mengembangkandiri.com (4)

BEKALI DIRI DENGAN ILMU PENGETAHUAN

Ditulis oleh : Muhammad Fethullah Gülen Hocaefendi

Semua jenis ilmu mempunyai definisi tersendiri, dan setiap pengamalan juga mempunyai caranya tersendiri. Tanpa mengetahui definisi dan cara pengamalannya, maka seseorang tidak patut membicarakan satu bidang ilmu apa pun, serta tidak patut pula membicarakan pengamalannya sedikit pun. Disebabkan masalah dakwah adalah tugas seorang muslim saja, maka untuk pelaksanaannya, ia mempunyai berbagai pokok dan cara tersendiri pula. Setiap dakwah yang tidak mengindahkan cara-cara yang telah dituntunkan, maka tidak akan ada keberhasilannya sedikit pun, selain kesia-siaan. Apabila padanya ditemukan sejenis keberhasilan, maka nilai keberhasilan itu tidak akan pernah berlangsung lama.

Dalam kesempatan ini, perlu saya sampaikan berbagai cara berdakwah, meski sesungguhnya tata cara berdakwah tidak hanya terbatas seperti apa yang saya sampaikan saja. Sebab, apa yang saya sampaikan di sini hanyalah bagian-bagian terpentingnya saja. Sedangkan secara lengkap dapat ditemukan di dalam firman Allah Swt. dan sabda Rasulullah Saw., yang memberi penjelasan tentang cara berdakwah secara lebih luas serta komprehensif.

Setiap da’i yang menegakkan amar ma’ruf nahi munkar, disyaratkan harus mempunyai ilmu pengetahuan yang luas. Sebab, hubungan antara ilmu pengetahuan dengan cara berdakwah sangat erat. Terutama, mempunyai pengetahuan tentang ilmu agamanya, sehingga ia dapat menerangkan seputar ajaran agamanya itu dengan gamblang dan jelas. Kalau tidak, maka dakwah yang ia sampaikan tidak akan berguna, bahkan akan menjadikan orang lain lari (menjauh) dari ajaran agama yang disampaikannya. Yang demikian itu tidak lain karena da’i-nya tidak menguasai ilmu pengetahuan untuk menerangkan materi dakwahnya secara baik dan tepat sasaran.

Saya akan terangkan sedikit saja tentang ilmu ini, terutama yang terkait dengan dakwah. Juga akan dijelaskan cara pengamalannya. Sebenarnya ilmu di alam semesta ini laksana mihrab bagi Nabi Allah Adam as. Setelah itu, tugas berdakwah dilanjutkan oleh para Nabi dan Rasul setelah beliau. Jika demikian, apakah makna ilmu yang sesungguhnya? Arti ilmu adalah pengenalan seseorang kepada Sang Maha Pencipta, kemudian mengenalkan Sang Pencipta kepada orang lain. Dan hendaknya mereka meyakini bahwa Tuhan kita mempunyai sifat-sifat dan nama-nama yang Mahamulia. Berikutnya, hendaklah ia mengenal Tuhan-nya dengan sebenar-benar pengenalan. Adapun ungkapan, “Siapa yang mengenal dirinya, maka ia mengenal Tuhannya,” sebenarnya ucapan sebenar ini sangat dalam artinya, bahkan hampir sama derajatnya dengan sabda Nabi, meskipun sebenarnya ia bukan termasuk jajaran di dalam sabda Nabi. Akan tetapi, Al-Qur’an mendukungnya, sebagaimana telah disebutkan oleh Allah Swt. di dalam firman-Nya berikut ini: “Dan janganlah engkau seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik,” (QS al-Hasyr [59]: 19).

Jika kalian melalaikan Allah, maka pasti Allah akan melalaikan kalian. Jika kalian telah dilalaikan oleh Allah, maka sudah tentu kalian akan jauh dari sisi-Nya. Sehingga kalian akan menjadi orang yang terasing, bahkan kalian tidak akan ingat kepada diri kalian sendiri. Siapa saja yang telah masuk ke dalam lingkaran setan, maka ia akan sangat berat untuk bisa melepaskan dirinya dari lingkaran itu. Bahkan ia akan menjauh dari ajaran Al-Qur’an dan sunnah-sunnah Nabi-Nya.

Janganlah kalian melupakan Allah Swt. sedetik pun, agar kalian tidak dilupakan oleh-Nya kapan saja. Sebab, jika kalian telah lalai dari mengingat Allah, maka kalian akan menjauh dari sisi-Nya. Berapa banyak orang yang rajin membicarakan Al-Qur’an dan ajaran Islam, akan tetapi ia justru menunggu orang lain yang mengerjakannya? Bahkan, ada sekelompok orang yang justru melupakan ajaran Islam dengan menghinakannya di rumahnya sendiri. Berapa banyak orang yang mengelu-elukan ajaran Al-Qur’an dan al-Sunnah, akan tetapi mereka justru melupakan diri mereka sendiri? Sehingga mereka tidak pernah mengamalkan ajaran Al-Qur’an dan Al-Sunnah.

Perumpamaan kita di dalam kehidupan ini sama dengan seseorang yang tengah mendaki ke sebuah bukit yang tinggi. Kalau kita tidak berhati-hati menempatkan telapak kaki kita di posisi yang sebenarnya, maka sudah tentu kita akan terpeleset atau bahkan bisa terjatuh ke jurang, yang itu bisa menyebabkan kebinasaan diri kita. Berapa banyak orang yang lalai terhadap dirinya sendiri? Terutama pada saat mereka berada di tempat-tempat suci, seperti di tempat ibadah, di masjid, di Ka’bah, di Raudah, dan lain sebagainya. Sungguh amat mengherankan betapa banyak di antara mereka yang melalaikan dirinya sendiri di tempat-tempat yang suci seperti itu. Sungguh, alangkah meruginya orang-orang yang seperti itu.

Setiap ilmu pasti mempunyai tujuan tersendiri, yaitu mendorong seseorang untuk mengenal dan mencintai Tuhannya. Karena, jika ilmu tidak mendorong seseorang (pemiliknya) untuk mencintai Tuhannya, maka ilmu itu tidak berguna baginya. Sebab, ilmu harus menjadi sumber kehidupan bagi jiwa dan perasaannya. Jika seseorang telah kehilangan sentuhan dari perasaannya, maka ilmu yang tersedia pada dirinya sama sekali tidak berguna bagi dirinya. Adapun ilmu yang sangat dianjurkan oleh Al-Qur’an dan al-Sunnah untuk menuntutnya adalah ilmu yang dapat mengenalkan seseorang kepada Tuhannya. Selain itu, Al-Qur’an dan al-Sunnah tidak menganjurkan untuk mengetahuinya (tidak mewajibkan untuk menuntut ilmu tersebut).

Sehubungan dengan pembahasan kita kali ini, maka kita perlu memahami seputar berbagai ayat dan hadis yang menganjurkan manusia untuk mencari ilmu pengetahuan. Sebagaimana yang telah disebutkan oleh Allah ‘Azza wa Jalla di dalam firman-Nya berikut ini: “Katakanlah, ‘Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui? Sesungguhnya orang-orang yang mau menggunakan akalnyalah yang dapat menerima pelajaran,” (QS al-Zumar [39]: 9).

Firman Allah Swt. di atas mengisyaratkan kepada kita bahwa ilmu yang membawa manusia untuk mengenal Tuhannya dengan ilmu yang menghalangi manusia dari mengenal Tuhannya tidaklah sama. Orang yang membolak-balikkan halaman-halaman buku tanpa berusaha memahami isinya laksana seekor binatang pengerat yang mencari rahasia di balik tumpukan suatu benda. Sehingga ia tidak akan sempat memetik segaris pun manfaat dari sejumlah buku yang dipegangnya. Menurut bahasa Al-Qur’an, ia bagai seekor keledai yang memikul sejumlah buku. Dengan kata lain, buku-buku yang meski mengandung banyak sekali ilmu pengetahuan itu pun menjadi tidak berguna bagi seekor keledai. Akan tetapi, berbeda jauh dengan seorang yang rajin membaca ilmu pengetahuan, dan ilmu itu menyebabkan ia mengenal Allah. Sebagaimana Allah ‘Azza wa Jalla telah berfirman: “Sesungguhnya mereka yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah para ulama” (QS. Fâthir [35]: 28).

Jelas sekali bahwa firman Allah Swt. di atas memuji orang-orang yang berilmu, yang dengan ilmunya mereka dapat mengenal Allah dengan baik. Sehingga mereka selalu bertata-krama dan bersikap khusyu’ terhadap Tuhannya. Firman Allah di atas didukung oleh sabda Rasulullah Saw. berikut ini: “Sesungguhnya para ulama itu adalah para pewaris para Nabi.”

Menurut hadis di atas, dapat kita simpulkan bahwa ada sekelompok manusia yang mengenal Allah melalui ilmu pengetahuan yang dimiliki. Mereka itu adalah para Nabi. Sedangkan kita –sebagai umat beliau– tidak sampai pada tingkatan seperti mereka. Kita dapat mengenal Allah ‘Azza wa Jalla melalui perantaraan cahaya yang keluar dari lisan para Nabi dan Rasul. Sebab, tidak seorang pun mampu mencapai pengenalan diri kepada Tuhannya, kecuali melalui sabda-sabda yang meluncur melalui lisan para Nabi dan Rasul.

Adakalanya sebagian orang dapat mengenal Allah melalui usaha maupun jerih payahnya sendiri. Akan tetapi, untuk lebih mengenal Allah dengan jelas dan gamblang tidak dapat ditembus oleh seorang pun, kecuali melalui petunjuk-petunjuk dari para Nabi dan Rasul. Sebab, mereka adalah para pihak yang telah mendapatkan warisan pengetahuan langsung dari sisi Allah Yang Maha Mengetahui.

Strata selanjutnya (setelah mereka) adalah para hamba Allah yang shalih, yang oleh Al-Qur’an diisyaratkan bahwa mereka itu merupakan pewaris isi bumi. Hubungan antara sabda Rasulullah dan firman Allah di atas sangat terkait erat, karena hamba-hamba Allah yang shalih adalah orang-orang yang paling pantas menjadi khalifah Allah di muka bumi. Mereka adalah para ulama, dan mereka merupakan pewaris para Nabi, bukan yang lain. Sebab, para Nabi adalah penyampai pilihan atas firman-firman Allah.

Demikian pula halnya dengan para ulama. Karena, para ulama adalah pewaris para Nabi, mereka akan mendalami firman Allah dan menyampaikannya kepada orang lain. Adapun kebangkitan seorang hamba itu dimulai dari keberhasilan pemilik ilmu dalam mendalami dan memahami apa yang terkandung di dalam Al-Qur’an dan Al-Sunnah.

Referensi :

[1] Diriwayatkan oleh Imam Bukhari, pada pembahasan mengenai al-‘Ilmu, hadis nomor 10. Juga oleh Imam al-Tirmidzi, pada pembahasan yang sama, al-‘Ilmu, hadis nomor 19
[2] Diriwayatkan oleh Imam al-Tirmidzi, pada pembahasan mengenai al-‘Ilmu, hadis nomor 19.
[3] Diriwayatkan oleh Imam al-Tirmidzi, pada pembahasan mengenai al-‘Ilmu, hadis nomor 1. Juga oleh Imam Abu Dawud, juga pada pembahasan yang sama, mengenai al-‘Ilmu, hadis nomor 9. Diriwayatkan pula oleh Imam Ibnu Majah di dalam Muqaddimah kitab miliknya, halaman 24. Dan pula dirujuk dalam kitab Majma’ al-Zawâid, karya Imam al-Haitsami, Jilid 1, halaman 163.

mengembangkandiri.com (15)

TAHU SAJA TIDAK CUKUP

Ditulis Oleh: Fajar Sidiq

Jika kita lihat media sosial akhir-akhir ini, maka kita akan menemukan banyak sekali perdebatan di dalamnya. Bahkan, perdebatan tersebut juga terjadi di kalangan sesama Muslim. Apa saja didebatkan. Mulai dari hukum, etika, dan bahkan sampai kredibilitas keimanan seseorang. Tak jarang Muslim yang satu membabi buta menuduh Muslim yang lainnya tidak beriman. Bahkan terlampau jauh sampai mengkafirkan sesama Muslim. Innalillahi wa inna ilaihi raji’un.

Terlepas apakah umat Muslim dewasa ini mengulang kembali sejarah yang akan berujung kepada perpecahan. Fenomena ini menarik bagi kita untuk menyelami kembali sebetulnya apa hakikat sejati dari iman itu sendiri?

Iman berasal dari Bahasa Arab dari kata dasar amana yu’minu-imanan, artinya beriman atau percaya. Percaya dalam  Bahasa  Indonesia  artinya  meyakini  atau  yakin  bahwa  sesuatu  (yang  dipercaya)  itu  memang  benar  atau  nyata adanya. Abul ‘Ala al-Mahmudi menterjemahkan iman dalam Bahasa inggris faith, yaitu to know, to believe, to be convinced beyond the last shadow of  doubt yang  artinya,  mengetahui,  mempercayai,  meyakini  yang  didalamnya  tidak  terdapat  keraguan  apapun. Sedangkan secara istilah iman adalah “membenarkan dengan hati, mengucapkan dengan lisan dan melaksanakan dengan anggota badan”

Ketika rombongan Arab Badui datang kepada rasulullah saw. dan menyatakan bahwa mereka telah beriman, rasulullah saw. memberi tahu mereka bahwa sejatinya mereka baru berislam.

Allah SWT. berfirman, “Orang-orang Arab Badui itu berkata: ‘Kami telah beriman’. Katakanlah: ‘Kamu belum beriman, tapi katakanlah “kami telah tunduk”, karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu; dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tidak akan mengurangi sedikitpun pahala amalanmu; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (Q.S. Al-Hujurat: 49).

Syaikh Wahbah Az-Zuhaili dalam tafsirnya Tafsir Al-Wajiz berpendapat bahwa ayat di atas diturunkan bagi pembenci dari Bani Asad bin Khuzaimah. Mereka datang ke Madinah untuk berjumpa dengan rasulullah saw. saat masa-masa gersang. Mereka menampakkan ungkapan syahadatain, namun mereka belum beriman dalam hati. Mereka baru mengucapkan secara lisan saja, Iman yang benar belum merasuk kedalam hati mereka.

Namun, iman belum sampai di situ saja. Jika mengucapkan dengan lisan dan membenarkan dengan hati saja sudah bisa disebut iman, bukankah seharusnya iblis itu beriman? Kenyataan tidak berkata demikian. Nyatanya iblis lebih memilih mengingkari Allah SWT. ketika ia diperintahkan untuk bersujud kepada Adam a.s. Maka dari itu, keimanan harus dilakukan juga dengan anggota tubuh, dengan ketaatan. Hal mendasar seperti keimanan ini juga berdampak kepada cara kita mengimplementasikannya di kehidupan sehari-hari. Bahkan di tataran keilmuan, juga harus senantiasa diiringi dengan amal yang dilakukan.

Abu Abdirraḥmān As-Sulami -raḥimahullāh- meriwayatkan, ia berkata,”Sahabat-sahabat Nabi yang mengajari kami Al-Qur`an menceritakan bahwa mereka biasa belajar Al-Qur`an dari Rasulullah ﷺ per sepuluh ayat; mereka tidak akan masuk ke sepuluh ayat lainnya kecuali setelah mereka mengetahui pengetahuan dan pengamalan yang dikandungnya. Mereka mengatakan, ‘Kami belajar pengetahuan dan pengamalan.'”

Dua hal yang harus kita garisbawahi mengenai aplikasi iman dalam kehidupan sehari-hari ialah, ketika kita mempelajari suatu hal, entah itu ayat atau hadis, maka selalu iringilah dan usahakanlah berikut pengamalannya. Percuma kita membaca banyak buku tapi malas dalam pengamalannya. Percuma juga kita banyak mengaji, tetapi ilmu itu hanya sampai kepada memori kita saja, tidak kita amalkan isinya.

Ulama kontemporer seperti K.H. Ahmad Dahlan juga mencontohkan bagaimana pengamalan ilmu beserta pengamalannya. Diceritakan bahwa K.H. Ahmad Dahlan pada beberapa waktu terus-menerus mengajarkan surat Q.S. Al-Maun kepada murid-muridnya sehingga mereka bosan. Begini terjemahan suratnya:

“Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama?/Maka itulah orang yang menghardik anak yatim/dan tidak mendorong memberi makan orang miskin/Maka celakalah orang yang salat/(yaitu) orang-orang yang lalai terhadap salatnya/yang berbuat ria/dan enggan (memberikan) bantuan (Q.S Al-Maun).”

Mereka pun bertanya kepada gurunya mengapa gurunya tidak mengajarkan surat yang lain? Ahmad Dahlan kemudian bertanya kepada murid-muridnya tersebut, “apakah kalian sudah mengamalkan surat al-Maun atau belum?” Para murid menjawab, “kami sudah mengamalkan, bahkan sudah menjadikan al-Maun sebagai bacaan pada setiap salat.”

“Kalian sudah hafal surat al-Maun, tapi bukan itu yang saya maksud. Amalkanlah! Diamalkan, artinya dipraktekkan, dikerjakan! Rupanya, saudara-saudara belum mengamalkannya,” ucap Ahmad Dahlan seperti dikutip Junus Salam dalam K.H. Ahmad Dahlan: Amal dan Perjuangannya (2009).

Setelah itu ia menyuruh murid-muridnya untuk berkeliling mencari orang miskin dan membawanya pulang, lalu dimandikan dengan sabun, diberi pakaian yang bersih, diberi makan dan minum, serta disediakan tempat tidur yang layak. MasyaAllah, sungguh akhlak yang mulia.

Tapi sayangnya, dewasa ini orang-orang banyak terjebak baru di tahapan memperoleh ilmunya saja, belum gencar di tahap pengamalannya. Tentu banyak orang yang tahu tentang kebaikan dan keindahan, tetapi mereka tidak menjalankannya dalam kehidupan. Itu karena mereka hanya baru sampai ke tahap mengetahui, tetapi belum ke tahap menyadari. Kita tahu jika shalat tahajud itu indah, kita bisa dengan all-out bermunajat kepada Allah. Namun, justru banyak dari kita malah tidak mengerjakannya. Hal itu disebabkan oleh karena pengetahuan kita tentang suatu hal tidak seiring dengan tumbuhnya kesadaran.

Seharusnya, ketika kita mempelajari suatu kebaikan, maka kita harus mengiringi pengetahuan tersebut dengan pertumbuhan kesadaran yang kita miliki seperti contoh dari para sahabat dan K.H. Ahmad Dahlan. Atau meminjam kata-kata Fahrudin Faiz yang menyatakan bahwa, sebenarnya kita ini mengetahui banyak hal yang baik dan tidak baik. Tetapi, kita belum punya kesadaran untuk melakukan yang kita tahu sebagai kebaikan atau menjauhi yang ktia tahu sebagai keburukan.

Bahkan dalam hal ini, rasulullah saw. mengajarkan kita sebagai umatnya dengan doa sebagai berikut:

اللَّهُمَّ أَرِنَا الْحَقَّ حَقًّا وَارْزُقْنَا اتِّبَاعَهُ، وَأَرِنَا الْبَاطِلَ بَاطِلًا وَارْزُقْنَا اجْتِنَابَهُ، وَلَا تَجْعَلْهُ مُلْتَبِسًا عَلَيْنَا فَنَضِلَّ، وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا

“Ya Allah tunjukkanlah kepada kami yang benar itu benar dan bantulah kami untuk mengikutinya, dan tunjukkanlah kepada kami yang batil itu batil dan bantulah kami untuk menjauhinya. Janganlah Engkau menjadikannya samar di hadapan kami sehingga kami tersesat. Dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa.”

Di dalam doa tersebut, kita tidak hanya meminta untuk ditunjukkan hal yang benar atau hal yang salah saja. Tapi kita juga meminta kepada Allah agar kita dibantu untuk mengikuti kebenaran, dan menjauhi hal yang batil. Sebab, sekadar tahu kebenaran itu tidak akan berarti apa-apa tanpa kesadaran untuk mengerjakannya. Bahkan kita pun mengamalkan doa di dalam Q.S. Al-Fatihah sebanyak seminimimalnya sebanyak 17x untuk meminta jalan yang lurus. Namun, setelah Allah SWT. menunjukkan jalan yang lurus kok kita mundur?

Semoga kita selalu ditunjukkan hal yang benar itu benar dan kita dibantu untuk mengikuitinya. Semoga kita selalu ditunjukkan hal yang salah itu salah dan kita dibantu juga untuk menjauhinya. Semoga, setiap ilmu yang kita ketahui, kita bisa mengamalkannya juga dengan penuh keridaan. Amin…

 

Referensi