Manusia Keprihatinan
Manusia Keprihatinan[1]
Sebenarnya saya tidak terlalu paham makna keprihatinan (اِضْطِرَاب). Semua orang dapat merasakan keprihatinan dengan derajatnya masing-masing. Apakah yang saya rasakan ini layak disebut sebagai keprihatinan atau tidak, izinkanlah saya menyampaikan beberapa gambaran dan cerita. Selanjutnya, Anda bisa putuskan apakah perasaan ini termasuk keprihatinan atau tidak.
Dalam peristiwa tsunami Aceh, diperkirakan 170ribu orang meninggal dunia. Banyak orang kehilangan orang-orang yang dicintai, tempat tinggal, dan mata pencaharian. Demikian juga tsunami Palu, terdapat lebih dari 2000 orang meninggal dunia. Sementara itu, nilai manusia tak lagi berharga di beberapa tempat. Di banyak kerusuhan, nyawa pun melayang, di antaranya di Papua kemarin.
Saya rasa, apa yang saya rasakan tersebut adalah keprihatinan yang wajar dirasakan manusia. Walaupun mungkin ia tak bisa disebut sebagai keprihatinan sejati. Untuk mengetahui makna keprihatinan sejati, kita harus mempelajarinya dari Nabi Muhammad SAW serta tokoh-tokoh yang hidup seperti Nabi Muhammad. Bagaimana keprihatinan membuat sosok-sosok agung seperti mereka merintih dan terpilin. Al Quran menjelaskan keprihatinan Baginda Nabi secara tersirat di banyak tempat, sedangkan secara tersurat terdapat dalam satu-dua ayat seperti ayat berikut:
لَعَلَّكَ بَاخِعٌ نَفْسَكَ عَلَىٰ آثَارِهِمْ إِنْ لَمْ يُؤْمِنُوا بِهَٰذَا الْحَدِيثِ أَسَفًا
“Maka (Apakah) barangkali kamu akan membunuh dirimu karena bersedih hati setelah mereka berpaling, sekiranya mereka tidak beriman kepada keterangan ini (Al Quran)” (QS Al Kahfi: 6)
لَعَلَّكَ بَاخِعٌ نَفْسَكَ أَلَّا يَكُونُوا مُؤْمِنِينَ
“Boleh jadi kamu (Muhammad) akan membinasakan dirimu, karena mereka tidak beriman” (QS Asy Syuara: 3)
Dari ayat tersebut dapat kita pahami betapa hancur leburnya hati Baginda Nabi kita, sehingga Allah SWT pun lewat ayat ini memperbaiki kondisinya. Demikianlah dimensi kebijaksanaan manusiawi dari seorang Nabi. Perasaannya telah mengatakannya: “Andaikata nilai-nilai kemanusiaan tidak hidup, tidak ada artinya aku hidup. Andaikata umat manusia tidak hidup dalam ketenteraman, tidak ada artinya aku hidup dalam ketenteraman. “ Demikianlah kerangka keprihatinan dari seorang nabi!
Orang-orang pernah bertanya kepada sosok agung abad 20, yaitu Bediuzzaman Said Nursi: “Apakah Anda tidak berencana untuk menikah?” Jawabannya:”Problematika umat manusia melampaui kebutuhan hidupku sehingga aku pun tidak menemukan waktu untuk memikirkan keadaanku.” Memang jawaban apalagi yang bisa kita harapkan muncul dari seseorang yang berteriak :”Dakwahku!” saat terpeleset dari Benteng Van.
Lalu kubandingkan teriakan ini dengan teriakanku saat mobil yang kukendarai hampir mengalami kecelakaan. Betapa egoisnya teriakanku!. Seseorang yang mengikatkan dirinya pada dakwah tidak akan memikirkan keadaan dirinya dan berteriak “Allah” agar menyelamatkannya, tetapi ia akan mengingat cita-citanya dan meneriakkannya dengan lantang:”Dakwahku!”. Demikianlah potret manusia keprihatinan, dimana jiwanya yang agung telah memprogramkan dan mengikatkan semua umur dan takdir kehidupannya kepada takdir umat manusia. Keadaan beliau pun dapat disimak dari pernyataan yang dikeluarkan oleh murid dan orang terdekatnya:”Apabila terdapat jantung yang akan berhenti berdetak karena keprihatinan, maka demi mendengar kabar bahwa terdapat anak muda yang meninggal dunia tanpa membawa iman, sudahlah cukup hal itu membuat jantung tersebut tercabik-cabik hingga berkeping-keping sejumlah zarah dan atom. Menurut saya, salah satu penjelasan dari makna keprihatinan adalah dengan menjadi representasi dari pernyataan tersebut…
Saya yakin bahwasanya generasi baru yang sedang tumbuh akan mampu menjadi representasi dari keprihatinan di takaran tersebut. Maka jadilah kalian seperti sosok itu, insya Allah! Bangkitlah sebagai tombol keprihatinan, biarkan ia meresap ke dalam otak Anda! Tahanlah kebutuhan duniawimu, mondar-mandirlah kalian karena memikirkan problematika umat manusia! Mohonkanlah keselamatan umat Nabi Muhammad kepada Allah SWT tanpa kenal henti! Sebelumnya saya pernah menyampaikannya, kini saya ingin mengulanginya kembali dengan izin dari Anda:
Jika saya mampu, saya ingin membagikan rasa gelisah ini ke setiap diri Anda yang akan membuat kalian lupa jalan pulang. Saya akan lakukan hal yang sama agar Anda menguasai ilmu, pengetahuan, mencintai penelitian, mengembangkan sains dan teknologi, serta agar suara kalian didengar oleh peradaban. Akan saya kerjakan dan usahakan agar kalian tergila-gila pada semangat berdakwah. Tentu saja saya tidak mampu melakukannya. Akan tetapi jika seandainya bisa, saya akan memohonkan hal itu kepada Allah SWT. Betapa inginnya saya agar keluar suara dari langit : “Boleh jadi kamu akan membinasakan dirimu, karena mereka tidak percaya kepada pesan-pesanmu!” Saya yakin suatu saat Allah akan mengantarkan Anda untuk tiba di ufuk ini. Saya yakin suatu saat Allah akan membuat wajah dunia tersenyum kembali lewat keprihatinan-keprihatinan Anda. Seandainya hari itu tidak lama lagi tiba..
[1] Diterjemahkan dari artikel berjudul “Izdırap insanı” yang bisa di akses di https://fgulen.com/tr/fethullah-gulenin-butun-eserleri/fasildan-fasila/fethullah-gulen-fasildan-fasila-2/11340-izdirap-insani
Setiap rumah harus menjadi cabang kiblat (Ka’bah)
Setiap rumah harus menjadi cabang kiblat (Ka’bah)
Misalkan di tengah-tengah Amerika masjid tidak dibuat dalam bentuk aslinya, tetapi dalam bentuk aula. Akan tetapi kita tidak bisa melihat realita ini dalam pandangan yang sempit, sebenarnya di setiap tempat harus dibangun masjid. Misalnya di dalam rumah, satu ruangannya harus dibuat sebagai masjid. Hal seperti ini selain merupakan langkah untuk tidak memancing orang-orang yang iri untuk mengganggu dan bertindak responsif, juga tidak membiarkan mereka mengatakan: “hancurkan mesjid itu…!”. Di satu sisi, Allah SWT pernah berfirman kepada Hz Musa dan Harun as: “waj’alu buyuutakum qiblatan…” (QS 10:87) yang artinya: “jadikanlah olehmu rumah-rumahmu itu tempat salat “. Agar orang-orang cenderung menujumu di sana, agar ketika mereka datang ke rumahmu, mereka melihat dirinya seperti orang yang masuk ke masjid.
Inilah yang disebut dengan membuat nuansa masjid di dalam rumah. Ini bukanlah sebuah istikrar (keputusan) yang hanya kebetulan saja terbersit dalam pikiran. Hal yang demikian seperti melanjutkan kemurnian masa lalu ketika para sahabat memaksimalkan penuh posisi masjidil haram dan masjid nabawi. Dengan perumpamaan Hz Muhammad (SAW) dalam tahun kehidupannya di Madinah, atap masjidnya (SAW) terbuat dari serabut, batang, pohon, dan tambang-tambang. Mungkin disebagiannya menggunakan besi, kira-kira demikian perumpamaannya, dan ketika hujan turun, air pun membasahi seisi masjid. Selama 10 tahun tidak ada seorang pun yang merasa desain masjidnya harus diganti, padahal ganimah-ganimah mengalir seakan dunia datang merangkak ke arah kaki mereka (para sahabat). Ya, walaupun demikian tidak ada satu pun yang merasa diperlukan adanya pemugaran.
Setelah masa kenabian, kemudian tiba masa Sayyidina Abu Bakar ra. Pemerintahannya berlangsung kira-kira selama 2 tahun 3 bulan lebih beberapa hari. Masjid Nabawi seperti aslinya hingga masanya Sayyidina Umar yang berlangsung selama kira-kira 10 tahun. Akan tetapi karena barokah yang demikian besar, setiap orang yang masuk masjid tersebut keluar dalam keadaan full (seperti baterai yg baru dicharge). Kita lihat bagaimana kediamannya baginda Nabi, ada semacam insibar di dalamnya, mereka yang pergi kehadapan baginda Nabi, ketika keluar seperti mendapatkan bagian dari insibarnya SAW. Demikian juga dengan keadaan orang-orang yang keluar dari Masjid Nabawi, semuanya ketika keluar seperti telah mendapatkan bagian insibar di dalam dirinya.
Pertama, 10 tahun di masanya Nabi SAW, kemudian hampir 3 tahun di masa Sayyidina Abu Bakar, sehingga total menjadi 13 tahun. Setalah itu ditambah lagi 10 tahun pada masa Sayyidina Umar ra, total 23 tahun. Kemudian pada masa yang disebut sebagai “Sadr-i Awwali” di zaman Sayyidina Usman ra. Artinya selama lebih dari 1/2 masa “Hayat-i Saniyyah” masjid tersebut masih murni tak tersentuh perubahan, kemudian setelah itu barulah muncul ucapan seperti: “Aku ubah di satu bagian, akan saya tambahkan satu bagian, akan saya kembangkan, akan saya luaskan, dan seterusnya”. Hati nurani umumnya akan mengatakan: “Itu adalah masjidnya Nabi, pilar dan kolomnya dibuat oleh Nabi”, akan tetapi ada bagian yang berbeda, khususnya di bagian raudah. Di suatu waktu mereka mengganti pilar pohon dengan marmer, akan tetapi di zaman Usmani mereka sama sekali tak menyentuhnya (tetap seperti aslinya), setidaknya seperti itu, sekarang akhirnya hanya bisa melakukan sebatas itu.
Atmosfer maknawi masjid Nabawi tetap terjaga di zaman Hz Usman juga. Aura insibanya tetap hadir, mereka yang memasukinya tiba-tiba berubah kondisi maknawinya. Bagaikan terjadi mutasi dalam gen ruhnya, ia pun mencapai derajat yang lebih tinggi, sudut pandangnya berubah, langkah kehidupannya pun berubah. Anda pun akan berujar: “Apakah akan dibiarkan seperti ini saja selamanya?” atau “apakah menara-menaranya tidak perlu didirikan?”. Di zaman itu gereja-gereja raksasa juga dibangun lengkap dengan menara dan kubahnya yang megah.
Kakek moyang Anda menyaksikannya, mereka pun berujar: “Kaum muslimin tidak boleh tertinggal dibelakang mereka”. Di hadapan menara-menara mereka kita pun harus meletakkan menara khas kita yang lebih mulia dan tinggi, “Nama mulianya, ruh maknawinya Rasul Muhammad SAW harus bergaung ke seluruh sudut dunia, oleh karenanya kita pun harus memiliki menara kita, oleh karenanya kubah kita yang megah pun harus ada. Semuanya bergantung kepada sudut pengambilan keputusannya”. Dalam mazhab Hanafi, pembangunan menara ini berkaitan dengan nilai istihsan yang terkandung dalam semangat pembangunannya. Sedangkan dalam mazhab Maliki pembangunannya berkaitan dengan nilai maslahatnya atau menurut sebuah ungkapan: “Masjid-masjid megah telah dibangun lengkap dengan menara dan kubahnya yang megah juga”. Untuk mereka yg telah membangunnya: “Semoga ridha Allah menyertaimu”.
Akan tetapi kemegahan masjid-masjid tersebut, tak ada satu pun yang mampu mengalahkan fungsi dan aura maknawi yang dimiliki oleh kesederhanaan Masjid Nabawi dan Masjidil Haram di masa lalu. Mungkin ada satu bagian yang berhasil dimiripi oleh masjid-masjid itu, akan tetapi tetap saja fungsinya sebagai penebar insiba tak bisa disamai, masjid-masjid itu tak mampu menyamai aura Masjid Nabawi terlebih lagi Masjidil Haram. Mungkin saja renovasi tersebut dapat dilihat dari sudut kecintaan kita kepada Nabi SAW, ini normal muncul di pikiran kita sebagai manusia. Ah seandainya pilar-pilarnya terbuat dari zerbejed, ah seandainya saja tiang-tiangnya terbuat dari emas, seandainya saja yang bagian ini terbuat dari zamrut, seandainya mimbarnya terbuat dari perhiasan dari surga atau: “Seandainya terbuat dari simbol kemewahan dunia seperti mutiara”. Inilah yang pasti muncul di benak kita, akan tetapi apakah hal ini yang diinginkan oleh agama kita?
Menurut saya pertanyaan ini akan membuat saya terhenti sejenak. Dalam menghadapi persoalan tersebut, kita perlu bersandar kepada ungkapan “yassiru”, mudahkanlah! “Yassiru”, janganlah engkau persulit. Permudahlah semua permasalah yang sedang engkau hadapi, dengan mudah buatlah ia sesuai karakter aslinya. Masalah ini sedikit berhubungan dengan keihlasan, tujuan untuk ridha ilahi, artinya apapun yang anda akan lakukan, anda akan memfatihkan kalbu-kalbu. Anda akan memasuki kalbu mereka, anda akan melewatkan waktu bersama mereka tanpa harus memicu reaksi negatif dari mereka, sehingga anda pun tak perlu berhadapan dengan para reaksionis. Demikianlah hizmet yang harus dilakukan, asasnya harus dibawakan pada poros tersebut menurut saya.
Oleh karena itu Allah berfirman kepada Hz Musa dan Harun as di mesir: “Waj’alu buyutakum qiblah” yang artinya “jadikanlah olehmu rumah-rumahmu itu tempat salat “. Entah apakah mereka menggunakan Masjidil Aqsa sebagai arah kiblat mereka ataukah mereka menghadap ke arah Tanah Haram yang Mulia, asasnya adalah bagaimana menjadikan rumah kita berfungsi seperti masjid, bagaimana kita bisa mengusahakan di setiap rumah bisa berjalan seperti masjid. Dan memang itulah salah satu amanat Hz Pir Mugan (Bediuzzaman) kepada anda, itulah rumah-rumah anda, rumah itu kadang anda sebut sebagai “dersane” atau mungkin “rumah cahaya” (isik evler), kalau ada banyak dan besar anda sebut sebagai “asrama”. Akan tetapi kalau seandainya ada tempat taktis, tempat yang suci di dalam setiap struktur, maka itulah tempat dimana anda berkumpul, tempat dimana anda menunaikan tanggungjawab anda sebagai hamba Allah, yaitu tempat-tempat yang difungsikan sebagai masjid. Dimana saja ada tempat tersebut, padanya terdapat barokah. Dan pada hari ini, yang membawakan ruh anda ke seluruh dunia, yang membawakan hal-hal maknawi yang berasal dari akar asal usul anda, yang mengantarkan usare-usare dan yang bersama mereka berusaha mewujudkan cita-cita anda adalah ruh dari rumah-rumah tersebut.
Empat Syiar Ahli Kebajikan
Empat Syiar Ahli Kebajikan
Guruku yang mulia, baginda Rasul al Akram S.A.W bersabda: “Fadhilah yang paling tinggi ialah dia yang menyambung kasih atas orang yang memotong hubungan dengan anda, berbuat baik kepada orang yang tidak berbuat baik kepada anda, dan santun kepada orang yang mencaci maki anda” (HR Ahmad No. 15065), dan dalam riwayat lainnya: “memaafkan mereka yang berbuat zalim kepada anda”. Berkenankah Anda menjelaskan intisari pesan dan hakikat yang terkandung di dalam hadis ini, apa yang dimaksud dengan fadhilahnya?
Fadhilah yang di zaman sekarang ini mereka katakan sebagai keutamaan atau kalau memang maknanya sepadan, anda dapat menyebutnya dengan “keutamaan yang paling utama”. Prinsipnya, di satu sisi pemilik fadhilah adalah sang pahlawannya pahlawan. Maksudnya, pahlawan dengan bakat di atas kemampuan pahlawan biasa, dengan kata lain merekalah yang dimuliakan dengan bakat kemampuan yang melampaui kemampuan orang-orang pada umumnya. Merekalah yang dimuliakan dengan berbagai macam kelebihan oleh Penciptanya (SWT).
Dari sisi pendefinisian ini, maka dapat diketahui bahwa kata “utama” tidak mungkin sepadan dengan kata “fadhilah”. Disabdakan bahwasanya fadhilahnya fadhilah (أَفْضَلُ الْفَضَائِلِ) yang pertama adalah أَنْ تَصِلَ مَنْ قَطَعَكَ (An tashila man qatha ak). Jadi maksudnya, tugas mendasar anda adalah untuk tidak pernah memutuskan hubungan dengan yang memutuskan silaturahminya dengan anda. Sekarang bagaimana kita tidak terpengaruh dengan sikap orang-orang yang memutuskan hubungan dengan kita? Kita harus tetap mempererat tali kasih sayang seerat hubungan orang-orang yang tidak bercerai-berai, sebagaimana di dalam hati nurani kita yang sebenarnya senantiasa terpatri perasaan untuk saling terhubung. Entah itu kerinduan kepada tanah air, sedangkan untuk kerinduan kita kepada ayah dan ibu, kita menyebutnya: “ikatan kepada ayah dan ibu”.
Terkadang dalam satu frame, semua tempat yang pernah kita kunjungi, hampiri, dan tinggali semuanya menjadi satu dalam sebuah keinginan, meliputi pikiran kita. Seringkali kita pun mengerang menahan kerinduan terhadap tempat-tempat itu, oleh karena itulah jangan sampai kita mengizinkan perpisahan dan perpecahan muncul di tengah kita. Prinsipnya adalah jangan sampai kita membiarkan mereka (yang memutuskan hubungan dengan kita) dalam kesendiriannya. Kalau hati mereka cenderung kepada perpisahan, mereka bagai melepaskan diri mereka, seperti dahan yang menggugurkan daunnya, hingga sang daun pun membusuk di tanah. Maka kita pun dengan segala daya yang ada di tangan, kita harus bisa menjadi penghalang terjadinya perpecahan. Jangan sampai memberi kesempatan kepada timbulnya perpecahan, kalau anda bisa melakukannya, maka itulah yg disebut “fadhilahnya fadhilah” untuk anda.
Kesendirian adalah masalah yang amat krusial, ketika anda mengatakan: “afdholul fadhooili an tashila man qatha ak…”, maka sebenarnya kalimat itu menitikberatkan pada masalah bersendiri (krn berpisah). Tetapi masalahnya tidak hanya sampai disitu, poin tadi hanyalah salah satu dari 4 asas fadhilah, akan tetapi jika ada satu orang yang memilikinya, maka itulah sifat mukmin sejati, itulah akhlaknya Al Quran, akhlak Nabawiyah SAW.
Kemudian yang kedua: “wa tu’tiya mammana ‘aka”. Ketika seseorang tidak memberi anda, baik itu berupa penghargaan atau pemuliaan, baik itu berupa pemberian satu sama lain, kalau misalnya ada kebutuhan anda mungkin berupa sedekah kalau ada keperluan yang lain, misalnya berupa zakat, kalau misalnya ketika ada sebuah pekerjaan, mungkin berupa support dukungan. Mungkin dia tidak melakukan hal tersebut, dia mungkin tidak membantu anda dalam kasus ini, dia bisa dikatakan tidak menunaikan tugasnya untuk membantu sesama muslim. Akan tetapi walaupun demikian, anda harus tetap meneruskan bantuan anda kepadanya di dalam kasus itu, demi terwujudnya perasaan memberi kepada sesama, anda harus hadir menghadapi sikapnya yang tidak mau memberi dengan tetap berbagi.
Dia mungkin tidak memperhatikanmu, acuh tak acuh, dia mungkin juga tidak menghargai anda. Meski demikian tetaplah tunjukkan perhatian anda kepadanya dan hargailah ia, pastikan tangan dan hati anda selalu terbuka untuknya. Tetaplah berprasangka baik saat berhadapan dengannya, jangan sembunyikan senyum diwajahmu saat berpapasan dengannya, jangan menyimpan uluran tanganmu untuknya, demikian juga dengan sifat suka memberimu. Inilah poin kedua hadis ini, poin ini pun membahas topik “kesendirian”. Lagi-lagi merupakan hal yang penting, ini pun adalah sifat seorang mukmin, bersamaan dengan itu inilah khuluqul Quran (akhlak Ilahi). Mengapa demikian? Karena Allah Jalla Jalaluhu, walaupun syukur kita sedikit tetapi Dia tetap senantiasa membagikan rizki-Nya, tak pernah meninggalkan kita sehingga tidak mendapat kebagian.
Mengenai hal ini saya memohon izin untuk menyampaikan sebuah riwayat, Sayyidina Hz Ibrahim as ketika ada tamu yang datang, beliau senantiasa menghidangkan jamuan, itulah Hz Ibrahim yang masyhur dengan kedermawanan dan kemuliaan hatinya. Sebagaimana beliau as masyhur dengan ketulusannya, kesetiaannya, dan kehangatannya terhadap sahabat-sahabatnya, beliau pun terkenal dengan kedermawanannya, memberi makanan kepada semua orang, beliau menyuapi masyarakatnya dengan apapun yang dimilikinya.
Dalam riwayat yang lain, disebutkan bahwa malaikat berkata: “Ya Rabbi, kekasihmu ini (Hz Ibrahim) kalau dilihat dari status kedekatannya dengan-Mu, bagaimana bisa mempunyai dunia (materi) begitu banyak?”. Dengan level kedekatannya yang seperti ini, bagaimana bisa beliau as mempertahankan memiliki harta duniawi yang banyak sekaligus juga menjadi khalilullah? Disini Allah SWT mengirimkan malaikatnya, sebenarnya dalam kisah ini kita tidak perlu memfokuskan pada apa yang dikatakan secara zahir oleh para malaikat, kita harus melihat hakikat apa yang sebenarnya terjadi dalam riwayat ini. Malaikat mendatanginya, kemudian para malaikat mengatakan kepada Hz Ibrahim: “Subbuhun Quddusu Rabbuna Wa Rabbil Malaikatu Warruh…”, dan tentu saja Hz Ibrahim as bukanlah sosok yang tidak paham makna dari kalimat ini. Beliau as, menghambakan diri dalam bentuk yg paling cocok dengan bayangan Zat Ilahi. Maka, demikian bersemangatnya di dalam penyucian dan penghambaan kepada Allah, Hz Ibrahim (demi mendengar tasbih yang dibacakan malaikat) mengatakan: “Biarlah 1/3 dari hewan ternakku ini untukmu saja”.
Demikian mulia hatinya, demikian dermawan dirinya. Hz Ibrahim berkata: “Bisakah anda membacakan kalimat tasbih tersebut sekali lagi?”, ini maknanya apa? Demikian besarnya pengaruh kalimat tasbih yang diucapkan dari lisan malaikat kepada hati hz Ibrahim. Kata-kata ini pasti bukan karena Hz Ibrahim tidak mengerti kedalaman maknanya sehingga minta diulangi agar bisa dimengerti, tetapi Beliau as ingin mendengarnya lagi (keluar dari lisan para malaikat). Maka ketika dibacakan kembali untuknya sekali lagi, Hz Ibrahim berkata: “Sisa ternak 1/3nya lagi untuk anda”. Sekali lagi dibacakan untuknya, Hz Ibrahim berkata: “Semua ternak saya untuk anda saja”, dan ketika keempat kalinya dibacakan lagi untuknya, Hz Ibrahim berkata: “Biarlah saya menjadi budak anda (krn hartanya sudah habis)”. Demikianlah, demikian mulianya dan dermawannya hati hz Ibrahim as sudah memasuki tikungan ketiga.
Penyesalan Suci
Penyesalan Suci
Manusia masuk ke lubang dosa, terpeleset dan terjatuh ke dalamnya, seperti Hz Otube. Setiap anda mengingat dosa tersebut, anda akan merasakan kepedihan sebagaimana halnya yang terdapat dalam sebuah hadits syarif bahwasanya Allah ta’ala lebih memilih orang-orang yang merasa pedih dengan dosa-dosanya, karena di sisi Allah pendosa yang menderita tersebut bagaikan tak pernah melakukan dosa. Kalau anda tidak melakukan dosa, kemudian masuk ke lubang dosa, akan tetapi ruh anda tidak merasa pedih akan akibat dosa tersebut, maka Allah akan mengganti mereka dengan suatu kaum yang ketika berbuat dosa mereka merasa pedih, bertaubat, yang akan dicintai-Nya, yang akan menerima maghfirah-Nya.
Dalam hadits qudsi Allah berfirman: “Yaa ibaadii… kullukum dhaalluun illa man hadaytuhu, fastahduuni ahdikum” yang artinya “Wahai hambaKu”, demikian Allah menyapa kalian dalam hadits qudsi-Nya. “Wahai hambaKu,” sapa Allah, lihatlah bagaimana Allah memanggil hamba-Nya. Ketika saya menjelaskan hadits ini, anda akan merasakan Allah sedang membelai kepala anda. “Yaa ibaadii… kullukum dholluun illa man hadaytuhu”, “Wahai hambaKU, kalian semuanya tersesat, kecuali orang yang Aku beri hidayah”. Artinya adalah “Kalian semua bisa tersesat, akan tetapi barangsiapa yang mendapatkan hidayahKu, barangsiapa yang berada dalam penjagaanKu, maka ia tidak akan pernah tersesat”. “Fastahduuni ahdikum”, “mintalah hidayah kepadaKu, niscaya Aku akan memberi hidayah padamu”.
“Yaa ibaadii…”, “Wahai hamba-hambaKu….”. “Inna kuntukhfahu bil layli wannahar wan naghfiru dzunuba jami’a fastaghfiru nagfirlakum”, “Kalian berbuat dosa di pagi dan malam, pagi dan malam kalian melakukan perbuatan maksiat, dan Aku adalah Al Ghafur dan Ar Rahim, Aku mengampuni semua kesalahan. Janganlah jatuh ke kesedihan tak berujung, janganlah kalian jatuh ke jurang keputusasaan, mintalah maghfirah! Akan Kuampuni semuanya!”.
Ketika anda mengingat tempat, waktu, dan perbuatan dosa yg pernah anda buat, maka anda akan menderita karena penyesalan, penderitaan akan dosa (izdirab) akan menjadi sebuah dimensi ketakwaan. Hz Adam as terpeleset, setelah memahami kedalaman ketaatan akan perintah, beliau pun membungkuk bersimpuh dan berdoa: “Rabbana dzalamna anfusana wa illam taghfirlana wa tarhamna lana kuunanna minal khosirin”, “Ya Tuhan Kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya kami termasuk orang-orang yg merugi”. Dan Nabi Adam, menurut sebagian penafsir, selama 30 tahun dan menurut pendapat yang lain 40 tahun setelah datangnya perintah (untuk turun ke bumi) kepada dirinya, beliau senantiasa mengangkat kepalanya ke arah langit, tapi tak mampu melihat (langit).
Hz Adam 30 tahun senantiasa mencari ampunan di bumi, akan tetapi ketika melihat sekelilingnya beliau bagaikan bunga basak yang merunduk. Taubatnya membesar, terisi penuh, bagaikan bunga basak yang gemuk kemudian merunduk ke tanah dan oleh karena memang tempat beliau adalah bumi, maka tempat akan jatuhnya beliau pun adalah tanah. Allah menciptakan beliau sebagai bunga basak, sang bunga pun merunduk jatuh ke tanah dan membusuk, dan dari sana bertunaslah pohon “Nabi Muhammad”. Wazifah (tugas) utama Hz Adam di dadanya memang adalah memang untuk mem”fermentasikan” kelahiran Nabi Muhammad SAW. Dan dia pun menunaikan tugasnya tepat 30-40 tahun beliau mengangkat kepalanya memohon ampunan, tapi tak mampu ia memandang langit. Semua rasa malunya akan dosanya mejadikannya dalam bahasa para nabi “Adam sang Safiyullah”.
Hz Adam adalah hamba Allah yang paling bersih dan murni, sebagaimana firman Allah: “……rabbahu fa ghawa…”. Dalam peristiwa ini, untuk level para nabi, Nabi Adam dihitung tidak mentaati perintah Tuhannya. Apakah yang beliau as perbuat? Mari kita misalkan, anda punya anak dan anda minta kepadanya: “Nak ambilkan ayah segelas air,” dan anak anda menjawab: “hari ini aku lagi enggak mood untuk bawain ayah air minum”. Anda pun pasti akan marah dan berucap: “Dasar keras kepala!”. Sesungguhnya apakah perbuatan itu masuk kategori pemberontakan ataukah ekspresi keras kepala? Bukan! Akan tetapi ketulusan anda kepada putera anda, kedekatan emosi anda dengan anak anda, kecintaan anda kepada putera anda, kebutuhan anda akan keberadaan putera anda. Demi mendengar penolakan kecil dari perintah sederhana anda, anda langsung mengatakan kepadanya: “dasar keras kepala!”
Dia, dengan kata dari Hz Adam (biarlah ruhku kukorbankan untuknya), fa’a sa’a rabbahu (maka Hz Adam berusaha kepada Tuhannya), tidak berbeda dengannya. Akan tetapi beliau as, dengan penderitaan di dalam kerangka ketakwaan sucinya yang bisa membuatnya mati, dari menara-menara kita, kita membaca doa salawat dan salam. Kita katakan: asshalatu wassalamu ‘alayka ya Rasulullah, atau ya Adam safiyullah. Hz Adam adalah Safiyullah, ya Adam safiyullah, Hz Adam adalah hamba Allah yang paling murni, inti dan induk dari seorang hamba adalah bagaikan sebuah ketekunan dalam ibadah ketakwaan.
Misalnya lagi, Hz Yunus bin Matta meninggalkan kaumnya tanpa izin, dan di satu tempat di tengah lautan beliau dilemparkan ke tengah laut dan ditelan seekor ikan. Marilah kita tidak membuat perdebatan mengenai situasinya ketika itu, akan tetapi tasbih yang membuatnya terlempar ke pantai keselamatan memiliki peranan yang penting di dalam tabir ketersiksaan. Memohon, memanggil, dan mengerang tiada ilah yg wajib disembah selain Engkau. Punahlah harapan akan pertolongan dari sebab-sebab yang lain.
Aku mengetahuiMu, aku mengenalMu, mataku kuhadapkan kepadaMu. Engkaulah yang membolak-balikkan segala sesuatu. Segala sesuatu berputar oleh karena kekuatan dan izin dariMu, tidak ada segala sesuatu pun yang dapat melakukan sesuatu tanpa kehendakMu, dengan tasbih aku mensucikan namaMu. Tidak ada sesuatupun yng menyerupaiMu, senin ziddin yiddin yoktur, tidak ada sesuatu pun yang menyerupai kekuatanMu, tidak ada yang dapat menyelamatkan diriku selain Engkau, sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang dzalim. Bagaikan seseorang yg menumpakkan susu, bagaikan anak kecil yang melakukan suatu kenakalan, dihadapan Allah ta’ala membungkuk, menyesal, dan menderita karena dosa adalah sebuah kedalam kekhusyuan penghambaan.
Ya Allah sesungguhnya penyakit telah menimpa kami, maka ya Allah kasih sayangilah kami. Ya Allah kasih sayangilah kami. Amiin…Amiin…Amiin…
Topik Serta Term of Reference (TOR) Seminar Tematik Seri 3
Topik Serta Term of Reference (TOR) Seminar Tematik Seri 3
Mengapa Kita Harus Beribadah? – 3
- Salat
a. Apa itu azan dan iqamah
b. Jenis-jenis salat
c. waktu-waktu salat
d. waktu-waku yang dimakruhkan salat
e. Syarat salat
f. Rukun salat
g. apa itu tadil arkan
h. wajib salat
i. sunnah salat
j. makruh dalam salat
k. yang membatalkan salat
- Salat – 2
a. Salat jumat
b. Salat id
c. Salat tarawih
d. Jamak dan qashar
e. Salat jenazah
f. Salat qada
g. Sujud sahwi dan sujud tilawah
- Salat – 3
a. Salat-salat sunah
b. Apakah saat salat harung menggunakan kopyah?
c. Mengapa zikir setelah salat sangat penting?
- Akhlak Nabi – 1
a. Pemberani
b. Dermawan
c. Adil
d. Prasasti kasih sayang
e. Tawaduk
f. Representasi dari Loyalitas
- Akhlak Nabi – 2
a. Canda Sang Nabi
b. Kelembutan Sang Nabi
c. Toleransi Sang Nabi, bagaimana kesopanan beliau memikat hati manusia
d. Bagaimana hubungan Sang Nabi dengan sesama manusia
e. Gambaran jasmani Sang Nabi
- Penghambaan Sang Nabi
a. Bagaimana salat sang nabi
b. Perhatian khusus Sang Nabi kepada salat tahajud
c. Kerangka takwa Sang Nabi
d. Bagaimana rasa syukur Sang Nabi
e. Bagaimana kehidupan doa Sang Nabi
- Apa saja tanda mencintai Sang Nabi?
a. Mengapa kita harus mencintai Sang Nabi lebih dari segala ciptaan lainnya?
b. Apa manfaat mencintai Sang Nabi?
c. Apa indikator mencintai sang Nabi?
d. Cinta sahabat pada sang Nabi
i) Cintanya Sayyidina Sawad bin Gaziyyah
ii) Sahabat yang merelakan nyawanya untuk sang Nabi
iii) Cinta sahabat wanita kepada Sang Nabi
iv) Sahabat dengan suara indah: Sayyidina Sabit bin Qays
v) Beginilah seharusnya taat kepada Sang Nabi
vi) Mereka memilih apa yang dicintai Sang Nabi
- Penghambaan para sahabat
a. bagaimana sahabat salat?
b. Pemahaman sahabat akan syukur dan tawakal
c. Bagaimana sahabat menegakkan keadilan
- Alim, Wali, Mujtahid, Mujaddid
a. Siapa ali, apa saja karakteristiknya
b. Siapa wali?
c. Siapa mujtahid?
d. Siapa mujaddid?
e. Sensitivitas ibadah para alim
i) Pengetahuan mewajibkan ibadah
ii) Bagaimana ibadah para alim dan kekasih Allah
iii) Bagaimana salat Imam Hanafi
iv) Hammad bin Salamah hidup dengan kesadaran ia bisa mati kapan saja
v) Fudail bin Iyadh sibuk dengan ibadah hingga pagi
vi) Sufyan ats Tsauri, cinta ilmu dan ibadah
vii) Mereka hidup dengan berindekskan ibadah
viii) Mari kita hidup seperti mereka
- Hari dan malam penuh berkah
a. Lailatul Qadar
b. Tanda-tanda lailatul qadar
c. Malam Maulid
d. Lailatul Bara’ah (Nisfu Syaban)
e. Malam Mikraj
f. Malam Ragaib
g. Hari Asyura
h. Hari jumat
i. Tiga bulan suci
j. Bulan rajab
- Merayakan hari istimewa
a. Lidah kita mencerminkan hati kita
b. Hari penuh ampunan dan ganjaran
c. Hari persaudaraan, kebersamaan, dan saling mendukung
d. Tidak ada yang boleh terlupakan
e. Menggunakan pakaian tawaduk
F. Tidak berlebihan dalam berpakaian
g. Menggunakan pakaian dari sebelah kanan
h. Rasulullah meminta sahabat untuk berpakaian rapi dan pantas
i. Referensi: Yol Rehberim (1) Yusuf Karagol, hlm.201-209