“Sudah Benarkah Salatmu?”
Jamaah Muslim yang terhormat! Penunaian salat dengan penuh kesadaran akan membantu menata kehidupan kita jadi lebih teratur. Ia akan membawa keseimbangan dan keteraturan bagi hati kita yang berantakan. Ia akan membangkitkan rasa maknawi kita yang tadinya luluh lantak. Ia akan menerangi bagian hidup kita yang suram. Berkat salat, kita akan meraih penglihatan, pemikiran, dan pembicaraan yang benar. Semuanya berkat salat yang ditunaikan dengan penuh kesadaran. Semuanya berkat kedatangan kita ke hadapan Allah untuk mempertanggungjawabkan hidup kita.
Kemudahan mengatur diri akan tercapai berkat terjaganya kekuatan hubungan dengan Rabb kita. Berkat anugerah Allah, kita meraih keseimbangan dan keteraturan jiwa serta kebenaran dalam berpikir. Kita akan meraih harmoni baik dalam kehidupan materi maupun maknawi. Salat mengandung dan mengikat makna-makna tadi. Semoga Allah merahmati mereka yang menunaikan salat tetapi jauh dari makna-makna ini, berkenan memberi mereka ampunan-Nya. Kepada mereka yang kalbunya mati semoga diberi kehidupan, cahaya, dan nyawa.
Sayyidah Aisyah ra: “Ketika salat, kami mendengar seperti ada suara beban berputar dari dada Nabi. Ketika salat, kami mendengar dari dada nabi seperti ada suara air mendidih.”
Saat menghadap Tuhannya beliau bagai tungku yang mengepul, lalu kepulan keagungan muncul darinya.
Sayyidah Aisyah: Suatu malam Rasulullah berkata ‘Wahai Aisyah! Jika engkau mengizinkan, aku ingin beribadah kepada Rabbku.”
Pernyataan tersebut adalah ungkapan kesopanan dan kehalusan yang telah mencapai level puncak.
“Wahai Aisyah! Jika engkau mengizinkan, aku ingin beribadah kepada Rabbku.”
Di tengah malam, Nabinya para Nabi ingin menjauhi peraduannya. Beliau meminta izin dari istrinya: “Jika engkau izinkan, kuingin meletakkan wajahku di tanah untuk menghamba kepada Rabbku.”
“Ya Rasulullah! Dibanding hal lainnya, aku lebih ingin jika engkau ada di sampingku. Tetapi, aku juga menyukai jika engkau beribadah kepada Rabbmu. Lakukanlah apa yang engkau sukai!”
Beliau bangun di malam yang gelap. Beliau bersedekap di hadapan Rabbnya. Aku tidak bisa mengetahui berapa lama beliau berdiri dan ruku. Yang kuketahui adalah ketika beliau berdiri, beliau membuat dadanya basah oleh air matanya. Sajadahnya yang basah ketika beliau bersujud. Pakaiannya yang basah ketika beliau duduk bersimpuh. Beliau beribadah dengan keadaan demikian hingga masuk waktu subuh. Setiap hari beliau beribadah, tetapi di hari itu beliau beribadah tanpa jeda. Begitu fokusnya beliau dalam beribadah, seakan tidak melihat dan tidak mendengar sekelilingnya. Apa yang harusnya dilihat dan didengar pun menjadi fana, tenggelam di dalam mahabah ilahi.
Saat Sayyidina Bilal berseru “as Salah!” di depan pintu, Nabi masih tenggelam dalam mahabahNya.
“Ya Rasulallah, apa yang terjadi? Mengapa Anda tenggelam dalam tangis dan keprihatinan yang amat dalam?”
“Sebuah ayat telah turun”
الَّذِیۡنَ یَذۡکُرُوۡنَ اللّٰہَ قِیٰمًا وَّ قُعُوۡدًا وَّ عَلٰی جُنُوۡبِہِمۡ وَ یَتَفَکَّرُوۡنَ فِیۡ خَلۡقِ السَّمٰوٰتِ وَ الۡاَرۡضِ
“Yaitu orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk, atau terbaring. Mereka mentafakuri penciptaan langit dan bumi.”[1]
Makna ini yang dijelaskan di awal (QS 3:190)
إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ وَاخْتِلاَفِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لآيَاتٍ لِّأُوْلِي الألْبَابِ
“Sesungguhnya, dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang, terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berakal.”
Tetapi pada ayat kedua, Rasulullah mengerjakan persis seperti apa yang diharapkan darinya. Merekalah orang-orang yang bertafakur, dan sadar terhadap tujuan hidupnya. Merekalah sosok yang berlari ke ufuk ideal yang dirajut Tuhan pada dirinya. Merekalah sosok yang terengah-engah untuk meraih rida dari Rabbnya.
“Mereka mengingat Allah sambil berdiri”
Rasulullah mengingat Rabbnya ketika berdiri, beliau menumpahkan air matanya. “Mereka duduk…,” beliau pun duduk mengingat Tuhannya dan menumpahkan air matanya. Mereka mengingat Tuhannya dalam keadaan berbaring ataupun dalam keadaan sujud. Beliau letakkan kepalanya di tanah.
“Keadaan terdekat seorang hamba dari Rabbnya adalah ketika dia dalam keadaan sujud.” Beliau pun menjalankan sesuai dengannya.
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ :أَقْرَبُ مَا يَكُونُ الْعَبْدُ مِنْ رَبِّهِ وَهُوَ سَاجِدٌ فَأَكْثِرُوا الدُّعَاءَ
Abu Hurairah ra. meriwayatkan dari Rasulullah SAW bersabda: “Keadaan terdekat seorang hamba dari Rabbnya adalah ketika dia dalam keadaan sujud. Maka perbanyaklah doa di dalamnya.”[2]
Mungkin menit demi menit terlalui. Wajah mulia Rasulullah tersungkur di atas tanah. “Allah! Allah! Aku tidak menyekutukanMu dengan suatu apapun. Ya Allah, aku telah menzalimi diriku sendiri! Ampunilah aku!” Maha Suci Engkau, betapa agung perbuatanMu. Mahasuci, Maha Quddus, Rabbnya para malaikat dan ruh Menzikirkan kalimat:
Maha Suci Rabbku Yang Mahatinggi,
Penguasa Yang Mahaagung, Pemilik Kerajaan,
Penguasa Kesombongan dan alam jabarut
Dengan mengingat Rabb
dengan segala keagunganNya
akan menghasilkan kekhidmatan dan kedahsyatan di dalam diri
Beliau menangis ketika berdiri, duduk, rukuk, demikian juga saat sujud. “Malam ini ayat itu turun. Betapa ruginya mereka yang membaca tetapi tidak mentafakuri ayat tersebut. Betapa ruginya mereka yang membaca tetapi tidak meraih getaran jiwa di dalam dirinya.” Rasul dengan takut dan hormat datang ke hadapan Rabbnya. Beliau berusaha memenuhi adab hamba di depan Tuhannya. Beliau tak lupa posisi dirinya sebagai hamba walau hanya sesaat. Beliau beribadah seperti seharusnya seorang hamba lakukan pada Rabbnya.
Memang seorang manusia saat memenuhi kewajibannya di hadapan Tuhan, tak mungkin ia memikirkan hal lain. Jika ia memikirkan hal lain, berarti dia tidak berada di hadapan Tuhan. Penjelasannya seperti ini:
Manusia jika tidak sedang di hadapan Tuhan bersama kalbunya, ia pasti sedang berada di alam lainnya. Jika ia datang ke hadapan Tuhan bersama kalbunya, artinya ia berpaling dari hal lain, karena ia sedang terbakar cinta Ilahi. Jika hatinya tak terbakar, berarti hatinya tidak hadir di hadapan Tuhannya. Kalbu di lembah yang satu, sedangkan jasad di lembah lainnya. Apa yang Allah ciptakan utuh, dibaginya jadi dua. Tanpa sadar, ia melakukan syirik khafi. Tanpa kesadaran, ia datang ke hadapan Tuhannya.
Sahabat bercerita kepada kita. Sahabat menceritakan Abbad bin Bisyri kepada kita. Mereka menceritakan bahwa ia tidak pernah terlihat menguap ketika menunaikan salat. Itulah salat yang dimaksud. Mereka tak pernah melihatnya menguap karena ia betul-betul sedang di hadapan Allah. Ketika Imam Bukhari, Muslim, dan Abu Daud menceritakan peristiwa ini. Mereka tak memberi nama, tetapi penulis maghazi memberi tahu siapa nama sahabat itu. Ammar ra adalah Muhajir utama dari yang terutama.
Abbad bin Bisyr pun demikian dari kalangan Ansar. Abbad adalah salah satu murid dari Mus’ab. Di Aqabah, Mus’ab berkata:”Ya Rasulallah! Engkau telah memberiku tugas. Aku pergi ke Madinah. Aku jelaskan agama ini sesuai arahanmu. Aku ke Aqabah bersama mereka yang mengimanimu. Mereka mau ulurkan tangan untuk baiat.”
Abbad bin Bisyr juga hadir dalam kumpulan orang ini. Ia adalah salah satu syahid Yamamah. Dengan pedang dan perisainya, Ia adalah salah satu orang yang menjadi korban si nabi palsu. Ia adalah salah satu yang berteriak “Ansar!” di perbukitan. Lalu, Abbad bin Bisyr pun jadi korban dari angin topan mengerikan itu. Bani Mustalik sedang kembali dari perjalanannya. Rasul SAW menugaskan dua sahabat terpercaya sebagai petugas piket. Petugas piket di tempat tugasnya membagi peran di waktu malam, “Ketika satunya istirahat, satu lagi berjaga.”
Abbad berkata: Saya berkata kepada sahabatku Ammar bin Yasir “Kamu istirahat saja dulu, biar saya yang berjaga. Nanti gantian.” Ketika ia beristirahat, setelah mengecek sekeliling dan merasa aman dari musuh, saya menunaikan salat. Aku membaca surat al Kahfi. Aku tenggelam di dalamnya. Ternyata disitu ada pasukan kafir yang mengetahui pos jaga kita. Ia mendekat hingga masuk jangkauan anak panah. Ketika aku tenggelam dalam syahdunya bacaan Surat al Kahfi, tiba-tiba anak panah menusuk tubuhku. Pikirku, “apakah kutangani panah, kubangunkan Ammar, atau kulanjutkan bacaanku?” Kucabut panah dan kulanjutkan bacaanku. Aku membaca surat al Kahfi. Aku tenggelam dalam kesyahduan salat yang panjang. Aku rukuk, ketika i’tidal satu anak panah lagi menusuk tubuhku. Kucabut ia agar tidak merusak salatku. Sekali lagi aku tenggelam dalam rukuk. Ketika akan sujud, entah darahku yang membangunkannya ataukah gerakanku. Ketika Ammar membuka mata, ia melihat posisiku yang akan jatuh.
“Demi Allah, mengapa engkau tidak membangunkanku?”
“Wallahi, demikian dalamnya aku tenggelam dalam kesyahduan Al Quran, aku tidak ingin merusaknya. Aku tidak ingin merusak ketenteraman di hadapan Allah SWT.” Ammar membuat serangan balasan hingga pasukan kaum kafir itu pun kabur.
Seorang mukmin ketika mendirikan salat ia melupakan keadaan sekelilingnya. Aku tidak mengenal diriku seperti itu. Apakah dia itu aku atau aku itu dia? Apakah dia adalah kamu, ataukah kamu adalah dia? Itulah ambiguitas dan kesamaran dari hakikat ini. Penunaian salat seperti inilah yang akan menemukan makna sejatinya. Menghapuskan diri. Disitu hanya menyendiri bersama Tuhan, mengeluarkan dunia dan segala sesuatunya dari dalam kalbu. Berusaha keras untuk bisa menunaikan salat seperti ini walau hanya sekali.
Dalam ungkapan yang dikaitkan kepada Baginda Nabi dikatakan “Salatlah kamu seakan ini salat terakhirmu!”[3] Jaga-jaga, mungkin nanti tak bisa lagi, coba kusempurnakan salatku sebagai hadiah untuk Tuhanku. Andai ungkapan itu betul dari Rasulullah, maka itu adalah nasihat yang amat besar dan menyeluruh. Salatlah kamu seakan ini salat terakhirmu! Tunaikanlah salat jumat ini seakan ia salat perpisahan. Anda tidak memiliki garansi bisa hidup berapa lama lagi. Bisa jadi ini adalah salat terakhirmu. Salatlah dengan motivasi seperti ini di setiap salatmu.
Tunggulah waktu salat keduamu dengan atmosfir motivasi seperti ini, bersiaplah. Salat memberi rasa takut, ketenteraman, dan penghormatan yang demikian. Semoga Allah memberi keberhasilan pada kita untuk menunaikan salat seperti ini insya Allah. Semoga kita selalu ada di jalanNya ini, dan anugerahi kita untuk bisa menuaikan salat demi meraih kemenangan.
[1]. QS Al Imran: 191
[2]. HR.MUSLIM
[3]. Hasan. Dikeluarkan oleh Ahmad (5/412), Ibnu Majah(4171), Abu Nu’aim dalam Al Hilyah (1/462) Al Mizzi (19/347) dan Lihat Ash Shahihah (401)
Like!! I blog frequently and I really thank you for your content. The article has truly peaked my interest.