itu. Namun di majelis-majelis Risalah Nur, masih sering terjadi pemborosan kata-kata bahkan bisa dikatakan, dibanding dengan jamaah lain suasana pemborosan kata itu terjadi lebih banyak di majelis Risalah Nur dengan tanpa kepekaan sikap, disertai tawaan, candaan, lawakan yang tidak serius, masing-masing bersikap seenaknya, tanpa disertai logika yang benar.

Telah terjadi pemborosan kata yang luar biasa banyak sedangkan para ahli hakikat sejak dulu mengatakan untuk sedikit bicara, sedikit tidur, juga bisa dikatakan sedikit minum, dan menyendiri dari manausia agar dapat menempuh perjalanan di jalan hakikat.

Sedikit makan, sedikit minum, sedikit tidur, dan sedikit bicara”

Dan mereka menjelaskan banyak bicara tergolong hal kecerobohan, dan saat ini dikenal sebagai dengan sebutan “tong kosong nyaring bunyinya”.

Sedangkan ketika kita membuka mulut kita, seperti yang diungkapkan pada Kalimat ke-17, melihat Allah, memikirkan Allah, memperbincangkan Allah, merasakan keberadaan Allah, hidup untuk Allah dan hidup dengan Allah. Hal-hal tersebut haruslah menjadi tujuan bagi kita.

Kita biasanya menyebutnya “mengalihkan pembicaraan”, namun kalian bisa menggunakan kalimat yang lebih cocok, seperti “mengembalikan topik pembicaraan pada dengan tempat yang sesuai”, atau “membawa pembicaraan pada inti topik yang seharusnya”.

Jika sebuah perbincangan tidak membahas tentang Allah, maka itu hanyalah kesia-siaan. Jika kata-kata tidak menjadikan Allah sebagai inti pembahasan, itu israf. Jika kata-kata tidak mengarahkan kepada Allah, sama artinya menipu umat manusia kata-kata itu hanyalah tipu daya belaka.

Khususnya dalam hal ini majelis-majelis kita seolah terlewat dengan begitu saja kita tidak bisa menutrisi majelis-majelis kita. Yakni hal-hal yang memiliki nilai penting tergantikan oleh hal yang sia-sia, seolah-olah hal yang sia-sia lebih diutamakan dibandingkan hal esensial lainnya.

Ucapan yang tidak memberikan makna yang berasal dari tingkah laku yang tidak serius kata-kata yang mengada-ada, kata-kata kosong, yang tidak memiliki tujuan serta kata-kata yang tak memiliki landasan. Hal ini menurut saya sangatlah penting, terutama mereka yang memiliki wewenang di majelis-majelis penting, seharusnya bisa mengambil tugas sebagai pengatur ‘lalu lintas’ ucapan.

Ketika ada kata-kata yang keluar dari jalur, atau melanggar aturan-aturan ‘lalu lintas’ mereka harus segera menegakkan hukum dengan kapasitas mereka seperti yang Necip Fazil ungkapkan segera merentangkan tangannya dan menghalau mereka, dan harus menyampaikan kepada mereka “Jalan ini adalah jalan buntu, janganlah gegabah!”.

Arahkan setiap perkataanmu menjadi perkataan yang benar dan bermanfaat yang mengantarkanmu kepada Allah SWT, menyuarakan Al-Qur’an dan Nabi Muhammad SAW. Setiap teman kita yang memiliki wewenang dalam majelis, sang pemilik akal yang luhur sedang bagi mereka yang tidak berbuat seperti itu, saya memang melihat mereka bagai orang tak memiliki keluhuran akal sang pemilik akal yang luhur pasti bisa mengatur lalu lintas kata-kata bisa mengarahkan ke tujuan utama mereka.

Ya, salah satu hal pemberian nutrisi berkaitan dengan masalah ini, untuk membangkitkan kehidupan maknawiyah di majelis-majelis kita, sebagaimana dalam kriteria yang Ustadz berikan

Keluarlah engkau dari alam materi tinggalkanlah kehidupan hewani, lalu masuklah pada kehidupan jiwa dan kalbu“.

Di situlah engkau meraih nilai detik-detik kehidupan yang mungkin setara dengan waktu bertahun-tahun. Satu ungkapan “la illaha illallah” akan membentuk pondasi hadirnya anugerah yang luar biasa, dengan ini potensi perbendaharaan akan semakin melimpah.

Yang kedua, kehidupan siang dan dakwah seseorang memiliki hubungan yang sangat erat dengan ibadah malamnya. Terlintas di benak saya, ada dua teman, setiap tahunnya kita sampaikan di sini, laksanakanlah shalat tahajjud berjamaah disini, demi meraih ridho Allah SWT. Paling sedikit, jangan sampai tidak shalat malam sebulan sekali. Jika kalian mampu satu minggu sekali untuk melaksanakan shalat tasbih dan ucapkanlah 300 kali subhanallah walhamdulillah wa la illaha illallah wallahu akbar.

Jika kita adalah hamba Allah Swt yang memiliki gelar “Rabbani”, itu yang kita harapkan jika kita memang benar-benar hidup sebagai pasukan mulia, maka dari itu kita harus berbeda dengan yang lain. Harus memiliki hubungan yang erat dengan Allah Swt, kita harus memiliki kedalaman ibadah yang mana dengan hal tersebut semoga Allah melimpahkan anugerah yang luas kepada perasaan dan pikiran kita, semoga Allah memberikan keberkahan kepada setiap kata-kata kita.

Di sisi lain semoga Allah menjadikan kita pengaruh baik bagi yang lain, ini bukan dalam artian untuk menghakimi atau menjelek-jelekan teman-teman yang lain. Namun jika misalnya saya tanya, malam ini yang tidak bangun sholat tahajjud silakan angkat tangan, beberapa dari kalian akan pasti merasa malu.

Ketika kehidupan malam seseorang tampak gelap, jika seseorang tertutup dari kehidupan barzah, ia tidak mungkin untuk menjelaskan sesuatu di alam barzah. Orang-orang yang selalu kalian sebut dalam penjelasan kalian, mereka hidup di alam barzah sedang kalian tertutup dari alam barzah. Sholat malam itu yang akan membuka pintu dengan alam barzah di Kalimat ke-9 dibahas secara mendalam, di dalam Hadits Syarif juga ada, di berbagai kajian sudah banyak sekali yang mebahas tentang masalah ini.

Leave a reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You may also like

More in Dawai Kalbu