MEMERIKSA PIKIRAN

MEMERIKSA PIKIRAN

Liburan sekolah selesai. Liburan sekolah yang panjang karena dibarengi liburan natal dan tahun baru. Liburan yang selalu membawa cerita. Liburan yang bisa membawa seseorang menjadi lebih baik atau justru sebaliknya.

Saya sendiri mengajar di sekolah berasrama. Sebelum sekolah dimulai, siswa berdatangan  kembali ke asrama. Suasana ramai di pintu masuk asrama. Siswa mengantri dengan membawa barang bawaannya masing-masing. 

Di asrama ada sebuah aturan. Setiap siswa yang pulang, maka ketika masuk kembali harus diperiksa barang bawaannya. Hal ini dilakukan sebagai usaha preventif. Agar siswa tak membawa barang-barang yang dilarang penggunaannya.

Kakak pembina asrama memeriksa barang bawaan siswa satu per satu, didampingi siswa yang bersangkutan. Saya yang kebetulan sedang melintas di pintu masuk menyapa mereka. Sambil menoleh ke Kakak pembina asrama saya berkata, “Kak, cuma barang bawaan yang diperiksa? Pikirannya tidak diperiksa?” 

Kakak pembina dan siswa tersebut tersenyum mendengar celotehanku itu. Wajar saja, karena itu memang cuma candaan ringan. Saya pun mengatakannya spontanitas tanpa berpikir lagi. Bagaimana mungkin kita memeriksa isi pikiran seseorang.

Tapi entah mengapa, setelah saya masuk ke ruangan, terbersit di kepala akan apa yang telah saya katakan. Pikirku, sejatinya kita harus memeriksa pikiran siswa juga. Bukan memeriksa secara fisik pastinya.

Tak bisa dipungkiri, liburan terkadang mengubah pikiran siswa. Suasana santai, rileks, dan tanpa beban untuk belajar membuat siswa terkadang terlena. Mereka bermalasan dan berleha-leha, karena tidak perlu bangun pagi dan menjalani rutinitas berangkat ke sekolah. 

Setiap hari bermain dengan gadget sampai larut malam, tanpa mengindahkan waktu lagi. Smartphone ditangan telah menjauhkan siswa dari hal-hal positif yang bisa dilakukan. Padahal, ketika sekolah aktif, pikiran siswa selalu dibentuk untuk disiplin, semangat, dan termotivasi untuk melakukan hal-hal baik.

Ada hal lain lagi, bisa jadi selama liburan mereka terjerat dengan kebiasan-kebiasan buruk. Dari mulai kecanduan game online, pergaulan bebas, rokok, atau narkoba. Yang lebih bahaya lagi jika pikirannya yang terkontaminasi. Paham-paham sesat, seperti deisme atau LGBT mudah sekali merasuki mereka. Akhirnya, bisa membawa mereka kepada pemikiran anti agama dan menuhankan kebebasan. 

Jika kita pikirkan, dampak buruk kontaminasi pikiran ini justru yang lebih mengkhawatirkan daripada yang lain. Sejatinya, kontaminasi pikiran juga penyakit. Jika sudah terjangkit, maka akan sangat sulit sekali untuk diobati. Masalahnya, pikiran itu tak nampak, pikiran itu sulit diduga, pikiran itu abstrak.

Oleh karenanya, menjaga pikiran dan sikap mental itu sangat penting. Jeff Keller dalam bukunya Attitude is Everything mengatakan bahwa sukses berawal dari pikiran. Menurutnya, pikiran itu berhubungan dengan sikap mental. Bagaimana mental kita menyikapi sesuatu itu yang penting.

Misal, jika kita menyikapi liburan dengan sikap mental yang baik, maka liburan bisa menjadi sangat bermakna. Semestinya, di awal liburan kita bisa menargetkan banyak hal baik, seperti buku mana yang harus diselesaikan, skill baru apa yang harus dipelajari, atau kebiasan baik apa yang akan dibangun.

Jika itu semua telah direncanakan dari awal, maka liburan akan memiliki banyak manfaat bagi diri kita. Bukan hanya penyegaran secara jasmani tetapi juga penyegaran ruhani. Segarnya jasmani dan ruhani akan membuat pikiran menjadi baik dan positif.

Ustad Badiuzzaman Said Nursi dalam kitab Risalah Nur mengatakan, “Siapa yang melihat indah, maka akan berpikir indah. Seseorang yang berpikir indah akan mendapatkan kelezatan dalam kehidupan”. Oleh karenanya, jika mau bahagia, mulailah berpikir indah. Semua keindahan bermula dari pikiran kita. Dan ingat, pikiran bisa kita kendalikan. Tergantung kita mau membawanya kemana.

Siswa yang melewati liburan dengan hal-hal baik, maka akan lebih semangat dalam menatap semester baru, lebih termotivasi untuk belajar. Karena pikirannya berisi kebaikan. Sebaliknya, jika liburannya hanya dilewatkan dengan berleha-leha, bermalas-malasan, maka memulai kembali rutinitas sekolah akan menjadi sangat memberatkan.

Sebagai pendidik, saya harus siap menghadapi siswa-siswa dengan segala kondisinya pasca liburan. Pasti akan ada siswa yang menurun semangat dan motivasinya untuk belajar. Dalam hal ini, saya harus sabar jika harus memulai kembali pembiasaan baik kepada siswa, memotivasi kembali siswa agar bisa semangat untuk belajar.

Namun, sebelum saya memotivasi siswa kembali, saya juga perlu memeriksa pikiran saya kembali.  Sudahkah saya melewati liburan saya dengan hal-hal baik?. Sudahkan pikiran saya mendapatkan penyegaran?. Apakah saya termotivasi?. Pertanyaan-pertanyaan itu yang perlu saya renungi untuk menatap semester baru dengan semangat dan motivasi baru lagi.