mengembangkandiri-akhlak-yang-baik

8 Sebab tentang Pentingnya Akhlak yang Baik

Mengapa Akhlak yang Baik Begitu Penting?

“Warisan terbaik yang ditinggalkan orang tua kepada anaknya adalah akhlak yang baik”[1]

Mengapa Akhlak Baik?

Tidak ada agama atau sistem lain yang lebih mementingkan akhlak yang baik selain Islam. Rasulullah SAW bersabda, “Islam adalah akhlak yang baik.”

Memiliki akhlak yang baik adalah bukti terbaik yang bisa ditunjukan oleh setiap orang bahwa dirinya adalah seorang Muslim. Ada banyak hadits (kebiasaan) Nabi SAW yang mendorong perilaku yang baik.

Misalnya, “Yang paling sempurna imannya di antara orang-orang mukmin adalah yang berakhlak baik.”

Nabi SAW, yang menekankan pentingnya perilaku baik di atas iman, menyampaikan bahwa sarana untuk menjadi dekat dengannya adalah dengan berakhlak yang baik. Seperti yang tertuang dalam hadits berikut: “Pada Hari Pembalasan, orang yang paling saya sayangi dan paling dekat dengan saya adalah orang-orang yang memiliki akhlak yang terbaik.”

Di dalam Al-Qur’an, ada banyak ayat yang mendorong akhlak yang baik seperti menepati janji, memaafkan, kerendahan hati, menaati orang tua, amanah, kasih sayang, persaudaraan, kedamaian, ketulusan, kedermawanan, kasih sayang, toleransi, berbicara dengan santun, menjadi orang yang ramah, dan hati yang bersih.

Selain itu, banyak juga ayat-ayat Al-Qur’an tentang menghindari akhlak tercela dan perilaku yang buruk seperti penindasan, kesombongan, kekejaman, keserakahan, keegoisan, kecemburuan, keangkuhan, permusuhan, kecurigaan, pemborosan dan membuat kerusakan, yang juga menandakan bahwa bagaimana sangat diperlukannya iman dan keislaman dalam mewujudkan perilaku dan akhlak yang baik.

Jadi mengapa kita harus berakhlak baik? Kita dapat membahas topik ini dalam beberapa uraian berikut:

  1. Selain ibadah, aqidah Islam sangat mementingkan hubungan sosial, dan tidak mungkin bagi mereka yang tidak memiliki akhlak yang baik untuk menjalankan agamanya dengan sempurna.
  2. Nabi Muhammad SAW merepresentasikan akhlak yang baik. Untuk menjadi penghuni surga, perlu dihiasi dengan akhlak yang baik. Dalam Al-Qur’an, Allah menyampaikan bahwa Nabi yang mulia adalah suri tauladan yang paling baik bagi setiap orang beriman. Dalam ayat lain Al-Qur’an mengungkapkan, “Kamu benar-benar memiliki akhlak yang agung” (al-Qalam 68:4). Satu-satunya cara seseorang dapat hidup seperti Rasulullah adalah dengan meniru akhlak dan perilakunya yang baik.
  3. Ketika seorang mukmin memiliki akhlak yang baik, ia dapat diangkat ke derajat orang-orang yang muqarrabun. Nabi mulia mendefinisikan hal ini dalam salah satu hadis dengan sabdanya berikut: “Dengan akhlaknya yang baik, seorang mukmin akan mencapai derajat orang yang shalat di malam hari dan berpuasa di siang hari.” Ini tidak boleh disalahartikan. Ibadah sangat penting dalam hal menampilkan pengabdian kepada Allah. Tetapi di samping itu, seorang mukmin yang hidup dalam suatu masyarakat harus mematuhi perilaku yang diperlukan dalam hubungan antara orang-orang di dalam masyarakat itu. Ketika dia mencapai ini, atau dengan kata lain, ketika dia adalah orang yang berakhlak dan berperilaku baik, maka ibadahnya akan mencapai kesempurnaan.
  4. Memiliki akhlak yang baik adalah sarana yang dengannya seorang mukmin bisa masuk surga. Suatu ketika seorang laki-laki bertanya kepada Nabi yang mulia, tentang perbuatan apa yang paling banyak membawa manusia ke surga, dia menjawab, “Ketakwaan dan akhlak yang baik”, yang menandakan pentingnya akhlak yang baik diiringi dengan ibadah.
  5. Akhlak yang baik menandakan kesempurnaan dan kedewasaan dalam beragama dan beriman. Nabi yang mulia mengidentifikasi dua karakteristik yang tidak ditemukan pada seorang mukmin—ketamakan dan akhlak yang buruk. Sekali lagi, dia menegaskan bahwa yang terbaik di antara orang-orang beriman dalam hal iman adalah mereka yang berakhlak baik.
  6. Akhlak dan perilaku yang baik juga merupakan bentuk pengabdian kepada Allah. Dengan kata lain, memiliki akhlak yang baik adalah salah satu bentuk ibadah. Bahkan Nabi SAW mengatakan bahwa bentuk ibadah yang paling sederhana adalah menahan diri dari berbicara yang tidak perlu dan perilaku yang baik.
  7. Menampilkan akhlak yang baik adalah tanda cinta kepada Allah dan Rasul-Nya. Ini secara jelas dijelaskan dalam hadis yang menyatakan bahwa orang-orang yang paling dekat dengan Rasulullah pada Hari Pembalasan adalah orang-orang yang berakhlak baik. Ketika Allah mencintai hamba-Nya, Dia memberinya akhlak yang baik.
  8. Akhlak yang baik menghilangkan dosa sebagaimana seperti matahari menghilangkan embun beku: akhlak yang baik mencairkan dosa seperti air mencairkan es. Nabi yang mulia menjelaskan bahwa akhlak yang buruk merusak perbuatan baik seperti halnya cuka merusak madu. Oleh karena itu, kita semua harus membaca doa Nabi SAW: “Ya Tuhan! Saya memohon kepadaMu atas kesehatan, menahan diri, amanah, akhlak yang baik dan ridha terhadap takdir. Wahai Yang Maha Penyayang! Saya memohon kepada-Mu dengan kebaikan dari kasih sayang-Mu.”

[1]Sunan at-Tirmidzi, Birr, 33.

ijaz-rafi-zrlMJyijims-unsplash

Mengapa Kita Malu

Seorang ibu mengaku amat resah saat menyadari anak laki-lakinya yang telah beranjak SMA belum juga memiliki seorang pacar. Lalu sang ibu sibuk mengajari anak tersebut bagaimana agar segera bisa memiliki kekasih hati. Belum cukup dengan hal itu ibu dan ayah dari anak ini bahkan memberikan ‘iming-iming’ tambahan uang saku dan fasilitas kendaraan bila si buah hati berhasil mendapat pacar. Keadaan ini semakin diperparah dengan banyaknya film dan tayangan televisi yang mengarahkan generasi muda untuk mengikuti pola hidup hedonis. Maka tak heran jika beberapa waktu lalu dunia pendidikan Indonesia dihebohkan dengan adanya pesta tidak senonoh yang diadakan sebelum dan sesudah UN dalam rangka pelepas kegembiraan para remaja tersebut. Lebih miris lagi saat perayaan hari kasih sayang atau valentine day lalu, beberapa anak usia SD mengirimkan tweet atau status FB yang mengumbar status bernada mesra pada ‘teman khususnya’ dengan bahasa yang masih belum pantas mereka gunakan.

Jika ditelusuri lebih jauh kita dapat melihat mata rantai yang hilang dari pendidikan agama anak-anak dan generasi muda saat ini, dan mungkin sudah sejak lama, yaitu rasa malu atau haya yang terlupa untuk diajarkan bahkan seringkali disalah artikan. Benar adanya bahwa betapa beruntungnya anak-anak di Indonesia yang bisa belajar mengaji dan shalat sejak usia mereka amat dini, sementara mungkin di belahan bumi yang lain ‘nikmat’ ini sulit untuk didapat. Namun sayangnya pelajaran agama yang didapatkan anak dari sejak mereka kecil tidak dibarengi dengan pemahaman moral dan iman yang benar-benar terpatri di hatinya, dan sesungguhnya salah satu cabang dari iman adalah malu. (HR.Muslim, al-Iman 57,58)

Konteks malu ini sendiri seringkali salah dipersepsikan oleh masyarakat. Seringkali masyarakat kita mengartikan malu sebagai perasaan tidak enak hati karena berbuat sesuatu yang tidak baik atau karena memiliki kekurangan. Sehingga sejak kecil anak-anak telah diajarkan untuk ‘berani tampil’ dan tidak merasa malu. Padahal malu yang dalam bahasa Arab disebut al-haya, al-khajal atau al-hisymah diartikan sebagai menjauhi segala yang tidak diridhai Allah karena takut dan segan kepada-Nya. Ketika sikap ini berpadu dengan perasaan malu yang telah ada secara naluriah di dalam watak manusia, maka hal tersebut akan membentuk orang tersebut memiliki hubungan erat dan jalinan kuat yang sesuai dengan nilai-nilai adab dan kehormatan. Sementara menurut Ibnu Hajar dalam Fathul Bari, haya adalah sebuah tabiat yang mendorong seseorang meninggalkan perbuatan dan mencegahnya dari meremehkan kebaikan.

Betapa kontras kedua pemaknaan malu ini sehingga para orang tua yang belum memahami esensi dan pentingnya rasa malu justru mendorong anak-anaknya dari sejak balita untuk justru mengurangi bahkan menghilangkan rasa malu yang sesungguhnya adalah fitrah manusia. Jika dalam sabdanya Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam: “Malu hanya akan mendatangkan kebaikan” (HR.Bukhari, Adab: 77). Maka bisa kita bayangkan keburukan apa yang akan menimpa sebuah generasi yang terus ditekankan untuk tidak malu. Padahal perasaan yang pertama pada seorang manusia adalah haya atau rasa malu. Begitu pentingnya rasa malu ini hingga dalam hadis yang lain beliau mengingatkan kita : “Jika kau tidak merasa malu, maka berbuatlah sesukamu.” (HR.Bukhari, Adab:78). Maka amatlah jelas terlihat bahwa perilaku sesuka hati yang terus menggejala semakin parah akhir-akhir ini adalah karena manusia seringkali telah amat kehilangan fitrahnya dalam menjaga malu yang sesungguhnya adalah akhlak seorang mukmin sejati.

Banyak perilaku sehari-hari yang sering kita anggap sepele namun perlahan-lahan telah mengikis fitrah malu yang ada pada diri kita. Dengan gampang kita memuji wanita lain di depan suami atau sebaliknya bangga saat ketampanan suami dikagumi oleh wanita lain adalah pintu malu yang seringkali lupa kita tutup. Bahkan maraknya media sosial berbasis internet telah membuat kita menjadi-jadi dalam sikap tanpa malu massal. Di masa ini orang dapat tahu pasti apa yang kita lakukan dengan suami, kemana kita pergi dengannya dan kegiatan pribadi lain yang seharusnya menjadi batas privasi kita dan keluarga lalu justru menjadi konsumsi publik hanya dengan melihat status dan foto yang kita unggah di internet. Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam berkata : “Janganlah seorang wanita memandang dan mengagumi wanita lain, lalu ia menceritakan sifat-sifatnya kepada suaminya seakan-akan suaminya sedang memandangnya.” (HR.Bukhari dan Muslim)

oxa-roxa-bnFuB--1lE4-unsplash

Rendah hati dan Sederhana

Rendah hati berarti mempunyai sifat malu seperti halnya menjaga kesucian dan dalam kesederhanaan. Rendah hati dan sederhana berkaitan dengan membatasi diri agar tidak berlebihan dalam segala hal. Hal ini juga berkaitan dengan penempatan diri seseorang untuk melindungi hubungannya dengan Tuhan terlebih dahulu, kemudian dengan manusia.

Rendah hati juga merupakan salah satu kualitas utama yang dapat menjadikan manusia sebagai hamba terbaik. Selain itu rendah hati ialah perhiasan spiritual yang dimiliki seseorang, yang menjadi watak utama sebagai patokan Allah melihat kualitas hambanya. Dalam hal ini berarti, rendah hati juga berkaitan dengan menghindari segala perbuatan buruk, yang mana Allah tidak menyukainya, dan membuatnya menjadi hamba berkualitas buruk.

Dalam kitab Al Mutawwa, dikatakan bahwa setiap agama mempunyai satu kode etik, dan kode etik Islam ialah kerendahan hati dan kesederhanaan. Rasulullah mencontohkan sifat mulia ini kepada umat muslim melalui keseharian beliau. Abdullah bin Umar berkata, “Rasulullah melarang seorang lelaki yang menyuruh saudaranya untuk tidak rendah hati, dengan berfirman kepada lelaki tersebut, ‘biarkanlah dia, rendah hati merupakan sebagian dari iman.” Di hadist lain dikatakan, “Iman mempunyai lebih dari tujuh puluh cabang, dan cabang yang paling utama ialah pernyataan,’tidak ada yang patut disembah kecuali Allah,’ sedangkan cabang yang paling bawah ialah menyingkirkan kerikil dari jalan. Rendah hati ialah salah satu cabang atau bagian dari iman.”

Lalu, kepada siapa saja kita harus bersifat rendah hati dan sederhana?

  • Rendah hati dan sederhana kepada Allah

Bentuk paling sederhana dari sikap rendah hati dan sederhana kepada Allah ialah menaati segala perintahNya dan menjauhi laranganNya.

  • Rendah hati dan sederhana kepada manusia

Sikap ini dapat dilakukan dalam bentuk tidak menyakiti sesama dan melakukan perbuatan-perbuatan baik kepada sesama.

  • Rendah hati dan sederhana kepada diri sendiri

Sikap ini dapat dilakukan dengan menghindari dosa-dosa ketika sedang dalam keadaan sendiri.

Rasulullah mengajarkan bahwa ketakutan akan sifat sederhana dan rendah hati dapat mengarahkan seseorang pada kekafiran. Sunan ibnu Majjah mengatakan, “Kerendahan hatian dan kesederhanaan ialah struktur keimanan. Apabila struktur itu diruntuhkan, maka keimananpun akan rusak dan hancur. Karena moral keislaman ialah rendah hati dan sederhana.

Suatu hari, seorang yang bijaksana dengan pengetahuan teknologinya melihat seorang laki-laki tampan yang bermasalah dengan sifat sederhananya. Menyadari hal itu, seorang bijaksana itu memberitahu laki-laki tampan yang ditemuinya dengan perkataan yang lembut dan penuh pelajaran. Dia berkata, “Ini ialah rumah yang mewah dan bagus, saya harap rumah ini juga memiliki fondasi yang kuat.”

Fondasi yang kuat ialah sifat sederhana dan rendah hati. Tanpa keduanya segala sesuatu yang indah tak akan memiliki arti. Seperti halnya bangunan yang tak memiliki fondasi maka tidak akan pernah bisa berdiri.

Beberapa orang hanya menampakkan sifat rendah hatinya saat orang lain melihatnya. Faktanya, hal ini justru akan mengarahkan orang itu kedalam perbuatan dosa. Hal ini juga menentukan level kerendahan hati orang tersebut. Seorang yang hanya menghindari dosa hanya saat di depan publik tanpa melakukannya ketika dalam keadaan sendiri, sama saja levelnya dengan kehinaan.

Dalam hal ini, marilah bertanya kepada diri kita masing-masing, apakah seseorang pernah benar-benar sendiri ketika tidak ada seorang pun di sekitarnya? Tentunya tidak. Ada malaikat yang terus mengawasi kita selama 24 jam. Seseorang yang mempunyai keyakinan itu akan terus menjaga sifat sederhana dan rendah hatinya dalam keadaan apapun.