casey-horner-432428-unsplash

Al Qulubud Daria (Kalbu yang Merintih)

“Al Qulubud Daria (Kalbu yang Merintih)”

Tanya: Dalam rangka belajar adab memohon dan berdoa kepada Allah serta untuk senantiasa berada dalam keadaan bertawajuh kepadaNya, buku kumpulan doa yang bernama Al Qulubud Daria terlihat amat penting peranannya dimana ia berhasil mengisi kekosongan itu. Akan tetapi, walaupun kita bisa membaca huruf-huruf Al Quran, kita masih belum mampu memahami makna sebagian besar wirid dan zikir yang terdapat di buku tersebut. Terkait hal ini, apa nasihat Anda untuk kami?

Jawab: Al Qulubud Daria bermakna kalbu penuh linangan air mata yang mengetuk pintu Allah, dimana pintuNya adalah satu-satunya tempat untuk berlindung; kalbu yang bersedekap, menunduk, membungkuk di pinggir pintuNya, yang mengemis dan memohon kepadaNya; kalbu yang membuka isi di dalamnya; kalbu yang mencurahkan satu per satu segala masalah yang membebaninya; serta kalbu yang merintih karena terbakar dan dibakar. Untuk merangkum semua makna ini barangkali dapat digunakan istilah “Kalbu yang Meratap”. Buku ini dirangkum dari kitab doa sebanyak tiga jilid yang bernama Majmuatul Ahzab karya Gumushanevi Ahmed Ziyauddin Efendi yang diklasifikasi ulang.

Sayyidina Gumushanevi dan Majmuatul Ahzab

Almarhum Ahmed Ziyauddin Efendi adalah ulama di periode akhir Usmani. Beliau lahir pada tahun 1813 di Desa Emirler, Kecamatan Gumushane. Beliau tidak hanya sibuk dengan ilmu-ilmu zahir. Di waktu yang sama, beliau juga menuntut ilmu-ilmu batin dan berhasil meraih ijazah di dua bidang tersebut. Sayyidina Gumushanevi merupakan salah satu Syeikh dari Tarikat Naqsyabandiyah Khalidiyah, beliau mendedikasikan hidupnya untuk ilmu dan irsyad. Pada tahu 1893 beliau kembali ke rahmatullah di Kota Istanbul dengan meninggalkan puluhan karya.

Salah satu karya beliau yang paling dikenang adalah Majmuatul Ahzab, sebuah karya setebal kurang lebih dua ribu halaman. Sayyidina Gumushanevi menyiapkan karyanya ini bersama murid-muridnya dengan perhatian yang amat besar. Berkat kerja kerasnya, ia berhasil mengumpulkan ratusan wirid dan zikir yang diamalkan oleh puluhan kekasih dan wali-wali Allah. Dalam kitabnya tersebut, dijelaskan nama hizib[1], penulisnya, kapan dan bagaimana ia dibaca. Misalnya, terdapat istigfar pekanan yang biasa dibaca oleh Imam Hasan Basri, dimana istigfar tersebut dibaca harian dimulai dari hari jumat. Selain itu, di kitab tersebut juga terdapat bagian hizib, wirid, zikir malam, doa, istigfar, istiazah, tasbih, tahlil, salawat, dan qasidah bertajuk ‘usbuiyah/pekanan’ yang dibaca oleh para sultan alam maknawi seperti Sayyidina Ali karamallahu wajhah, Usamah r.a., Muhyiddin Ibnu Arabi, Abu Hasan Syazili, serta Imam Jafar as Sadiq dimana di dalamnya terdapat doa yang dibaca setiap hari selama seminggu.

Majmuatul Ahzab adalah kitab doa yang tak pernah lepas dari tangan Bediuzzaman Said Nursi. Demikian dekatnya beliau dengan kitab ini, karya bernilai tinggi yang tebalnya kurang lebih tiga kali mushaf ini diselesaikan setiap lima belas hari sekali. Aku juga beberapa kali mendengar penjelasan mengenai pentingnya membaca majmuatul ahzab dimana ia menjadi salah satu rukun dalam Profesi Nur. Ini artinya, Sang Penulis Nur, menyisihkan waktunya kurang lebih sebanyak 5-6 jam setiap hari untuk menyelesaikan pembacaan kumpulan ini dan demikianlah beliau menyibukkan dirinya dengan wirid dan zikir.

Di sini aku ingin menyampaikan sebuah kenangan yang mungkin keluar dari topik pembahasan kita: Ada salah satu tokoh alim agung yang juga ahli kalbu yang sangat kagum pada bagaimana uslub Ustaz memahami, menjelaskan, menguraikan, dan menyebarkan hakikat-hakikat iman. Ia menyampaikan bahwasanya risalah nur penulisannya amatlah sulit, merupakan karya-karya yang sangat berharga, dimana karya tersebut tak mungkin bisa ditulis hanya dengan membayangkannya saja. Ia juga menjelaskan bahwasanya karya tersebut hanya dapat digandakan dan disebarkan jika ia bersandar pada sumber yang amat kuat. Dalam setiap kesempatan yang didapatnya, ia selalu menyampaikan penghormatannya kepada Sang Penulis Nur serta kepada setiap pengabdian iman. Kemudian ada satu orang yang menunjukkan kitab Majmuatul Ahzab kepada alim tersebut serta menyampaikan bahwasanya Ustaz tak pernah lepas darinya. Sang alim kemudian berkata: “Kini aku tahu apa sumber kuat tersebut. Berarti Bediuzzaman memiliki hubungan yang amat serius dengan Rabbnya. Hubungan Ustaz dengan Allah SWT amatlah kuat. Oleh karena Ustaz tidak pernah mengendurkan tawajuhnya kepada Allah serta tidak pernah lalai dalam menjaga hubungan dengan Rabbnya, maka Allah SWT senantiasa mengokohkan kedudukannya serta menganugerahinya berbagai ihsan ilahi. “

Ya, dari manapun Anda melihat Ustaz, Anda akan menyaksikannya sebagai suatu prasasti yang sempurna. Ia tidak berkata:”Aku mengabdi kepada iman, tak apa aku ada cela dalam wirid dan zikirku!” atau “Aku mendedikasikan diriku kepada zikir dan tafakur, tak apa aku agak tertinggal di bidang meninggikan kalimat Allah!” ataupun “Aku akan mengerjakan pekerjaan ini dengan sempurna, tak apa aku agak kendor di bidang itu!”. Beliau hidup sebagai manusia yang seimbang. Beliau menganut prinsip seimbang di semua lini. Maka beliau pun mempraktikkan pembagian waktu dan pemanfaatan umur kehidupan dengan baik. Beliau tidak pernah berlaku sia-sia, tak ada waktu kehidupannya yang kosong. Beliau senantiasa memenuhi waktu dan umur kehidupannya sehingga tidak ada yang kosong. Untuk itu, tidak ada satupun tugas yang berkaitan dengan penghambaan yang diabaikan. Beliau tidak pernah menunda untuk membaca wirid dan zikir hariannya. Sebagaimana beliau menuntaskan pembacaan kitab Majmuatul Ahzab, beberapa bagian doa dari kitab tersebut semisal Jausyan, Wirid Naqsyabandi, Dalailun Nur, Sakinah, Munajat Uways al Qarani, Doa Ismu Azam, Munajat al Quran, Tahmidiyah, serta Khulasatul Khulasah dikumpulkannya menjadi sebuah hizib. Beliau berharap agar mereka yang tidak mampu membaca kitab doa ini dari awal hingga akhir setidaknya dapat mengamalkan hizib ini. Mereka yang mencintai dan mengamalkan nasihat-nasihatnya dari masa itu hingga masa ini pun  senantiasa mengamalkan hizib ini, sekarang pun demikian, di masa yang akan datang pun mereka tetap harus kontinyu dalam mengamalkannya.

Karena wirid dan zikir merupakan nutrisi terpenting bagi kaum mukminin yang bermujahadah di jalan ilayi kalimatullah (usaha untuk meninggikan kalimat Allah). Wirid dan zikir adalah tanda serta isyarat dari kedekatan hubungan seorang hamba dengan Allah SWT. Seorang manusia yang meyakini kekuatan Allah, meyakini bahwasanya Allah mahakuasa atas segala sesuatu, dan meyakini segala kehendakNya, maka sebagai konsekuensi dari keyakinannya tersebut ia harus senantiasa bertawajuh kepadaNya. Dalam rangka memenuhi segala kebutuhan dan keinginannya, hendaknya ia senantiasa hanya memohon kepadaNya. Seseorang yang berdoa, jika ia mampu mengarahkan segenap sendi dalam kalbunya untuk memohon dan mengemis kepada Allah SWT, maka ia akan melewati jarak yang bersumber dari badan dan jasmaninya. Ia akan meraih kedekatan istimewa dimana tidak ada suatu apapun yang lebih dekat kepada dirinya selain Allah SWT. Allah SWT pun akan memperdengarkan kepadanya segala sesuatu yang layak untuk didengarnya, menunjukkan segala sesuatu yang patut untuk dilihatnya, membimbing lidahnya untuk mengucapkan kata-kata yang pantas untuk diucapkan olehnya, serta mengarahkannya untuk beramal sesuai dengan yang diharapkan darinya.

Diterjemahkan dari artikel: “el kulubud daria yakaran gonuller” 

Website: http://www.herkul.org/kirik-testi/el-kulubud-daria-yakaran-gonuller/ 

[1] Hizib adalah kumpulan bacaan atau doa yang diambil dari al-Qur’an dan hadits yang disusun para wali atau ulama dan diamalkan dengan cara tertentu, dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah SWT.

afdhalul fadhail 2

APA ITU AFDHALUL FADHAIL?

APA ITU AFDHALUL FADHAIL?

Baginda Rasul al Akram S.A.W bersabda: “Fadhilah yang paling utama ialah menyambung kasih kepada orang yang memotong hubungan dengan anda, berbuat baik kepada orang yang tidak berbuat baik kepada anda, dan santun kepada orang yang mencaci maki anda” (HR Ahmad No. 15065), dan dalam riwayat lainnya: “memaafkan mereka yang berbuat zalim kepada anda”. Berkenankah Anda menjelaskan intisari pesan dan hakikat yang terkandung di dalam hadis ini? Apa yang dimaksud dengan fadhilah?

Fadhilah yang di zaman sekarang ini mereka katakan sebagai keutamaan atau kalau memang maknanya sepadan, anda dapat menyebutnya dengan “keutamaan yang paling utama”. Prinsipnya, di satu sisi pemilik fadhilah adalah sang pahlawannya pahlawan. Maksudnya, pahlawan dengan bakat di atas kemampuan pahlawan biasa, dengan kata lain merekalah yang dimuliakan dengan bakat kemampuan yang melampaui kemampuan orang-orang pada umumnya. Merekalah yang dimuliakan dengan berbagai macam kelebihan oleh Penciptanya (SWT).

Dari sisi pendefinisian ini, maka dapat diketahui bahwa kata “utama” tidak mungkin sepadan dengan kata “fadhilah”. Disabdakan bahwasanya fadhilahnya fadhilah (أَفْضَلُ الْفَضَائِلِ) yang pertama adalah أَنْ تَصِلَ مَنْ قَطَعَكَ (An tashila man qatha ak). Jadi maksudnya, tugas mendasar anda adalah untuk tidak pernah memutuskan hubungan dengan yang memutuskan silaturahminya dengan anda. Sekarang bagaimana kita tidak terpengaruh dengan sikap orang-orang yang memutuskan hubungan dengan kita? Kita harus tetap mempererat tali kasih sayang seerat hubungan orang-orang yang tidak bercerai-berai, sebagaimana di dalam hati nurani kita yang sebenarnya senantiasa terpatri perasaan untuk saling terhubung. Entah itu kerinduan kepada tanah air, sedangkan untuk kerinduan kita kepada ayah dan ibu, kita menyebutnya: “ikatan kepada ayah dan ibu”.

Terkadang dalam satu frame, semua tempat yang pernah kita kunjungi, hampiri, dan tinggali semuanya menjadi satu dalam sebuah keinginan, meliputi pikiran kita. Seringkali kita pun mengerang menahan kerinduan terhadap tempat-tempat itu, oleh karena itulah jangan sampai kita mengizinkan perpisahan dan perpecahan muncul di tengah kita. Prinsipnya adalah jangan sampai kita membiarkan mereka (yang memutuskan hubungan dengan kita) dalam kesendiriannya. Kalau hati mereka cenderung kepada perpisahan, mereka bagai melepaskan diri mereka, seperti dahan yang menggugurkan daunnya, hingga sang daun pun membusuk di tanah. Maka kita pun dengan segala daya yang ada di tangan, kita harus bisa menjadi penghalang terjadinya perpecahan. Jangan sampai memberi kesempatan kepada timbulnya perpecahan, kalau anda bisa melakukannya, maka itulah yang disebut “fadhilahnya fadhilah” untuk anda.

Kesendirian adalah masalah yang amat krusial, ketika anda mengatakan: “afdholul fadhooili an tashila man qatha ak…”, maka sebenarnya kalimat itu menitikberatkan pada masalah bersendiri (krn berpisah). Tetapi masalahnya tidak hanya sampai disitu, poin tadi hanyalah salah satu dari 4 asas fadhilah, akan tetapi jika ada satu orang yang memilikinya, maka itulah sifat mukmin sejati, itulah akhlaknya Al Quran, akhlak Nabawiyah SAW.

Kemudian yang kedua: “wa tu’tiya mammana ‘aka”. Ketika seseorang tidak memberi anda, baik itu berupa penghargaan atau pemuliaan, baik itu berupa pemberian satu sama lain, kalau misalnya ada kebutuhan anda mungkin berupa sedekah kalau ada keperluan yang lain, misalnya berupa zakat, kalau misalnya ketika ada sebuah pekerjaan, mungkin berupa support dukungan. Mungkin dia tidak melakukan hal tersebut, dia mungkin tidak membantu anda dalam kasus ini, dia bisa dikatakan tidak menunaikan tugasnya untuk membantu sesama muslim. Akan tetapi walaupun demikian, anda harus tetap meneruskan bantuan anda kepadanya di dalam kasus itu, demi terwujudnya perasaan memberi kepada sesama, anda harus hadir menghadapi sikapnya yang tidak mau memberi dengan tetap berbagi.

Dia mungkin tidak memperhatikanmu, acuh tak acuh, dia mungkin juga tidak menghargai anda. Meski demikian tetaplah tunjukkan perhatian anda kepadanya dan hargailah ia, pastikan tangan dan hati anda selalu terbuka untuknya. Tetaplah berprasangka baik saat berhadapan dengannya, jangan sembunyikan senyum diwajahmu saat berpapasan dengannya, jangan menyimpan uluran tanganmu untuknya, demikian juga dengan sifat suka memberimu. Inilah poin kedua hadis ini, poin ini pun membahas topik “kesendirian”. Lagi-lagi merupakan hal yang penting, ini pun adalah sifat seorang mukmin, bersamaan dengan itu inilah khuluqul Quran (akhlak Ilahi). Mengapa demikian? Karena Allah Jalla Jalaluhu, walaupun syukur kita sedikit tetapi Dia tetap senantiasa membagikan rizki-Nya, tak pernah meninggalkan kita sehingga tidak mendapat kebagian.

Mengenai hal ini saya memohon izin untuk menyampaikan sebuah riwayat, Sayyidina Hz Ibrahim as ketika ada tamu yang datang, beliau senantiasa menghidangkan jamuan, itulah Hz Ibrahim yang masyhur dengan kedermawanan dan kemuliaan hatinya. Sebagaimana beliau as masyhur dengan ketulusannya, kesetiaannya, dan kehangatannya terhadap sahabat-sahabatnya, beliau pun terkenal dengan kedermawanannya, memberi makanan kepada semua orang, beliau menyuapi masyarakatnya dengan apapun yang dimilikinya.

Dalam riwayat yang lain, disebutkan bahwa malaikat berkata: “Ya Rabbi, kekasihmu ini (Hz Ibrahim) kalau dilihat dari status kedekatannya dengan-Mu, bagaimana bisa mempunyai dunia (materi) begitu banyak?”. Dengan level kedekatannya yang seperti ini, bagaimana bisa beliau as mempertahankan memiliki harta duniawi yang banyak sekaligus juga menjadi khalilullah? Disini Allah SWT mengirimkan malaikatnya, sebenarnya dalam kisah ini kita tidak perlu memfokuskan pada apa yang dikatakan secara zahir oleh para malaikat, kita harus melihat hakikat apa yang sebenarnya terjadi dalam riwayat ini. Malaikat mendatanginya, kemudian para malaikat mengatakan kepada Hz Ibrahim: “Subbuhun Quddusu Rabbuna Wa Rabbil Malaikatu Warruh…”, dan tentu saja Hz Ibrahim as bukanlah sosok yang tidak paham makna dari kalimat ini. Beliau as, menghambakan diri dalam bentuk yang paling cocok dengan bayangan Zat Ilahi. Maka, demikian bersemangatnya di dalam penyucian dan penghambaan kepada Allah, Hz Ibrahim (demi mendengar tasbih yang dibacakan malaikat) mengatakan: “Biarlah 1/3 dari hewan ternakku ini untukmu saja”.

Demikian mulia hatinya, demikian dermawan dirinya. Hz Ibrahim berkata: “Bisakah anda membacakan kalimat tasbih tersebut sekali lagi?”, ini maknanya apa? Demikian besarnya pengaruh kalimat tasbih yang diucapkan dari lisan malaikat kepada hati hz Ibrahim. Kata-kata ini pasti bukan karena Hz Ibrahim tidak mengerti kedalaman maknanya sehingga minta diulangi agar bisa dimengerti, tetapi Beliau as ingin mendengarnya lagi (keluar dari lisan para malaikat). Maka ketika dibacakan kembali untuknya sekali lagi, Hz Ibrahim berkata: “Sisa ternak 1/3nya lagi untuk anda”. Sekali lagi dibacakan  untuknya, Hz Ibrahim berkata: “Semua ternak saya untuk anda saja”, dan  ketika keempat kalinya dibacakan lagi untuknya, Hz Ibrahim berkata: “Biarlah saya menjadi budak anda (karena hartanya sudah habis)”. Demikianlah, kemuliaan dan kedermawanan hati hz Ibrahim as sudah memasuki level yang sangat tinggi.